Buat para penggemar KRL Jakarta-Bogor, mulai sekarang harus mulai membiasakan membeli karcis resmi. Setidak-tidaknya ini berdasarkan pengalaman saya pagi tadi memakai KRL, setelah lama tidak menikmati KRL. Saya juga berharap apa yang terjadi berlangsung secara konsisten dan continue.
Kejadiaannya tadi pagi ketika saya mau berangkat ke kantor. Tiap Jumat dan Selasa pagi saya dapat tugas analisis isyu publik di Depkominfo. Pagi tadi posisinya agak sulit. Mesti datang sebelum jam 07.30 di kantor Depkominfo, Medan Merdeka Barat, sementara posisi masih di margonda Depok. Pilihan transportasi untuk sampai ke kantor lebih cepat tentunya KRL Bogor-Jakarta. Beroperasi lebih pagi, pukul 05.00, dan berjalan lebih cepat.
Sampai Statsiun Pondok Cina pukul 05.30. Setelah membeli tiket jurusan Jakarta Kota, saya lebih fokus memegang dan menghitung uang kembalian ketimbang menyimpan karcis KRL nya. Karena memang selama ini hal itu tidak pernah menjadi pihak perhatian PJKA. Bayar tidak bayar, semua orang bisa menaiki KRL.
Sebetulnya saya sempat melihat keanehan di statsiun pondok cina. Diluar kebiasaan, pada saat masuk ruang tunggu kereta arah Jakarta ada petugas KRL yang memeriksa karcis. Pemeriksaan biasanya hanya di statsiun besar-besar saja tidak di statsiun kecil seperti pondok cina. Tetapi waktu itu saya tidak terlalu peduli dengan aktivitas baru perugas PJKA di statsiun pondok cina tadi.
Sampai di statsiun Gondangdia entah kenapa saya teringat dengan karcis KRL yang sudah saya beli. Setelah di cek kesana kemari, sepertinya karcis yang saya beli jatuh di statsiun Pondok Cina. Instuisi saya melarang untuk keluar statsiun Gondangdia. Seketika saya langsung bergerak pindah jurusan, menunggu KRL ke Bogor. Rencananya kembali ke statsiun terdekat, yang tidak terlalu ketat penjagaannya, untuk keluar statsiun dan membeli tiket. Saya sempat mengintip, di pintu keluar memang banyak polisi khusus statsiun yang berjaga.
Sambil menunggu kedatangan kereta ke arah Bogor saya sempatkan ngobrol dengan dua seorang penumpang KRL yang mau ke arah Bogor. Sepertinya mereka baru kerja lembur dan akan pulang ke rumah. Informasinya cukup mengejutkan. Menurut mereka sudah sebulan ini pengawasan di seluruh statsiun KRL sepanjang Jakarta Bogor sangat ketat. Termasuk di statsiun-statsiun kecil seperti UI, Pondok Cina. Tempat-tempat mahasiswa naik KRL dengan gratis. Keluar dan masuk statsiun mesti menunjukan tiket. Kalau tidak ada, langsung denda 50.000 atau tidak bisa masuk statsiun
Menurut dua teman tadi, sekarang di seluruh statsiun KRL sepanjang Jakarta Kota - Bogor, besar maupun kecil, minimal ada polisi khusus menjaga pintu masuk. Statsiun Citayam, yang dulu terkenal bebas keluar masuk statsiun tanpa membeli karcis, banyak polisi menjaga semua jalan masuk ke statsiun. Bahkan di statsiun manggarai polisi khusus KRL berjaga-jaga di bantaran kali untuk memergoki penumpang yang mencoba meloloskan diri kearah kali karena tidak mempunyai karcis.
Seorang penumpang KRL yang baru saja lembur bekerja di Atrium Senen menceritakan kalau dia sekarang pasti membeli tiket. Dulu dia jarang sekali beli karcis. Kalau ada pemeriksaan di gerbong dia cukup memberikan seribu perak untuk route seharga dua rebu perak atau mungkin tidak membayar sama sekali. Bahkan sekarang di gerbong sudah jarang yang melakukan pemeriksaan, karena petugas sudah tahu bahwa hampir semua penumpang sudah mempunyai tiket.
Senang bercampur kesal juga. Senang karena akhirnya regulasi itu bisa berjalan seperti yang diharapkan. Kesal karena informasi yang saya dapat terlambat sehingga membuat saya kesulitan untuk keluar dari statsiun Gondangdia karena kehilangan karcis. Seketika saya berpikir keras untuk mempertahankan uang 50.000 saya.
Akhirnya teman tadi memberikan cara supaya terhindar dari denda 50.000. semula saya menebak dia pasti mau menyarankan saya membayar denda 10.000, atau lebih rendah dari 50.000, kepada petugasnya dengan harapan itu akan masuk kantong pribadi dan saya bisa keluar. Tetapi ternyata cara yang dianjurkan tidak seperti itu. Saya disarankan kembali ke statsiun manggarai, dua statsiun kearah Bogor, yang mempunyai loket tiket di dalam peron sehingga saya bisa membeli tiket tanpa keluar peron. Kemudian kembali ke Gondangdia dan keluar statsiun dengan tiket dari statsiun Manggarai. Saran itu saya laksanakan dan ternyata bisa sukses untuk mempertahankan uang 50.000 perak saya.
Sempat aneh kenapa loket di Manggarai ada didalam peron. Bukankah itu memberikan kesempatan setiap calon penumpang KRL masuk peron? Ternyata untuk Manggarai, karena pintu masuknya tersebar dimana-mana, setiap orang bisa masuk peron terlebih dahulu untuk membeli tiket. Mungkin karena dianggap semua pintu masuk statsiun, selain manggarai, sudah dijaga ketat, hal ini tidak akan memberikan peluang penumpang KRL tanpa karcis.
Ketidakseimbangan solidaritas
Niatan untuk membayar atau tidak membayar ketika naik KRL sering terbentur dengan rasa solidaritas terhadap penumpang KRL dan negara sebagai institusi penanggung jawab pelaksana pelayanan publik. Konyolnya solidaritas dengan yang terakhir inilah yang sering membuat kita sakit hati.
Ketika membayar tiket KRL kadang sering sakit hati dengan penumpang lain yang tidak membayar. Sama-sama menikmati jasa KRL tetapi berbeda dalam pelaksanaan kewajiban. Saya membayar mereka tidak. Kadang saya yang membayar mesti berdiri lama sampai tujuan, sementara yang tidak membayar enak duduk.
Tetapi rasa itu bisa di kompromikan. Bisa difahami bila para penumpang KRL banyak yang tidak membayar. Saya menganggap mereka sebagai bagian dari masyarakat korban dari pengelolaan negara yang nggak jujur. Kenaikan harga sembako, BBM dan biaya transportasi yang tinggi memaksa mereka untuk tidak adil dalam menggunakan jasa transportasi yang disediakan pemerintah. Bila argumen ini saya perpanjang dengan kualitas jasa pelayanan KRL, fungsi agama yang dimanipulir oleh para tokoh agama dan penguasa, maka saya menjadi semakin merasa memahami mereka.
Sayangnya solidaritas ini tidak bersambut ketika dihadapkan dengan pemerintah sebagai penanggung jawab penyedia layanan publik ini. Pemerintah yang corrupt menyebabkan inefesiensi dalam pengelolaan layanan publik. Bahkan karena inefisiensi ini tidak hanya membuat layanan publik tidak layak, lebih jauh dari itu, layanan publik menjadi sangat tidak manusiawi. Kalau tidak percaya coba aja naik KRL Jakarta – Bogor pada jam kerja.
Membayar tiket naek KRL itu hitung-hitung kita belajar ikhlas saja. Jangan pernah berfikir heroik bahwa kita telah membantu pembangunan negeri ini dengan membayar tiket KRL. Beberapa saat kedepan sebaiknya kita jangan berharap seperti itu dulu. Karena harapan seperti itu hanya melahirkan sakit hati dan keputusasaan.
Kita bayar tiket KRL untuk melaksanakan kewajiban kita sebagai pengguna, terlepas dari kualitas layanan jasa yang diberikan. Jangka panjangnya tentunya kita berharap penumpukan kesadaran seperti ini akan menjadi energi penggugah para pengambil kebijakan supaya lebih jujur dalam mengelola negara ini. Kalau tidak, minimal kita sudah menuntaskan kewajiban kita. Itu saja.
Jakarta, 24 Juli 2006
No comments:
Post a Comment