Kompas
Minggu, 21 Desember 2008
Apa pun, program kejar tayang di televisi biasanya dibuat serba tergesa-gesa. Bagaimana kita bisa menilai estetika produk industri kebudayaan semacam ini?
Hari yang sibuk buat Mardhatillah, associate producer Bukan Empat Mata (sebelumnya bernama Empat Mata). Seusai menyelesaikan shooting rekaman Bukan Empat Mata (BEM), Selasa (16/12) petang, Tia, begitu dia disapa, langsung bertolak dari studio Trans7 di Mampang, Jakarta Selatan, menuju Kampus FISIP Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, untuk mengikuti ujian.
Seusai mengikuti ujian, malam itu juga Tia kembali ke Trans7 untuk memimpin shooting BEM yang ditayangkan secara langsung. ”Wah, capeknya minta ampun,” kata Tia, Kamis di Trans7.
Tanpa ada ujian pun, setiap hari Tia sudah supersibuk. Setiap Selasa dan Rabu, Tia harus memimpin masing-masing dua shooting BEM. Sekitar pukul 16.00 hingga 19.00, dia memimpin shooting rekaman (taping) untuk episode Jumat dan Senin. Sekitar pukul 21.00 hingga 23.00, dia memimpin shooting tayang langsung (live).
Apabila shooting episode rekaman mulai pukul 16.00, empat jam sebelumnya Tia dan kru sudah mempersiapkan segalanya. Setelah shooting itu selesai, dia harus segera mempersiapkan BEM shooting berikutnya untuk episode tayang langsung.
Hari Kamis dia dan kru hanya satu kali shooting BEM untuk episode tayang langsung. Di luar itu, Tia harus siap memimpin shooting untuk episode khusus seperti Lebaran.
Jika tidak ada shooting, Tia dan 10 kru intinya harus mengurus tetek bengek persiapan produksi, seperti meriset tamu yang akan diundang, menyusun anggaran, menentukan tema acara, membuat jadwal kerja, menyusun daftar kebutuhan shooting; pascaproduksi, hingga menghadiri rapat yang membahas pergerakan rating BEM.
Saking sibuknya, Tia mengaku sering kali baru bisa pulang ke rumah sekitar pukul 02.00. ”Di rumah saya hanya numpang tidur, setelah itu kembali lagi ke kantor. Untuk melahirkan ide-ide untuk BEM, kadang tidak sempat,” katanya.
Industri televisi, terutama yang memproduksi program kejar tayang, memang menuntut kerja amat keras. Orang-orang yang terlibat dalam pembuatan sinetron kejar tayang mungkin bekerja lebih keras dibandingkan dengan kru BEM. Mereka sering kali shooting hampir 24 jam tanpa henti.
Mari kita tengok lokasi shooting Cinta Indah produksi Multivision Plus atau Upik Abu dan Laura produksi SinemArt beberapa bulan lalu. Para kru ”bergelimpangan” di kursi, tertidur karena capek seusai shooting. Lembar-lembar naskah skenario berserakan begitu saja.
Manoj Punjabi, pemilik rumah produksi MD Entertainment yang memproduksi sinetron kejar tayang seperti Cinta Fitri (SCTV), mengatakan, kerja semacam itu wajar-wajar saja. Apalagi para kru dan bintang telah dibayar mahal.
Dia pun menuntut timnya untuk bekerja 18 jam sehari. ”Pokoknya, untuk shooting satu hari harus bisa (menghasilkan) satu episode agar bisa kejar tayang,” katanya, Jumat.
Dengan cara kerja seperti itu, sinetron Cintra Fitri produksi MD Entertainment bisa dibuat hingga ratusan episode. Cinta Fitri 1 dibuat 200 episode, Cinta Fitri 2 168 episode, dan Cinta Fitri 3 sudah berjalan 30 episode dari rencana 150 episode.
Selain Cintra Fitri 3, ada tiga sinetron kejar tayang lainnya di SCTV, yakni Koq Gitu Sich, Melati Untuk Marvel, dan Cucu Menantu. Praktis setiap hari penonton dicekoki tayangan yang hampir semua digarap di tengah waktu yang serba mepet.
Bagaimana para kru bisa menghasilkan ide yang bernas di tengah tuntutan dan tekanan kerja yang dahsyat dan bersifat rutin? Penulis skenario Cassandra Massardi mengaku sudah biasa dengan tekanan kerja seperti itu. Namun, dia kadang tidak bisa lagi berpikir karena harus menulis skenario terus dalam 24 jam.
”Ya mau tidak mau harus dipaksa mikir karena naskah skenario sudah ditunggu,” katanya beberapa waktu lalu.
Di dunia sinetron sudah lazim skenario dibuat dengan terburu-buru beberapa jam sebelum shooting dimulai. Bahkan, kadang skenario harus diubah di tengah-tengah shooting lantaran ada pemain yang sakit atau tidak datang ke lokasi. Akibatnya, alur cerita sinetron menjadi tidak karu-karuan.
Tia mengatakan, kendala terbesar yang dihadapinya adalah rutinitas kerja. ”Karena semuanya sudah rutin, kadang kita juga kehabisan ide,” katanya.
Mungkin itulah sebabnya mengapa acara Empat Mata dan BEM dari dulu begitu-begitu saja. Guyonan Tukul Arwana tidak banyak berubah selama 2,5 tahun membawakan acara tersebut. Kalaupun ada perubahan, sebatas pada tata panggung.
Genjot terus
Manoj mengatakan, sepengetahuannya, sistem kejar tayang hanya ada di Indonesia. ”Di belahan dunia mana pun, mana ada film serial kejar tayang,” ujarnya.
Di Amerika Serikat, seperti Kompas pernah saksikan, shooting serial televisi dilakukan sekaligus untuk satu musim atau satu putaran. Setelah proses produksi rampung semua, baru serial itu ditayangkan di televisi.
Pembuat film serial di sana pun membatasi sebuah film tidak lebih dari 50, bahkan 20, episode per putaran sehingga mutunya bisa terjaga. Tidak seperti di Indonesia, sinetron bisa diulur-ulur hingga 200 episode per putaran karena ratingnya dianggap bagus meski ceritanya jadi melebar ke mana-mana.
Meski menggunakan sistem kejar tayang, Manoj mengatakan, tidak berarti mutu sinetron kita jelek. Mengapa? Karena aspek cerita tetap menjadi perhatian utama.
Pengamat budaya AS, Laksana, mengatakan, sulit menilai estetika sebuah produk kejar tayang. ”Produk semacam itu tidak lahir dari konsep produksi yang matang. Semua bisa diubah-ubah seenaknya. Yang dipersiapkan secara matang saja hasilnya bisa jelek kok,” katanya.
Kalaupun ada satu-dua yang bagus, lanjutnya, itu pasti kebetulan belaka. Setelah itu, pembuatnya tidak akan bisa mengulang. Mengapa? Karena produksi program tersebut, selanjutnya, akan digenjot dan diperas habisan-habisan demi sistem kejar tayang.
”Pembuatnya sampai tidak punya waktu untuk berpikir, apalagi menemukan ide-ide baru,” ujarnya.