Setahun terakhir ini saya sangat mudah tertegun dan tersentuh bila melihat relasi anak orang tua. Terkhusus relasi seorang ibu dan anaknya yang masih kecil. Terakhir ketika membaca ulang novel “Arus Balik” Pramoedya. Usaha Idayu, istri cantik dan setia dari tokoh utama novel itu ; Wiranggaleng, yang menjaga dan memelihara Gelar membuat saya untuk tertegun, menghela nafas dan mengulang kembali beberapa teks tentang itu.
Gelar adalah anak yang tidak diharapkan Idayu karena lahir dari pemerkosaan seorang Syahbandar jahat yang sangat dibenci masyarakat. Tetapi meskipun begitu, Idayu tetap memeliharanya sepenuh hati. Kepada suami yang dicintainya dia berikan cundrik untuk menikam dirinya bila hal ini dianggap pengkhiatan seorang istri. Idayu boleh mati, tapi Gelar meskipun anak diluar harapan tetaplah anaknya dan dia berhak hidup. Hal itu tidak dilakukan Wiranggaleng. Gelar tetap diasuh dan diperlakukan sebagai anaknya oleh Wiranggaleng
Selanjutnya adalah episode ketika Idayu dan kedua anaknya berada di sarang pemberontak. Meskipun berada dalam ketakutan, karena berstatus sebagai sandera, Idayu tidak pernah mau memperlihatkan rasa ketakutan di depan anak-anaknya. Menurut dia anak-anaknya sedang membutuhkan perlindungan dan dia adalah pelindung itu. Idayu ingin anaknya tetap tenang dengan menunjukan bahwa pelindungnya pun tenang menghadapi situasi genting ini. Sampai akhir cerita buku bertebal 750 halaman itu, banyak lagi relasi orang tua dan anak yang membuat saya tertegun.
Mungkin setelah mempunyai anak, saya jadi mudah tertegun dan terenyuh bila melihat anak kecil. Sebelum itu hanya datar-datar saja. Bila ada perhatian, itupun hanya lingkup terbatas dan selektif. Dari 9 keponakan yang masih kecil, hanya 1 keponakan yang relative menyita perhatian. Kemudian perhatian yang diberikan kepada salah satu keponakan istri, karena anak itu mengalami cedera otak, down syndrome, dan apresiasi saya terhadap orang tuanya yang tetap memelihara dan mendidik anak itu.
Setelah istri melahirkan mulailah perhatian saya terhadap anak tumbuh. Tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan bagaimana rasa yang muncul dalam diri ketika pada tengah malam tebangun dan melihat anak yang sedang tidur terlelap. Tanpa sadar tangan saya sering mengusap-mengusap kepalanya sambil berjanji kalau saya akan mempertaruhkan segalanya untuk menjalankan kewajiban saya terhadap dia dan mengucapkan beberapa ekspektasi saya terhadap dia.
Diantara momen yang sering membuat saya takjub adalah ketika melihat anak saya menyusu kepada ibunya. Melalui diskusi dengan istri, akhirnya saya ketahui bahwa menyusui itu aktivitas simbiosis mutualisme antara ibu dan anak. Menyusui bukan hanya aktivitas seorang ibu yang memberikan ASI, nutrisi makanan yang paling higienis dan compatible dengan kebutuhan perkembangan anak, tetapi juga aktivitas seorang anak yang membantu ibunya menjalani masa-masa recovery phisik pasca melahirkan. Selain itu pastinya menyusui adalah aktivitas saling memberi kasih sayang antara ibu dan anak yang sangat menakjubkan.
Karena ASI yang baik adalah hasil konsumsi makanan seorang ibu yang juga baik, maka setiap minggu sebelum kembali kerja ke Jakarta, saya selalu membeli stok susu khusus ibu menyusui dengan buah-buahan dan mengupas buahnya sehingga ready to eat. Berkali-kali istri mengatakan kalau pekerjaan itu bisa dilakukan oleh orang lain dan saya sebaiknya istirahat saja. Saya bilang kepada istri saya; membeli susu dan buah dan mengupasnya buat istri yang menyusui adalah pekerjaan psikologis bukan phisik. Ini diantara ekspresi psikologis saya sebagai seorang suami dan seorang bapak. Kalau sudah saya jawab seperti itu, istri tidak lagi melarang dan hanya tersenyum saja.
Bila sudah di Kereta untuk kembali kerja di Jakarta, saya sering melamun mengingat kembali fragmen antara saya, istri saya dan anak saya. Anak saya menyusu kepada istri saya, mengisap sari-sari makanan untuk kehidupannya dan saya memberikan suplai makanan dan buah-buahan untuk istri saya sehingga suplai makanan buat anak tetap terjaga. Dalam pandangan yang lebih luas, mungkin inilah diantara keindahan kehidupan yang diberikan Tuhan terhadap manusia ; siklus kasih sayang
Semenjak itulah saya mulai perhatian terhadap anak-anak. Saya sempatkan waktu untuk beli buku dan mainan yang menarik buat anak.Bila di TV ada berita tentang bayi yang dibuang, langsung saya ganti channel karena gak tega. Bila melihat ibu-ibu meminta-minta sambil menggendong bayi, tanpa sadar saya palingkan wajah karena gak tega. Bila ada perilaku keponakan atau anak tetangga yang janggal; saya diskusikan dengan istri apa dan bagaimana penyebabnya setelah itu lalu menyalahkan orang tuanya. Selanjutnya saya juga jadi faham kenapa film, pengemis, politisi, artis sinetron sering mengeksploitasi relasi anak dan orang tua. Saya mengerti kenapa Soeharto yang lebih doyan kekuasaan ketimbang uang, tapi korupsinya gak tanggung-tanggung.
Selain itu diantara yang saya ingat juga adalah kisah yang sangat popular nabi Ibrahim waktu diperintah Tuhan untuk menyembelih anaknya. Bila waktu kecil saya anggap kehebatan Nabi Ibrahim itu ketika dia tidak mempan dibakar api, sekarang saya memahami kenapa kejadian penyembelihann Ibrahim sebagai sebuah drama kehidupan yang banyak diagungkan orang-orang. Drama inilah memang yang bisa mendeskripsikan kualitas seorang nabi Ibrahim dalam hubungan beliau dengan Tuhan, keluarga dan masyarakatnya
Pada akhirnya saya sering bertanya-tanya, kenapa kemudian terjadi hubungan yang begitu hebat antara orang tua dan anak?Kenapa orang tua bisa berbuat apa saja demi anaknya padahal jelas dia tidak mendapatkan apa-apa, secara kasat mata, dari apa yang diperbuatnya. Tidak ada yang menggajihnya, anaknya pun tidak bisa mengapresiasi apa-apa yang telah diperbuat orangtuanya terhadap dia.
Sementara ini baru ada 2 hal temuan saya yang menjadi landasan sikap orang tua terhadap anaknya itu
Pertama, ini pelajaran yang saya dapat ketika di madrasah dulu, ini karena kita memang sudah dikarunia Tuhan akan rasa kasih sayang terhadap anak. Rasa sayang terhadap anak adalah atribut kemanusiaan yang sudah melekat dalam diri kita. Rasa sayang adalah ciri manusia sebagai makhluk spiritual
Letak ayat dan suratnya saya lupa tapi kira-kira bunyi aslinya seperti ini “zuyyina linnasi hubbusyahawati minnanisai wal baniina wal qanattirul muqantarati mindhihabi wal fidhotil wal khoilil mussawamah”. Terjemahan bebasnya kira-kira ; manusia itu dihiasi dengan rasa suka terhadap perempuan dan anak, barang-barang berharga seperti emas dan perak dan juga kuda tunggangan.
Faktanya sekarang pun kita lihat demikian. Tidak ada yang tidak suka perempuan, menyukai anak-anak, perhiasan dan juga kuda tunggangan (dalam konteks sekarang kuda tunggangan ini adalah alat transportsi seperti motor, mobil, perahu dan pesawat). Semua orang berkorban untuk hal-hal diatas
Kedua,Ini saya dapatkan dari sebuah acara bincang-bincang pagi TV One dengan Sarah Vi, artis yang cerai dan merasa anaknya diculik oleh keluarga suaminya. Sarah Vi menceritakan lika-liku usahanya yang sudah sangat lama untuk bertemu dan mendapatkan anaknya kembali dari keluarga suaminya. Tetapi semuanya tidak berhasil dan membuat dia hampir putus asa. Tetapi rasa putus asa itu dia tepis dan hilang kembali ketika dia mengingat anaknya yang sudah berpisah lama itu.
Jawaban menarik datang dari psikolog yang hadir sebagai nara sumber. Menurut psikolog itu, Sarah Vi harus tetap optimis bahwa anaknya akan kembali dan sebetulnya meskipun anak itu tidak dicari oleh Ibunya; dia yang akan mencari ibunya. Alasannya sangat sederhana dan filosofis menurut saya ; karena dalam diri anak itu ada diri kita dan dalam diri kita ada diri anak kita. Kita adalah satu kesatuan dengan anak kita. Anak itu adalah sebagian dari diri kita dan dia akan selau mencari sebagian dari dirinya itu. Sejarah menunjukan orang tua yang terpisah dengan anak, mereka akan selalu berusaha untuk saling mencari dan bertemu. Hanya waktu saja yang membedakan antara kasus yang satu dengan kasus yang lain.
Berdasar argument ini maka pada satu titik kita bisa mengambil kesimpulan kalau kecintaan terhadap anak adalah juga wujud keegoan diri kita. Bentuk rasa cinta dan rasa sayang terhadap anak adalah bentuk rasa cinta dan rasa sayang terhadap diri kita sendiri karena pada diri anak itu ada sebagian diri kita.
Mungkin dari sini kita mesti menghapus beberapa ego yang sering muncul dari diri kita berkaitan dengan anak. Mengatakan bahwa anak harus berbhakti kepada orang tua karena orang tua sudah mencintai,melindungi dan memberinya kasih sayang mungkin harus kita revisi kembali. Karena cinta dan kasih sayang yang kita berikan kepada anaknya pada dasarnya adalah ekspresi keegoan kita.
Dalam kasus lain adalah ketika orang tua merasa jumawa terhadap anaknya karena ketika bayi sudah merawat dan melindunginya. Rasa ini sepertinya harus kita revisi. Diskusi saya dengan istri, secara biologis, seorang anak ketika dia lahir pun pada dasarnya dia juga sedang berjuang untuk hidup dan eksis di dunia ini. Jadi seorang bayi bisa terus hidup dan eksis bukan hanya karena kita sudah memberinya susu, merawat, melindungi dan lain-lain, tetapi juga karena dia sudah berusaha untuk terus hidup dan eksis.
Bila sudah seperti ini, maka pada akhirnya anak juga berjasa terhadap orang tuanya karena dia sudah hadir di dunia. Karena kehadirannya, orang tua mempunyai salurah untuk mengekspresikan rasa cinta dan kasih sayang. Sedangkan rasa cinta dan kasih sayang adalah kebutuhan hakiki dan psikologis orang tua sebagai manusia.
Alasan lainnya saya belum tahu..
Jakarta, 07-08-2009