Friday, 27 July 2007

Khatib Jum'at

Barusan saya Jumatan di kantor tetangga sebelah, Departemen Perhubungan. Cukup mengerikan mendengar uraian khatibnya. Bila khatib Jumat untuk kawasan merdeka barat aja, yang note benenya jamaahnya relatif well informe dan well educated seperti ini, bagaimana dengan khatib di kampung-kampung dan kawasan yang jauh dari akses informasi.

Mengutip hadits nabi, Sinfaani min ummati .... " bahwa dua kelompok masyarakat yang menurut nabi paling menentukan perjalanan sebuah bangsa adalah ulama dan umara. Konyolnya analog dan tafsir yang diberikan tidak karuan.

Menurut sang khatib mesti ada kerjasama antar keduanya sehingga bangsa ini menjadi maju. Contohnya seperti umara, dengan kekuasaan yang dimilikinya, membangun masjid nanti ulama yang akan mengajarkan tafsir didalamnya karena tidak mungkin ulama bisa mengajarkan tafsir.
It's ok menafsirkan umara sebagai penguasa, pejabat, mentri, presiden dll. Tetapi menafsirkan ulama sebagai guru ngaji atau orang yang tahu agama jadi sangat problematis. Jadi tidak ada keterkaitan sama sekali dengan ajaran perubahan sosial yang selama ini kita pelajari dari sosiologi. Kasihan juga kan kalo para intelektual, cendikiawan tidak dianggap sebagai ulama.

Pemahaman secara leterleks dari kata Ulama saja sudah menginspirasikan makna yang sangat luas. Apalagi mau ditelusuri lebih mendalam secara definitif atau konteks sosiologisnya. Saya gak tahu khatib mengerti bahasa arab atau tidak. Yang pasti peci yang dia pakai tidak menjadi jaminan dia paham bahasa arab hehehe...

Beberapa minggu sebelumnya, ketika saya Jumatan disana, khatib nya lebih ngawur lagi. Tanpa argumentasi dan data yang jelas, juga tidak jelas ujung pangkalnya, tiba-tiba saja membela pemprov DKI dalam masalah penanganan banjir dan memaklumi itu sebagai sebuah musibah tahunan sehingga kita mesti menerimanya. Jadi kasihan sama bapak saya yang selalu serius dan berkorban habis-habisan bila mau jadi khatib Jumat.

Saya ingat masa-masa kuliah di Fikom Unpad dulu. Pada hari Jum'at dan bila tiba saatnya shalat Jumat kita selalu mengusahakan bareng-bareng pergi ke masjid yang kira-kira enak. Pertanyaan saya ketika itu ke temen; mau shalat jumat atau mau tidur?kalo mau tidur shalat nya di masjid kampus aja. Teman-teman langsung saja ketawa.

Bukan apa-apa, pertanyaan saya itu memang bentuk kesinisan saya terhada masjid di kampus Unpad Jatinangor ketika itu. Waktu itu, saya yakin sekarang juga masih, thema khutbah Jumat tidak pernah beranjak dari masalah khilafah dan syariah Islam. Tidak ada sesuatu yang baru baik dari tekhnik penyajian maupun substansi khutbahnya. Yang lebih mengerikan ketika thema khutbah jumat tidak pernah mengajarkan semangat toleransi antar umat beragama.

Tidak tahu darimana dan bagaimana mesti memulainya, kondisi seperti ini mesti dirubah. Bila pembicaraan para khatib Jumat ngawur, seenaknya dan tidak jelas argumentasi serta datanya seperti apa, akan menjadi kontraproduktif. Bila audiences nya well informe dan well educated mungkin sang khatib yang hanya akan menjadi bahan tertawaan. Repotnya bila berhadapan dengan audiences yang lugu. Segala ucapannya menjadi rujukan sikap dan tingkah laku di masyarakat, karena bagaimanapun agama masih menjadi pegangan masyarakat kita.

Disinilah repotnya. Kerugian pertama agama kehilangan elan vitalnya sebagai penunjuk kehidupan individu dan kelompok. Kerugian kedua kehidupan masyarakat jadi rusak.

Semoga hanya kekhawatiran yang berlebihan dan kesalahan mengambil kesimpulan.

Jakarta, 27 Juli 2007
READ MORE - Khatib Jum'at

Tuesday, 24 July 2007

”Sekarang” Naik KRL Jakarta – Bogor Mesti Bayar

Buat para penggemar KRL Jakarta-Bogor, mulai sekarang harus mulai membiasakan membeli karcis resmi. Setidak-tidaknya ini berdasarkan pengalaman saya pagi tadi memakai KRL, setelah lama tidak menikmati KRL. Saya juga berharap apa yang terjadi berlangsung secara konsisten dan continue.

Kejadiaannya tadi pagi ketika saya mau berangkat ke kantor. Tiap Jumat dan Selasa pagi saya dapat tugas analisis isyu publik di Depkominfo. Pagi tadi posisinya agak sulit. Mesti datang sebelum jam 07.30 di kantor Depkominfo, Medan Merdeka Barat, sementara posisi masih di margonda Depok. Pilihan transportasi untuk sampai ke kantor lebih cepat tentunya KRL Bogor-Jakarta. Beroperasi lebih pagi, pukul 05.00, dan berjalan lebih cepat.

Sampai Statsiun Pondok Cina pukul 05.30. Setelah membeli tiket jurusan Jakarta Kota, saya lebih fokus memegang dan menghitung uang kembalian ketimbang menyimpan karcis KRL nya. Karena memang selama ini hal itu tidak pernah menjadi pihak perhatian PJKA. Bayar tidak bayar, semua orang bisa menaiki KRL.

Sebetulnya saya sempat melihat keanehan di statsiun pondok cina. Diluar kebiasaan, pada saat masuk ruang tunggu kereta arah Jakarta ada petugas KRL yang memeriksa karcis. Pemeriksaan biasanya hanya di statsiun besar-besar saja tidak di statsiun kecil seperti pondok cina. Tetapi waktu itu saya tidak terlalu peduli dengan aktivitas baru perugas PJKA di statsiun pondok cina tadi.

Sampai di statsiun Gondangdia entah kenapa saya teringat dengan karcis KRL yang sudah saya beli. Setelah di cek kesana kemari, sepertinya karcis yang saya beli jatuh di statsiun Pondok Cina. Instuisi saya melarang untuk keluar statsiun Gondangdia. Seketika saya langsung bergerak pindah jurusan, menunggu KRL ke Bogor. Rencananya kembali ke statsiun terdekat, yang tidak terlalu ketat penjagaannya, untuk keluar statsiun dan membeli tiket. Saya sempat mengintip, di pintu keluar memang banyak polisi khusus statsiun yang berjaga.

Sambil menunggu kedatangan kereta ke arah Bogor saya sempatkan ngobrol dengan dua seorang penumpang KRL yang mau ke arah Bogor. Sepertinya mereka baru kerja lembur dan akan pulang ke rumah. Informasinya cukup mengejutkan. Menurut mereka sudah sebulan ini pengawasan di seluruh statsiun KRL sepanjang Jakarta Bogor sangat ketat. Termasuk di statsiun-statsiun kecil seperti UI, Pondok Cina. Tempat-tempat mahasiswa naik KRL dengan gratis. Keluar dan masuk statsiun mesti menunjukan tiket. Kalau tidak ada, langsung denda 50.000 atau tidak bisa masuk statsiun

Menurut dua teman tadi, sekarang di seluruh statsiun KRL sepanjang Jakarta Kota - Bogor, besar maupun kecil, minimal ada polisi khusus menjaga pintu masuk. Statsiun Citayam, yang dulu terkenal bebas keluar masuk statsiun tanpa membeli karcis, banyak polisi menjaga semua jalan masuk ke statsiun. Bahkan di statsiun manggarai polisi khusus KRL berjaga-jaga di bantaran kali untuk memergoki penumpang yang mencoba meloloskan diri kearah kali karena tidak mempunyai karcis.

Seorang penumpang KRL yang baru saja lembur bekerja di Atrium Senen menceritakan kalau dia sekarang pasti membeli tiket. Dulu dia jarang sekali beli karcis. Kalau ada pemeriksaan di gerbong dia cukup memberikan seribu perak untuk route seharga dua rebu perak atau mungkin tidak membayar sama sekali. Bahkan sekarang di gerbong sudah jarang yang melakukan pemeriksaan, karena petugas sudah tahu bahwa hampir semua penumpang sudah mempunyai tiket.

Senang bercampur kesal juga. Senang karena akhirnya regulasi itu bisa berjalan seperti yang diharapkan. Kesal karena informasi yang saya dapat terlambat sehingga membuat saya kesulitan untuk keluar dari statsiun Gondangdia karena kehilangan karcis. Seketika saya berpikir keras untuk mempertahankan uang 50.000 saya.

Akhirnya teman tadi memberikan cara supaya terhindar dari denda 50.000. semula saya menebak dia pasti mau menyarankan saya membayar denda 10.000, atau lebih rendah dari 50.000, kepada petugasnya dengan harapan itu akan masuk kantong pribadi dan saya bisa keluar. Tetapi ternyata cara yang dianjurkan tidak seperti itu. Saya disarankan kembali ke statsiun manggarai, dua statsiun kearah Bogor, yang mempunyai loket tiket di dalam peron sehingga saya bisa membeli tiket tanpa keluar peron. Kemudian kembali ke Gondangdia dan keluar statsiun dengan tiket dari statsiun Manggarai. Saran itu saya laksanakan dan ternyata bisa sukses untuk mempertahankan uang 50.000 perak saya.

Sempat aneh kenapa loket di Manggarai ada didalam peron. Bukankah itu memberikan kesempatan setiap calon penumpang KRL masuk peron? Ternyata untuk Manggarai, karena pintu masuknya tersebar dimana-mana, setiap orang bisa masuk peron terlebih dahulu untuk membeli tiket. Mungkin karena dianggap semua pintu masuk statsiun, selain manggarai, sudah dijaga ketat, hal ini tidak akan memberikan peluang penumpang KRL tanpa karcis.

Ketidakseimbangan solidaritas

Niatan untuk membayar atau tidak membayar ketika naik KRL sering terbentur dengan rasa solidaritas terhadap penumpang KRL dan negara sebagai institusi penanggung jawab pelaksana pelayanan publik. Konyolnya solidaritas dengan yang terakhir inilah yang sering membuat kita sakit hati.

Ketika membayar tiket KRL kadang sering sakit hati dengan penumpang lain yang tidak membayar. Sama-sama menikmati jasa KRL tetapi berbeda dalam pelaksanaan kewajiban. Saya membayar mereka tidak. Kadang saya yang membayar mesti berdiri lama sampai tujuan, sementara yang tidak membayar enak duduk.

Tetapi rasa itu bisa di kompromikan. Bisa difahami bila para penumpang KRL banyak yang tidak membayar. Saya menganggap mereka sebagai bagian dari masyarakat korban dari pengelolaan negara yang nggak jujur. Kenaikan harga sembako, BBM dan biaya transportasi yang tinggi memaksa mereka untuk tidak adil dalam menggunakan jasa transportasi yang disediakan pemerintah. Bila argumen ini saya perpanjang dengan kualitas jasa pelayanan KRL, fungsi agama yang dimanipulir oleh para tokoh agama dan penguasa, maka saya menjadi semakin merasa memahami mereka.

Sayangnya solidaritas ini tidak bersambut ketika dihadapkan dengan pemerintah sebagai penanggung jawab penyedia layanan publik ini. Pemerintah yang corrupt menyebabkan inefesiensi dalam pengelolaan layanan publik. Bahkan karena inefisiensi ini tidak hanya membuat layanan publik tidak layak, lebih jauh dari itu, layanan publik menjadi sangat tidak manusiawi. Kalau tidak percaya coba aja naik KRL Jakarta – Bogor pada jam kerja.

Membayar tiket naek KRL itu hitung-hitung kita belajar ikhlas saja. Jangan pernah berfikir heroik bahwa kita telah membantu pembangunan negeri ini dengan membayar tiket KRL. Beberapa saat kedepan sebaiknya kita jangan berharap seperti itu dulu. Karena harapan seperti itu hanya melahirkan sakit hati dan keputusasaan.

Kita bayar tiket KRL untuk melaksanakan kewajiban kita sebagai pengguna, terlepas dari kualitas layanan jasa yang diberikan. Jangka panjangnya tentunya kita berharap penumpukan kesadaran seperti ini akan menjadi energi penggugah para pengambil kebijakan supaya lebih jujur dalam mengelola negara ini. Kalau tidak, minimal kita sudah menuntaskan kewajiban kita. Itu saja.

Jakarta, 24 Juli 2006

READ MORE - ”Sekarang” Naik KRL Jakarta – Bogor Mesti Bayar

Taufik Savalas

Saya tidak begitu tahu detail tentang meninggalnya Taufik Savalas, meskipun media meliputnya besar-besaran untuk waktu yang panjang. Pasalnya sederhana saja, saya tidak simpatik dengan infotainment. Tidak ditemukan aspek edukasi didalamnya, bahkan menurut saya hanya menghancurkan dunia komunikasi saja. Katanya meliput berita, tetapi yang diliput sebuah isyu. Aneh kan?mahasiswa komunikasi semester berapapun pasti tahu bila berita itu adalah sesuatu yang terjadi bukan rekaan belaka.

Berita yang pernah saya baca tentang Taufik Savalas hanya dari tulisan Kompas di halaman pertama. Gambaran positif tentang Taufik. Artis yang memahami eskatologi dunia secara, sehingga hidupnya pun menjadi sangat seimbang antara dunia dan akhirat. Informasi lain saya dapat dari istri saya kemarin dan review saya ketika menyaksikan secara langsung aksi Taufik Savalas di acara Republik BBM semasa masih disiarkan Indosiar.

Jurnalisme gerombolan telah menghasilkan kesamaan berita. Meskipun Indonesia memiliki banyak stasiun TV swasta, berita yang dihadirkan tentang Taufik Savalas, juga artis-artis lain dalam program infotainment, tidak ada bedanya. Bila ada bedanya hanya terletak pada presenter dan waktu penayangannya saja. Tidak lebih. Tapi menurut istri saya, dalam kasus Taufik Savalas, dia melihat ada muatan berita infotainment yang berbeda di salah satu program infotainment. Tentang keteladanan seorang Taufik Savalas dibanding artis yang lain. Saya tidak menyaksikan langsung, tapi semoga untuk kali ini infotaintment tersebut memang benar-benar menyajikan berita alternative dibanding puluhan program infotainment lainnya.

Menurut infotainment tersebut, sebagai public figure Taufik telah memberikan keteladanan kepada masyarakat yang jarang diberikan artis-artis lain. Berangkat dari pengalaman hidupnya, Taufik tidak pernah lupa untuk menyisihkan rizki yang diperoleh untuk kegiatan sosial dan keagamaan. Dalam sebuah kesaksian seorang artis lain, kalau tidak salah Denny Chandra, Taufik menampik tawaran sebuah show karena menurut dia hidup tidak bisa terus menerus dihabiskan untuk mencari uang saja. Sikap yang sangat cerdas secara spiritual.

Bandingkan dengan keteladanan yang diberikan oleh artis lain sebagai public figure. Ada Mayang Sari yang bangga dengan statusnya sebagai istri simpanan dan merebut suami orang lain. Steve Immanuel yang bangga hidup berdua satu apartement dengan seorang perempuan tanpa menikah. Sarah Azhari yang tidak bisa memberikan kejelasan bapak dari anak yang dilahirkannya. Maria Eva, yang demi popularitas, telah menghancurkan keluarga Yahya Zaini, disamping keluarga dia sendiri tentunya. Serta artis-artis lainnya.

Membicarakan keteladanan public figure, dalam konteks ini adalah artis, sering membuat kita marah, malu juga menggelikan. Tidak tertangkap adanya kecerdasan intellektual apalagi kecerdasan spiritual, seperti yang ditunjukan Taufik, dalam menjalani hidupnya. Saya sempat iseng bertanya sama istri saya, kira-kira bagaimana yah pandangan eskatologis seorang Sarah Azhari tentang dunia?Jawaban istri saya hanya senyum saja.

Masalahnya sederhana saja. Jangankan berpikir tentang kehidupan here after alias kehidupan setelah kematian, berbicara tentang hidup yang dijalani sekarang saja sepertinya sangat problem.

Menurut hitungan saya usia produktif seorang artis usianya tidak lebih dari 10 tahun saja. Dasar hitungannya adalah new comer yang datang begitu cepat, perkembangan masyarakat dan potensi fisik yang dimiliki. Yang terakhir ini mungkin tidak terjadi pada semua artis, tetapi kita melihat sendiri bagaimana fisik menjadi modal dominan karir banyak artis. Sebagai buktinya coba hitung berapa orang di dunia film yang mempunyai kemampuan seperti Deddy Mizwar, Christine Hakim, Garin Nugroho dll?Bandingkan dengan jumlah artis yang berkemampuan seperti Sarah Azhari dll. Saya yakin jumlahnya berbanding terbalik.

Tetapi dengan singkatnya fase produktif yang akan dijalani, kenapa begitu tidak kalkulatif dalam menjalani karir dan hidupnya?seolah semuanya mesti dihabiskan sekarang juga. Tertangkap tidak adanya kecerdasan dalam menjalani hidupnya.

Dalam hal ini kita memang mesti memberikan apresiasi yang sangat besar kepada Taufik Savalas. Menurut cerita istri saya, seorang teman kami pernah berkonflik dengan Taufik. Pasalnya karena teman saya menulis di media tentang dimensi keteladanan artis di bulan Ramadhan. Kesimpulan tulisannya, artis tidak layak dicontoh oleh semua masyarakat. Momentum keagamaan, seperti Ramadhan, hanya di eksploitir demi keuntungan pribadi semata.

Taufik membaca berita itu dan sebagai artis tentunya dia marah dengan generalisasi yang dilakukan teman saya. Dia mengajukan complain dan mengingatkan bahwa semua artis tidak seperti yang digambarkan dalam tulisan itu. Banyak artis yang dirugikan dengan tulisan teman kami tadi. Kabarnya Taufik sempat mengancam untuk mensomasi tulisan itu. Saya pikir dengan potensi yang dimiliki tentunya Taufik bisa melakukan itu.

Istri saya tidak tahu bagaimana detailnya, tetapi menurut dia kasusnya bisa selesai karena kedewasaan Taufik, sebagai pihak yang meras dirugikan dengan tulisan tersebut, menyelesaikan masalah tersebut. Teman saya katanya terhindar dari ancaman somasi yang sempat diungkapkan.

Pengalaman pribadi saya tentang Taufik adalah ketika menyaksikan secara langsung aksi panggung beliau di acara Republik BBM ketika masih ditayangkan di Indosiar. Bersama teman-teman dari kampus UI saya mendapat undangan untuk menjadi penonton acara Republik BBM sehingga bisa menyaksikan secara langsung aksi Taufik Savalas dan Deni Chandra.

Tidak hanya aksinya ketika on air, waktu off air saya menyaksikan aksi komedi yang cerdas dari Taufik. Responsive, atraktif, dan tanpa dibuat-buat. Semua aksi muncul begitu saja seolah tanpa rekayasa sebelumnya. Sehingga ketika itu kita tidak hanya tertawa on air, waktu off air, ketika di TV sedang Iklan, ketika tertawa gak henti-hentinya. Mencerminkan seorang artis yang mempunyai kemampuan menghibur dan selalu membaca perkembangan informasi. Awal saya tertarik lagu dari Kerispatih bukan karena saya mendengar kerispatih yang bernyanyi, tetapi justru melihat Taufik yang menirukan aksi penyanyi keris patih menyanyikan lagu itu dengan aksi yang kocak.

Semoga semua amalnya diterima Allah swt

Allahummagfirlahu war hamhu, wa ‘afihi wa’ fu’anhu

Jatinangor, 22 Juli 2007

READ MORE - Taufik Savalas

Friday, 20 July 2007

Sambil berdo'a, kita ...

Pada satu sessi materi Leadership Basic Training yang saya ikuti di PII, sejarah perjuangan umat Islam, saya diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat tentang pola perjuangan umat Islam yang mesti dilakukan. Saya ngotot dan habis-habisan meyakinkan temen-temen se lokal bahwa umat Islam mesti mengambil politik sebagai jalur perjuangannya. Tidak cukup pendapat pribadi, kelompok diskusi yang saya pimpin pun saya arahkan mengambil kesimpulan, bahwa politik sebagai sebuah bentuk utama perjuangan yang mesti diambil oleh umat Islam. Politic is the prime way

Kalau ingat masa itu, sepertinya instruktur training basic saya di PII pasti tersenyum. mendengar segala macam argumentasi yang saya kemukakan. Maklum saja, anak kelas 2 SLTA ngomong-ngomong analisis politik. Pastinya hanya berdasar berita koran. Apalagi ketika itu politik komunikasi Indonesia mutlak dalam kontrol pemerintah. Tetapi saya yakin saja. Waktu itu pasti instruktur saya bangga. Mendengar anak kelas 2 SLTA fasih menyebut nama-nama Agus Salim, tokoh-tokoh Masyumi, pakar politik, mengutip omongan mereka dll. Tentunya dengan segala keterbatasan informasi yang dimiliki anak SLTA di daerah.

Sekarang yang namanya dunia politik itu ada di depan mata saya. Meskipun gak deket-deket amat, seperti teman-teman yang pada jadi asisten para anggota DPR RI. Tetapi minimal waktu saya jadi Ketua Umum PB PII saya berkesempatan berinteraksi dengan para politisi. Mulai satpam rumah ketua umum sampai ketua umum partainya pernah saya temui dan ngobrol intens. Sebagai mahasiswa sempat dikit-dikit baca buku politik dan mendengar omongan para politisi senayan secara langsung. Sekarang, kerja sebagai news analyst isyu publik, memberi kesempatan untuk dikit-dikit baca analisa politik di koran dan baca blog tentang politik.

The End Of Idiology...

Kalo Fukuyama menyebutkan telah terjadi The End of History, untuk politik Indonesia saya pikir telah terjadi The End of Idiology. Coba baca analisa-analisa politik yang biasa muncul di Kompas atau media lainnya. Mulai dari tulisan Sukardi Rinangkit, Budiarto Shambazy atau Eef yang sekarang muncul ke permukaan kembali. Semuanya bernada pesimis melihat perilaku para politisi kita dan manuver-manuver yang dibuatnya. Tidak terbaca ada wacana yang di bawa, tidak terasa adanya keberpihakan idiolgis. Muaranya hanya satu, mempertahankan kursi yang diduduki sekarang. Caranya?menjaga popularitas,bagaimanapun caranya, sehingga pemilu berikutnya bisa terpilih kembali.

Contoh lapangan terdekat bisa dibaca dari analisa Media Indonesia yang saya baca hari ini (Jumat, 12 Juli 2007) hal 17 dalam rubrik Analisis. Tulisan menarik perihal privatisasi BUMN. Judulnya “Sebagai ‘Lumbung Keuangan’ BUMN sulit lepas dari intervensi politik”

Analisanya berdasar hasil dari survey LSI (Lembaga Survei Indonesia) tanggal 15-24 Maret 2007. Menurut Marbawi, analis politik litbang media group, pada dasarnya keberatan partai politik menolak program privatisasi BUMN bukanlah berdasar sebuah pilihan analisa ekonomi apalagi keberpihakan idiologis mazhab ekonomi tertentu. Penolakan program privatisasi BUMN lebih didasarkan kepada dual hal semata. Pertama usaha menjaga popularitas partai, karena privatisasi telah di image kan di masyarakat sebagai usaha menjual negara kepada asing. Bila popularitas tidak dijaga, pemilu berikunya siap-siap aja kelaut. Kedua adalah urusan pundi-pundi partai. Bila BUMN di privatisasi dijamin partai tidak bisa menjadikannya sebagai sapi perah lagi. tidak bisa jadi lumbung keuangan partai seperti yang terjadi sebelumnya. Karena BUMN akan dikelola secara profesional.

Inilah gila dan sakit hatinya saya. Bertahun-tahun saya meyakini privatisasi sebagai tindakan bodoh dan menjual aset negara. Doktrin kaum marxist tentang ketertindasan struktural negara terbelakang begitu saya pegang. Ternyata bagi para politisi penolakan privatisasi tidak lebih dari kepentingan popularitas dan pundi-pundi partai. Saya bayangkan orang-orang seperti Revrisond Baswir atau Ichsanudin Noorsy yang habis-habisan menolak privatisasi pasti jengkel melihat langkah para politisi itu.

Sisi lain yang juga menjadi bahan perhatian terdekat saya sekarang ini adalah tentang sistem politik dan design pemilu. Sekarang ini, dipimpin Ferry Mursyidan Baldan, politisi dari Partai Golkar, DPR RI sedang membahas RUU politik. Menurut saya kita mesti siap-siap saja untuk melihat tidak adanya perubahan revolusioner dari para anggota DPR RI dalam mendesign sistem politik dan pemilu kita yang memang tidak sinkron. Sistem yang memungkinkan semuanya menikmati kekuasaan. Sulit menemukan cita-cita demokrasi yang diamanatkan oleh gerakan reformasi.

Kita membangun sistem politik presidensialisme sementara disisi lain design pemilu kita adalah sistem proporsional. Studi politik justru menunjukan tidak compatiblenya antara sistem presidensial dengan sistem proporsional dalam pemilu.

Sistem presidensial berarti adanya derajat governability yang sangat tinggi. Sementara hal itu terhalang dengan sistem proporsional dalam pemilu yang memunculkan fenomena multi partai dan pada akhirnya melahirkan kartelisme partai. Derajat governability, sebagai syarat memerintah secara efektif, habis oleh kartelisme partai. Kekuasaan tinggi yang dimiliki oleh presiden seolah di tarik kembali oleh para pemimpin partai yang merasa memiliki keterwakilan dengan sistem pemilu yang menghasilkan derajat refresentativeness.

Posisi SBY-JK sebagai ”Juara” dalam pilpres langsung 2004 bermakna adanya kepercayaan penuh dari publik terhadap SBY-JK yang berarti kekuasaan ada di tangan sang juara. Tetapi derajat govern itu di preteli oleh para pemimpin partai. Mestinya yang terjadi adalah kontrol pemerintah di oleh anggota DPR. Tetapi yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Kontrol pemerintah berada di tangan para pemimpin partai. Sehingga tidak salah dalam setiap kali reshuffle selalu saja menimbulkan gonjang-ganjing panas di kalangan para pimpinan partai.

Jadi sebetulnya menurutku keramaian yang terjadi di gedung DPR yang menggugat presiden dengan interprelasi Lapindo, Irak dsb hanya sandiwara saja atau sakit hati tidak dapat jatah. Karena sangat lucu, melihat anggota partai Golkar,PBB menuntut adanya interpelasi terhadap presiden. Bukankah partai mereka pendukung utama pemerintah sekarang?

Jawab dari semuanya memang karena tidak ada keberpihakan idiologis yang dimiliki oleh para politisi kita. Semuanya bergerak berdasarkan adanya ancaman terhadap posisi dan peluang meraih posisi. Semuanya tentang kepentingan. Konyolnya kepentingan itu bukan kepentingan idiologis, tetapi kepentingan personal. Sangat menyakitkan.

Sebagai seorang muslim saya tidak pernah membayangkan adanya politisi atau pemerintah yang govern dengan idiologi Islam, ataupun sebaliknya. Saya tidak pernah membayangkan sistem sekular ditindas habis tidak diberi ruang berpartisipasi dan memegang kekuasaan. Bayangan saya dengan sistem demokrasi, semua idiologi berhak dan berhak memposisikan diri sebagai oposisi. Kesempatan untuk berkuasa dan perlindungan terhadap oposisi akan melahirkan keseimbangan dalam proses perjalanan politik di Indonesia.

Pemerintah beridiologikan agama tidak akan pernah menjadi jaminan adanya kehidupan dan kebijakan-kebijakan yang religius. Justru disinilah terletak potensi kerusakan yang sangat akut, ketika agama menjadi legitimasi bagi perjalanan sebuah kekuasaan. Begitu juga ketika idiologi sekular berkuasa. Tidak akan menjadi jaminan perjalanan kekuasaan menjadi lebih rasional.

Apapun idiologi yang berkuasa tetap membutuhkan sparing partner sehingga perjalanan kebijakan terus berada di tengah. Idiologi agama, ketika tergiring dalam bentuk yang sangat ekstrem, hanya akan menghilangkan elan vital agama untuk memperkosa kekuasaan. Politisasi agama adalah fenomena yang mesti siap-siap kita temui. Begitu juga idiologi sekular. Titik ekstremnya hanya akan memberangus esensi manusia sebagai sebagai makhluk spirtual yang pada akhirnya hidup akan menjadi sangat kering dan hampa. Kritik dibutuhkan untuk menjaga semua supaya tidak terjatuh pada titik yang terjauh.

Sambil berdoa kita menata diri …

Beberapa hari kemarin, pada jam 2 malam,setelah shalat malam saya berdoa untuk istri, keluarga dan temen-temen. Saya sempatkan doa buat para pengambil kebijakan itu. Beberapa saya sebut namanya karena memang kenal dan mempunya harapan banyak. Saya berdoa semoga inayah, hidayah dan maghfirah Allah senantiasa mereka dapatkan, supaya mereka jujur, bener dan serius dalam mengambil keputusan dan menjalankannya. Doa itu saya sms kan juga ke seorang mentri dan seorang tokoh masyarakat. Inilah hal minimal yang paling bisa saya lakukan untuk sementar ini.

Sambil menata diri membangun kompetensi dan kapabilitas, saya pikir sekarang ini baru hal itu yang bisa saya lakukan. Membangun basis keilmuan yang lebih mapan, mendirikan basis komunitas yang lebih berkarakther dan menata basis spiritual yang supportif dan tidak melenakan. Hal ini menurutku mesti dipersiapkan matang. Jangan sampai terjebak kartelisme public figure.

Bandung, Juli 2007


READ MORE - Sambil berdo'a, kita ...

Wednesday, 11 July 2007

Menurutku...

Sekedar coretan-coretan iseng di perjalanan Jakarta-Bandung


Menurut ku…
Orang yang tidak berperikkemanusiaan adalah;
Orang yang seenaknya nyelonong masuk Bus Way tanpa antri
Sementara yang lainnya berlelah-lelah antri


Menurutku…
Orang yang tidak berperadaban adalah;
Teman atau politisi
Demi meraih kekuasaan, rela menistakan teman
Dengan membunuh karakther melalui isyu murahan perempuan atau uang


Menurutku...
Orang yang tidak tahu diri adalah;
Orang yang berbicara besar
Tapi tidak mempunyai kompetensi


Menurutku...
Orang yang tidak ber Tuhan adalah;
Orang yang mengobral nama Tuhan
Untuk menutupi kejahatan yang dilakukannya


Menurutku...
Yang aneh dari para pengunjung mall adalah;

Merasa diri kelas atas, well educated dan well inform
Tetapi ketika di escalator;
Berdiri berjajar bersampingan kiri dan kanan


Menurutku...
Yang wajar adalah, orang yang menghapus kotoran di mukanya
Yang tidak wajar adalah;
Orang yang menghapus kotoran di mukanya
Dan melemparkan kotoran itu ke muka orang lain.


Bila kamu bertemu dengan orang seperti itu, saranku lebih baik untuk ditinggalkan saja. Karena kata Al Ghazali Syuul khuluqi yudi... Kecuali bila kamu sanggup merubahnya.

READ MORE - Menurutku...

Tuesday, 10 July 2007

Pneeilitan Tnetnag Craa Bcaa Mnasuia

Menuurt sbeauh penilitean di Cmabrigde Uinervtisy, tdaik mejnadi maslaah bgaimanaa urtaun hruuf-hruuf di dlaam sebauh ktaa, ynag palnig pnteing adlaah leatk hruuf partema dan terkhair itu bnaer. Siasnya dpaat brantaaken saam skelai dan kmau maish dpaat mebmacanya tnpaa msaalah. Hal ini kaerna otak manusia tidak membaca setiap huruf masing-masing, tatepi kata keseluruahn.

Manejkubakn naggk?





READ MORE - Pneeilitan Tnetnag Craa Bcaa Mnasuia

Monday, 9 July 2007

Safety

Pagi tadi, dalam perjalanan Bandung – Jakarta, di sekitaran tol daerah Bekasi saya lihat 3 pesawat TNI AU sedang menerjunkan para penerjun payung nya. Yang membuat terkejut adalah kondisi payung terjunnya itu sendiri. Saya tidak begitu tahu standard keamanan payung terjun. Tapi rasanya sangat mengerikan bila melihat penerjun payung dengan payung terjun yang bolong-bolong. Dari bus yang saya tumpangi, bolong-bolong payung penerjun itu begitu kelihatan jelas.

Sepertinya safety di Indonesia adalah hal nomor kesekian. Tidak jelas apa penyebabnya, apakah karena masyarakat Indonesia begitu percaya adanya Tuhan sehingga segalanya diserahkan kepada Tuhan atau memang karena gak punya uang. Beberapa kali saya mengalami hal yang mengerikan bila berkaitan dengan safety. Seolah Indonesia memang bukan tempat yang aman dan tidak menyediakan keamanan.

Ketika Aceh dilanda Tsunami, beberapa kali saya bolak-balik Jakarta-Aceh dengan pesawat diantaranya memakai Hercules TNI. Sewaktu naik Herculles TNI dari Aceh ke Indonesia saya kebagian duduk di belakang. Beberapa saat pesawat sudah di udara saya merasakan tetesan air ke paha saya. Setelah saya perhatikan ternyata ada cairan kental agak kuning menetes dari atas. Saya tidak tahu pasti apakah itu gasoline atau oli, tetapi jelas ada kebocoran di pesawat.

Takjubnya ketika saya beritahu crew pesawat Hercules memberitahu kebocoran itu, dengan tenang dia mengatakan itu tidak apa-apa. Jelas ada kebocoran tapi dia bilang itu tidak apa-apa. benar-benar mengerikan dan menakjubkan. Jauh berbeda dengan pengalaman teman-teman yang beruntung menaiki Herculles dari dari negara-negara lain.

Selain Safety teman-teman juga mendapat tambahan layanan comfort dari crew pesawatnya. Sebelum pesawat take off para penumpang di beri tutup kuping untuk menahan bising herculles. Setelah itu diberi softdrink untuk menjaga staminta tubuh. Jangan harapkan hal ini didapat di Hercules Indonesia, sedangkan pada aspek kemanan saja sudah terabaikan.

Beberapaka kali saya pernah dapat forward email pengalaman pribadi menaiki maskapai penerbangan nasional. Lengkap dengan foto, isi email menceritakan safety dari sebuah maskapai penerbangan nasional yang sangat tidak layak. Sebetulnya saya pun mengalami hal yang sama, tidak hanya dengan satu maskapai saja, tetapi hampir dengan seluruh maskapai penerbangan nasional. Jadi sangat wajar bila Uni Eropa melarang 51 maskapai penerbangan nasional terbang ke Eropa karena alasan safety.

Transportasi darat dan laut?jangan tanya lagi. Setali tiga uang dengan transportasi udara. Teman dari Singapura dan Malaysia, waktu saya ajak jalan-jalan ke Monas, kaget ketika KRL Jakarta – Bogor melintas diatas taman tugu monas. Sesuatu yang amazing melihat kereta melaju dalam kecepatan cukup tinggi dengan pintu terbuka.

Tetapi sepertinya urusan keamanan bukan hanya tidak menjadi jaminan di bidang transportasi saja. Dimanapun kita berada di Indonesia, pasti kita merasakan urusan safety yang berantakan.

Ketika di pasar atau mall kita ketakutan di copet dan di todong. Berjalan kaki di tepi jalan raya, kita takut di jambret dan serempetan sepeda motor. Demi keamanan, pedagang di pasar mesti mengeluarkan ekstra untuk para preman setelah sebelumnya ”minta izin”. Masuk terminal, kita dalam ancaman kekerasan para calo.

Di Kualalumpur saya iseng-iseng masuk terminal disana, ingin merasakan keamanan disana. Teman saya mewanti-wanti sekali bila saya hendak ke terminal bus, jangan sendiri. Mesti di hantar oleh mereka. Menurut mereka Terminal bus di KL sangat rawan untuk pendatang asing seperti saya. Menghormati perhatian teman saya tadi, saya beritahu bila saya hendak ke terminal bus. Dengan senang hati teman perempuan saya mengantarkannya, meskipun jam keberangkatan bus pukul 11 malam.

Selesai mengantar ke loket untuk membeli tiket dan memastikan saya dalam keadaan aman, teman perempuan saya yang mengantar tadi kembali pulang, sambil tidak lupa mewanti-wanti untuk berhati-hati dan tidak keluar terminal lagi.

Setelah memastikan teman saya tidak ada, sengaja saya keluar terminal. Kembali ke terminal kira-kira 30 menit lagi. Seperti yang saya perkirakan, seorang calo memanggil-manggil dan menanyakan tujuan saya untuk menawarkan tiket. Ternyata cukup dengan jawaban kalo saya sudah mendapat tiket, calo tadi langsung pergi. Di Jakarta saya mesti secara jelas memberi tahu tujuan kita dan menunjukan tiket yang sudah kita beli untuk bisa mengusir calo. Kalo tidak seperti itu,dipastikan tangan kita jadi bahan rebutan.

Sepertinya untuk masalah safety negara ini memang terasa sangat religius. Jasa transportasi seperti tidak pernah merencanakan hal itu dalam service mereka. Semuanya diserahkan kepada Tuhan yang maha kuasa. Begitu juga negara dalam memberikan rasa aman bagi warganya. Semuanya seolah sudah menjadi kewenangan Tuhan. Hanya orang yang beruntung yang mendapatkan rasa aman.

Berbeda hal nya bila mereka membicarakan profit. Semuanya mesti di rencanakan sematang mungkin dan di perjuangkan secara all out. Dan karena profit inilah rasa aman mesti di korbankan.

Welcome to the Jungle!...

Jakarta

READ MORE - Safety

Wednesday, 4 July 2007

Anzilni... !

Robbii Anzilnii munzalan mubarokah
wa anta khairul munzilin...
READ MORE - Anzilni... !

Monday, 2 July 2007

Tentang Film

Week end kali ini saya dan istri menghabiskan waktu ke bioskop. Opsi dari istri; nonton di BIP (Bandung Indah Plaza) dengan studio 21 nya atau Paris Van Java dengan BlitzMegaPlex nya. Pilihan ke BIP lebih pada alasan historis saja. Dulu bila bersama kakak-kakak ke Bandung, pasti menyempatkan diri ke daerah BIP. Mungkin karena itu mall pertama di Bandung yang relatif lebih mewah pada massanya, juga karena disana ada Toko Buku Gramedia. Beberapa hari setelah itu saya menyesal dengan keputusan ini, karena saya baru tahu bila BlitzMegaPlex ternyata merupakan ”lawan baru” serius bagi 21.

Sepertinya karena peminat terhadap film Spiderman 3 dan Naga Bonar jadi 2 begitu membludak, Studio 21 hanya memutar dua film itu saja. Film Naga Bonar jadi 2 menjadi pilihan. Penasaran karena sudah menonton dua seri film Spiderman yang sebelumnya, istri tertarik untuk menyaksikan Spiderman 3. Kebetulan sedang tidak ada masalah dengan keuangan, siang itu langsung saja antri beli tiket untuk dua film J

Ini kali pertama saya menonton film di bioskop dengan istri.Saya tidak tahu kebiasaan istri bila menonton sebagaimana dia juga tidak tahu kebiasaan saya menonton film.

Ternyata coriusity istri saya sangat tinggi. Ketika film berlangsung beberapa kali dia bertanya atau bercerita seputar kedua film tersebut, mulai dari cerita yang melingkupi film itu sampai isu seputar aktor. Bila sedang bercerita saya bisa ignore. Kesulitannya bila mengajukan pertanyaan. Menyulitkan, karena mengganggu fokus menonton.

Keluar dari bioskop saya complain. Interupsinya ketika film berlangsung, dengan segala cerita dan pertanyaan tentang film itu, sangat mengganggu. Ketika saya bertanya apakah dia menikmati film tadi, jawabannya sangat mengejutkan bagi saya. Istri saya merasa enjoy dengan sikap nya tadi. Justru kemudian dia yang merasa aneh kepada saya kenapa mesti terganggu dengan segala macam bentuk interupsi yang dia lakukan. Menurutnya apa yang dia lakukan adalah bentuk perhatian dan kekritisan dia terhadap film tadi. Menurut dia, sangat penting mengetahui seluk beluk sebuah film. Sepertinya memang tidak ada pakem tentang bagaimana menikmati film di Indonesia.

Eropa dan Amerika

Membicarakan industri dan kualitas film, maka kiblat kita mengarah ke Amerika dan Eropa. Sekarang film Amerika sedang mendapat tempat di tengah masyarakat. Film-film dari Timur Tengah sesekali muncul ke permukaan. Seperti film ”Children of Heaven” atau “Osama”. Tapi jumlahnya minim, jadi tertutup oleh film-film Amerika.

Dominasi film Amerika di banding film-film eropa, selain karena faktor sosialisasi yang massif, tidak bisa dilepaskan dari karakter film yang dibuat. Film Amerika mempunyai karakter tersendiri yang lahir dari kondisi psychologis dan sosiologis masyarakat Amerika. Begitu juga dengan karakter yang di bawa oleh film-film eropa. Lahir dari tuntutan sosiologis dan secara resiprokal ikut membentuk karakter masyarakat. eropa.

Film Amerika. Masyarakat Amerika adalah masyarakat multikultur. Imigran yang datang dari berbagai benua dengan beragam budaya dan identitas. Indian sebagai penduduk asli amerika bahkan sudah menjadi orang asing di tanah amerika. Fenomena Jakarta dengan masyarakat betawi bisa menjadi penjelas sederhana tentang masyarakat Amerika.

Betawi sudah menjadi pendatang di tanah sendiri. Perbedaan signifikan betawi dengan Indian mungkin pada sikap masyarakat pendatangnya. Tidak pernah terdengar ada perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat betawi. Adapun pandangan minor adalah hal yang lumrah terjadi di setiap relasi antar masyarakat. Karena hal seperti itu tentunya dialami oleh seluruh masyarakat.

Berkomunikasi dalam sebuah masyarakat heterogen tentunya mesti tampil dengan tata kota yang general supaya semua bisa terfahamkan. Tidak bisa menghadirkan bahasa khusus karena akan memancing multi interpretasi. Bila hal ini terjadi, maka gagal lah maksud sebuah komunikasi.

Film Amerika adalah film yang berusaha berkomunikasi dalam masyarakat heterogen. Dibutuhkan sebuah pilihan kata dan strategi komunikasi yang bisa terfahamkan oleh semua orang dalam waktu seketika. Tidak perlu tampil dengan bahasa khusus dan tinggi karena hal itu hanya akan melahirkan ragam tafsiran yang pada akhirnya akan menggagalkan targetan komunikasi. Tidak heran bila pilihan kata yang dihadirkan tidak akan memancing usaha kontemplatif bagi para pendengar karena semua di design supaya bisa terpahamkan seketika, tidak memperhatikan kedalaman makna.

Berkomunikasi dengan masyarakat yang heterogen mesti memastikan bahwasannya audiences mengikuti semua pesan yang disampaikan. Karena berhadapan dengan masyarakat majemuk, dibutuhkan trik yang mesti memaksa audiences mengikuti film dari awal sampai akhir. Maka di design lah sebuah daya tarik yang akan memaksa penonton menonton film itu dari awal sampai akhir. Pilihannya bisa dengan mengeksplorasi seks atau dengan adegan-adegan yang aneh dan fantastis di luar kebiasaan dan nalar.

Film Eropa. Berbeda dengan amerika, film eropa lahir dari sebuah masyarakat homogen dan lahir sebagai hiburan untuk kelompok masyarakat elite, bukan hiburan untuk rakyat banyak. Perpaduan kedua hal inilah yang menjadi dasar pembentuk film-film eropa.

Berkomunikasi dihadapan masyarakat homogen tidak dihadapkan dengan kekhawatiran terputusnya perhatian audiens terhadap topik pembicaraan. Komunikasi bisa di design dan dilaksanakan secara mengalir dan pilihan kata dihadirkan untuk bisa memfasilitasi makna yang lebih dalam dari sebuah pesan. Sehingga dibutuhkan usaha-usaha kontemplatif memaknai setiap pesan yang ada.

Membuat pertunjukan untuk kalangan elite tentunya tidak sedang mendesign hiburan semata. Lebih dari itu, hiburan yang ditampilkan mestilah bisa mengeksplorasi sedemikian rupa potensi kecerdasan dan nurani penontonnya. Karena pertunjukan bagi kalangan elite bukan semata sebuah hiburan, tetapi juga bermakna identitas keluhuran kualitas diri serta usaha peningkatan kompetensi diri.

Karakter lain dari film eropa yang tidak dapat dilupakan adalah falsafah ”demi pengembangan seni”. Hasrat untuk menghasilkan film yang berkualitas begitu tinggi tidak peduli bila produk akhir film tersebut tidak cukup marketable (tepatnya tidak terlalu memperdulikan kebutuhan pasar) Sehingga tidak aneh bila dikatakan bila film eropa adalah ”seni untuk seni”

Film Eropa& Film Amerika

Menyaksikan film Amerika adalah menyaksikan sebuah pertunjukan untuk menghibur. Hiburan yang dihiasi dengan eksplorasi seks sebagai sebuah komoditi juga atraksi-atraksi fantastis, yang mustahil, sehingga penonton tertarik untuk menyaksikan pertunjukan itu dari awal sampai akhir.

Film Amerika adalah film yang tidak membutuhkan kontemplasi dan perenungan mendalam untuk pemahamannya karena semua disajikan dalam bahasa yang mudah dan umum tanpa tendensi untuk menghadirkan makna yang mendalam.

Sekarang ini, dengan penemuan di bidang graphis, segala bentuk fantasi bisa di design sedemikian rupa dengan biaya yang kecil. Teknik simulasi, dengan menggunakan komputer, memungkinkan semua bentuk fantasy di design sedemikian rupa.

Pada sisi lain melihat film eropa kita seolah melihat sebuah pertunjukan yang membutuhkan proses pemaknaan yang cukup berat. Film eropa menginginkan bila penonton memperoleh pencerahan setelah menyaksikan film mereka. Harapan yang sejajar dengan niatan awal pembuatan.

Kadang memang menjadi sangat menjemukan bila menonton film eropa pada menit-menit pertama. Tidak ada sesuatu daya tarik untuk memaksa kita duduk sampai akhir menyaksikan film tersebut. Berbeda dengan film amerika yang pada tahap awal saja sudah menghadirkan sesuatu yang bombastis.

Sepertinya produk film seperti ini lah yang kemudian membentuk karakter penonton film di Amerika dan di Eropa. Dalam banyak hal sepertinya hal ini bisa dilihat dari fenomena pertunjukan selain film. Dalam olahraga misalnya, antara american footbal dengan sepakbola yang biasa kita mainkan, yang katanya berasal dari Inggris.

Masyarakat eropa memandang apa yang dipertontonkan dalam American Football adalah kebrutalan sehingga semua mesti memakan pelindung. Tapi bagi masyarakat Amerika, sepakbola justru hiburan yang cengeng. Pemain sepakbola di tackling dan sedikit body contact sudah jatuh, meringis kesakitan dan mesti di tandu keluar lapangan.

Atau bisa dilihat dari karakther penonton di dunia olahraga. Coba lihat perbedaan sikap penonton di kejuaraan tenis yang paling bergengsi di dunia yang dilaksanakan di Inggris, Wimbledon Cup,dengan penonton di kompetisi basket paling elite di dunia; NBA, yang dilaksanakan di Amerika. Bila pada yang pertama penonton begitu santun. Hanya memberikan applaus, dengan tepuk tangan, bila benar-benar disajikan pertunjukan menarik, maka pada yang kedua penonton akan berteriak dari awal sampai akhir. Tidak hanya apresiasi yang diberikan tetapi juga provokasi. Hal yang tidak akan terlihat di wimbledon cup karena akan dianggap kurang beradab.

Kembali ke film. Yang menarik adalah karakter penonton film India dengan bollywood nya. Disinyalir kalau industri film amerika dan eropa tidak bisa melakukan penetrasi ke masyarakat India karena mereka telah memiliki cara menonton film nya sendiri yang tidak bisa disamakan dengan film amerika dan eropa.

Film yang panjang, dimulai dengan kisah pelaku utama nya dari mulai kecil sampai dia punya anak kecil lagi, lagu-lagu dan tarian (tentunya pohon-pohon hehehe... ) menjadi ciri khas yang tidak bisa dilepaskan dari film India. Konon masyarakat India akan merasa kaget menyaksikan film eropa yang bertele-tele ketika awal atau film Amerika yang tiba-tiba dalam waktu 3 menit pelaku utamanya sudah besar dan punya anak lagi

By the way, bagaimana yah karakter penonton film Indonesia? Saya kadang khawatir bila penonton film Indonesia tidak mempunyai kharakter dalam menikmati film. Tapi personally sekarang saya cukup senang melihat perkembangan film-film Indonesia walaupun hanya melihat lewat spanduk atau billboard dan menyaksikan beberapa film saja. Ada perkembangan cukup signifikan dibanding dengan film-film tahun 90an ketika saya masih SLTA dan mula pertama kuliah.

Ketika awal menjadi mahasiswa dulu saya cukup pusing dan ketawa melihat judul-judul film Indonesia. Mengerikan dan lucu. Judulnya saja sudah dahsyat. “Ranjang Bergoyang” “Malam berdarah” “Pengantin ternoda” dll. Saya agak hapal selain karena sering melihat spanduknya, juga karena salah satu teman saya, penikmat sejati film-film Indonesia itu.

Saya sempat penasaran dengan film-film itu dan menyempatkan diri menonton film-film itu. Hasilnya hanya 20 menit saya tahan berada di gedung bioskop, karena geli melihat acting pemain-pemainnya. Padahal saya bukan pengkritis film. Hanya penikmat sekilas.

Pada kesempatan lain saya sempat mengalami kejadian lucu. Waktu mengajak teman, penikmat film ”ranjang bergoyang” dll. Saat itu sedang booming film Titanic yang menjadi perbincangan banyak orang. Sengaja saya ajak teman saya tersebut untuk menyaksikan film itu, sekedar sedikit pencerahan buat dia dan alhamdulillah sukses. Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut dia ketika mau masuk ruang bioskop adalah : ”De... Film ini ada berantem nya gak?” hahahaha... Dan keluar dari gedung bioskop dia marah-marah karena gak pernah ngajak saya sebelumnya menonton film seperti itu.

Pada kesempatan lain sempat juga seorang teman, karena terbiasa nonton film Sekwilda, maka dia terbiasa menonton di bioskop yang hampir roboh (yang hampir roboh bukan hanya surau saja hehehe...). Ketika saya mengajak dia nonton ke Studio 21, dia sempat ketiduran karena ruangan yang sejuk dan kursi yang empuk hahaha...

Tapi saya yakin itu bukan karakter penonton film Indonesia. Di Unpad Jatinangor saya punya seorang teman yang bisa mengulas sampai habis film-film di dunia. Menunjukan kepada saya makna terdalam dari setiap adegan film yang luput dari perhatian umum. Merekomendasikan kepada saya film-film bermutu yang tidak pernah dikenal umum dan akan senyum membaca tulisan dangkal ini

Hallo Oscar!...

Medan Merdeka Barat

Jakarta

READ MORE - Tentang Film

Mencintai

Mencintai adalah melebur dengan orang yang kita cintai dan menemukan percikan Tuhan didalam dirinya. - Paulo Coelho -
READ MORE - Mencintai