Rabu, 29 Oktober 2008
Setiap penggunaan bahasa bersifat ideologis. Bahkan, bahasa adalah ideologi. Itulah pandangan para linguis kritis, seperti Volosinov, Bakhtin, Foucault, Fairclough, Wodak, Kress, Hodge, dan Van Dijk.
Dalam hal ini, ideologi adalah gagasan atau keyakinan yang commonsensical (sesuai akal sehat) dan tampak normal. Gagasan atau keyakinan itu telah menjadi bawah sadar masyarakat. Maka, jika masyarakat tidak menyadari ideologi (dalam) bahasa yang dipakainya, itu membuktikan ideologi sedang efektif bekerja.
Bahasa Indonesia pun bersifat ideologis. Ideologi itu mengenai penentuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928) dan bahasa negara (UUD 1945 Pasal 36). Saat para tokoh pemuda mengikrarkan butir ketiga Sumpah Pemuda, mereka digerakkan ideologi kebangsaan yang demokratis dan egaliter. Maka, pilihan jatuh pada bahasa Indonesia bukan bahasa Jawa atau Sunda, yang penutur aslinya lebih banyak. Bahasa Melayu—bahan dasar bahasa Indonesia— hanya berpenutur asli sekitar 4,5 persen populasi. Namun, meski belum jelas benar sosoknya, bahasa Indonesia diyakini lebih demokratis dan egaliter sebab tidak mengenal speech level (tingkat tutur).
Dalam pandangan sosiolinguistik, penentuan bahasa Indonesia jadi bahasa persatuan dan bahasa negara didasari ideologi vernacularization (vernakularisasi, pribumisasi). Menurut Cobarrubias (Ethical Issues in Status Planning, 1983), vernakularisasi adalah penentuan sebuah indigenous language (bahasa pribumi) menjadi bahasa resmi. Segi-segi sosiologis-politis-kultural pasti dipertimbangkan, termasuk kehendak memartabatkan jati diri.
Demikianlah, bahasa Indonesia mengada karena ideologi kebangsaan demokratis-egaliter dan pemartabatan jati diri. Bahkan, bahasa Indonesia pada gilirannya adalah ideologi tentang nasionalisme, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Tak ayal dalam literatur-literatur utama sosiolinguistik, bahasa Indonesia menjadi contoh klasik vernakularisasi, selain Tok Pisin (Papua Niugini), Yahudi (Israel), Tagalog (Filipina), dan Quechua (Peru).
Jika bahasa Indonesia dan situasi kebahasaan mutakhir dicermati, masih adakah jejak ideologi itu? Apa tantangan bagi ideologi bahasa Indonesia? Apa kaitannya dengan Kongres IX Bahasa Indonesia, 28 Oktober-1 November 2008?
Beragam ideologi bahasa
Tiga ideologi selain vernakularisasi, yaitu linguistic assimilation, linguistic pluralism, dan internationalism. Linguistic assimilation menempatkan bahasa terdominan sebagai bahasa resmi. Semua warga—pribumi atau pendatang—wajib mempelajari dan menggunakan bahasa itu. Contohnya bahasa Perancis di Perancis, bahasa Inggris di Inggris dan Amerika Serikat serta wilayah koloninya, serta bahasa Jerman di Jerman. Ideologi ini diterapkan dengan berbagai bentuk, termasuk pemaksaan, seperti kebijakan Hellenization di Yunani dan Russification di Uni Soviet masa lampau.
Linguistic pluralism memberikan kesempatan sama kepada bahasa-bahasa yang ada. Kesempatan itu dapat berbasis wilayah atau ikatan warga. Paham ini diberlakukan antara lain di Belgia, Kanada, Singapura, Afrika Selatan, dan Swiss.
Adapun internationalism (internasionalisme) justru mengangkat non-indigenous language (bahasa nonpribumi). Karena bahasa nonpribumi telah digunakan dalam komunikasi luas, lalu dijadikan bahasa resmi bidang tertentu. Ideologi ini, misalnya, berwujud penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi pendidikan dan perdagangan di Singapura, India, Filipina, dan Papua Niugini.
Tantangan internasionalisme
Bahasa Indonesia masih relatif muda. Namanya baru mulai disebut saat Kongres Pemuda I, 2 Mei 1926. Setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, bahasa Indonesia mengalami promosi dan kodifikasi besar-besaran. Dalam usia 80 (atau 82) tahun, secara korpus bahasa Indonesia makin sempurna. Berbagai kamus dan pedoman tata bahasa, ejaan, dan peristilahan kian lengkap. Jumlah penuturnya makin meningkat. Bahasa Indonesia telah melampaui masa lampaunya sebagai bahasa ”kecil” dan kini menjadi bahasa ”besar”. Namun, bagaimana ideologinya? Bahasa Indonesia masih menjadi ideologi kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan?
Sebagaimana teritori mana pun, Indonesia adalah arena perang ideologi, termasuk ideologi bahasa. Dalam arena itu ideologi bahasa Indonesia harus bertarung menegakkan eksistensinya. Benar pernyataan St Sunardi (Kompas, 27/10/2008) dimensi nasionalisme menjadi lebih rumit daripada sekadar kesamaan sejarah, suku, bangsa, atau budaya. Menyangkut ideologi bahasa Indonesia, kerumitan itu berwujud hadirnya ideologi internasionalisme yang menyatu dengan globalisasi. Padahal, internasionalisme serba bertentangan dengan vernakularisasi.
Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai ideologi berpotensi terpinggirkan, terutama sebagai ideologi kebangsaan dan jati diri.
Kongres IX Bahasa Indonesia
Pada 28 Oktober—1 November 2008 digelar Kongres IX Bahasa Indonesia, bertema ”Bahasa Indonesia Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Fondasi Peradaban Bangsa”.
Tampak, tema itu digerakkan ideologi bahasa Indonesia, yakni kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Upaya penyelenggara kongres, Pusat Bahasa, patut diapresiasi. Bukan hanya karena setia memelihara ideologi bahasa Indonesia, tetapi juga membuka diri atas situasi terkini. Secara tersirat, kata ”kompetitif” menyadari hadirnya ideologi internasionalisme yang tidak harus dihadapi frontal.
Apalagi kaidah-kaidah yang amat kaku tidak ”membakukan”, tetapi ”membekukan” bahasa Indonesia. Sikap normatif berlebihan menjadi kendala bagi pengembangan kreativitas. Martabat bahasa Indonesia pun terlecehkan. ”Bangsa Indonesia soedah sadar akan persatoeannja, boekan sadja dalam artian politik, akan tetapi dalam artian keboedajaan jang seloeas-loeasnja”. Itulah tanggapan surat kabar Kebangoenan pimpinan Sanoesi Pane (22/6/1938) atas rencana Kongres I Bahasa Indonesia di Solo, 25-28 Juni 1938.
Semoga Kongres IX Bahasa Indonesia juga melahirkan tanggapan senada.
P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta