Wednesday, 15 October 2008

Para Perampok di Jalan Tuhan

Majalah Tempo, 6 - 12 Oktober 2008

Djalaluddin Rahmat

  • Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia
    Sects and Errors are synonymous. If you are a peripatetic and I am a Platonist, then we are both wrong, for you combat Plato only because his illusions offend you, and I dislike Aristotle only because it seems to me that he doesn’t know what he’s talking about.

    Voltaire, Philosophical Dictionary

    "Aku tidak bisa melepaskan diri dari bayangan guruku. Ia masuk dalam mimpi-mimpiku. Pada suatu malam aku pernah terbangun. Aku duduk dalam lingkaran. Di situ ada guruku, Nabi Muhammad, Tuhan, dan Yesus. Guruku menyebutku Hafshah, salah seorang istri Nabi Muhammad. Aku pernah melihat Nabi Muhammad datang kepadaku; memanggilku dengan mesra. Pendeknya, kemudian terjadilah pergaulan suami-istri antara Hafshah dan Nabi Muhammad. Beberapa saat setelah itu, aku baru sadar bahwa Hafshah itu aku dan Nabi Muhammad itu adalah guruku itu,” Helen, bukan nama sebenarnya, mengadukan nasibnya kepadaku.

    Helen sarjana dan profesional. Ia cerdas dan kaya. Ketika ia mulai tertarik pada hal-hal spiritual, kawannya membawanya ke pengajian tasawuf. Ia diperkenalkan kepada seorang ustad. Bukan ustad terkenal. Tampaknya ustad itu tidak mengisi pengajian umum. Ia memusatkan pengajarannya pada komunitas khusus dengan tema khusus. Di seluruh alam semesta, hanya dia yang mempunyai pengetahuan khusus, ilmu makrifat. Ia mau berbagi ilmu makrifat itu hanya kepada manusia-manusia pilihan yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Dengan mengamalkan ritus-ritus tertentu—berzikir, berpuasa, dan bersemadi—Helen berhasil melihat Tuhan. Berkali-kali sesudah itu, ia mengalami ”trans”. Ia bukan hanya berjumpa dengan Tuhan. Ia juga dapat berkencan dengan para nabi.

    Makin ”dalam” pengalaman rohaniahnya, makin bergantung dia kepada sang ustad. Helen yang cerdas kehilangan daya kritisnya ketika ia mendengar kalimat-kalimat gurunya. Ia berikan apa pun yang dimintanya, mulai waktu, uang, kendaraan, rumah, sampai kehormatannya. Ia sudah menjadi sujet di hadapan juru hipnotis. Semua dilakukannya di bawah sadar, sampai ia disentakkan oleh salah satu kuliah psikologi. Sebuah buku dengan judul Saints and Madmen menyadarkan dia bahwa gurunya dan juga dia bukan orang suci, tapi orang gila. Ia bukan mengalami pengalaman rohaniah, tapi gangguan mental. Sayangnya, kesadaran itu muncul setelah ia kehilangan banyak.

    Tak terhitung banyak orang seperti Helen. Manusia modern yang jenuh dengan materialisme gersang. Ia merindukan pengalaman rohaniah. Ada yang kosong dalam jiwanya. Kekosongan itu tidak bisa diisi dengan seks, hiburan, kerja, bahkan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat. Ia ingin getting connected dengan Yang Ilahi. Ia sudah kecapaian dengan logika dan angka. Ia ingin meninggalkan dunia yang dingin dan kusam menuju alam yang hangat dan cemerlang. Ia ingin mendapat—sebut saja—pencerahan rohaniah. Ia tidak mendapatkannya dalam institusi-institusi agama.

    Dalam kerinduan spiritual itu, muncullah guru. Ia menawarkan pengalaman rohaniah yang ”instan”. Kalau kamu sudah kecapaian dengan logika dan angka, masuklah bersama guru ke dalam dunia rasa dan percaya. Bunuh rasionalitas dan tumbuhkan spiritualitas (seakan-akan keduanya bertentangan). Dengan memanipulasi ajaran-ajaran esoterik dalam setiap agama, guru menegaskan—sambil mengutip Rumi—”di negeri cinta, akal digantung”.

    Kalau akal sudah digantung, terbukalah peluang bagi guru untuk memanipulasi pikiran para pengikutnya. Aku menemukan bahwa teknik-teknik menggantung akal yang dilakukan para guru itu sepenuhnya melaksanakan nasihat Dostoyevsky dalam The Brother of Karamazov: ”Ada tiga kekuatan, dan hanya tiga, yang dapat menaklukkan dan melumpuhkan semangat para pemberontak ini. Yang tiga itu ialah mukjizat, misteri, dan otoritas.” Tentu saja hampir tidak ada di antara para guru itu yang membaca Dostoyevsky.

    Mukjizat sebenarnya adalah kumpulan dari halusinasi, ilusi, dan delusi. Guru menciptakannya dengan ”merusak” otak pengikutnya melalui ritual yang aneh-aneh. Salah satu teknik yang paling populer dan paling efektif adalah pengurangan waktu tidur (sleep deprivation), apalagi bila dibarengi dengan tidak makan (food deprivation). Dalam keadaan normal, otak kita mensintesiskan ”pil tidur alamiah” sepanjang waktu bangun kita. Sesuai dengan ritme biologis, kita tidur pada waktu malam. Karena deprivasi tidur, pil tidur alamiah itu berakumulasi dan bermetabolasi menjadi produk-produk beracun. Lalu timbullah mula-mula gangguan mood—pergantian antara euforia dan depresi. Menyusul gangguan mata yang menimbulkan halusinasi (melihat cahaya dan benda-benda bergerak), delusi, dan puncaknya disorganisasi pikiran (sederhananya, gangguan jiwa). Seperti pengurangan tidur, guru juga menciptakan pengalaman rohaniah dengan upacara, seperti latihan masuk kubur, gerakan kolektif yang berulang-ulang, atau penggunaan obat-obat kimiawi. Murid mengira mereka mengalami pengalaman gaib. Ahli neurologi menyebutnya kerusakan otak (brain damage).

    Karena pengalaman rohaniah yang mereka alami, mereka merasa dibawa ke alam gaib. Di sekitar kehidupan guru berkumpul berbagai misteri. Guru pemilik ilmu-ilmu yang sangat rahasia. Guru malah mengembangkan bahasa sendiri. Istilah-istilah agama diberi makna baru. Perjalanan bersama guru adalah perjalanan menyingkap tirai-tirai kegaiban. Murid tidak bisa menyingkap rahasia itu tanpa bimbingan guru. Seperti kata Dostoyevsky, dengan menggabungkan mukjizat, misteri, dan otoritas, bertekuklah jiwa-jiwa kritis ke kaki sang Pembawa Pencerahan.

    Helen sekarang sadar bahwa ia telah jatuh kepada perampok di jalan Tuhan. Hati-hati, dalam perjalanan menuju pencerahan jiwa, Anda akan disabot oleh apa yang disebut Jean Marie-Abgrall sebagai Soul-Snatchers, para pencuri jiwa. Helen masih berjuang menyembuhkan luka-luka jiwanya; sebenarnya kerusakan dalam otaknya. Aku menganjurkan dia untuk berobat ke psikiater. Ia menolaknya.

    Lama aku kehilangan Helen. Secara kebetulan, aku menemuinya dalam satu acara. Aku menanyakan mengapa ia tidak lagi mengontak aku. Ia menarik aku ke tempat sepi. Dengan muka yang penuh ketakutan, ia berbisik: gurunya sudah tahu bahwa ia telah melaporkan keadaannya kepadaku. Ia mendapat ancaman. Ia diperingatkan agar memutuskan semua hubungan dengan masyarakat di luar komunitasnya.

    Bersamaan dengan hilangnya Helen, Juliet Howell, peneliti sufisme urban, muncul lagi di hadapanku. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ia mewawancaraiku perihal tasawuf di masyarakat kota. Waktu itu aku menyelenggarakan kelas-kelas tasawuf di daerah elite. Kali ini ia bertanya tentang pengalamanku membina tasawuf. Ia juga bertanya tentang yayasan kajian tasawuf yang aku kelola. Aku bilang aku sudah tidak lagi berurusan dengan tasawuf. Ia bertanya tentang muridku yang paling ”sufi”. Aku jawab, ”Ia sudah mencapai makrifat setelah belajar dikuburkan hidup-hidup.” Howell mendesak bagaimana caranya membedakan gerakan tasawuf yang benar dengan gerakan para perampok di jalan Tuhan. ”Gunakanlah ukuran UUD dan UUS,” jawabku, ”apabila Anda menemukan gerakan itu ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks, Anda sudah disimpangkan dari jalan Tuhan. Ada dua juga yang membedakan saints dengan madmen: bila setelah mendapat pengalaman rohaniah, Anda merasa diri Anda rendah dan bergairah untuk menyebarkan kasih ke seluruh alam, Anda adalah orang suci. Bila Anda merasakan diri Anda lebih saleh daripada semua orang dan Anda hanya bergairah untuk mengasihi guru Anda, Anda adalah orang gila. Anda sudah masuk perangkap Soul-Snatchers. Gitu aja, kok repot!”

  • No comments:

    Post a Comment