Sebuah negara bisa hidup tanpa media. Tapi, bangsa tidak. Negara yang dipimpin pemerintah otoriter bisa menipu diri karena memiliki "media-mediaan" yang hanya bisa menjilat dan memuja segenap sepak terjang pemerintah. Tapi, sebuah bangsa punya hati nurani yang membuatnya menolak penjilatan.
Media itu aset bangsa. Dia bukan hanya milik kita orang-orang media. Aset ini mahal. Media bisa mencapai tahap kebebasan seperti sekarang ini karena perjuangan penuh dedikasi dan pengorbanan banyak pihak.
Dengan kata lain, kita berutang kepada para aktivis, para intelektual, penulis, seniman, budayawan, ahli komunikasi massa, dan juga kepada pihak lain yang menaruh peduli akan kebebasan ekspresi melalui media. Mereka pernah dibikin menderita, "diinteli", diteror, hilang atau mati karena ikut membela media meskipun secara pribadi mereka tak memperoleh keuntungan langsung.
Tapi sekarang, kita, orang-orang media, melupakan sejarah ini. Media seolah hanya milik kita. Sering kita pongah, seolah media sebuah dunia lain, mandiri, dan mutlak merdeka dari campur tangan pihak lain. Seolah kita makhluk Tuhan dari ras yang lain sama sekali dari mereka yang bukan orang-orang media.
Kita sering—mungkin diam-diam—merasa eksklusif. Tapi, sering pula—ini juga diam-diam—kita tidak konsisten. Terhadap Anda, yang bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa, dengan enak orang media ibaratnya melangkahi Anda tanpa permisi, atau tak peduli sama sekali seolah Anda tak layak ditegur. Tapi, bila Anda penulis (apalagi terkemuka) atau pengamat (biarpun tak bisa berpikir jernih lagi), atau seniman besar, saya jamin di depan Anda kami akan membungkuk sedalam-dalamnya.
Juga kalau Anda orang penting, berkedudukan tinggi, dan merupakan sumber berita. Memang tak jarang kita juga akrab dengan orang-orang biasa, yang kreatif, dan tampil beda dari orang-orang lain. Mereka pun dihormati sebagai sumber berita. Tapi hanya itu.
Memang harus dilihat secara jernih bahwa media banyak jenisnya. Ada yang menjaga kredibilitas begitu rupa hingga ibaratnya noda setitik pun tak dibolehkan menempel di "badannya". Kita angkat topi kepada mereka. Dan, saya pun bersedia membungkuk hormat karena ia layak dihormati.
Tapi, tak semua media yang pernah punya kredibilitas mampu mempertahankannya. Alih generasi, pergantian zaman, dan pergantian orientasi jurnalistiknya, bisa membuat media tak lagi terlalu terhormat di mata publik. Apalagi media yang hadir semata untuk mengintip peluang bisnis. Di dalam media jenis ini orang-orangnya tak tampak memelihara kredibilitas, tak menjaga idealisme, dan juga tak merasa penting memelihara sikap kritis.
Tentu saja kita harus tahu pula media bukan makhluk seputih salju di atas batu hitam. Dan, di muka bumi ini memang tak ada media seperti itu. Di sini, di zaman kebebasan pers ini, kita orang-orang media, dengan sikap para true believers, memelihara formula good news is bad news secara agak fanatis.
Bisa saja hal itu terjadi karena kita kurang matang, tapi tak mustahil karena tidak kreatif dan belum punya kecanggihan mengolahnya menjadi sesuatu yang enak dan memberi pembaca pencerahan tanpa setitik pun menodai prinsip-prinsip jurnalistik.
Kita, orang media, memandang kebebasan pers sebagai mantra suci, sehingga demi kebebasan pers itu kita tak terlalu menyesal telah melukai manusia dan kemanusiaan. Kebebasan pers telah membuat kita merasa di atas siapa saja hingga tampak sekali dewasa ini bahwa kelihatannya tak ada orang yang patut kita hormati. Tak ada dirjen atau sekjen, bahkan menteri, yang kita handle with care.
Ada sikap populis yang membara, di bawah payung kebebasan pers tadi, yang membuat sebagian kita, orang media, mudah memburu orang tertentu yang dicurigai menyimpang, sehingga pagi-sore, siang-malam orang itu kita beritakan terus-menerus sampai harga dirinya habis tandas, seolah kita tak mungkin selingkuh dari kesucian profesi.
Ini menjadi fenomena kebudayaan kita karena kita bangga akan profesi yang mulia itu, mabuk kredibilitas, dan sikap populis atau hanya karena kementahan sikap politik dan tak adanya wisdom dalam diri kita? Sikap mengandalkan hak jawab—bahwa orang boleh membantah-di negeri ini bukan jawaban yang cukup adil.
Banyak orang yang doyan sensasi sehingga lebih dari sembilan puluh sembilan persen hak jawab telah kehilangan fungsi dan relevansinya untuk meluruskan apa yang terlanjur kita bikin melengkung..
Ada bahkan di antara kita yang berkata bahwa dirinya sudah terbiasa menghadapi keluhan sumber berita atau pihak lain yang dirugikan. Ada terselip rasa bangga di sana. Sulit saya memahami apa gunanya bangga dalam perkara—sengaja atau tidak—membikin pihak lain kecewa?
Media memang bukan lembaga suci dan kita orang-orang media bukan malaikat. Tapi, kalau kita agak rendah hati, dengan sikap cermat, dan hormat pada orang seperti kita hormat pada diri sendiri, saya kira media tak akan dicap angkuh, sebagai lembaga yang tak tersentuh kritik. Ini merugikan kita sendiri.
Kita bangga menjadi pilar ke empat demokrasi. Kita bangga menjadi polisi moral yang gigih meluruskan pihak lain. Tapi mengapa kita biarkan diri kita menodai diri dari dalam, dengan sikap yang agak kelihatan jelas membuat kita begitu arogan, angkuh, dan tak tersentuh?
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/23/persona/385721