Pagi ini jam 07 an saya jalan lewat wisma antara. Trus nyebrang arah monas dan belok kanan menuju arah kantor di medan merdeka barat. Di depan pintu masuk monas, sebrang kantor pusat Indosat, sudah ada mobilisasi massa dari Serikat Karyawan (Sekar) Telkom untuk demonstrasi. Isunya adalah penolakan serikat karyawan Telkom terhadap pembukaan kode akses SLJJ buat operator lain.
Saya tidak begitu tahu detail masalah pembukaan kode akses SLJJ apalagi motif mendasar demonstrasi Sekar Telkom apakah pesanan atau bukan, tapi dari spanduk yang dibentangkan jujur saja cukup membuat saya agak bergidik,tersentak dan miris. Selain tentang penolakan pembukaan kode akses SLJJ, tulisan spanduk demonstrasi Sekar Telkom menyebutkan tentang penyelematan aset negara yang tersisa di dunia telekomunikasi, menolak dominasi kepemilikan asing, keengganan menjadi babu negara-negara asing.
Miris karena sepertinya yang berjuang untuk membuat negeri ini lebih independen dari dominasi asing ternyata masyarakat kelas karyawan, selagi tuan mereka sedang menyusun strategi penjualan aset ke pemodal asing. Bergidik membayangkan apa yang diusahakan mereka, seperti terbiasa, akan terjegal oleh orang-orang yang semestinya mempunyai kewajiban lebih mempertahankan independensi negeri ini. Tersentak karena ternyata masih banyak kelompok masyarakat kita yang mempunyai rasa kepemilikan yang tinggi terhadap negeri ini.
Seperti yang ditunjukan oleh teks-teks dalam demonstrasi sekar Telkom, problem kita sekarang sepertinya adalah independesi dan keberanian. Minus independensi dan keberanian inilah yang menyebabkan terpilihnya pimpinan KPK dari para pelanggar hukum dan KPU yang tidak jelas kompetensi dan krediblitasnya. Lahir dari lobby politik karena ketakutan sehingga mengorbankan niatan awal memperbaiki keadaan.
Catatan yang menarik akan kita temukan bila sejenak kita melihat sepenggal perjalanan Indonesia. Indonesia awal pra dan pasca kemerdekaan, menurut catatan, hanya ditopang oleh sekitar 45 sarjana. Tetapi melalui 45 sarjana inilah kemudian Indonesia bisa lepas dari penjajahan dan melangkah lebih jauh dengan peran yang sangat signifikan bagi masyarakat dunia. Indonesia maju ke depan membangun poros alternatif di tengah konstelasi dunia yang sudah terblok sedemikian rupa oleh negara-negara adikuasa. Bahkan sampai sekarang jejak itu masih tersimpan dan menjadi pijakan gerak dunia internasional sampai sekarang.
Reputasi 45 sarjana itu pun, bila diukur dengan jenjang dan institusi pendidikan, masih kalah jauh dengan generasi sekarang. Soekarno adalah insinyur dari ITB pra kemerdekaan, pendidikan tinggi yang ketika itu tentunya masih tidak mempunyai reputasi apa-apa. Hatta mungkin dari Leiden University, the oldest university in netherland, tetapi gelar keserjanaanya tidak lebih dari seorang doktorandus. Sejawatnya sesama orang minang dan mahasiswa Leiden, Sjahrir, bahkan kuliahnya di Leiden University tidak sampai lulus alias drop out. Kekaguman akan kita temukan bila lebih lanjut kita lihat profil seperti Tan Malaka, M Natsir dll. Spirit belajar tinggi yang digabung dengan keberanian dan independensi telah meninggalkan jejak-jejak fundamental bagi Indonesia.
Indonesia sekarang adalah generasi-generasi yang dipenuhi oleh jutaan sarjana dalam dan luar negeri dengan strata yang complete. Tidak cukup dari itu, negeri ini juga telah dihiasi oleh perguruan tinggi - perguruan tinggi yang berada di setiap pelosok negeri. Tetapi sepertinya kondisi ini masih belum bisa membuat Indonesia lepas dari segala macam dominasi dan intervensi. Sesuatu yang terjadi karena minis sikap independensi dan keberanian. Hal ini juga lah, terutama yang terakhir, yang menjadi problem Presiden kita kali ini.
Kuasa Pengetahuan
Bagi Sujiwo Tedjo, seniman dari ITB, para penjajah memang sudah pergi dari bumi Indonesia juga negara-negara dunia ketiga lainnya. Tetapi mereka meninggalkan bank-bank sentral di setiap negara yang mereka tinggalkan. Melalui inilah kemudian kolonialisasi diteruskan sampai sekarang.
Pada sisi lain kuasa pengetahuan sepertinya menjadi sebuah variable yang mesti menjadi bahan perhatian. Pandangan pengetahuan sebagai sesuatu yang tidak steril dari kepentingan sepertinya sudah diterima banyak pihak. Pengetahuan sebagai bagian dari produksi kekuasaan pada akhirnya tidak urung menjadi bagian dari proses penguasaan juga. Pendidikan sebagai sebuah bagian untuk membebaskan, di banyak tempat menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan ketika semua dilaksanakan sebagai bagian dari pelanggengan kekuasaan. Hal inilah yang dialami indonesia.
Indonesia, dalam satu kurun waktu yang sangat panjang, telah mengkiblatkan dirinya pada satu negara adikuasa dalam memperkaya pengetahuan melalui produksi kaum terpelajar. Amerika sudah lama menjadi tujuan pengembangan kemampuan intelektual bangsa Indonesia sampai sekarang. Pengiriman beribu-ribu sarjana yang berperstasi telah menjadi program kerjasama antar pemerintah.
Tidak ada yang salah dengan program ini, bahkan menjadi sesuatu yang mesti terus dilakukan. Problemnya adalah Amerika hanya menjadi satu tujuan, melupakan negara-negara lain yang memiliki potensi sama dalam pengembangan potensi intelektual bangsa Indonesia. Belajar dari Amerika dengan tradisi positivis-logis mesti lebih di perkaya dengan tradisi negara-negara Eropa yang sangat intens mengembangkan filsafat kritis, strukturalis (Jerman) post strukturalis, hermeneutika, fenomenologis (perancis) humanisme (Belanda) kajian ilmu agama yang mendalam (Mesir,Iran dan negara-negara Timur Tengah). Bila ini tidak dilakukan maka akan terjadi ketidakseimbangan dan Indonesia hanya berdiri pada satu titik yang siap didominasi dan di intervensi dalam setiap langkahnya.
Pada masa soekarno orientasi pendidikan Indonesia pada dasarnya sudah menawarkan variasi orientasi. Pengiriman pelajar-pelajar ke Amerika Latin seperti Kuba atau negara komunis sudah dimulai. Sayangnya karena paranoid, alih-alih langkah ini diperkaya orientasi pendidikan yang lebih bervariasi, yang sudah ada malah diberangus sedemikian rupa. Tidak cukup dengan penghapusan dan pelaranga, mahasiswa yang sedang belajar ke negeri-negeri komunis tidak dapat kembali dan yang kembali mendapat perlakuan yang tidak semestinya, bahkan tidak sedikit yang terbunuh.
So.. orientasi pembangunan pendidikan bangsa ini mesti bervariasi. Ketergantungan terhadap negara asing dalam pengembangan nalar pendidikan kita memang tidak bisa dihindarkan dan memang sebuah keharusan untuk belajar menembus lintas batas negeri. Tetapi menghindarkannya dari dominasi dan intervensi yang menyuburkan jiwa-jiwa minus independensi dan keberanian adalah sesuatu yang mesti dilakukan. Variasi orientasi pengetahuan adalah sebuah keharusan.
Saya tidak begitu tahu detail masalah pembukaan kode akses SLJJ apalagi motif mendasar demonstrasi Sekar Telkom apakah pesanan atau bukan, tapi dari spanduk yang dibentangkan jujur saja cukup membuat saya agak bergidik,tersentak dan miris. Selain tentang penolakan pembukaan kode akses SLJJ, tulisan spanduk demonstrasi Sekar Telkom menyebutkan tentang penyelematan aset negara yang tersisa di dunia telekomunikasi, menolak dominasi kepemilikan asing, keengganan menjadi babu negara-negara asing.
Miris karena sepertinya yang berjuang untuk membuat negeri ini lebih independen dari dominasi asing ternyata masyarakat kelas karyawan, selagi tuan mereka sedang menyusun strategi penjualan aset ke pemodal asing. Bergidik membayangkan apa yang diusahakan mereka, seperti terbiasa, akan terjegal oleh orang-orang yang semestinya mempunyai kewajiban lebih mempertahankan independensi negeri ini. Tersentak karena ternyata masih banyak kelompok masyarakat kita yang mempunyai rasa kepemilikan yang tinggi terhadap negeri ini.
Seperti yang ditunjukan oleh teks-teks dalam demonstrasi sekar Telkom, problem kita sekarang sepertinya adalah independesi dan keberanian. Minus independensi dan keberanian inilah yang menyebabkan terpilihnya pimpinan KPK dari para pelanggar hukum dan KPU yang tidak jelas kompetensi dan krediblitasnya. Lahir dari lobby politik karena ketakutan sehingga mengorbankan niatan awal memperbaiki keadaan.
Catatan yang menarik akan kita temukan bila sejenak kita melihat sepenggal perjalanan Indonesia. Indonesia awal pra dan pasca kemerdekaan, menurut catatan, hanya ditopang oleh sekitar 45 sarjana. Tetapi melalui 45 sarjana inilah kemudian Indonesia bisa lepas dari penjajahan dan melangkah lebih jauh dengan peran yang sangat signifikan bagi masyarakat dunia. Indonesia maju ke depan membangun poros alternatif di tengah konstelasi dunia yang sudah terblok sedemikian rupa oleh negara-negara adikuasa. Bahkan sampai sekarang jejak itu masih tersimpan dan menjadi pijakan gerak dunia internasional sampai sekarang.
Reputasi 45 sarjana itu pun, bila diukur dengan jenjang dan institusi pendidikan, masih kalah jauh dengan generasi sekarang. Soekarno adalah insinyur dari ITB pra kemerdekaan, pendidikan tinggi yang ketika itu tentunya masih tidak mempunyai reputasi apa-apa. Hatta mungkin dari Leiden University, the oldest university in netherland, tetapi gelar keserjanaanya tidak lebih dari seorang doktorandus. Sejawatnya sesama orang minang dan mahasiswa Leiden, Sjahrir, bahkan kuliahnya di Leiden University tidak sampai lulus alias drop out. Kekaguman akan kita temukan bila lebih lanjut kita lihat profil seperti Tan Malaka, M Natsir dll. Spirit belajar tinggi yang digabung dengan keberanian dan independensi telah meninggalkan jejak-jejak fundamental bagi Indonesia.
Indonesia sekarang adalah generasi-generasi yang dipenuhi oleh jutaan sarjana dalam dan luar negeri dengan strata yang complete. Tidak cukup dari itu, negeri ini juga telah dihiasi oleh perguruan tinggi - perguruan tinggi yang berada di setiap pelosok negeri. Tetapi sepertinya kondisi ini masih belum bisa membuat Indonesia lepas dari segala macam dominasi dan intervensi. Sesuatu yang terjadi karena minis sikap independensi dan keberanian. Hal ini juga lah, terutama yang terakhir, yang menjadi problem Presiden kita kali ini.
Kuasa Pengetahuan
Bagi Sujiwo Tedjo, seniman dari ITB, para penjajah memang sudah pergi dari bumi Indonesia juga negara-negara dunia ketiga lainnya. Tetapi mereka meninggalkan bank-bank sentral di setiap negara yang mereka tinggalkan. Melalui inilah kemudian kolonialisasi diteruskan sampai sekarang.
Pada sisi lain kuasa pengetahuan sepertinya menjadi sebuah variable yang mesti menjadi bahan perhatian. Pandangan pengetahuan sebagai sesuatu yang tidak steril dari kepentingan sepertinya sudah diterima banyak pihak. Pengetahuan sebagai bagian dari produksi kekuasaan pada akhirnya tidak urung menjadi bagian dari proses penguasaan juga. Pendidikan sebagai sebuah bagian untuk membebaskan, di banyak tempat menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan ketika semua dilaksanakan sebagai bagian dari pelanggengan kekuasaan. Hal inilah yang dialami indonesia.
Indonesia, dalam satu kurun waktu yang sangat panjang, telah mengkiblatkan dirinya pada satu negara adikuasa dalam memperkaya pengetahuan melalui produksi kaum terpelajar. Amerika sudah lama menjadi tujuan pengembangan kemampuan intelektual bangsa Indonesia sampai sekarang. Pengiriman beribu-ribu sarjana yang berperstasi telah menjadi program kerjasama antar pemerintah.
Tidak ada yang salah dengan program ini, bahkan menjadi sesuatu yang mesti terus dilakukan. Problemnya adalah Amerika hanya menjadi satu tujuan, melupakan negara-negara lain yang memiliki potensi sama dalam pengembangan potensi intelektual bangsa Indonesia. Belajar dari Amerika dengan tradisi positivis-logis mesti lebih di perkaya dengan tradisi negara-negara Eropa yang sangat intens mengembangkan filsafat kritis, strukturalis (Jerman) post strukturalis, hermeneutika, fenomenologis (perancis) humanisme (Belanda) kajian ilmu agama yang mendalam (Mesir,Iran dan negara-negara Timur Tengah). Bila ini tidak dilakukan maka akan terjadi ketidakseimbangan dan Indonesia hanya berdiri pada satu titik yang siap didominasi dan di intervensi dalam setiap langkahnya.
Pada masa soekarno orientasi pendidikan Indonesia pada dasarnya sudah menawarkan variasi orientasi. Pengiriman pelajar-pelajar ke Amerika Latin seperti Kuba atau negara komunis sudah dimulai. Sayangnya karena paranoid, alih-alih langkah ini diperkaya orientasi pendidikan yang lebih bervariasi, yang sudah ada malah diberangus sedemikian rupa. Tidak cukup dengan penghapusan dan pelaranga, mahasiswa yang sedang belajar ke negeri-negeri komunis tidak dapat kembali dan yang kembali mendapat perlakuan yang tidak semestinya, bahkan tidak sedikit yang terbunuh.
So.. orientasi pembangunan pendidikan bangsa ini mesti bervariasi. Ketergantungan terhadap negara asing dalam pengembangan nalar pendidikan kita memang tidak bisa dihindarkan dan memang sebuah keharusan untuk belajar menembus lintas batas negeri. Tetapi menghindarkannya dari dominasi dan intervensi yang menyuburkan jiwa-jiwa minus independensi dan keberanian adalah sesuatu yang mesti dilakukan. Variasi orientasi pengetahuan adalah sebuah keharusan.
Jakarta, 07 Desember 2007
No comments:
Post a Comment