Jumat, 6 Februari 2009
Siapa pun yang ada dalam kerumunan pasti berpikir, merasa, dan bertindak serupa.
Kekuatan emosional dan irasional menyeruak. Nafsu barbarian muncul. Keragaman individualitas ditenggelamkan homogenitas kerumunan.
Itulah gambaran Gustave Le Bon (1841-1931) tentang kerumunan. Agresif dan destruktif merupakan perilaku yang identik dengan eksistensi kerumunan. Tragisnya, kerumunan disamakan dengan kekuatan rakyat. Bahkan, kerumunan telah dipandang sebagai pelaksanaan demokrasi yang diwujudkan dalam gelombang demonstrasi. Sekian banyak orang berkumpul dan menciptakan kerumunan untuk mengekspresikan pendapat dan menuntut hak. Tanpa disadari, perilaku yang dinilai sebagai wujud demokrasi itu menjelma sebagai keberingasan mobokrasi.
Mobokrasi adalah konsep yang tidak asing lagi dalam perjalanan demokrasi kita. Sebagai contoh, pembakaran dan perusakan sejumlah kantor pemerintah, rumah dinas, dan kendaraan di Kabupaten Kaur, Bengkulu, pada 2005 terkait dengan kekalahan seorang kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Bahkan, berbagai demonstrasi yang mengerahkan aksi-aksi kekerasan merupakan fenomena mobokratis. Lebih ironis lagi, tindakan serba merusak itu dimaksudkan untuk mendapat liputan media massa!
Mobokrasi adalah kekuasaan yang dikendalikan mob, yakni kerumunan yang secara emosional dan irasional muncul untuk menjalankan aksi-aksi penuh destruksi. Ketika ada pihak yang dianggap membuat kesalahan dan tidak memenuhi kehendak dari kerumunan yang agresif itu, pihak yang dimaksud pun dikeroyok, dipukuli, atau dihajar beramai-ramai hingga ajal. Gejala itulah yang terjadi pada kematian Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat.
Mendatangkan kerusuhan
Memang tidak semua kerumunan menciptakan kerusakan dan kekacauan. Herbert Blumer (1900-1987), sebagaimana diuraikan Alex Thio (Sociology, 1989: 580) mengklasifikasikan empat tipe kerumunan: (1) kerumunan tidak tetap (casual crowd), yang keberadaannya amat singkat dan terorganisasi secara longgar. Tipe ini bersifat spontan, misalnya orang yang bersama-sama melihat gedung terbakar atau kecelakaan; (2) kerumunan konvensional (conventional crowd), yang terjadi secara terencana dan berperilaku teratur, misalnya penonton dalam teater atau pertandingan sepak bola; (3) kerumunan bertindak (acting crowd), yang keterlibatannya didasari pada permusuhan atau aktivitas destruktif, misalnya mob yang melakukan pembantaian; dan (4) kerumunan ekspresif (expressive crowd), yang muncul untuk melampiaskan emosi dan ketegangan, misalnya para penonton konser musik rock.
Namun, pada dasarnya, tiap kerumunan rentan mendatangkan kerusuhan. Hal ini bisa berlangsung karena tiap individu yang ada dalam kerumunan mudah kehilangan identitas diri. Ini yang disebut anonimitas. Dalam momen kerumunan, individu-individu tercerabut dari personalitasnya. Selain itu, kekerasan mudah merebak karena individu-individu cenderung meniru perilaku anggota kerumunan lainnya. Saat satu orang memukul, diikuti orang lain. Kerumunan cepat menularkan kekerasan.
Kerumunan juga tidak lepas dari tindakan permisif. Apa pun tindakan yang dianggap melanggar norma-norma dilampaui dan dimaafkan begitu saja. Sebab, kerumunan merupakan keadaan abnormal. Namun, abnormalitas itu dianggap normal dalam kerumunan karena individu-individu merasa tidak bertindak sendiri. Aksi-aksi kerumunan mengandalkan kehendak gerombolan sehingga tanggung jawab individu seolah bisa diserahkan total kepada kawanan yang banyak. Atas nama kekompakan, akhirnya semua jenis kekerasan dikerahkan. Apalagi saat rasa permusuhan dan kebencian terus dipompakan.>kern 251m<
Ketidakhadiran negara
Ketika kerumunan dominan dalam ranah politik, yang terjadi adalah anarkisme. Hanya saja, apa yang dimaksud dengan anarkisme dalam domain ini bukan corak pemikiran yang bertujuan untuk bersikap kritis terhadap segala bentuk totaliterianisme kekuasaan. Anarkisme adalah suatu keadaan ketika tidak ada lagi otoritas yang mengatur dan mengendalikan. Anarkisme adalah situasi kekacauan yang ditandai dengan ketidakhadiran negara. Polisi yang seharusnya bertindak cepat dan responsif justru dikalahkan demonstran yang mewujudkan dorongan mobokrasi. Pada titik kulminasinya, negara dikalahkan daya rusak politik kerumunan.
Padahal, negara dibenarkan untuk menjalankan kekerasan. ”Setiap negara didasarkan pada kekerasan,” ungkap Leon Trotsky (1879-1940). Jika tidak ada lembaga sosial yang memakai kekerasan, konsep negara mengalami eliminasi, dan kondisi itulah yang memunculkan anarki (HH Gerth dan C Wright Mills, From Max Weber, 1958: 78). Karena itu, hanya negara yang diizinkan memonopoli kekerasan. Dalam menjalankan kekerasan, negara tidak boleh bertindak eksesif. Koridor hukum merupakan kekuatan yang bisa dirujuk polisi sebagai aparat negara.
Negara yang membiarkan aksi- aksi destruktif berarti membolehkan anarkisme politik kerumunan merayakan kemenangan. Pada saat itu otoritas negara dirampas politik kerumunan. Itulah yang dinamakan mobokrasi yang secara vulgar melakukan korupsi atas demokrasi. Akan terulangkah fenomena mobokrasi seperti ini? Jawabannya terletak pada ketegasan negara menjaga tatanan demokrasi agar tidak berulang kali disandera anarkisme politik kerumunan.
Triyono Lukmantoro Dosen Sosiologi Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip, Semarang