‘imal lidunyakan kaannaka ta’isyu abadan
Wa’mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan
(Ali Ibn Abi Thalib)
Menurut Alm Kuntowidjoyo Dalam buku Budaya dan Masyarakat (1991), Budaya masjid adalah budaya yang menggambarkan budaya masyarakat yang bersih, jujur, dan jauh dari aspek hedonisme. Sedangkan budaya pasar merujuk budaya masyarakat yang penuh tipu daya dan selalu mementingkan keuntungan materi.
Di kehidupan masyarakat, kedua budaya ini melahirkan orang dengan pola sikap dan pola perilaku yang berbeda. Bila budaya masjid melahirkan orang yang sering disebut alim, santun dan irrasional, maka budaya pasar melahirkan orang yang progresif, rasional dan siap melakukan apa saja untuk memenangkan sebuah kompetisi.
Tetapi yang sangat menarik adalah ketika terjadi sinergi antara budaya masjid dan budaya pasar. Aktor budaya pasar secara jenius memanfaatkan setiap moment budaya masjid untuk dijadikan kesempatan mencari keuntungan. Aktor budaya masjid meneriman
Ramadhan menjadi momen bersama antara aktor budaya masjid dan budaya pasar. Bagi orang masjid, Ramadhan adalah sesuatu yang sangat sakral dan momen yang sangat tepat untuk menyebarkan pemahaman keagamaan secara massal dan menarik. Begitu juga bagi orang-orang pasar. Ramadhan menjadi tempat yang sangat tepat untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Tetapi dalam prakteknya, meskipun seolah terjadi sinergitas, pada dasarnya yang terjadi di setiap Ramadhan adalah dominasi. Budaya pasar selalu menjadi penentu utama dari setiap hajatan yang dilakukan pada bulan Ramadhan.
Hal ini setidaknya bisa dilihat dari banyaknya reduksi makna yang menjadi ajaran-ajaran budaya masjid. Karena kepentingan komersil, ceramah ramadhan mesti sering dipotong iklan. Supaya acaranya menarik, maka semuanya mesti didominasi oleh canda tawa. Akibatnya adalah, acara Ramadhan membawa tertawa tidak memberikan pencerahan.
Ketika pasar menjadi sangat dominant pada bulan Ramadhan ini, maka siap-siap saja agama, terkhusus Ramadhan, menjadi sangat tereduksi. Sebanya sederhana saja, karena semuanya bergerak demi uang. Dan ketika semua bergerak demi uang, maka ketika itu juga pada dasarnya budaya masjid sudah kalah.
Khamami Zada (2006) berpendapat bahwa fenomena market oriented yang muncul dibalik program-program tayangan keagamaan seringkali tidak secara sadar ditangkap pemirsa (umat dan agamawan) sehingga yang terjadi adalah industrialisasi agama.
Fenomena dakwah keagamaan dan industri hiburan dalam kenyataannya memarjinalkan agama dalam kutub komersialisasi. Dampak terbesar industrialisasi adalah kian maraknya budaya konsumtif (consumer culture) dalam kehidupan masyarakat.
Apa yang digambarkan oleh Khamami Zada tersebut nampaknya semakin dibuktikan dengan kecenderungan besar, dimana pesan-pesan keagamaan oleh publik hanya dilihat sebagai simbol-simbol budaya, life style dalam budaya konsumtif.
Lalu bagaimana keluar dari masalah ini?Apakah budaya masjid itu memang terlalu idealis untuk hidup di zaman yang begitu materialistis?ataukah memang tidak ada tempat bagi budaya pasar karena hanya melulu mengajarkan dunia semata seolah tidak ada kearifan di masing-masing fihak
ini betul sekali
ReplyDelete