Segala macam bentuk Kecurangan, penipuan, pengkhianatan pertemanan dan kejahatan lainnya adalah kedholiman terhadap orang lain dan diri sendiri karena mereduksi nilai dasar kemanusiaan yang bersemayam di setiap diri insan. Tidak perlu hari kiamat, balasannya selalu datang dalam waktu dekat.
Seluruh Isi Blog ini sudah dipindahkan ke www.tongkrongan.com dan selanjutnya updating ada di situs yang baru ini. Salam dan sukses untuk semua
Wednesday, 28 November 2007
Kecurangan, Kejahatan, Penipuan dll..
Monday, 26 November 2007
Amdal di Pondok Indah?
Mesti diakui motivasi mendasar dari semua penolakan yang dilakukan. Apalagi bila dilanjutkan dengan kasus portal-portalan dan pengalaman Budiartho Shambazy, Kompas 22 November. Tidak bermaksud mendukung pemprov DKI atau Warga PI karena keduanya memang tidak layak di dukung.
Friday, 23 November 2007
Bukan sekedar alunan nada
Tentunya almarhum hanya mengurai sedikit hal saja tentang musik. Banyak hal yang masih bisa kita gali dari setiap alunan nada yang kita dengar. Musik merupakan dokumentasi sejarah, karena syair-syair musik tentunya tidak lahir dari sebuah ruang vakum. Syair musik selalu lahir dari pergulatan intens antara idealita dan realita yang dihadapi setiap penciptanya. Adapun kualitasnya tentunya tergantung dari pergulatan dan motifasi dari musik yang diciptakan.
Sebagai dokumentasi sejarah juga kadang musik membuat kita untuk sedikit merenung ke perjalanan kehidupan kita sebelumnya. Masa kejayaan musik selalu mengingatkan masa ketika kita hidup waktu itu. Segala macam idealisme dan obsesi serta kekonyolan masa dahulu kita secara tidak sadar terungkap kembali ke permukaan.
Inilah yang saya rasakan ketika iseng-iseng memutar beberapa lagu masa lalu seperti lagu dari Iwan Fals& Sawung Jabo lewat album Dalbonya. Juga ketika track musik merambat ke lagu-lagu berikutnya. Lagu cinta dari Jayanti Damansari tentang bukit yang indah, bis kota dari God Bless dan lagu dari Gank Pegangsaan. Syairnya seolah menjadi dokumentasi sejarah dan membuat kita untuk sedikit merenung ke belakang. Lagu itu saya dapatkan secara tidak sengaja di sebuah blog.
Iwan Fals dengan Sawung Jabo melalui album Dalbo ketika itu memang tidak menuai sukses penjualan. Sepertinya pola musik, saya kurang faham tentang aliran-aliran musik secara detail, yang disajikan oleh Dalbo tidak cukup menarik bagi masyarakat meskipun disana ada nama Iwan Fals yang sudah cukup tenar. Tetapi syair dari Dalbo seolah mengingatkan saya secara personal tentang semangat muda dan idealisme ketika itu.
Melalui Dalbo, Iwan dan Jabo, melakukan proses kritik sosial yang cukup keras. Bagi dalbo penguasa, ketika itu, adalah kelompok orang yang lalim dan sewenang-wenang. Para orang kaya hanya hidup berdasar gengsi saja, tidak berpikir apa-apa tentang dirinya dan sekitarnya. Sementara itu kehidupan masyarakat pun sudah tidak ada lagi kosa kata kepedulian didalamnya.
Hal yang sangat mengejutkan, ketika hal yang menjadi kritik Dalbo masih menjadi keseharian kehidupan kita. Artinya reformasi kemudian belum,saya tidak ingin menyebut kata tidak, menghasilkan apa-apa bagi kehidupan kita. Masih banyak hal yang mesti kita benahi.
Begitu juga ketika mendengar syair-syari dari Jayanti Mandasari, dengan lagu "di puncak hijau" rasanya kita memang perlu merevisi kembali cara pandang hidup kita. Setting tentang bukit yang hijau dengan pemandangan yang indah, burung yang berkicauan, harum wangi bunga menjadi tempat memadu kasih sepasang pemuda. Menempatkan alam sebagai pusat kehidupan kita seolah sudah tidak ada lagi di kehidupan kita.
Lagu cinta yang kita dengar saat sekarang ini tidak lebih dari kepedihan tentang kegagalan cinta. Seolah hidup adalah penderitaan dan kesusahan karena kegagalan cinta. Tidak ada visi yang di tawarkan dan nilai yang diajarkan. Jayanti mandasari seolah mengingatkan kita tentang alam yang mendatangkan kedamaian, tidak hanya sekedar syair cinta picisan saja.
Yang lebih menarik dari lagu-lagu lama itu adalah revisi tentang diri. Masa emas beredarlagu lama selalu mengingatkan masa diri kita saat itu juga. Mendengarkan musik-musik yang diputar tahun 80-90an selalu mengingatka masa hidup kita di tahun-tahun itu.
Tahun 80-90an adalah masa-masa menempuh pendidikan sekolah dasar dan pesantren. masa ketika menikmati pelajaran dan didikan idealisme kehidupan melalui ajaran-ajaran agama, pergaulan dengan sesama yang ceria dan menceriakan serta kekonyolan-kekonyolan khas yang dilakukan anak seusia itu.
Masa-masa itu sudah lalu. Ajaran-ajaran idealisme itu kadang terlupakan, untung tidak terhapuskan, dan kehidupan ceria pun sudah lama tidak dinikmati. Relasi kemanusiaan sekarang seolah tidak pernah lepas dari kepentingan dan kepusangan.
Selesai mendengarkan lagu itu saya shalat Jumat. Seperti biasa, khatibnya tidak menarik dan tidak layak untuk didengarkan isi ceramahnya. Saya lebih banyak melamun memikirkan rencana kehidupan ke depan, sesuai dengan cita-cita dan apa yang saya jalani ketika kecil dulu. Membayangkan hidup membangun masyarakat di pedalaman. Melalui tekhnologi informasi tetap bersentuhan dengan dunia global dan memberi konstribusi. Sepertinya itu kehidupan yang ideal dibanding dengan apa yang dijalani sekarang.
Terima kasih buat teman-teman yang sudah menyediakan file lagu itu secara free di internet.
oya, satu hal lagi
Lagu-lagu kritik sosial, seperti yang dinyanyikan oleh Franky dan Iwan Fals, lahir dari sebuah zaman yang sangat refresif. Orde baru tidak mentolerir setiap bentuk kritikan yang ada di masyarakat. Tetapi anehnya lagu seperti itu juga tumbuh dan berkembang.
Sekarang lagu yang hadir tidak lebih dari roman-roman cinta yang minim kedalaman makna, padahal kita hidup di zaman yang relatif bebas. Semuanya lebih berorientasi untuk memuaskan kebutuhan pasar saja, tidak lebih. Tidak ada nuansa informatif dan edukatif dari syair-syair yang di tawarkan. Padahal kita hidup di zaman bebas dimana kebebasan selalu menstimuli ke kreatifitas.
Gak tahu lah.. Saya cuman sekedar nulis saja. Saya gak sempat ketemu Almarhum Harry Roesly untuk menanyakan hal ini.
Terpenting sekali lagi, terima kasih buat teman-teman yang menyediakan file itu secara free di internet.
Monday, 19 November 2007
Teilhard de Chardin
”Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.”
Friday, 16 November 2007
Pak Natsir…
Republika
Berita Utama
Jumat, 16 Nopember 2007
Natsir, 'Pahlawan' yang Terlupakan
''Kalau tahun ini gagal, tahun depan akan saya ajukan lagi. Tidak ada kata putus asa,'' tegas Mensos, Bachtiar Chamsyah, di depan ratusan undangan yang menghadiri diskusi 'Refleksi Seabad M Natsir', Kamis (15/11).
Ruangan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) yang tadinya senyap, sontak berubah gemuruh. Tepuk tangan pun membahana. ''Tahun ini, selaku Mensos, saya mengusulkan tujuh nama calon pahlawan nasional. Hasilnya, empat orang disetujui. Tapi tiga nama, termasuk Pak Natsir, tidak lolos,'' kata Bachtiar.
''Saya kemudian bertanya alasan penolakan itu kepada Pak Hatta Rajasa (Mensesneg). Dia hanya jawab begini ... begini .... Ya saya tahu alasannyalah,'' jelasnya, meski enggan menyebut arti kata 'begini' tersebut. Turut hadir dalam acara itu di antaranya Wakil Ketua DPR, AM Fatwa; Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie; Ketua KAHMI, Abdul Asri Harahap; anggota DPR, AM Lutfi; Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Syuhada Bahri; Rusjdi Hamka; dan keluarga M Natsir.
Sejarah Indonesia modern memang melupakan sosok Mohammad Natsir yang lahir di Alahan Panjang, Sumbar, 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta pada 1993. Padahal, berbagai jabatan strategis pernah diembannya, terutama ketika Republik ini masih 'bayi'. Posisi itu adalah menteri penerangan, perdana menteri, dan ketua umum Partai Politik Islam Masyumi.
''Jasa beliau sangat besar. Bukan hanya bagi orang Islam, tapi juga bagi semua warga bangsa ini,'' tegas Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Jasa Natsir bagi bangsa Indonesia, ungkap Jimly, setidaknya mencakup empat hal. Mempertahankan Pancasila, menjaga UUD 1945, mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan menggalang Bhinneka Tunggal Ika.
Bachtiar merasa ada sesuatu yang menarik ketika membaca buku-buku Natsir. Berbeda dengan gaya berpikir Bung Karno yang bergelora, tulisan Natsir justru kebalikannya. ''Pemikirannya lebih substansial menukik ke dalam hati. Selain itu, salah satu pesannya yang sulit dilupakan serta terus relevan adalah 'Berbentenglah di hati rakyat, bukan berbenteng di hati pejabat','' kata Bachtiar.
Semua warga bangsa ini, sambung guru besar ilmu politik UGM, Ichlasul Amal, sudah tahu seberapa besar jasa Natsir bagi Indonesia. Namun, di sisi lain, katanya, Natsir sendiri sebenarnya beberapa kali berada dalam kegamangan hidup.
Hal ini, misalnya, terlihat ketika harus memilih kembali sistem negara kesatuan. Sementara, kala itu, kekuatan politik luar Jawa berkeras ingin tetap mempertahankan sistem federalisme. Kegamangan hidup Natsir yang lain adalah ketika harus memilih kembali ke Sumatra Barat untuk memimpin PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
''Sebab, waktu itu dia harus memilih antara seorang 'nasionalis' atau 'kritis' terhadap tindak-tanduk kebijakan pemerintah pusat,'' jelas Amal. Pilihan Natsir ini jelas berbeda dengan mantan wakil presiden, Moh Hatta, yang lebih memilih tetap menjadi 'nasionalis'.
Kegamangan itu juga dirasakan oleh Ketua PP Perhimpunan KB-PII, M Natsir Zubaidi. Kondisi politik negara usai pembekuan Badan Konstituante dan Dekrit Presiden 1959, menurut Zubaidi, memang memaksa Natsir harus kritis. Negara saat itu tengah mengarah pada pemerintahan otoriter. Presiden Soekarno memaksa 'memasukkan' kekuatan kelompok komunis demi menopang kekuasaannya. Natsir pun menentangnya.
Sebagai akibat, rumah Natsir di Menteng dirusak massa Pemuda Rakyat. Natsir menyelamatkan diri dengan kembali ke kampung halaman di Padang. Di sanalah kemudian, dia ikut PRRI bersama para tentara yang 'tidak puas'. ''Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dia benar-benar memberontak, atau sebenarnya terjebak dalam permainan tingkat tinggi itu. Inilah yang belum terjawab sampai sekarang,'' kata Zubaidi.
Untuk itu, menurutnya, sangat dipahami bila kemudian Natsir belum bisa mendapat status pahlawan nasional. Dugaan yang ada, kini masih ada beberapa pihak di kalangan militer yang trauma dengan pemberontakan PRRI. ''Akibatnya, Pak Natsir tetap tak bisa menjadi pahlawan. Uniknya lagi, setelah geger PRRI surut, tokoh pemberontak yang berasal dari militer, malah kemudian namanya direhabilitasi dan diberi konsesi berupa areal perkebunan. Ya mirip dengan nasib orang GAM itulah,'' ulas Zubaidi. muhammad subarkah/palupi a auliani
Sumber :http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=313985&kat_id=3
Friday, 9 November 2007
Semiotika Nama
Kalau Shakespeare pernah bertanya apa(lah) arti sebuah nama, sangat mungkin saat ini pertanyaan tersebut berulang dalam intensitas berbeda. Oleh globalisasi, dengan gaya hidup sebagai ujung tombaknya, zaman sekarang tidaklah begitu "memedulikan" nama.
Saya sempat terkejut ketika tetangga di seberang desa mencomot nama "Andreas Surya Saputra" untuk anak pertamanya. Padahal, ia seorang Muslim taat. Keterkejutan saya semakin bertambah ketika ada pastor yang bertugas di Semarang memiliki nama "Ibn Fajar Muhammad".
Entahlah, sejak kapan proses ini terjadi. Sekarang tidak ada lagi blok hitam-putih untuk sebuah nama bahwa nama ini harus mewakili golongan tertentu. Sementara itu, nama lain masuk dalam wilayah pendakuan satuan primordial tertentu. Suatu nama klise tidak lagi menyokong garansi kepemilikan dari sebuah kelompok tertentu.
Sebutan "romo" tak lagi untuk pastor, tetapi juga kiai. Kata tahbisan tidak lagi khas menandai seseorang dilantik menjadi hierarki. Sementara kata mesias sudah tidak begitu keramat lagi eksklusif menunjuk pribadi tertentu. Seorang penyerang dalam suatu klub sepakbola dengan sangat mudah mendapat gelar sebagai "mesias" (lihat Majalah Bola).
Dalam tradisi agama tertentu, nama mencerminkan suatu periode liminal khusus yang unik. Seseorang diinisiasi dalam suatu komunitas besar. Itulah paguyuban yang mengidentifikasi diri dengan berbagai pernik khas.
Berkaitan dengan proses demikian, nama "Andreas" termasuk satu dari sekian santo-santa yang dijadikan penanda inisiasi seseorang ke dalam gereja Katolik. Ada latar sejarah tertentu mengenai pribadi orang yang dianggap suci untuk diteladani. Sejauh ini pengambilan nama pelindung tidak bisa serampangan.
Hanya saja, secara kebetulan nama pelindung itu kebanyakan dari Eropa. Entah siapa dahulu yang membonceng dan menunggangi tidaklah jelas genealogi nama-nama Eropa yang kemudian mewabah dalam kultur masyarakat kita. Globalisasi sekadar mendorong identitas kesetaraan masyarakat Indonesia yang inferior. Nama Barat dipresumsi bisa mendongkrak sindrom eksistensial untuk melampiaskan kejengkelan sebagai penyandang status subordinat kultural.
Saya belajar untuk tidak terlalu kaget dengan banalitas masyarakat dalam memilih nama buat anak-anak mereka. Mungkin kita memang sedang digerus kecemasan akut karena ketidakmudahan daya-ucap eksplorasi kata-kata yang membanjir. Sebegitu mudah suatu kata menjadi populer, segampang itu pula artikulasi sekaligus bobot semiotiknya habis. Budaya niraksara kita begitu subur dengan proyek kudeta-mengudeta kata, persis di saat kita tidak bisa memilah dengan pasti marka antara reduksi atau progresi atas Eropanisasi nama-nama dalam masyarakat kita.
Ada teman yang berkomentar, kita ini cabang dari Eropa. Kultur franchise rasanya tidak berlebihan menjadi ilustrasi budaya kita. Nyaris tidak ada lagi kebanggaan memiliki nama yang benar-benar Indonesia. Atau, "nama Indonesia" sekadar ilusi?
Berarti selama ini saya salah sangka.
TULUS SUDARTO
Rohaniman, Bekerja di Paroki Lampersari, Semarang
Sumber ;
http://www.kompas.co.id/
Jumat, 09 November 2007
Dr Ikram Abidi
"Hidup itu seperti naik sepeda, untuk menjaga keseimbangan kita harus tetap bergerak"
Thursday, 8 November 2007
Iklan Syari’ah Islam yang tidak Islami
Wednesday, 7 November 2007
Kemiskinan
Kira-kira begitulah ungkapan Rizalman. Mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi pasca sarjana ilmu ekonomi di University of Malaya. Rizalman meskipun mempunyai orang tua yang relatif mampu, tetap beritikad untuk memenuhi segala kebutuhan biaya pendidikannya di negeri orang secara mandiri. Mula keberangkatannya ke negeri jiran hanya dibekali beberapa ratus ribu untuk hidup satu bulan pertama. Selanjutnya Rizal, begitu dia biasa dipanggil teman-teman dan saudara-saudaranya, berjuang keras memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Rizal hanyalah satu diantara sekian banyak masyarakat Indonesia yang memiliki kemandirian dan kepedulian terhadap kondisi sekitarnya. Meskipun menjalani kehidupan yang lebih mudah dan nyaman di negeri tetangga, ingatannya terhadap negeri sendiri tidak pernah pupus. Baginya apa yang dia jalani sekarang merupakan modal untuk membangun kampung halamannya dari keterpurukan ekonomi dan keterbelakangan pendidikan.
Sikap seperti ini, dalam setting sosial yang berbeda, akan kita temukan di tempat-tempat lain baik itu di luar negeri maupun dalam negeri. Di kawasan Victoria Park Hong Kong misalnya. Warga Negara Indonesia yang sedang mencari nafkah disana, secara rutin mengadakan pertemuan setiap Sabtu dan Minggu. Bersenda gurau dengan bahasa kampung halaman sambil berbagi informasi kondisi tanah air. Hasil kerja keras selama 5 hari kerja tidak pernah dinikmati untuk diri sendiri. Sebagian besar dikirim ke kampung halaman untuk sanak familinya. Harapan mereka dengan kiriman uang itu tidak hanya sanak saudara saja yang terbantu, tetapi masyarakat di kampung halaman bisa terangkat dari kesulitan ekonomi.
Di negeri sendiri, jiwa-jiwa patriotik yang energik ini, terlihat begitu jelas pada setiap moment kemanusiaan yang membutuhkan partisipasi bersama. Catatan penanganan bencana tsunami di Aceh maupun gempa bumi Yogyakarta tidak akan pernah melupakan partisipasi kelompok-kelompok masyarakat yang tanpa pamrih mengulurkan segala potensi yang dimiliki untuk membantu korban bencana. Bantuan masyarakat ini muncul sedemikian rupa secara mandiri tanpa rekayasa. Begitu besarnya kemunculan jiwa patriotik ini, sehingga menyudutkan pihak yang berwenang karena dianggap lalai dan tidak mampu untuk melaksanakan koordinasi dan komunikasi bantuan.
Banyaknya kelompok masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial merupakan modal utama yang sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang membelit negeri kita; kemiskinan.
Bahaya kemiskinan bukan semata ketiadaan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lebih jauh dari itu, bahaya kemiskinan adalah ancaman terciptanya budaya kemiskinan di kehidupan kita. Kemiskinan selalu menghasilkan perilaku masyarakat yang tidak peduli kepada kebersihan dan kesehatan, minus kepatuhan terhadap aturan dan ketertiban serta mengabaikan pendidikan. Kemiskinan merupakan musuh bersama. Budaya kemiskinan akan selalu berakibat tidak hanya bagi orang miskin saja, tetapi juga mengancam kehidupan orang-orang mampu.
Adanya kelompok masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial tinggi, merupakan modal dasar yang sangat luar biasa dalam penanggulangan kemiskinan. Melalui kelompok masyarakat inilah usaha pengentasan kemiskinan akan berjalan lebih komprehensif dan menyeluruh. Kelompok masyarakat inilah yang akan membantu orang miskin dan pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan.
Dimensi bantuan dalam penanganan kemiskinan diungkap lebih luas oleh Jeffrey D Sach. Ekonom lulusan Harvard Univesity yang menjadi penanggung jawab program PBB dalam penanggulangan kemiskinan dunia, sebagaimana tertuang dalam Millennium Development Goal (MDGs).
Menurut Jeffret Sach dalam bukunya The End of Poverty (2005), meski orang miskin ingin keluar dari kemiskinannya, ia tidak mampu melakukannya dengan kekuatan sendiri. Begitu banyak faktor menjeratnya sampai tak berkutik: penyakit, cuaca buruk, lingkungan yang hancur, isolasi fisik, dan tentu saja tiadanya cukup uang. Kaum miskin dunia melihat tangga menuju pembangunan, mereka tergoda oleh gambaran kemakmuran dari dunia sebelah lain. Namun, mereka tak mampu meletakkan kakinya pada anak tangga, dan karenanya tidak mampu untuk merangkak keluar dari kemiskinan (hal 20).
Maka, kemiskinan harus langsung ditangani dan digarap. Ini sebabnya Jeffret Sach begitu menggebu-gebu menuntut agar negara- negara kaya menyediakan bantuan sebesar 135 miliar dollar AS pada tahun 2006, terus meningkat hingga 195 miliar dollar AS pada 2015 (untuk sampai target Millennium Development Goals). Tuntutan ini bukan impian karena negara-negara kaya telah setuju dengan Monterrey Consensus tahun 2002 untuk menyediakan bantuan pembangunan resmi (ODA) sebesar 0,7 persen dari pendapatan nasional bruto (PNB) mereka (atau sekitar 235 miliar dollar AS per tahun).
Sementara itu pada sisi lain Amartya Sen mengingatkan dimensi sistem dalam usaha penyelesaian kemiskinan. Bagi Amarya Sen, ekonom asal India yang dianugrahkan penghargaan Noble ekonom (1998) atas dedikasinya dalam penanganan kemiskinan, kemiskinan akan tertangani melalui adanya sistem sosial politik yang terbuka.
Ilustrasi yang diberikan Sen adalah apa yang terjadi di China dan India. Kesiapan sumber daya manusia akibat pendidikan massal dan pelayanan kesehatan umum yang lebih memadai, membuat China lebih berhasil dari India memasuki era marketisasi, karena sampai tahun 1991 tingkat buta huruf orang dewasa di India masih sebesar 50 persen, dan pelayanan kesehatan dasarnya juga sangat terabaikan. Akan tetapi, menyusul kegagalan program Lompatan Jauh Ke Depan, antara tahun 1958-1961 China mengalami bencana kelaparan terburuk sepanjang sejarah dengan angka kematian berkisar 30 juta orang. Sementara, dalam situasi ekonomi yang lebih buruk, India justru tak pernah lagi mengalami bencana kelaparan sejak kemerdekaan mereka di tahun 1947.
Bagi Amartya Sen, jawabannya terletak pada demokrasi di India yang jauh lebih marak. Menurut Sen, dalam iklim demokrasi, keterbukaan dan kebebasan tak memungkinkan bencana seburuk ini terjadi. Karena itulah, dalam Development as Freedom, peraih The Bank of Sweden Prize in Economic Sciences ini menandas-nandaskan pentingnya kritik, keterbukaan, kebebasan, dan demokrasi bagi pembangunan sebuah masyarakat. Bagi Sen boleh jadi demokrasi tidak selalu membawa kemakmuran, tetapi di negara-negar demokrasi tidak akan pernah ada kelaparan karena pemerintah yang demokratis akan lebih tanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Demokrasi yang mengharuskan adanya transparansi, kebebasan, akuntabilitas, ruang publik yang bisa diakses masyarakat umum sudah menjadi komitmen kita bersama. Kata ini selalu menjadi bahan perhatian bagi para pengambil kebijakan dalam menjalankan fungsi dan perannya. Bagi para pakar, pengamat dan lembaga swadaya masyarakat, demokrasi sudah menjadi pijakan dalam mengevaluasi dan merumuskan setiap kebijakan pembangunan masyarakat.
Penutup
Modal besar itu, masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial dan sistem sosial politik yang demokratis, sudah ada di depan kita. Selanjutnya, sambil menjaga dan menumbuh suburkan kedua potensi ini, tentunya kita tinggal melangkah bersama untuk menanggulangi kemiskinan. Kemiskinan itu bisa kita atasi.