Sudah hampir mendekati seminggu penyakit lama kumat. Berawal dari nyeri di persendian telapak kaki lalu menjalar kemana-mana. Sirkulasi darah tidak lancar, suhu badan tidak teratur dan kaki sangat nyeri kalau melangkah bahkan tidak bisa melangkah. Akibatnya bisa ditebak, tidak ada yang bisa dilakukan selain bed rest dan menyesali diri tidak bisa menangani penyakit yang datang secara berkala.
Tidak ada diagnosa yang pasti penyakit apa yang saya derita. Ada yang bilang infeksi, flu tulang, rheumatik, bronchitis, asam urat dll. Sepuluh dokter didatangi, sepuluh opini berbeda keluar. Meskipun kedokteran dasarnya ilmu pasti, tetapi rupanya dokter-dokter kita suka ikut-ikutan gaya para pengamat politik yang senang meriuhkan publik dengan opini berbeda-beda. Yang pasti, bila sakit datang produktivitas kita sudah bukan berada pada titik nol, tapi pada titik minus. Tidak ada yang bisa kita lakukan bahkan orang lain diluar diri kita yang harus melakukan sesuatu buat kita.
Sore bakda maghrib seorang teman keturunan Tionghoa berkunjung ke rumah. Melihat saya berjaket tebal dan badan pucat spontan dia nanya, “Kenapa Pak, sakit apa?” Seperti biasa, jawaban standar pun keluar otomatis dari mulut saya karena sudah berapa kali saya ditanya orang tentang keadaan ini. “ Badan bapak perasaan tambah kurus dan pipi cekung. Perasaan dulu bapak gak seperti ini” ujar si teman Tionghoa saya ini
Ujung-ujungnya kita cerita tentang kesehatan dan bagaimana mensyukuri kesehatan sebagai anugerah Allah. Mungkin karena bertemu momentumnya, teman tadi langsung promote sebuah produk kesehatan yang dijual secara MLM. Katanya itu sebuah jus dari buah alami yang tumbuh khusus di sebuah teritori, import dari Amerika dan sudah banyak kesaksian orang yang merasakan khasiat dari jus tersebut.
Sebelum pulang, si bapak berjanji akan datang keesokan harinya untuk khusus membawa jus berkhasiat itu. Jus itu selain buat saya juga akan sangat berguna buat anak kami yang masih umur 2 tahunan. Terkhusus buat saya, dia akan mengusahakan sebuah obat yang akan membantu penyembuhan persendian di telapak kaki saya. Katanya dia sampai sekarang masih dikirim obat-obat multivitamin dari saudara-saudaranya yang masih ada di Amerika.
Singkat cerita besoknya teman saya tadi datang sambil membawa dua obat. Jus alami import Amerika untuk keluarga saya, dan sebuah multivitamin khusus buat saya. “Dicoba aja dulu pak, nanti kalau cocok bapak bisa beli langsung ke tempatnya. Lebih murah kalau bapak jadi member dulu. Di rumah saya nanti ada form nya” Ok lah. Dia mungkin berkepentingan supaya saya membeli produk MLM itu, tapi gak ada salahnya kan kalau saya coba. Lagian juga saya lihat dia orangnya tulus-tulus aja, tidak hanya sekali ini saja baik sama saya.
Tiga hari berikutnya dia sms istri saya nanya bagaimana keadaan saya dan progres dari obat yang dia berikan. Ketika istri saya memberi apresiasi atas obat itu, dia mengucap alhamdulillah dan memberikan apresiasi karena saya dan keluarga sudah berikhtiar untuk mendapatkan kesehatan. Membaca itu saya dan istri saya jadi tersenyum membaca tulisan alhamdulillah dan ikhtiar. Seloroh istri saya sambil tersenyum, Bapak “Ustadz” satu ini emang baik.
Yah, kami berseloroh mengatakan dia seorang ustadz. Karena kami tahu dia berbeda kepercayaan dengan kami. Diawal pertemuannya dengan saya dia cerita kalau ketika dia memutuskan kembali ke Indonesia setelah sekian lama kerja di Amerika, maka yang pertama dicarinya adalah gereja mana dia akan bergabung. Dia juga bercerita tentang pertemuannya dengan istrinya yang dia cintai dan sayangi juga berawal dari aktivitasnya di gereja.
Setelah itu kami juga sempat bertemu dengan adik teman kami itu. Sang adik cerita kalau aktivitas kebaktian kakaknya pada hari minggu bisa sampai sore, tidak seperti dia yang cukup sampai siang. Katanya kakak dia akan berputar-putar dahulu dengan teman-temannya berkunjung ke beberapa tempat untuk memberikan pelayanan (mungkin pengajian dalam versi Islam). Istri saya menganalogikan kalau aktivitas teman saya di Gereja nya itu seperti takmir masjid di Islam.
Yah begitulah keterusannya. Pergaulan kami berjalan baik. Masing-masing berusaha untuk menyenangkan walaupun ada perbedaan ras bahkan agama. Ketika di TV ada berita ribut-ribut karena perbedaan agama dan kepercayaan, kami selalu merasa aneh. Bukan hanya itu, ketika ada sebuah masjid yang akan mengundang penceramah yang sangat kami kenal sebagai sosok yang keras dan beringas terhadap non muslim, kami memutuskan untuk tidak datang. Karena aneh saja dan bosan ketika mengaji jadi ajak pengumbaran kebencian dan kemarahan penceramahnya.
Cerita keakraban kami dengan non muslim tidak hanya dengan si bapak saya tadi. Tetangga depan kami kebetulan juga seorang keturunan Tionghoa. Tidak terhitung kerjasama antara kami dengan mereka. Mulai dari pinjam meminjam peralatan, info pembantu rumah tangga, mengawasi polah pembantu rumah tangga ketika ditinggal rumah, mengajak anaknya maen ke rumah, curhat tentang jualan yang macet, membantu menutupkan pintu pagar sampai kongsi perdagangan. Semuanya berjalan lancar, damai tidak terhalang perbedaan keyakinan.
Pada malam tahun baru Imlek kemarin, malam ketika kami sedang tidur, kami terganggu oleh bunyi mercon. Pastinya sangat terganggu karena kita butuh istirahat setelah kerja seharian. Tetapi pada akhirnya kita memahami kebutuhan dia sebagai manusia yang punya tradisi, budaya dan identitas. Begitu juga sebaliknya. Beberapa kali saya dengar cetusan apresiasi mereka terhadap istri saya karena hanya melepas jilbabnya ketika di rumah saja. Katanya tidak seperti Ibu yang rumahnya di pojokan yang kadang jilbabnya dipakai kadang tidak.
Tetapi hari ini ada cerita lain. Hari ini saya mendapat ekspresi berbeda dari istri saya. Ceritanya istri yang belum bisa mengendarai motor, belajar motor sendiri. Ketika motor itu jatuh, tetangga yang berjarak beberapa rumah menawarkan bantuan. Istri saya menolak. Alasan nya sederhana, dia tidak merasakan ketulusan dari tawaran pertolongan itu. Dia itu missionaris, kata istri saya. Memang beberapa kali saya mendapat informasi tentang aktivitas tetangga satu ini. Istri saya malah bisa menunjukan kemana saja tetangga satu ini bergerak.
Yah, kata missionaris selalu menimbulkan ekspresi tertentu. Konon di sebuah buku disebutkan kalau Islam dan Kristen itu punya watak ekspansionis yang cukup kuat. Sehingga jangan salah, kalau di komunitas yang mayoritas muslim ada isyu kristenisasi, begitu juga sebaliknya, di tempat yang bermayoritas Kristen selalu ada isyu Islamisasi. Dan saya memahami ketika watak ekspansionis ini menyeruak keluar begitu kuat, inilah yang sering menjadi pangkal kericuhan.
Sifat terselubung dari watak ekspansionis adalah sikap mengunggulkan diri yang terlalu tinggi sehingga menganggap orang lain berada dibawahnya. Implikasi negatif ekstrimnya adalah ketika orang merasa absyah untuk bisa melakukan apa saja terhadap orang yang dianggap berada dibawahnya. Sehingga menjadi wajar kalau orang kemudian merasa tidak nyaman dan terancam. Kalau sudah sudah berkaitan dengan rasa aman dan rasa nyaman, jangankan perbedaan agama, satu agama atau satu saudara saja bisa jadi perselisihan.
Ketika watak ekspansionis keluar dari kelompok minoritas, biasanya selalu ada respon mengcounter sikap ini. Beberapa kelompok masyarakat menganggap respon ini sebagai bentuk keberagamaan yang dangkal dan tidak dewasa. Tetapi saya melihat ini sebagai bentuk ekspresi komitmen serta solidaritas sosial keagamaan seseorang,ketika dia tidak ingin temannya yang seiman keluar dari jalur keselamatan hidup dunia akherat.
Kalau begitu, lalu bagaimana kita mesti hidup dalam sebuah komunitas heteregon sambil menjawab tuntas tuntutan komitmen keagamaan dan solidaritas sosial keagamaan kita?
Ada yang bilang ini kisah zaman sahabat tetapi ada yang bilang juga ini analog sufi tentang bagaimana orang mestinya beragama dalam sebuah komunitas masyarakat yang heterogen.
Konon ada seorang muslim yang sangat ingin mengekspresikan keislamannya supaya orang yang belum Islam, bisa ber Islam seperti dirinya. Dia rajin membantu orang, berinteraksi, pergi ke masjid, mengaji dan mengumandangkan adzan. Diantara aktivitasnya yang menonjol adalah mengaji dan mengumandangkan adzan keras-keras. Saking bersemangat nya, dia kadang lupa waktu dan lupa diri. Meskipun suaranya tidak enak di dengar, dia tetap saja ngotot untuk terus mengumandangkan adzan. Dia berharap orang-orang di sekitar masjid yang belum berIslam akan berIslam karena adzan dan ngaji yang dia dengungkan.
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Suatu waktu seorang nashrani mengeluh kepada pengurus masjid dan bertanya tentng siapa yang terus menerus mengaji tanpa kenal waktu itu. Dia mengeluh karena terganggu tidak hanya karena mengajinya yang tidak mengenal waktu, tetapi juga karena suaranya yang tidak enak didengar. Dia menyatakan kalau sebelumnya dia berencana masuk Islam, tetapi karena suara mengaji orang ini, rencananya untuk masuk islam dibatalkan.
Yah, dia membatalkan rencananya untuk masuk Islam karena terganggu oleh orang Islam yang terus menerus mengaji tanpa mengenal waktu, suara tidak merdu dan niat tidak tulus.
Darisini lah saya memahami keberagamaan yang ditunjukan Rasulullah. Konon ada seorang Yahudi buta yang tidak bisa bekerja sehingga layak disantuni. Mengetahui keadaan si Yahudi tersebut, Nabi secara rutin mendatanginya dan menyuapinya. Ketika Nabi menyuapinya, orang Yahudi tadi tidak henti-hentinya mengutuk dan menjelekan Muhammad sebagai pendusta besar dan musuh semua orang. Dia tidak tahu bahwa orang dikutuk dan dihinanya itu sedang menyuapinya. Sampai Nabi wafat, Yahudi tersebut tidak tahu bahwa Muhammad lah yang menyuapinya setiap hari. Begitu juga Nabi, beliau tetap menyuapi Yahudi tersebut walau terus menerus dihina dan dicaci maki.
Sampai suatu ketika Abu Bakar yang atas inisiatifnya sendiri menggantikan peran Nabi menyuapi Yahudi buta tersebut. Namun karena insting dan kebiasaan yang berbeda, Yahudi tersebut menyadari kalau yang menyuapinya sekarang bukanlah yang biasa menyuapinya dulu. Yahudi itu mendesak Abu Bakar untuk menyebutkan identitas orang yang biasa menyuapinya. Ketika Abu Bakar membuka identitas sebenarnya orang yang biasa menyuapi Yahudi tersebut, terkejut lah Yahudi tersebut. Dia merasa bodoh dan malu atas sikapnya. Tidak lama kemudian Yahudi tersebut mendeklarasikan diri sebagai muslim. Yahudi tersebut mengkonversi kepercayaannya setelah Nabi meninggal.
Ternyata beragama itu memang masalah keramahan dan ketulusan. Kalau Nabi mengatakan akhlak sebagai inti beragama, mungkin bila diterjemahkan lebih detail lagi salah satunya adalah keramahan dan ketulusan ini. Sikap yang menjadi bagian integral dari human relation kita sehari-hari. Ramah dan tulus yang menyebabkan orang merasa tidak terusik dan terancam dengan keberadaan diri kita. Fundamen dasar kita beragama adalah dengan ketulusan, masalah orang akan mengikuti apa yang kita percayai atau tidak itu bukanlah urusan kita.
Seperti teguran Allah swt kepada Nabi yang sedih tidak bisa mengajak pamannya Abu Thalib untuk masuk Islam pada akhir hayatnya. Teguran Allah : “Innaka laa tahdii man ahbab ta wa lakinnallah yahdii man yasaa” Sesungguhnya kamu tidak akan pernah bisa menunjuk setiap orang yang kamu sukai, tetapi adalah Allah yang bisa menunjuki siapa yang dia kehendaki. Yah, urusan hidayah itu adalah urusan Allah. Tugas kita beragama itu hanya dengan ramah dan tulus saja supaya apa yang kita lakukan bisa diterima oleh yang dilangit dan di bumi.
Iseng-iseng saya review kembali buku yang sedang dipinjam istri saya dari perpustakaan sekolahnya. Judulnya “The Starbucks Experience. 5 Prinsip untuk Mengubah Hal Biasa menjadi Luar Biasa”. Hasil riset Joseph Michelli tentang Starbuck Coffe, sebuah perusahaan kedai kopi yang nilai sahamnya meningkat sampai 5000 kali lipat dengan 11.000 kedai di 37 negara dan rata-rata lebih dari 35 juta konsumen yang berkunjung setiap minggunya. Katanya diantara prinsip dasar yang dipakai petinggi Starbuck sehingga perusahaan ini bisa berkembang seperti ini sederhana saja; Ramah, Tulus, Perhatian
Kalau ramah, tulus diaplikasikan dalam dunia bisnis yang terkandung banyak interest saja bisa berakibat sedemikian besar, bagaimana kalau diaplikasikan dalam dunia sosial?Yang kadar interestnya lebih rendah, bahkan mungkin nol, dibanding dunia bisnis
Sukabumi, 12-12-2010