Beberapa hari yang lalu saya jalan-jalan ke Gelora Bung Karno di Jakarta. Mengelilingi bangunan senayan dan juga masuk ke ruangan dalam, melihat dari jauh bagaimana lapangan bola yang selama ini hanya bisa saya lihat di layar TV saja. Dulu sempat merencanakan nonton bola langsung ke stadion ini dengan catatan Persib Bandung tampil sebagai finalis Ligina. Tapi ternyata Persib, setelah juara di Ligina I, tidak pernah lagi tampil sebagai finalis Ligina di stadion ini.
Sebetulnya berkali-kali saya sering datang ke kompleks olahraga terbesar di Indonesia mengikuti pameran buku, pendidikan, komputer yang sering digelar di Jakarta Convention Centre nya. Mungkin karena belum ada kepentingan yang mendesak, maka Gelora Bung Karno hanya saya lihat dari jauh saja. Kali ini saya mendekati dan masuk ke bangunan Gelora Bung Karno karena sedang mengantar dan menunggu istri yang mengikuti testing pekerjaan di tempat ini.
Jangan pernah melihat bangunan Gelora Bung Karno, sebagai stadion kebanggaan nasional dan terbesar di Indonesia, dan membandingkannya dengan Stadion yang dimiliki Malaysia di Bukit Djalil sana. Apalagi membandingkan dengan Allianz Arena di Muenchen Jerman. Selain salah dan proporsional, pandangan seperti ini tidak akan pernah menghadirkan efek ketakjuban kedalam diri. Kemegahan dan kehebatan Gelora Bung Karno tidak akan pernah hadir bila dilihat dengan cara seperti itu.
Bayangkan lah sebuah negeri yang baru saja lepas dari penjajahan selama 3,5 abad. Penjajahan yang menghancurkan penduduk negeri nya baik secara phisik maupun psychis. Tidak hanya itu, penjajahan itu telah mengakibatkan penduduk negeri ini merasakan kemakmuran alam nya meskipun negeri ini dikenal memiliki alam yang sangat kaya.
Dalam usia baru seumur jagung dengan kondisi alam dan masyarakat yang dirusak oleh kolonialisme penjajah inilah kemudian Stadion Gelora Bung Karno ini dibangun. Melalui stadion inilah kemudian citra Indonesia terbangun dihadapan negara lainnya. Pastinya bangunan ini tidak akan pernah berdiri tanpa adanya sebuah heroisme, visi dan semangat sebuah bangsa.
Saya teringat ketika beberapa tahun yang lalu datang ke Kualalumpur. Karena menara kembar (Twin Tower) Petronas sudah menjadi kebanggaan bagi orang-orang Malaysia dan menjadi icon negeri mereka, teman-teman disana mengajak saya mengunjungi kesana. Sebelumnya teman-teman disana juga mengajak saya menikmati megahnya menara KL yang tingginya lebih pendek dibanding menara Petronas.
Dalam lawatan berikutnya ke Malaysia saya sengaja datang ke menara petronas sendiri. Menampik kesediaan teman-teman di Malaysia untuk mengantar saya kesana. Selain karena saya sudah mengetahui route perjalanan dan Kualalumpur dan lebih mudah dan nyamannya moda transportasi di Kualalumpur dibanding Jakarta, saya juga sedang ingin sendiri memaknai apa yang saya lihat.
Ditempat yang cukup jauh saya pandangi sekali lagi menara Petronas itu. Sebagaimana juga masyarakat Asia lainnya, saya juga merasakan keindahan dan kemegahan menara kembar ini. Bila malam lampu-lampu yang menyala disekelilingnya terlihat sangat indah. Bila siang arsitekturnya yang unik dan menjulang tinggi menjadi pemandangan sendiri.
Tanpa sadar air mata saya jatuh dan akhirnya saya sesunggukan menangis. Saya tinggalkan menara Petronas dan masuk ke kereta "Putera" sambil menunduk menyembunyikan air mata saya dari penumpang Putera lainnya. Tidak banyak penumpang yang memperhatikan air mata saya karena mungkin mereka sendiri masih lelah dengan pekerjaannya.
Saya menangis membayangkan petronas sebagai lambang tertinggalnya Indonesia dibanding Malaysia. Mestinya menurut saya Pertamina bisa membuat menara yang jauh lebih megah, besar dan indah daripada menara petronas. Tapi itu tidak terjadi dengan segala penyimpangan yang telah dilakukan oleh para penguasa di negeri ini. Ironisnya lagi menurut saya, SDM Indonesia jauh lebih handal dibanding Indonesia. Ukurannya sangat sederhana. Teman-teman Malaysia saya selalu menyatakan bahwasannya Indonesia tempat kumpulan orang-orang pintar dan sangat militant. Mereka selalu menyebut nama Habibie, Amien Rais, Ahmad Syafie Maarif, Adi Sasono, Alm Abdul Rahim Natsir, Alm Natsir, Kuntowidjoyo dll sebagai tokoh-tokoh yang selalu menjadi rujukan mereka. Dan mereka hanya menyebut nama Datuk Sri Anwar Ibrahim, sebagai tokoh yang menurut mereka layak menjadi rujukan.
Saya juga membayangkan betapa modal Indonesia untuk maju jauh lebih besar dibanding teman-teman di Malaysia. Bila Malaysia menjadikan menara petronas sebagai icon kemajuan mereka, Indonesia jauh lebih dahulu memiliki monas yang dibangun pada masa-masa awal kebangkitannya. Tentunya memerlukan tenaga ekstra tersendiri, phisik dan non phisik, membangun bangunan yang begitu monumental seperti Monas.
Apalagi bila ditelusuri lebih lanjut dengan melihat masjid Istiqlal, masjid terbesar se Asia Tenggara, Gelora Bung Karno, juga Hotel Indonesia. Semuanya dibangun ketika bangsa-bangsa di Asia baru saja lepas dari penjajahan.
Dikemudian hari saya menyadari membandingkan monas dan menara petronas bukanlah perbandingan yang ideal. Tidak hanya merujuk kepada sejarah, secara angka, pembangunannya itu sendiri, tetapi juga merujuk kepada semangat yang terbangun di kedua bangunan monumental tersebut.
Menara Petronas bagi saya adalah dokumentasi dari sebuah semangat kapitalisme sejati dari sebuah international coorporate perminyakan. Bangunan itu seolah memancarkan kerakusan sebuah perusahaan yang ingin melahap dunia ini sampai habis menunjukan bahwa dirinya sangat kuat dan berkuasa diatas dunia
Uang dan kekuasaan. Itulah yang terpancar dari bangunan ini
Sedangkan Monas adalah dokumentasi dari sebuah keinginan bapak bangsa untuk membangun sprit bangsanya mengisi kemerdekaan yang telah diraih dengan gagah. Monas seolah ingin mengatakan kepada dunia akan adanya sebuah negeri yang subur makmur yang sudah melepaskan diri dari penjajahan dengan gagah berani. Bangunan ini mengingatkan dunia untuk tidak lagi memandang rendah negeri yang baru saja melepaskan diri dari penjajahan.
Komitmen, Heroisme dan semangat untuk maju. Itulah yang ingin dipancarkan oleh monumen ini.
Oleh karena itu beberapa hari kemarin saya bilang ke anak saya yang masih berumur 1 bulan bila dia sudah bisa mengikuti saya ke Jakarta nanti, saya ingin mengajaknya berkeliling ke Monas. Tidak hanya melihat bangunan yang sudah menjadi icon Indonesia, tetapi juga merasakan komitmen, heroisme dan semangat untuk maju sebagai bagian yang mesti ada dalam diri anak saya
READ MORE - Antara Gelora Bung Karno, Monas dan Menara Petronas