Masuk NU itu butuh keikhlasan. Bayangin aja, sudah shalat tharawih nya 23 rakaat, ditambah shalawat, doanya panjang-panjang lagi. Hehehe…
Itu pengalaman saya malam tadi ketika untuk pertama kalinya ikut shalat tharawih dengan masyarakat NU di mushalla kecil sekitaran Salemba Jakarta. Niat awalnya, keluar kantor dari Medan Merdeka Barat saya berencana buka puasa dan tharawih di Masjid Bimantara kebon sirih. Tetapi karena telat, saya putuskan buka puasa di Masjid Bank Indonesia.
Secara genetik, saya memang tidak mempunyai hubungan dengan kaum Nahdhiyin. Meskipun tidak pernah berafiliasi secara formal, apalagi fanatik dengan Persis atau Muhamadiyyah, tetapi karena pengaruh lingkungan dan pandangan orang tua, sepertinya dalam masalah pandangan dan perilaku keagamaan keluarga saya lebih identik dengan Persis atau Muhamadiyyah.
Berbeda dengan kawasan Jawa Timur, lingkungan keagamaan di Jawa Barat relatif lebih bervariasi. Persis dan Muhamadiyyah mendapat tempat yang cukup signifikan di tengah masyarakat disamping NU. Saya belum begitu tahu komposisi pasti antara ketiga komunitas ini. Tetapi bila ukuran pemilu tahun kemarin menjadi ukuran, dimana pimpinan Persis gagal menjadi anggota DPD kalah oleh ketua DPW NU Jawa Barat, itu lebih menunjukan kesolidan dan kepatuhan kaum nahdhiyin ketimbang Persis. Bukan indikator dominasi jumlah NU berbanding Persis.
Disamping itu yang cukup mempengaruhi pandangan keagamaan keluarga saya adalah world view dari Bapak sendiri, yang merupakan central dalam pemahaman keagamaan di rumah. Berhadapan dengan ormas keislaman Bapak relatif lebih independen dan kritis. Terkhusus dengan kaum Nahdhiyin, bapak sepertinya tidak begitu simpatik dengan mereka. Hal ini bisa di fahami karena dua hal. Pertama tingkat interaksi yang minim dengan kaum nahdhiyin. Kedua pengalaman historis bapak sebagai kader Masyumi tulen yang sangat militan.
Sebagaimana diketahui, bagi sebagian kalangan islam politik, keluarnya NU dari barisan Masyumi dianggap sebagai tindakan pengkhianatan terhadap perjuangan nilai-nilai Islam pada masa awal kemerdekaan. Apalagi setelah itu berada sangat dekat dengan Soekarno yang memberangus Masyumi.
Tharawih dengan masyarakat NU memang menarik. Hal ini mungkin karena saya sudah terbiasa mengikuti tradisi Muhamadiyyah dan Persis, sehingga tharawih dengan masyarakat NU terasa sangat menarik. Bila sebelumnya shalat tharawih dilaksanakan 11 Rakaat, di masjid yang besar dengan tokoh masyarakat. Malam tadi saya tharawih dengan masyarakat pinggiran Jakarta di sebuah mushalla kecil. Semuanya tetap berjalan dengan khusuk meski diluaran hiruk pikuk anak-anak ramai bermain.
Shalat tharawih dilaksanakan 23 rakaat dengan dua rakaat sekali salam. Disela-sela tharawih di selingi dengan puji-pujian terhadap nabi dan para sahabat. Diakhir, ditutup dengan doa bersama dalam bahasa arab yang cukup panjang.
Melalui format seperti ini jelas shalat tharawih membutuhkan waktu yang lebih panjang. Selain itu juga stamina fisik yang lebih dibanding dengan melaksanakannya dalam 11 rakaat. Lumrah bila shalat tharawih ala Persis dan Muhamadiyyah lebih “laris” di banding NU. Apalagi bila dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat perkotaan yang selalu ingin bertindak secara efektif dan efisien.
Ini hanya sekedar spekulasi saya saja, sangat wajar bila shalat tharawih di gedung-gedung besar pusat bisnis Jakarta dilaksanakan 11 Rakaat. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan kebiasaan bertindak efektif, tetapi juga efiesiensi pelaksanaannya. Bayangkan saja bila shalat tharawih di gedung-gedung itu memakai ala NU. Akan lebih banyak cost yang mesti keluar untuk bayar listrik, AC juga keamanan.
Terakhir yang menarik bagi saya adalah doa-doa yang dilantunkan. Bila ditelisik lebih jauh, doa-doa yang dilantunkan jauh dari keinginan untuk memperkaya diri, berupa permintaan rizki yang banyak, tetapi lebih kepada usaha untuk tegar dan dewasa dalam hidup. Memperbaiki kualitas hidup yang tidak menekankan aspek materi. Sehingga doa yang keluar pun lebih kepada berharap bagaimana ibadah mereka diterima, ilmu yang bermanfaat dan shalawat kepada nabi. Bukan permintaan rizki yang banyak atau posisi yang mapan.
Syukur Kang Jalal, tentang sebagian kegagalangerakan Muhamadiyyah dan Persis, sepertinya terbukti dengan pengalaman diatas. Bayangkan saja bila Muhamadiyyah dan Persis betul-betul sukses dan menggantikan NU di Indonesia. Kita tidak akan lagi merasakan nikmatnya zikir, agama yang ramah dalam dekapan kaum marginal serta indahnya kumandang shalawat.
Melalui Muhamadiyyah kita belajar rasional dalam tindakan. Melalui Persis ketika belajar kedisiplinan, keteguhan dan ketegasan dalam beragama. Melalui NU kita belajar mengasah dzuuq kita dalam beragama. Biarkan mereka semuanya tumbuh, berkembang dan menjadi bagian dari kehidupan kita.
ck ck ck
ReplyDeleteMas Delia, refleksi Anda menarik. Refleksi anak muda yang membuka diri pada berbagai perspektif. Salam dari kawan nahdliyinmu.
ReplyDeleteafs