Penulisan sejarah mungkin bisa dimanipulasi sesuai dengan kepentingan kekuasaan, tetapi sejarah itu tidak akan pernah bohong dan dapat di manipulasi.
Setidaknya analisis komunikasi atas Supersemar dibawah ini telah membuktikan itu.
Demitologisasi Supersemar
Selasa, 11 Maret 2008 00:15 WIB
Oleh P ARI SUBAGYO
"Our words are never neutral," kata Fiske (Media Matters: Everyday Culture and Political Change, 1994). Pernyataan itu terkesan menebar prasangka, tetapi begitulah adanya. Kata-kata tidak pernah netral.
Pernyataan Fiske hanya salah satu ungkapan tentang ketidaknetralan bahasa. Volosinov (1975) dan Bakhtin (1986) menyebut semua penggunaan bahasa bersifat ideologis, bahkan dilugaskan Kress & Hodge (1979) dalam buku Language as Ideology. Ideologi tidak sebatas will to power (Foucault, 1979), tetapi dalam pengertian umum, worldview, term of reference, juga interpretation frameworks.
Pendek kata, selalu ada kepentingan di balik kata-kata dan bahasa. Bagi ”linguis- sosialis” seperti Volosinov dan Bakhtin, kata-kata merupakan ranah perjuangan ideologis. Membongkar ideologi—termasuk kepentingan—yang tersembunyi dalam kata-kata (teks) merupakan fokus critical discourse analysis (CDA) sebagai pendekatan kontemporer analisis wacana lintas-ilmu.
Terkait Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang diyakini tonggak sejarah Indonesia, sekaligus penuh versi dan kontroversi, menarik diajukan pertanyaan, bagaimana Supersemar dilihat dalam kerangka bahasa dan kepentingan?
Mitos politik
Kepentingan yang eksistensial—apalagi terkait kekuasaan politik—perlu dipelihara. Terjadilah mitologisasi. Berkat jasa kata-kata dan bahasa, lahirlah mitos-mitos. Mitos tak hanya memuat nilai moral—seperti diyakini Roland Barthes (1993)—tetapi bekerja sebagai sarana memelihara kekuasaan, hegemoni, dan dominasi. Itulah yang terjadi pada Supersemar ”versi resmi” (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1975).
De Jong (1980) menyebut mitos semacam itu sebagai ”mitos politik” karena digunakan untuk aneka kepentingan politik. Berbeda dengan mitos fiktif, mitos politik dipandang sebagai histoire crue (cerita yang diyakini kebenarannya), lengkap dengan latar tempat, waktu, pelaku, tema sosial-politik, dan ekspresi perspektif ideologi politik. Mengikuti pemikiran Malinowsky, De Jong meyakini mitos bukan hanya idle mental pursuit, melainkan manifestasi interes pragmatis manusia.
Supersemar ”versi resmi” memuat keputusan/perintah Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto (Menteri Panglima AD) untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: (1) Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar revolusi/mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja; (3) Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnja seperti tersebut di atas.
Supersemar secara tekstual tidak berisi ”pengalihan kekuasaan”, tetapi lalu (dimitoskan) menjadi lisensi konstitusional Soeharto untuk ”mengambil segala tindakan jang dianggap perlu”. Sejarah mencatat rentetan peristiwa ”yang dianggap perlu” menyusul terbitnya Supersemar. Ujungnya, Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden, 12 Maret 1967.
Mitologisasi Supersemar berjalan efektif berkat dukungan kebijakan negara, terutama lewat pelajaran sejarah yang indoktrinatif. Apalagi situasi sosiologis-kultural mayoritas masyarakat Indonesia yang berbudaya diam dan represifnya Orde Baru kian mengukuhkan kesakralan Supersemar sebagai mitos politik.
Demitologisasi
Demitologisasi Supersemar bergulir sejak Soeharto—sang protagonis Supersemar ”versi resmi”—meninggalkan kursi presiden, 21 Mei 1998. Kesakralan mitos politik Supersemar mulai diusik lewat berbagai cara. Mulai dari pertanyaan keberadaan naskah asli, testimoni para ”pemeran pembantu” drama 11 Maret 1966, telaah logika historis sejarawan, kajian tekstual-visual berbagai versi Supersemar, hingga penyebutan Supersemar sebagai bagian dari ”kudeta merangkak” terhadap Presiden Soekarno.
Pembacaan teks dengan CDA akan membangkitkan ”kesadaran bahasa kritis” (critical language awareness, CLA), lebih dari sekadar ”kesadaran bahasa” (language awareness, LA). LA hanya knowledge about language, sedangkan CLA adalah awareness of nontransparent aspects of the social functioning of language (Fairclough, 1995, 2003; Weiss & Wodak, eds., 2003).
CLA akhirnya menuntun pembaca dalam memahami—menurut Julia Kristeva (1980)—intertekstualitas. Supersemar bukan teks yang berdiri sendiri, melainkan saling terkait dengan ”teks-teks” lain yang ”ditulis” para pelakunya lewat perbuatan apa pun sebelum dan setelah 11 Maret 1966.
Dalam kacamata CDA, Tragedi 1965, raibnya naskah asli Supersemar, aneka keputusan politik MPRS, isakan almarhum M Yusuf jika ditanya tentang keberadaan naskah asli Supersemar, lahirnya versi-versi dan kontroversi Supersemar, serta bungkamnya sejumlah pelaku utama tentang Supersemar, semua itu adalah teks.
Jika demikian, demitologisasi Supersemar justru dilakukan oleh para pemerannya sendiri. Oleh mereka yang berkepentingan, dan kepentingan itu secara jujur—meski samar-samar—mewujud sebagai ”teks”. Bagaimana nasib (mitos) Supersemar beserta berbagai kepentingan di sebaliknya sepeninggal Soeharto? Mari kita tunggu dengan prasangka kritis.
P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.11.00155185&channel=2&mn=158&idx=158
READ MORE - Analisis Komunikasi Atas Supersemar
Setidaknya analisis komunikasi atas Supersemar dibawah ini telah membuktikan itu.
Demitologisasi Supersemar
Selasa, 11 Maret 2008 00:15 WIB
Oleh P ARI SUBAGYO
"Our words are never neutral," kata Fiske (Media Matters: Everyday Culture and Political Change, 1994). Pernyataan itu terkesan menebar prasangka, tetapi begitulah adanya. Kata-kata tidak pernah netral.
Pernyataan Fiske hanya salah satu ungkapan tentang ketidaknetralan bahasa. Volosinov (1975) dan Bakhtin (1986) menyebut semua penggunaan bahasa bersifat ideologis, bahkan dilugaskan Kress & Hodge (1979) dalam buku Language as Ideology. Ideologi tidak sebatas will to power (Foucault, 1979), tetapi dalam pengertian umum, worldview, term of reference, juga interpretation frameworks.
Pendek kata, selalu ada kepentingan di balik kata-kata dan bahasa. Bagi ”linguis- sosialis” seperti Volosinov dan Bakhtin, kata-kata merupakan ranah perjuangan ideologis. Membongkar ideologi—termasuk kepentingan—yang tersembunyi dalam kata-kata (teks) merupakan fokus critical discourse analysis (CDA) sebagai pendekatan kontemporer analisis wacana lintas-ilmu.
Terkait Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang diyakini tonggak sejarah Indonesia, sekaligus penuh versi dan kontroversi, menarik diajukan pertanyaan, bagaimana Supersemar dilihat dalam kerangka bahasa dan kepentingan?
Mitos politik
Kepentingan yang eksistensial—apalagi terkait kekuasaan politik—perlu dipelihara. Terjadilah mitologisasi. Berkat jasa kata-kata dan bahasa, lahirlah mitos-mitos. Mitos tak hanya memuat nilai moral—seperti diyakini Roland Barthes (1993)—tetapi bekerja sebagai sarana memelihara kekuasaan, hegemoni, dan dominasi. Itulah yang terjadi pada Supersemar ”versi resmi” (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1975).
De Jong (1980) menyebut mitos semacam itu sebagai ”mitos politik” karena digunakan untuk aneka kepentingan politik. Berbeda dengan mitos fiktif, mitos politik dipandang sebagai histoire crue (cerita yang diyakini kebenarannya), lengkap dengan latar tempat, waktu, pelaku, tema sosial-politik, dan ekspresi perspektif ideologi politik. Mengikuti pemikiran Malinowsky, De Jong meyakini mitos bukan hanya idle mental pursuit, melainkan manifestasi interes pragmatis manusia.
Supersemar ”versi resmi” memuat keputusan/perintah Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto (Menteri Panglima AD) untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: (1) Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar revolusi/mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja; (3) Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnja seperti tersebut di atas.
Supersemar secara tekstual tidak berisi ”pengalihan kekuasaan”, tetapi lalu (dimitoskan) menjadi lisensi konstitusional Soeharto untuk ”mengambil segala tindakan jang dianggap perlu”. Sejarah mencatat rentetan peristiwa ”yang dianggap perlu” menyusul terbitnya Supersemar. Ujungnya, Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden, 12 Maret 1967.
Mitologisasi Supersemar berjalan efektif berkat dukungan kebijakan negara, terutama lewat pelajaran sejarah yang indoktrinatif. Apalagi situasi sosiologis-kultural mayoritas masyarakat Indonesia yang berbudaya diam dan represifnya Orde Baru kian mengukuhkan kesakralan Supersemar sebagai mitos politik.
Demitologisasi
Demitologisasi Supersemar bergulir sejak Soeharto—sang protagonis Supersemar ”versi resmi”—meninggalkan kursi presiden, 21 Mei 1998. Kesakralan mitos politik Supersemar mulai diusik lewat berbagai cara. Mulai dari pertanyaan keberadaan naskah asli, testimoni para ”pemeran pembantu” drama 11 Maret 1966, telaah logika historis sejarawan, kajian tekstual-visual berbagai versi Supersemar, hingga penyebutan Supersemar sebagai bagian dari ”kudeta merangkak” terhadap Presiden Soekarno.
Pembacaan teks dengan CDA akan membangkitkan ”kesadaran bahasa kritis” (critical language awareness, CLA), lebih dari sekadar ”kesadaran bahasa” (language awareness, LA). LA hanya knowledge about language, sedangkan CLA adalah awareness of nontransparent aspects of the social functioning of language (Fairclough, 1995, 2003; Weiss & Wodak, eds., 2003).
CLA akhirnya menuntun pembaca dalam memahami—menurut Julia Kristeva (1980)—intertekstualitas. Supersemar bukan teks yang berdiri sendiri, melainkan saling terkait dengan ”teks-teks” lain yang ”ditulis” para pelakunya lewat perbuatan apa pun sebelum dan setelah 11 Maret 1966.
Dalam kacamata CDA, Tragedi 1965, raibnya naskah asli Supersemar, aneka keputusan politik MPRS, isakan almarhum M Yusuf jika ditanya tentang keberadaan naskah asli Supersemar, lahirnya versi-versi dan kontroversi Supersemar, serta bungkamnya sejumlah pelaku utama tentang Supersemar, semua itu adalah teks.
Jika demikian, demitologisasi Supersemar justru dilakukan oleh para pemerannya sendiri. Oleh mereka yang berkepentingan, dan kepentingan itu secara jujur—meski samar-samar—mewujud sebagai ”teks”. Bagaimana nasib (mitos) Supersemar beserta berbagai kepentingan di sebaliknya sepeninggal Soeharto? Mari kita tunggu dengan prasangka kritis.
P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.11.00155185&channel=2&mn=158&idx=158