Thursday, 11 September 2008

Budaya Masjid Vs Budaya Pasar di Bulan Ramadhan

‘imal lidunyakan kaannaka ta’isyu abadan

Wa’mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan

(Ali Ibn Abi Thalib)

Konon ada dua budaya dalam kehidupan masyarakat. Pertama budaya masjid yang kedua budaya pasar. Bila yang pertama berkaitan dengan agama yang berarti mengajarkan normativitas dalam keseharian serta pengingatan akan kehidupan here after, maka yang kedua berbicara tentang aspek duniawi.

Menurut Alm Kuntowidjoyo Dalam buku Budaya dan Masyarakat (1991), Budaya masjid adalah budaya yang menggambarkan budaya masyarakat yang bersih, jujur, dan jauh dari aspek hedonisme. Sedangkan budaya pasar merujuk budaya masyarakat yang penuh tipu daya dan selalu mementingkan keuntungan materi.

Di kehidupan masyarakat, kedua budaya ini melahirkan orang dengan pola sikap dan pola perilaku yang berbeda. Bila budaya masjid melahirkan orang yang sering disebut alim, santun dan irrasional, maka budaya pasar melahirkan orang yang progresif, rasional dan siap melakukan apa saja untuk memenangkan sebuah kompetisi.

Karena perbedaan type dan orientasi antara dua budaya ini, tidak jarang tokoh utama masing-masing budaya ini berada dalam posisi konfrontatif. Aktor budaya masjid, bagi aktor budaya pasar, dianggap jumud dan sok alim. Begitu juga sebaliknya,aktor budaya pasar bagi menurut aktor budaya masjid, adalah calon penghuni neraka karena sering menegasikan tuhan di kehidupan kesehariannya.

Perkembangan selanjutnya adalah ketika budaya pasar dan budaya masjid ini saling berkompetisi. Di satu waktu dan satu tempat kadang budaya masjid sangat dominant, begitu juga sebaliknya. Dominasi bisa terjadi dalam bentuk sarkasme, berupa pelarangan yang dilakukan budaya masjid atau pelecehan oleh aktor budaya pasar.

Tetapi yang sangat menarik adalah ketika terjadi sinergi antara budaya masjid dan budaya pasar. Aktor budaya pasar secara jenius memanfaatkan setiap moment budaya masjid untuk dijadikan kesempatan mencari keuntungan. Aktor budaya masjid meneriman

Ramadhan menjadi momen bersama antara aktor budaya masjid dan budaya pasar. Bagi orang masjid, Ramadhan adalah sesuatu yang sangat sakral dan momen yang sangat tepat untuk menyebarkan pemahaman keagamaan secara massal dan menarik. Begitu juga bagi orang-orang pasar. Ramadhan menjadi tempat yang sangat tepat untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Tetapi dalam prakteknya, meskipun seolah terjadi sinergitas, pada dasarnya yang terjadi di setiap Ramadhan adalah dominasi. Budaya pasar selalu menjadi penentu utama dari setiap hajatan yang dilakukan pada bulan Ramadhan.

Hal ini setidaknya bisa dilihat dari banyaknya reduksi makna yang menjadi ajaran-ajaran budaya masjid. Karena kepentingan komersil, ceramah ramadhan mesti sering dipotong iklan. Supaya acaranya menarik, maka semuanya mesti didominasi oleh canda tawa. Akibatnya adalah, acara Ramadhan membawa tertawa tidak memberikan pencerahan.   

Ketika pasar menjadi sangat dominant pada bulan Ramadhan ini, maka siap-siap saja agama, terkhusus Ramadhan, menjadi sangat tereduksi. Sebanya sederhana saja, karena semuanya bergerak demi uang. Dan ketika semua bergerak demi uang, maka ketika itu juga pada dasarnya budaya masjid sudah kalah.

Menurut Sosiolog Georg Simmel, Uang dalam sistem capital menjelma menjadi nilai dari segala sesuatu. Dia tak membutuhkan nilai lain, apalagi agama atau moral. Secara sataris, sosiolog Jerman itu bahkan menyatakan, ketika uang telah menjadi nilai utama, maka dia telah menjadi tuhan yang mendevaluasi tuhan-tuhan lainnya.

Khamami Zada (2006) berpendapat bahwa fenomena market oriented yang muncul dibalik program-program tayangan keagamaan seringkali tidak secara sadar ditangkap pemirsa (umat dan agamawan) sehingga yang terjadi adalah industrialisasi agama.

Fenomena dakwah keagamaan dan industri hiburan dalam kenyataannya memarjinalkan agama dalam kutub komersialisasi. Dampak terbesar industrialisasi adalah kian maraknya budaya konsumtif (consumer culture) dalam kehidupan masyarakat.

Apa yang digambarkan oleh Khamami Zada tersebut nampaknya semakin dibuktikan dengan kecenderungan besar, dimana pesan-pesan keagamaan oleh publik hanya dilihat sebagai simbol-simbol budaya, life style dalam budaya konsumtif.

Lalu bagaimana keluar dari masalah ini?Apakah budaya masjid itu memang terlalu idealis untuk hidup di zaman yang begitu materialistis?ataukah memang tidak ada tempat bagi budaya pasar karena hanya melulu mengajarkan dunia semata seolah tidak ada kearifan di masing-masing fihak

Masyarakat Indonesia pada dasarnya sejak dahulu sadar dengan kondisi ini. Pentingnya dua budaya ini diformulasikan masyarakat dalam bentuk tata arsitektural kota yang sangat menarik.

Dimanapun kota di Indonesia, selalu menempatkan masjid dan pasar sebagai dua posisi yang tidak pernah lepas. Masjid dan pasar inilah yang kemudian menjadi pemantau bagi keratin sebagai pusat kekuasaan. Artinya ada kerjasama antara masjid dan pasar dalam menopang kehidupan masyarakat.  

Beberapa abad sebelumnya Sahabat dan menantu nabi, Ali Ibn Abi Thalib, memberikan rumusan solusi yang sangat ringan dan cerdas. Menurut Ali persoalannya terletak ketika kita mampu memposisikan secara proporsional diantara dua budaya ini. “imal lidunyaka kaannaka ta’isyu abadan wa’mal liakhiratuka kaannaka tamuutu ghaddan”

Bekerjalah kamu bagi duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah kamu bagi akhirat kamu seolah-olah kamu akan mati besok.

Masjid dan pasar bukan sesuatu yang mesti dipisahkan. Keduanya bisa saling sinergi dan mendatangkan keuntungan bagi masing-masing. Kecelakaan terjadi ketika terjadi dominasi dan arogansi diantara dua budaya ini.

Hal inilah yang kemudian sudah ditunjukan oleh Dedy Mizwar dengan sinetron Ramadhannya “Para Pencari Tuhan” jilid II. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Metro TV ketika dengan secara konsisten menayangkan talkshow “Tafsir al Misbah” oleh Prof Dr Quraish Shihab.

Pesan-pesan agama tersampaikan sebagaimana juga obsesi orang pasar untuk meraih pemirsa sebanyak-banyaknya bisa terfasilitasi. Dan yang terpenting adalah; barakah.

Waallahu’alam bi shawab

1 comment: