Friday, 16 November 2007

Pak Natsir…

Hari ini saya cukup tertegun membaca tulisan di halaman depan sebelah bawah Republika (16/11/2007). ”Natsir, Pahlawan Yang Terlupakan”. Berita tentang acara refleksi se-abad Muhammad Natsir yang dihadiri Mensos Bachtiar Chamzah dan beberapa tokoh muslim di Gedung Mahkamah Konstitusi. Tulisannya tidak mendalam apalagi menyentuh. Hanya reportase kegiatan saja. Yang membuat saya cukup terharu adalah ketika nama itu disebut; “ M Natsir “

Saya belum pernah membaca secara detail apa dan bagaimana Pak Natsir apalagi sampai melakukan riset khusus tentang atau bertemu dengan beliau. Pengalaman psychologis paling terdekat dengan Pak Natsir bagi saya mungkin ketika pesantren dulu sempat main-main ke kampung beliau di Alahan Panjang Sumatera Barat. Daerah yang sangat indah, tenang dan sejuk dengan keajaiban alam Danau Ateh (danau atas) dan danau bawah. Itupun tanpa sengaja untuk merasa dan menikmati kampung kelahiran seorang tokoh internasional. Sekedar memenuhi ajakan seorang teman yang kebetulan berasal darisana.

Selainnya pengalaman psychologi saya dengan Pak Natsir hanya datar-datar saja. Perkenalan pertama dengan namai beliau, hanya nama saja, berasal dari Bapak yang berulang kali menyebut ketokohan dan kekagumannya pada Pak Natsir. Bapak memang aktivis Masyumi tulen. Militansinya sebagai kader Masyumi memang tidak terbantahkan. Sampai-sampai anaknya yang tidak pernah diberitahu, dan diajak, apa dan bagaimana Masyumi bisa ikut terlibat di lingkungan peninggalan Masyumi sebagai ketua Umum PB PII.

Selain dari Bapak, pengetahuan saya tentang Pak Natsir didapat dari pembicaraan seminar, buku-buku, berita media dan ungkapan kekaguman dari orang-orang yang pernah berinteraksi dengan beliau. Tidak lebih dari itu.

Tetapi dari pengalaman yang sangat sederhana itu tetap saja melahirkan sikap tersendiri kepada Pak Natsir. Penghormatan pertama kali yang saya lakukan kepada beliau adalah waktu menjadi santri level tsanawiyah di Perguruan Thawalib Padang Panjang. Ada berita dari kakak kelas dan ustadz kalau seorang tokoh islam di Jakarta bernama Pak Natsir meninggal dunia. Ajakan untuk melaksanakan shalat ghaib untuk Pak Natsir saya laksanakan secara spontan tanpa pertanyaan, apalagi penolakan, sama sekali. Meskipun saya tidak tahu apa dan bagaimana Pak Natsir.

Sekarang nama itu muncul lagi. Keharuan dan kekaguman muncul dengan sendirinya tanpa diminta. Mungkin ini yang disebut sebagai Pahlawan. Ketiadaannya saja sudah memberikan efek apatah lagi kehadirannya. Sepertinya inilah bukti dari janji Al Quran tentang orang-orang yang akan selalu hidup di sekitar kita dan panjang umur bila mereka konsisten menempuh jalan Allah

Doa saya, semoga seluruh kerja Pak Natsir diterima dan diteruskan. Minimalnya tidak dinodai oleh orang-orang yang sering mengaku sebagai pengagum dan penerusnya.

Semoga.


Republika

Berita Utama

Jumat, 16 Nopember 2007


Natsir, 'Pahlawan' yang Terlupakan

''Kalau tahun ini gagal, tahun depan akan saya ajukan lagi. Tidak ada kata putus asa,'' tegas Mensos, Bachtiar Chamsyah, di depan ratusan undangan yang menghadiri diskusi 'Refleksi Seabad M Natsir', Kamis (15/11).

Ruangan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) yang tadinya senyap, sontak berubah gemuruh. Tepuk tangan pun membahana. ''Tahun ini, selaku Mensos, saya mengusulkan tujuh nama calon pahlawan nasional. Hasilnya, empat orang disetujui. Tapi tiga nama, termasuk Pak Natsir, tidak lolos,'' kata Bachtiar.

''Saya kemudian bertanya alasan penolakan itu kepada Pak Hatta Rajasa (Mensesneg). Dia hanya jawab begini ... begini .... Ya saya tahu alasannyalah,'' jelasnya, meski enggan menyebut arti kata 'begini' tersebut. Turut hadir dalam acara itu di antaranya Wakil Ketua DPR, AM Fatwa; Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie; Ketua KAHMI, Abdul Asri Harahap; anggota DPR, AM Lutfi; Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Syuhada Bahri; Rusjdi Hamka; dan keluarga M Natsir.

Sejarah Indonesia modern memang melupakan sosok Mohammad Natsir yang lahir di Alahan Panjang, Sumbar, 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta pada 1993. Padahal, berbagai jabatan strategis pernah diembannya, terutama ketika Republik ini masih 'bayi'. Posisi itu adalah menteri penerangan, perdana menteri, dan ketua umum Partai Politik Islam Masyumi.

''Jasa beliau sangat besar. Bukan hanya bagi orang Islam, tapi juga bagi semua warga bangsa ini,'' tegas Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Jasa Natsir bagi bangsa Indonesia, ungkap Jimly, setidaknya mencakup empat hal. Mempertahankan Pancasila, menjaga UUD 1945, mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan menggalang Bhinneka Tunggal Ika.

Bachtiar merasa ada sesuatu yang menarik ketika membaca buku-buku Natsir. Berbeda dengan gaya berpikir Bung Karno yang bergelora, tulisan Natsir justru kebalikannya. ''Pemikirannya lebih substansial menukik ke dalam hati. Selain itu, salah satu pesannya yang sulit dilupakan serta terus relevan adalah 'Berbentenglah di hati rakyat, bukan berbenteng di hati pejabat','' kata Bachtiar.

Semua warga bangsa ini, sambung guru besar ilmu politik UGM, Ichlasul Amal, sudah tahu seberapa besar jasa Natsir bagi Indonesia. Namun, di sisi lain, katanya, Natsir sendiri sebenarnya beberapa kali berada dalam kegamangan hidup.

Hal ini, misalnya, terlihat ketika harus memilih kembali sistem negara kesatuan. Sementara, kala itu, kekuatan politik luar Jawa berkeras ingin tetap mempertahankan sistem federalisme. Kegamangan hidup Natsir yang lain adalah ketika harus memilih kembali ke Sumatra Barat untuk memimpin PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).

''Sebab, waktu itu dia harus memilih antara seorang 'nasionalis' atau 'kritis' terhadap tindak-tanduk kebijakan pemerintah pusat,'' jelas Amal. Pilihan Natsir ini jelas berbeda dengan mantan wakil presiden, Moh Hatta, yang lebih memilih tetap menjadi 'nasionalis'.

Kegamangan itu juga dirasakan oleh Ketua PP Perhimpunan KB-PII, M Natsir Zubaidi. Kondisi politik negara usai pembekuan Badan Konstituante dan Dekrit Presiden 1959, menurut Zubaidi, memang memaksa Natsir harus kritis. Negara saat itu tengah mengarah pada pemerintahan otoriter. Presiden Soekarno memaksa 'memasukkan' kekuatan kelompok komunis demi menopang kekuasaannya. Natsir pun menentangnya.

Sebagai akibat, rumah Natsir di Menteng dirusak massa Pemuda Rakyat. Natsir menyelamatkan diri dengan kembali ke kampung halaman di Padang. Di sanalah kemudian, dia ikut PRRI bersama para tentara yang 'tidak puas'. ''Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dia benar-benar memberontak, atau sebenarnya terjebak dalam permainan tingkat tinggi itu. Inilah yang belum terjawab sampai sekarang,'' kata Zubaidi.

Untuk itu, menurutnya, sangat dipahami bila kemudian Natsir belum bisa mendapat status pahlawan nasional. Dugaan yang ada, kini masih ada beberapa pihak di kalangan militer yang trauma dengan pemberontakan PRRI. ''Akibatnya, Pak Natsir tetap tak bisa menjadi pahlawan. Uniknya lagi, setelah geger PRRI surut, tokoh pemberontak yang berasal dari militer, malah kemudian namanya direhabilitasi dan diberi konsesi berupa areal perkebunan. Ya mirip dengan nasib orang GAM itulah,'' ulas Zubaidi. muhammad subarkah/palupi a auliani

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=313985&kat_id=3

No comments:

Post a Comment