Friday, 26 November 2010

Thanks to My Son. Mengutuhkan Cerita si Malin Kundang



Jarum di speedometer menunjuk angka 50. Jalan lenggang, masih ada kesempatan mengangkat jarum speedometer diatas angka 70. tetapi hasrat itu tertahan. Bukan hanya karena sedang santai, tapi ada ingatan terhadap satu hal ; anak dan istri menunggu saya di rumah dalam keadaan selamat.

Yah, beberapa kali saya selalu membayangkan bagaimana kalau saya sakit atau mendapat musibah di perjalanan. Sakit atau musibah di perjalanan bukan hanya membuat produktivitas ada pada titik nol, tapi juga minus. Terbayang bagaimana istri saya mesti pontang-panting mengurus pekerjaannya, suaminya dan anak kami. Intinya satu; akan ada kekacauan baik secara inmaterial maupun material di keluarga kecil kami.

Masih dalam ingatan ketika masa kuliah. Setiap ada kesempatan mengendarai motor selalu diiringi hasrat menarik gas nya dalam-dalam. Hasilnya, yang terus terekam dalam kepala saya, adalah tiga kejadian. Kejadian pertama adalah jatuhnya kunci motor dari tempatnya. Ini disebabkan perpaduan antara kecepatan tinggi dengan kondisi motor yang layak masuk meuseum.

Kejadian kedua adalah kecelakaan di persimpanan jalan. Posisi motor adalah di shaf pertama sebuah antrian lampu merah perempatan. Di belakang ada teman yang bertugas memegang beberapa puluh bungkus nasi yang akan diantar di sebuah kegiatan mahasiswa. Begitu lampu hijau menyala, tanpa koordinasi langsung tancap gas. Hasilnya teman jatuh dari jok belakang motor plus dengan bungkusan nasi. Cerita lanjutannya bisa ditebak; kekacauan yang mendatangkan tawa.

Kejadian ketiga yang lebih mengerikan ketika picuan adrenalin tidak tertahankan, gas ditarik dalam-dalam meski didepan ada tikungan dan setelah tikungan ada perlintasan kereta api. Sedikit improvisasi dan spekulasi tabrakan dengan kereta api dan pejalan kaki bisa dihindari.



Waktu muda rasanya tidak afdhal kalau dalam sebuah perjalanan tidak menggunakan angkutan umum super cepat. Bila mobil berjalan pelan, maka turun berganti mobil atau meledek sopir adalah sebuah pilihan. Yang ada dalam pikiran adalah perjalanan yang menyenangkan, bukan perjalanan yang menyelematkan. Begitu juga masa kerja. Waktu kerja hanya bisa dinterupsi waktu shalat. Makan dan kualitas makanan urusan sekian. Kalau sudah begini, tidak tahu berapa kali jatuh sakit gara-gara kecapaian.

Tapi itu dulu. Sekarang ingatan terhadap anak istri selalu menginterupsi kita setiap saat. Pertanyaan dan raut kekhawaitran istri, riangnya anak seolah mengingatkan kita akan dua hal; kesehatan dan keselamatan. Kerja mesti dinterupsi dengan makan yang sehat dan teratur, perjalanan mesti memperhatikan aspek keamanan.

Akhirnya terbangun juga kebiasaan baru. Ajakan makan siang langsung direspon cepat tanpa menungu ajakan kedua. Selanjutnya bila dalam perjalanan, maka aspek keselamatan dan keamanan selalu jadi bahan pertanyaan selain aspek kenyamanan. Maka tidak terasa ketika kita duduk di bangku pesawat, kereta, bisa ataupun motor, tanpa sadar mulut kita bergumam mengucapkan doa perjalanan bismillahi majriha wa mursaha, inna rabbi laghfururrahim.


Kalau mau diingat lebih dalam, entah berapa kali anak istri mengkoreksi cara hidup saya. Bukan hanya mengingatkan saya tentang pentingnya keselamatan atau kesehatan, tetapi lebih dari itu, mengkoreksi cara kita berprilaku, tentang cinta kasih yang mesti menjadi landasan hidup dan cara kita memandang hidup.

Setidaknya hal ini saya ingat pada suatu senin pagi di statsiun kereta Bogor. Sambil menunggu keberangkatan Kereta cepat menuju Jakarta, saya sarapan pagi di sebuah restoran waralaba internasional. Selesai minum teh dan croissant, waktu keberangkatan masih panjang, maka pilihannya membaca. Dari sekian tumpukan majalah, pilihan jatuh pada majalah-majalah populer tentang pendidikan anak.

Melalui artikel-artikel populer majalah itulah saya tersentak. Tips menghadapi anak yang diberikan serta interpretasinya terhadap perilaku anak membuat saya tersudut dan malu sendiri. Selain karena faktual, pandangan dasar tulisan itu juga sudah saya fahami dan sepakati sebelumnya. Permasalahan terbesar dari relasi anak dan orang tua menurut majalah itu ternyata satu hal; ketidakmampuan, ketidakmauan dan keshabaran orang tua menghadapi anaknya.

Dalam Kereta menuju Jakarta, saya kembali tertegun. Dari sekian majalah dan koran yang ditawarkan pedagang koran, selalu ada headline tentang kekejaman orang tua terhadap anaknya. Mulai dari tindakan kekerasan orang tua, Ibu yang meninggalkan anaknya di kostan berhari-hari, gambar pengemis yang menenteng bayi di perempatan sampai jabang bayi yang ditemukan di pinggiran sungai. Ada berita tentang kekerasan anak terhadap orang tua, tapi jumlah nya tidak berimbang dibanding sebaliknya.

Akhirnya saya tersenyum kecut dan malu. Entah sudah berapa lama saya menganggap bahwa saya dan istri ssebagai orang tua mempunyai jasa besar terhadap anak saya. Itu karena saya sebagai orang tua sudah memberikan segalanya terhadap anak. Segala usaha yang diperbuat semua didedikasikan untuk anak. Muaranya seolah hanya satu : ada give dari saya terhadap anak. Padahal yang terjadi adalah take and give.

Saya sering tidak sadar, dalam banyak kesempatan ternyata anak istri lah yang mengingatkan kita sehingga kita harus banyak merubah banyak hal dalam prilaku keseharian kita.

Saya teringat beberapa kejadian yang menimpa public figure maupun beberapa kenalan dekat. Seorang novelist terkenal, pernah menulis masa-masa sulit dalam keluarganya. Ekonomi keluarga dan relasi suami istri dalam keadaan kritis. Jalan gelap, tidak ada titik terang untuk menyelesaikan semua masalah. Muara penyelesaian seolah hanya satu; perpisahan. Tetapi ternyata semua kesulitan bisa dihadapi karena jasa anak mereka yang masih kecil.

Disebabkan demam tinggi yang tidak biasa, anak mesti dirawat di rumah sakit. Moment anak sakit itulah dia dan suaminya bahu membahu menjaga dan merawat anak. Yang ada di kepala mereka hanya satu; si buah hati mesti sembuh. Hampa dunia kalau si buah hati sampai harus pergi dari kehidupan mereka. Seketika segala bentuk perbedaan dan pertengkaran sirna. Digantikan rasa cinta dan kasih sayang.

Pada saat itulah, bila kita mau menyadari, kehadiran anak tidak hanya menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dalam sebuah keluarga, tetapi juga menumbuhkan keduanya yang sempat tenggelam. Dan ituah jasa terbesar seorang anak. Jasa yang tidak akan pernah bisa dibayar dengan apapun

Tidak jauh berbeda dengan apa yang menimpa teman saya lainnya. Seorang teman mempertahankan keutuhan keluarganya yang sedang goyang hanya karena satu ingatan; ada anak yang mesti dijaga. Dan sampai sekarang kemudian keluarga itu berjalan kembali utuh melupakan segala pertentangan dan percekcokan yang pernah terjadi.

Entah berapa kali senyuman dan tangisan anak mengingatkan saya terhadap hal-hal sepele dalam kehidupan yang mesti dihadapi. Sehingga tidak salah kalau ada yang mengatakan “You Are My Sonshine”. Ada pancaran yang diberikan anak kita terhadap kita seperti matahari memberikan cahanya terhadap kehidupan kita. Kalau kemudian yang terjadi seperti ini, maka kembali mesti kita akui kalau yang terjadi antara kita dan anak-nak kita adalah take and give bukan give dari yang merasa kuat terhadap yang lemah tidak berdaya.

Mengingat ini. saya jadi ingin mempertanyakan kelengkapan cerita Malin Kundang si anak durhaka. Saya jadi bertanya apakah benar cerita Malin Kundang adalah cerita anak durhaka terhadap orang tuanya. Ada banyak penggalan cerita yang selain tidak ditampilkan juga luput dari perhatian kita. Padahal itu telanjang didepan mata kata.

Anggap saja si Malin Kundang berlaku benar seperti itu terhadap ibunya, tetapi kenapa banyak orang yang tidak mempertanyakan sikap sang Ibu yang mengajak dan membiarkan Malin Kundang kecil untuk bekerja?Bukannya waktu anak kecil itu untuk belajar dan bermain, bukan bekerja.

Atau lebih jauh dari itu bukankah katanya orang tua itu tidak akan pernah menjadi harimau bagi anaknya. Kalau memang orang tua tidak akan menjadi harimau bagi anaknya, kenapa dia mesti melaknat dan mengutik. Mengusir anak adalah sebuah kemungkinan, tetapi mengutuk dan melaknat anak sendiri adalah sebuah pertanyaan besar.

Oleh karena itu menurut saya Malin kundang adalah cerita relasi antara anak dan orang tua bukan cerita anak terhadap orang tua

Cerita malin kundang tidak salah hanya perlu diperlengkap lebih utuh. Bukan apa-apa, biar orang tua muda seperti saya ketika tua nanti tidak menjadi sewenang-wenang terhadap anak karena menganggap telah memberikan segalanya terhadap anak. Padahal yang terjadi dahulu adalah, proses memberi dan menerima.

No comments:

Post a Comment