Friday, 26 November 2010

Thanks to My Son. Mengutuhkan Cerita si Malin Kundang



Jarum di speedometer menunjuk angka 50. Jalan lenggang, masih ada kesempatan mengangkat jarum speedometer diatas angka 70. tetapi hasrat itu tertahan. Bukan hanya karena sedang santai, tapi ada ingatan terhadap satu hal ; anak dan istri menunggu saya di rumah dalam keadaan selamat.

Yah, beberapa kali saya selalu membayangkan bagaimana kalau saya sakit atau mendapat musibah di perjalanan. Sakit atau musibah di perjalanan bukan hanya membuat produktivitas ada pada titik nol, tapi juga minus. Terbayang bagaimana istri saya mesti pontang-panting mengurus pekerjaannya, suaminya dan anak kami. Intinya satu; akan ada kekacauan baik secara inmaterial maupun material di keluarga kecil kami.

Masih dalam ingatan ketika masa kuliah. Setiap ada kesempatan mengendarai motor selalu diiringi hasrat menarik gas nya dalam-dalam. Hasilnya, yang terus terekam dalam kepala saya, adalah tiga kejadian. Kejadian pertama adalah jatuhnya kunci motor dari tempatnya. Ini disebabkan perpaduan antara kecepatan tinggi dengan kondisi motor yang layak masuk meuseum.

Kejadian kedua adalah kecelakaan di persimpanan jalan. Posisi motor adalah di shaf pertama sebuah antrian lampu merah perempatan. Di belakang ada teman yang bertugas memegang beberapa puluh bungkus nasi yang akan diantar di sebuah kegiatan mahasiswa. Begitu lampu hijau menyala, tanpa koordinasi langsung tancap gas. Hasilnya teman jatuh dari jok belakang motor plus dengan bungkusan nasi. Cerita lanjutannya bisa ditebak; kekacauan yang mendatangkan tawa.

Kejadian ketiga yang lebih mengerikan ketika picuan adrenalin tidak tertahankan, gas ditarik dalam-dalam meski didepan ada tikungan dan setelah tikungan ada perlintasan kereta api. Sedikit improvisasi dan spekulasi tabrakan dengan kereta api dan pejalan kaki bisa dihindari.



Waktu muda rasanya tidak afdhal kalau dalam sebuah perjalanan tidak menggunakan angkutan umum super cepat. Bila mobil berjalan pelan, maka turun berganti mobil atau meledek sopir adalah sebuah pilihan. Yang ada dalam pikiran adalah perjalanan yang menyenangkan, bukan perjalanan yang menyelematkan. Begitu juga masa kerja. Waktu kerja hanya bisa dinterupsi waktu shalat. Makan dan kualitas makanan urusan sekian. Kalau sudah begini, tidak tahu berapa kali jatuh sakit gara-gara kecapaian.

Tapi itu dulu. Sekarang ingatan terhadap anak istri selalu menginterupsi kita setiap saat. Pertanyaan dan raut kekhawaitran istri, riangnya anak seolah mengingatkan kita akan dua hal; kesehatan dan keselamatan. Kerja mesti dinterupsi dengan makan yang sehat dan teratur, perjalanan mesti memperhatikan aspek keamanan.

Akhirnya terbangun juga kebiasaan baru. Ajakan makan siang langsung direspon cepat tanpa menungu ajakan kedua. Selanjutnya bila dalam perjalanan, maka aspek keselamatan dan keamanan selalu jadi bahan pertanyaan selain aspek kenyamanan. Maka tidak terasa ketika kita duduk di bangku pesawat, kereta, bisa ataupun motor, tanpa sadar mulut kita bergumam mengucapkan doa perjalanan bismillahi majriha wa mursaha, inna rabbi laghfururrahim.


Kalau mau diingat lebih dalam, entah berapa kali anak istri mengkoreksi cara hidup saya. Bukan hanya mengingatkan saya tentang pentingnya keselamatan atau kesehatan, tetapi lebih dari itu, mengkoreksi cara kita berprilaku, tentang cinta kasih yang mesti menjadi landasan hidup dan cara kita memandang hidup.

Setidaknya hal ini saya ingat pada suatu senin pagi di statsiun kereta Bogor. Sambil menunggu keberangkatan Kereta cepat menuju Jakarta, saya sarapan pagi di sebuah restoran waralaba internasional. Selesai minum teh dan croissant, waktu keberangkatan masih panjang, maka pilihannya membaca. Dari sekian tumpukan majalah, pilihan jatuh pada majalah-majalah populer tentang pendidikan anak.

Melalui artikel-artikel populer majalah itulah saya tersentak. Tips menghadapi anak yang diberikan serta interpretasinya terhadap perilaku anak membuat saya tersudut dan malu sendiri. Selain karena faktual, pandangan dasar tulisan itu juga sudah saya fahami dan sepakati sebelumnya. Permasalahan terbesar dari relasi anak dan orang tua menurut majalah itu ternyata satu hal; ketidakmampuan, ketidakmauan dan keshabaran orang tua menghadapi anaknya.

Dalam Kereta menuju Jakarta, saya kembali tertegun. Dari sekian majalah dan koran yang ditawarkan pedagang koran, selalu ada headline tentang kekejaman orang tua terhadap anaknya. Mulai dari tindakan kekerasan orang tua, Ibu yang meninggalkan anaknya di kostan berhari-hari, gambar pengemis yang menenteng bayi di perempatan sampai jabang bayi yang ditemukan di pinggiran sungai. Ada berita tentang kekerasan anak terhadap orang tua, tapi jumlah nya tidak berimbang dibanding sebaliknya.

Akhirnya saya tersenyum kecut dan malu. Entah sudah berapa lama saya menganggap bahwa saya dan istri ssebagai orang tua mempunyai jasa besar terhadap anak saya. Itu karena saya sebagai orang tua sudah memberikan segalanya terhadap anak. Segala usaha yang diperbuat semua didedikasikan untuk anak. Muaranya seolah hanya satu : ada give dari saya terhadap anak. Padahal yang terjadi adalah take and give.

Saya sering tidak sadar, dalam banyak kesempatan ternyata anak istri lah yang mengingatkan kita sehingga kita harus banyak merubah banyak hal dalam prilaku keseharian kita.

Saya teringat beberapa kejadian yang menimpa public figure maupun beberapa kenalan dekat. Seorang novelist terkenal, pernah menulis masa-masa sulit dalam keluarganya. Ekonomi keluarga dan relasi suami istri dalam keadaan kritis. Jalan gelap, tidak ada titik terang untuk menyelesaikan semua masalah. Muara penyelesaian seolah hanya satu; perpisahan. Tetapi ternyata semua kesulitan bisa dihadapi karena jasa anak mereka yang masih kecil.

Disebabkan demam tinggi yang tidak biasa, anak mesti dirawat di rumah sakit. Moment anak sakit itulah dia dan suaminya bahu membahu menjaga dan merawat anak. Yang ada di kepala mereka hanya satu; si buah hati mesti sembuh. Hampa dunia kalau si buah hati sampai harus pergi dari kehidupan mereka. Seketika segala bentuk perbedaan dan pertengkaran sirna. Digantikan rasa cinta dan kasih sayang.

Pada saat itulah, bila kita mau menyadari, kehadiran anak tidak hanya menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dalam sebuah keluarga, tetapi juga menumbuhkan keduanya yang sempat tenggelam. Dan ituah jasa terbesar seorang anak. Jasa yang tidak akan pernah bisa dibayar dengan apapun

Tidak jauh berbeda dengan apa yang menimpa teman saya lainnya. Seorang teman mempertahankan keutuhan keluarganya yang sedang goyang hanya karena satu ingatan; ada anak yang mesti dijaga. Dan sampai sekarang kemudian keluarga itu berjalan kembali utuh melupakan segala pertentangan dan percekcokan yang pernah terjadi.

Entah berapa kali senyuman dan tangisan anak mengingatkan saya terhadap hal-hal sepele dalam kehidupan yang mesti dihadapi. Sehingga tidak salah kalau ada yang mengatakan “You Are My Sonshine”. Ada pancaran yang diberikan anak kita terhadap kita seperti matahari memberikan cahanya terhadap kehidupan kita. Kalau kemudian yang terjadi seperti ini, maka kembali mesti kita akui kalau yang terjadi antara kita dan anak-nak kita adalah take and give bukan give dari yang merasa kuat terhadap yang lemah tidak berdaya.

Mengingat ini. saya jadi ingin mempertanyakan kelengkapan cerita Malin Kundang si anak durhaka. Saya jadi bertanya apakah benar cerita Malin Kundang adalah cerita anak durhaka terhadap orang tuanya. Ada banyak penggalan cerita yang selain tidak ditampilkan juga luput dari perhatian kita. Padahal itu telanjang didepan mata kata.

Anggap saja si Malin Kundang berlaku benar seperti itu terhadap ibunya, tetapi kenapa banyak orang yang tidak mempertanyakan sikap sang Ibu yang mengajak dan membiarkan Malin Kundang kecil untuk bekerja?Bukannya waktu anak kecil itu untuk belajar dan bermain, bukan bekerja.

Atau lebih jauh dari itu bukankah katanya orang tua itu tidak akan pernah menjadi harimau bagi anaknya. Kalau memang orang tua tidak akan menjadi harimau bagi anaknya, kenapa dia mesti melaknat dan mengutik. Mengusir anak adalah sebuah kemungkinan, tetapi mengutuk dan melaknat anak sendiri adalah sebuah pertanyaan besar.

Oleh karena itu menurut saya Malin kundang adalah cerita relasi antara anak dan orang tua bukan cerita anak terhadap orang tua

Cerita malin kundang tidak salah hanya perlu diperlengkap lebih utuh. Bukan apa-apa, biar orang tua muda seperti saya ketika tua nanti tidak menjadi sewenang-wenang terhadap anak karena menganggap telah memberikan segalanya terhadap anak. Padahal yang terjadi dahulu adalah, proses memberi dan menerima.
READ MORE - Thanks to My Son. Mengutuhkan Cerita si Malin Kundang

Saturday, 20 November 2010

Iedul Qurban 1431 H Personal dan Sosial

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar

Laa Ilaaha Illa Allahu Huwa Allahu Akbar

Allahu Akbar Walillahilham

Diantara kemewahan Idul Adha kali ini adalah: bisa datang lebih awal sehingga bisa mengikuti takbir dari awal dan duduk di shaf depan. Jarang-jarang saya dapat kemewahan seperti ini. Biasanya niat datang lebih awal sering dihalangi oleh banyak hal, mulai dari yang bersifat tekhnis sampai mental karena enggan datang lebih awal.

Mengikuti dan mengumandangkan takbir bagi saya merupakan pengalaman personal keagamaan tersendiri. Secara kuantitatif, takbiran pada hari Id itu hanya terjadi dua kali dalam setahun dan itupun hanya dalam hitungan kurang dari 1 jam. Kesempatan yang sangat jarang.

Secara kualitatif, setidaknya ada dua pengalaman personal keagamaan. Pertama, sebagai makluk historis dan sosial, takbir mengingatkan masa kecil ketika selesai menyelesaikan ibadah puasa. Bila pada hari-hari biasa, selepas shalat Isya kita harus ada di rumah untuk belajar, tidur atau nonton TV, maka malam takbiran adalah malam kebebasan. Tidak ada larangan untuk keluar rumah, bahkan yang ada adalah anjuran. Tidak ada batasan jam dan tempat untuk kita kunjungi. Pintu rumah tidak dikunci 24 jam. Semua sudut kampung halaman bisa kita jelajahi bersama-sama teman lain sambil mengumandangkan takbir.

Malam takbiran adalah malam penuh keceriaan. Bersama teman-teman pegang microphone masjid sambil bareng-bareng mengumandangkan takbir tanpa peduli kualitas suara kita seperti apa. Bila malam sudah larut, kita berkreasi membuat bedug-bedug kecil atau apapun yang bisa kita bunyikan lalu berkeliling kampung bawa obor mengumandangkan takbir.

Kedua, tentunya takbiran adalah kesempatan menyebut Asma Allah sebanyak-banyak nya dalam sebuah moment keagamaan yang memiliki nuansa berbeda dibanding hari lainnya. Dzikrullah dengan khusyuk adalah satu pengalaman beragama istimewa. Mengumandangkan Tahmid dan Takbir (salah satu bentuk Dzikrullah) pada pagi Idul Fithri dan Idul Adha adalah pengalaman keberagamaan menarik lainnya. Bila tidak percaya, coba saja takbiran di pagi hari pada hari selain Idul Fithri atau Idul Adha.

Mungkin karena mengingat ketiga hal ini kita tidak lagi peduli terhadap suara sumbang pemimpin takbir ataupun jumlah takbir yang kita rasa kurang dan pendek. Tanpa sadar air jatuh dari kelopak mata tanpa kita tahu apa penyebabnya. Menangis dengan spontan tanpa rekayasa dalam sebuah ritua keagamaan, selalu menjadi pengalaman keagamaan tersendiri yang konon sering dicari banyak orang.

Selanjutnya, masa melaksankan shalat Ied sudah tiba. Petugas Idul Adha berdiri dan memberikan beberapa pengumuman, diantaranya informasi rencana Qurban jamaah masjid. Ada perasaan haru, bangga dan malu ketika petugas menginformasikan rencana Qurban Jamaah masjid.

Haru dan bangga karena dari sebuah jemaah masjid yang tidak terlalu besar, ditengah deraan ekonomi yang tidak pernah henti, terkumpul 10 ekor sapi dan 1 ekor kambing sebagai hewan qurban murni partisipasi jamaah masjid. Malu terhadap diri sendiri, karena ternyata tidak ada nama saya, nama istri juga anak saya yang menjadi partisipan. Yah, berbeda dengan Idul Adha sebelumnya, Idul Adha kali ini tidak ada Qurban yang kita berikan. Padahal kalau saya mau sedikit shabar, rasional dan kalkulatif, mestinya hal itu pastinya tidak perlu terjadi.

Tapi waktu terus berjalan. Tidak ada gunanya terus menyesali kesalahan yang telah dilakukan. Konon katanya orang yang terus melihat masa lalu, akan kehilangan seluruh masa hidupnya dan hari depan tergantung dari yang kita lakukan sekarang. Ada banyak yang bisa dikerjakan, mulai dari hal yang sangat kecil pada saat sekarang ini, sampai langkah antisipasi masa berikutnya sehingga Idul Adha tahun depan kita bisa ikut berqurban.

Idul Qurban Dan Sosial

Selesai shalat Id dan bersalaman dengan para tetua, ada peluang sederhana yang bisa saya lakukan; bersama petugas shalat Id membereskan lapangan shalat Id. Hal sederhana yang dalam dari beberapa kali Id sering saya lewatkan dan remehkan. Entah karena gengsi, tidak sempat, tidak sadar, tidak biasa ataupun takut baju lebarannya kotor, membereskan lapangan adalah kegiatan yang tidak ada dikepala. Padahal saya shalat Id di lapangan yang tidak terlalu besar dan dengan petugas yang juga tidak sedikit.

Selesai berpartisipasi membereskan lapangan acara selanjutnya adalah; partisipasi menyembelih hewan qurban. Selain karena saya yakin tidak masuk dalam jajaran panitia, tidak ada kemampuan saya untuk bisa memotong sapi ataupun kambing. Dua tahun lalu ketika aqiqah anak pertama, saya baru tahu kalau memotong, menguliti, membersihkan sampai mendistribusikan daging kambing itu bukan sesuatu yang sederhana. Butuh keahlian dan jam terbang untuk melakukan semuanya. Tetapi saya yakin, selalu ada yang bisa dikerjakan bersama-sama.

Awalnya saya hanya ikut “mengeroyok” menundukan sapi supaya bisa dalam posisi tertidur dan dipotong si bapak tukang jagal. Sekali-kali kena sabetan ekor sapi yang sedang “saqaratul maut” karena teman lupa menginjaknya. Selanjutnya saya pikir pemotongan hewan qurban menjadi sangat menarik. Qurban ternyata tidak hanya sekedar masalah solidaritas sosial dari para pemberi hewan Qurban, tetapi lebih dari itu. Ada kerjasama sosial secara horizontal maupun vertikal dari setiap kelompok masyarakat yang berbeda secara ekonomi maupun status sosial.

Pada akhirnya saya memahami kenapa daging hewan qurban itu mesti dibagikan bukan dijual. Sejurus dengan itu, saya ikut mempertanyakan orang yang berkoar-koar memakai hitungan kalkulatif tentang qurban sebagai kegiatan ekonomi pengentasan kemiskinan. Saya curiga, jangan-jangan orang yang mengaku pakar itu, mereka hanya berkutat di angka tapi jarang berinteraksi dengan masyarakat miskin atau terlibat langsung qurban. Sederhananya saya melihat pada tiga kejadian dalam pelaksanaan qurban.

Pertama adalah kejadian ketika orang dengan sukarela memberikan qurbannya. Kedua adalah ketika penyembelihan hewan qurban itu dilakuka dan ketiga adalah ketika daging qurban itu dibagikan dan dinikmati oleh orang yang berhak menerima dan menikmatnya.

Kejadian pertama pemberian hewan qurban. Syarat berqurban secara ekonomis hanya disebutkan dengan satu kata; mampu. Bila kata mampu dalam berzakat diurai lebih definitif dengan adanya itungan nisab (batas minimal harta) dan haul (umur harta), tidak ada uraian lebih dalam dari kata mampu dalam syarat berqurban. Kemampuan menjadi sesuatu yang subjektif. Orang yang dianggap mampu bagi sebagian orang lain, bisa jadi dianggap tidak mampu oleh sebagian orang lainnya. Maka yang menjadi penentu akhir kesadaran berqurban adalah diri sendiri. Bersedia tidak kah dia menyatakan dirinya mampu untuk berqurban

Kemampuan orang untuk menyatakan diri bahwa dia mampu untuk berqurban bukanlah hal biasa. Ada proses yang panjang. Berqurban adalah sebuah sikap yang berawal dari pandangannya yang matang terhadap dunia materi dan dunia ghaib. Kurban tidak akan pernah muncul dari orang yang masih mendewakan materi atau dari orang yang tidak pernah mempercayai bahwasannya yang maha ghaib, Allah SWT, selalu mengiringi hidupnya. Secara managerial, Qurban tidak akan pernah timbul dari orang yang tidak bisa menata financialnya secara tepat.

Kalau kondisi ini kita teruskan kajiannya secara psikologi, maka diujungnya kita akan menemukan bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang bisa melepaskan diri dari tuntutan material. Secara sederhana bisa kita lihat pada tingkatan manusia yang dilansir Maslow. Menurut Maslow golongan masyarakat paling bawah adalah mereka yang masih berkutat dengan hal-hal yang material seperti haus dan lapar. Naik keatas adalah masyarakat yang lepas tuntutan material dan bergerak ke tuntutan yang abstrak, yaitu rasa aman (safety needs) rasa kasih sayang (love needs) kebutuhan harga diri (esteem needs) dan aktualisasi diri (self actualization)

Kejadian kedua; proses penyembelihan hewan qurban. Qurban selalu menjadi kegiatan massal baik dari jumlah qurban maupun para pemotongnya. Di beberap tempat, pemotongan hewan qurban bisa melibatkan profesional pemotong hewan, tetapi dibeberapa tempat bisa jadi dilaksanakan oleh para amatiran. Tetapi hal yang tidak pernah dilewatkan dalam setiap pelaksanaan qurban adalah; yang menyembelih mestilah tahu syarat-syarat secara syar’i bagaimana seharusnya memotong. Karena halal dan thoyibnya seonggok daging qurban juga tergantung bagaimana cara memotongnya, apakah sudah sesuai sunnah atau belum.

Selanjutnya saya mungkin amatiran. Menguliti hewan bisa jadi tidak sempurna, tapi semua yakin kalau tidak akan menyayat dagingnya terlalu dalam. Menimbang daging boleh jadi bisa berlebih atau kurang, tetapi semua yakin kalau kelebihan dan kekurang ketika menimbang daging tidak disengaja dan tidak berpengaruh signifikan terhadap timbangan daging secara keseluruhan. Ada kesalahan dalam kerja saya, tapi itu sah-sah saja karena tugas utama kita adalah berusaha untuk sempurna tidak lebih.

Tetapi lihatlah apa yang terjadi ketika proses pemotongan itu terjadi. Saudara bisa jadi tidak tahu bagaimana caranya memotong sapi, tapi saudara bisa ikut membantu pemotongan dengan cara menundukan sapi dan menahan badan sapi ketika sapi dipotong. Saudara mungkin tidak bisa menguliti sapi, tapi pengulit sapi yang profesional sekalipun pasti membutuhkan orang yang bisa memegang erat kulit sapi dan merenggangkannya sehingga bisa sempurna dikuliti. Tidak ada partisipasi yang percuma dalam sebuah prosesi pemotongan hewan qurban. Semuanya bila mau berpartisipasi, pasti memberikan konstribusi. Kalau tidak percaya, silahkan siapapun yang merasa paling bisa memotong dan menguliti hewan, untuk melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Dalam prosesi penyembelihan hewan qurban bila semua nya berpartisipasi berlandas keagamaan, maka akan ditemukan sebuah kerjasama masyarakat yang melintasi batas ekonomi dan strata sosial. Saya tidak tahu status bapak yang ikut bareng dengan saya mengangkat dan menimbah daging qurban. Hanya dari pandangan sekilas saya sudah sering melihatnya di simpang pangkalan ojeg dekat jalan menuju rumah. Begitu juga yang lainnya, ada yang sering saya lihat di sawah ataupun sedang mengemudikan delman. Orang-orang yang selama ini sering tersekat waktu, status dan hal lainnya terhalang untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan saya.

Sebuah kebahagiaan sendiri ketika bisa bersama dengan mereka mengangkat daging, menimbangnya dan memasukannya ke kantong plastik untuk kemudian diangkat lagi di tempatkan di suatu tempat. Ada kerjasama sosial yang secara tidak sengaja terbangun dalam proses ini. Dan kejadian ini lebih mahal dan lebih berharga kalau mau dikonversikan secara mathematis kepada jumlah qurban itu sendiri

Dalam sebuah kerjasama sosial ini, yang terjadi tidak hanya pembongkaran kebekuan interaksi antar komponen masyarakat yang selama ini terbelenggu karena urusan waktu dan status, tetapi juga ada dimensi penghargaan sebagai kebutuhan manusia dalam status sosial apapun dia berada. Persis seperti perintah shalat berjamaah yang dititahkan Allah Swt kepada kita.

Kejadian ketiga, pembagian hewan qurban. Daging merupakan pangan penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Pada daging terdapat asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Protein daging lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Selain sumber mineral dan vitamin yang sangat baik, daging mengandung energi sebesar 250 kkal/100 g. Secara umum, daging merupakan sumber mineral kalsium, fosfor, dan zat besi, serta vitamin B kompleks (niasin, riboflavin dan tiamin), tetapi rendah kadar vitamin C. Hati yang lebih dikenal sebagai jeroan, mengandung kadar vitamin A dan zat besi yang sangat tinggi

Wa bil khusus untuk masyarakat Indonesia, konsumsi daging tidak hanya sekedar kebutuhan pemenuhan gizi, tetapi juga masalah kemewahan karena daging baru mampu dikonsumsi sebagian kalangan masyarakat. Dibanding masyarakat Asia Tenggara lainnya, maka Indonesia menduduki peringkat bawah dalam hal konsumsi daging. Disaat negara jiran malaysia sudah mengkonsumsi daging 30kg per kapita per tahun, masyarakat Indonesia baru mengkonsum daging 7 Kg per kapita per tahun dan ini pastinya angka yang sangat rendah

Sebagaimana zakat pada hari Idul Fithri, maka Qurban pada Idul Adha bagi saya adalah \untuk saling menggembirakan kaum miskin melalui makanan yang mewah, halal dan bergizi yang selama ini jarang mereka dapatkan.

Idul Adha tidak hanya sekedar saat membahagiakan kaum miskin dengan makanan bergizi tinggi seperti daging sapi, tetapi juga mengakui eksistensi sekelompok masyarakat yang selama ini tidak bisa menikmati kemewahan dan kelezatan sebuah makanan meskipun mereka sudah banting tulang untuk mendapatkannya. Biarlah mereka sekali ini merasakan nikmatnya makanan yang lahir dari sebuah kepedulian dan itikad untuk mendekatkan diri kepada Illahi rabbi.

Jujur saja, pada akhirnya saya mempertanyakan kembali teriakan orang-orang yang mengaitkan ibadah qurban dengan peningkatan ekonomi masyarakat. Dalam pandangan saya terlalu sederhana dan naif qurban dikaitkan dengan peningkatan ekonomi masyarakat. Ada hal lain yang selama ini hilang di kehidupan masyarakat kita yang tidak pernah bisa terbayar secara material; solidaritas sosial.

Bilapun ingin mengaitkan ibadah keagamaan dengan peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat, maka sebetulnya banyak instrumen atau momentum keagamaan lain yang bisa lebih diberdayakan dan di optimalkan. Justri pada titik inilah kita kemudian abai untuk melakukannya. Contoh sederhana adalah gagasan tentang zakat profesi yang lama tidak disentuh dan dikaji, ataupun yang sudah berjalan adalah dana abadi umat sebagai hasil iuran para calon jemaah haji, yang sampai sekarang tidak pernah jelas pengelolaannya seperti apa.

Memang sering terjadi problem dalam pendistribusian daging hewan qurban yang sering memakan korban nyawa masyarakat kecil. Tetapi sesungguhnya pangkal masalahnya adalah ada pada itikad dan cara pandang para Qurban yang secara tidak sadar karena merasa memberi lalu memposisikan diri diatas orang yang diberi. Padahal bila kita ingat apa yang diungkapkan oleh nabi kalau kita itu sering tunsharuuna wa turzaquuna bidhuafaikum kita sering dibantu dan dibuat kaya oleh orang tidak punya. Bila tidak percaya, coba saja cukup dalam waktu seminggu petugas sampah di kompleks rumah anda di stop bekerja.

Bila ingin terus mengaitkan qurban dengan sebuah usaha peningkatan ekonomi masyarakat maka bagi saya silahkan saja. Hanya saja tolong tidak menegasikan akan kebutuhan non material yang telah diberikan oleh momen qurban ini. Karena saya memandang ekonomi sebagai hal yang sangat penting, tetapi kehidupan tidak hanya berkutat masalah ekonomi. Bukti konkretnya cukup jelas; banyak orang yang tidak puas dengan kondisi ekonomi dan kemudian melakukan penyimpangan ekonomi

Bandung 10 Dzulhijah 1431 Hijriah

Wallahu’lam bi shawab

READ MORE - Iedul Qurban 1431 H Personal dan Sosial