Week end kali ini saya dan istri menghabiskan waktu ke bioskop. Opsi dari istri; nonton di BIP (Bandung Indah Plaza) dengan studio 21 nya atau Paris Van Java dengan BlitzMegaPlex nya. Pilihan ke BIP lebih pada alasan historis saja. Dulu bila bersama kakak-kakak ke Bandung, pasti menyempatkan diri ke daerah BIP. Mungkin karena itu mall pertama di Bandung yang relatif lebih mewah pada massanya, juga karena disana ada Toko Buku Gramedia. Beberapa hari setelah itu saya menyesal dengan keputusan ini, karena saya baru tahu bila BlitzMegaPlex ternyata merupakan ”lawan baru” serius bagi 21.
Sepertinya karena peminat terhadap film Spiderman 3 dan Naga Bonar jadi 2 begitu membludak, Studio 21 hanya memutar dua film itu saja. Film Naga Bonar jadi 2 menjadi pilihan. Penasaran karena sudah menonton dua seri film Spiderman yang sebelumnya, istri tertarik untuk menyaksikan Spiderman 3. Kebetulan sedang tidak ada masalah dengan keuangan, siang itu langsung saja antri beli tiket untuk dua film J
Ini kali pertama saya menonton film di bioskop dengan istri.Saya tidak tahu kebiasaan istri bila menonton sebagaimana dia juga tidak tahu kebiasaan saya menonton film.
Ternyata coriusity istri saya sangat tinggi. Ketika film berlangsung beberapa kali dia bertanya atau bercerita seputar kedua film tersebut, mulai dari cerita yang melingkupi film itu sampai isu seputar aktor. Bila sedang bercerita saya bisa ignore. Kesulitannya bila mengajukan pertanyaan. Menyulitkan, karena mengganggu fokus menonton.
Keluar dari bioskop saya complain. Interupsinya ketika film berlangsung, dengan segala cerita dan pertanyaan tentang film itu, sangat mengganggu. Ketika saya bertanya apakah dia menikmati film tadi, jawabannya sangat mengejutkan bagi saya. Istri saya merasa enjoy dengan sikap nya tadi. Justru kemudian dia yang merasa aneh kepada saya kenapa mesti terganggu dengan segala macam bentuk interupsi yang dia lakukan. Menurutnya apa yang dia lakukan adalah bentuk perhatian dan kekritisan dia terhadap film tadi. Menurut dia, sangat penting mengetahui seluk beluk sebuah film. Sepertinya memang tidak ada pakem tentang bagaimana menikmati film di Indonesia.
Eropa dan Amerika
Membicarakan industri dan kualitas film, maka kiblat kita mengarah ke Amerika dan Eropa. Sekarang film Amerika sedang mendapat tempat di tengah masyarakat. Film-film dari Timur Tengah sesekali muncul ke permukaan. Seperti film ”Children of Heaven” atau “Osama”. Tapi jumlahnya minim, jadi tertutup oleh film-film Amerika.
Dominasi film Amerika di banding film-film eropa, selain karena faktor sosialisasi yang massif, tidak bisa dilepaskan dari karakter film yang dibuat. Film Amerika mempunyai karakter tersendiri yang lahir dari kondisi psychologis dan sosiologis masyarakat Amerika. Begitu juga dengan karakter yang di bawa oleh film-film eropa. Lahir dari tuntutan sosiologis dan secara resiprokal ikut membentuk karakter masyarakat. eropa.
Film Amerika. Masyarakat Amerika adalah masyarakat multikultur. Imigran yang datang dari berbagai benua dengan beragam budaya dan identitas. Indian sebagai penduduk asli amerika bahkan sudah menjadi orang asing di tanah amerika. Fenomena Jakarta dengan masyarakat betawi bisa menjadi penjelas sederhana tentang masyarakat Amerika.
Betawi sudah menjadi pendatang di tanah sendiri. Perbedaan signifikan betawi dengan Indian mungkin pada sikap masyarakat pendatangnya. Tidak pernah terdengar ada perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat betawi. Adapun pandangan minor adalah hal yang lumrah terjadi di setiap relasi antar masyarakat. Karena hal seperti itu tentunya dialami oleh seluruh masyarakat.
Berkomunikasi dalam sebuah masyarakat heterogen tentunya mesti tampil dengan tata kota yang general supaya semua bisa terfahamkan. Tidak bisa menghadirkan bahasa khusus karena akan memancing multi interpretasi. Bila hal ini terjadi, maka gagal lah maksud sebuah komunikasi.
Film Amerika adalah film yang berusaha berkomunikasi dalam masyarakat heterogen. Dibutuhkan sebuah pilihan kata dan strategi komunikasi yang bisa terfahamkan oleh semua orang dalam waktu seketika. Tidak perlu tampil dengan bahasa khusus dan tinggi karena hal itu hanya akan melahirkan ragam tafsiran yang pada akhirnya akan menggagalkan targetan komunikasi. Tidak heran bila pilihan kata yang dihadirkan tidak akan memancing usaha kontemplatif bagi para pendengar karena semua di design supaya bisa terpahamkan seketika, tidak memperhatikan kedalaman makna.
Berkomunikasi dengan masyarakat yang heterogen mesti memastikan bahwasannya audiences mengikuti semua pesan yang disampaikan. Karena berhadapan dengan masyarakat majemuk, dibutuhkan trik yang mesti memaksa audiences mengikuti film dari awal sampai akhir. Maka di design lah sebuah daya tarik yang akan memaksa penonton menonton film itu dari awal sampai akhir. Pilihannya bisa dengan mengeksplorasi seks atau dengan adegan-adegan yang aneh dan fantastis di luar kebiasaan dan nalar.
Film Eropa. Berbeda dengan amerika, film eropa lahir dari sebuah masyarakat homogen dan lahir sebagai hiburan untuk kelompok masyarakat elite, bukan hiburan untuk rakyat banyak. Perpaduan kedua hal inilah yang menjadi dasar pembentuk film-film eropa.
Berkomunikasi dihadapan masyarakat homogen tidak dihadapkan dengan kekhawatiran terputusnya perhatian audiens terhadap topik pembicaraan. Komunikasi bisa di design dan dilaksanakan secara mengalir dan pilihan kata dihadirkan untuk bisa memfasilitasi makna yang lebih dalam dari sebuah pesan. Sehingga dibutuhkan usaha-usaha kontemplatif memaknai setiap pesan yang ada.
Membuat pertunjukan untuk kalangan elite tentunya tidak sedang mendesign hiburan semata. Lebih dari itu, hiburan yang ditampilkan mestilah bisa mengeksplorasi sedemikian rupa potensi kecerdasan dan nurani penontonnya. Karena pertunjukan bagi kalangan elite bukan semata sebuah hiburan, tetapi juga bermakna identitas keluhuran kualitas diri serta usaha peningkatan kompetensi diri.
Karakter lain dari film eropa yang tidak dapat dilupakan adalah falsafah ”demi pengembangan seni”. Hasrat untuk menghasilkan film yang berkualitas begitu tinggi tidak peduli bila produk akhir film tersebut tidak cukup marketable (tepatnya tidak terlalu memperdulikan kebutuhan pasar) Sehingga tidak aneh bila dikatakan bila film eropa adalah ”seni untuk seni”
Film Eropa& Film Amerika
Menyaksikan film Amerika adalah menyaksikan sebuah pertunjukan untuk menghibur. Hiburan yang dihiasi dengan eksplorasi seks sebagai sebuah komoditi juga atraksi-atraksi fantastis, yang mustahil, sehingga penonton tertarik untuk menyaksikan pertunjukan itu dari awal sampai akhir.
Film Amerika adalah film yang tidak membutuhkan kontemplasi dan perenungan mendalam untuk pemahamannya karena semua disajikan dalam bahasa yang mudah dan umum tanpa tendensi untuk menghadirkan makna yang mendalam.
Sekarang ini, dengan penemuan di bidang graphis, segala bentuk fantasi bisa di design sedemikian rupa dengan biaya yang kecil. Teknik simulasi, dengan menggunakan komputer, memungkinkan semua bentuk fantasy di design sedemikian rupa.
Pada sisi lain melihat film eropa kita seolah melihat sebuah pertunjukan yang membutuhkan proses pemaknaan yang cukup berat. Film eropa menginginkan bila penonton memperoleh pencerahan setelah menyaksikan film mereka. Harapan yang sejajar dengan niatan awal pembuatan.
Kadang memang menjadi sangat menjemukan bila menonton film eropa pada menit-menit pertama. Tidak ada sesuatu daya tarik untuk memaksa kita duduk sampai akhir menyaksikan film tersebut. Berbeda dengan film amerika yang pada tahap awal saja sudah menghadirkan sesuatu yang bombastis.
Sepertinya produk film seperti ini lah yang kemudian membentuk karakter penonton film di Amerika dan di Eropa. Dalam banyak hal sepertinya hal ini bisa dilihat dari fenomena pertunjukan selain film. Dalam olahraga misalnya, antara american footbal dengan sepakbola yang biasa kita mainkan, yang katanya berasal dari Inggris.
Masyarakat eropa memandang apa yang dipertontonkan dalam American Football adalah kebrutalan sehingga semua mesti memakan pelindung. Tapi bagi masyarakat Amerika, sepakbola justru hiburan yang cengeng. Pemain sepakbola di tackling dan sedikit body contact sudah jatuh, meringis kesakitan dan mesti di tandu keluar lapangan.
Atau bisa dilihat dari karakther penonton di dunia olahraga. Coba lihat perbedaan sikap penonton di kejuaraan tenis yang paling bergengsi di dunia yang dilaksanakan di Inggris, Wimbledon Cup,dengan penonton di kompetisi basket paling elite di dunia; NBA, yang dilaksanakan di Amerika. Bila pada yang pertama penonton begitu santun. Hanya memberikan applaus, dengan tepuk tangan, bila benar-benar disajikan pertunjukan menarik, maka pada yang kedua penonton akan berteriak dari awal sampai akhir. Tidak hanya apresiasi yang diberikan tetapi juga provokasi. Hal yang tidak akan terlihat di wimbledon cup karena akan dianggap kurang beradab.
Kembali ke film. Yang menarik adalah karakter penonton film India dengan bollywood nya. Disinyalir kalau industri film amerika dan eropa tidak bisa melakukan penetrasi ke masyarakat India karena mereka telah memiliki cara menonton film nya sendiri yang tidak bisa disamakan dengan film amerika dan eropa.
Film yang panjang, dimulai dengan kisah pelaku utama nya dari mulai kecil sampai dia punya anak kecil lagi, lagu-lagu dan tarian (tentunya pohon-pohon hehehe... ) menjadi ciri khas yang tidak bisa dilepaskan dari film India. Konon masyarakat India akan merasa kaget menyaksikan film eropa yang bertele-tele ketika awal atau film Amerika yang tiba-tiba dalam waktu 3 menit pelaku utamanya sudah besar dan punya anak lagi
By the way, bagaimana yah karakter penonton film Indonesia? Saya kadang khawatir bila penonton film Indonesia tidak mempunyai kharakter dalam menikmati film. Tapi personally sekarang saya cukup senang melihat perkembangan film-film Indonesia walaupun hanya melihat lewat spanduk atau billboard dan menyaksikan beberapa film saja. Ada perkembangan cukup signifikan dibanding dengan film-film tahun 90an ketika saya masih SLTA dan mula pertama kuliah.
Ketika awal menjadi mahasiswa dulu saya cukup pusing dan ketawa melihat judul-judul film Indonesia. Mengerikan dan lucu. Judulnya saja sudah dahsyat. “Ranjang Bergoyang” “Malam berdarah” “Pengantin ternoda” dll. Saya agak hapal selain karena sering melihat spanduknya, juga karena salah satu teman saya, penikmat sejati film-film Indonesia itu.
Saya sempat penasaran dengan film-film itu dan menyempatkan diri menonton film-film itu. Hasilnya hanya 20 menit saya tahan berada di gedung bioskop, karena geli melihat acting pemain-pemainnya. Padahal saya bukan pengkritis film. Hanya penikmat sekilas.
Pada kesempatan lain saya sempat mengalami kejadian lucu. Waktu mengajak teman, penikmat film ”ranjang bergoyang” dll. Saat itu sedang booming film Titanic yang menjadi perbincangan banyak orang. Sengaja saya ajak teman saya tersebut untuk menyaksikan film itu, sekedar sedikit pencerahan buat dia dan alhamdulillah sukses. Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut dia ketika mau masuk ruang bioskop adalah : ”De... Film ini ada berantem nya gak?” hahahaha... Dan keluar dari gedung bioskop dia marah-marah karena gak pernah ngajak saya sebelumnya menonton film seperti itu.
Pada kesempatan lain sempat juga seorang teman, karena terbiasa nonton film Sekwilda, maka dia terbiasa menonton di bioskop yang hampir roboh (yang hampir roboh bukan hanya surau saja hehehe...). Ketika saya mengajak dia nonton ke Studio 21, dia sempat ketiduran karena ruangan yang sejuk dan kursi yang empuk hahaha...
Tapi saya yakin itu bukan karakter penonton film Indonesia. Di Unpad Jatinangor saya punya seorang teman yang bisa mengulas sampai habis film-film di dunia. Menunjukan kepada saya makna terdalam dari setiap adegan film yang luput dari perhatian umum. Merekomendasikan kepada saya film-film bermutu yang tidak pernah dikenal umum dan akan senyum membaca tulisan dangkal ini
Hallo Oscar!...
Medan Merdeka Barat
Jakarta