Saturday, 28 June 2008

Mengenang Deliar Noer (1926-2008)

Oleh Ajip Rosidi

Dr. Deliar Noer (meninggal 17 Juni 2008) pernah menjadi Rektor IKIP Jakarta selama lebih dari 7 tahun, tetapi dipecat ketika hendak membacakan pidato pengukuhannya sebagai guru besar Juni 1974.

Padahal, masa jabatan Deliar Noer yang kedua (terakhir) hanya tinggal beberapa bulan lagi. Isi pidato pengukuhannya dianggap Menteri P dan K Mayjen Prof. Dr. Sjarif Thayeb sebagai menghasut, mungkin karena takut terjadi kerusuhan seperti Malari yang berlangsung beberapa bulan sebelumnya.

Keterangan Deliar bahwa pidato yang berjudul "Partisipasi dalam Pembangunan" itu, disusun secara ilmiah sesuai dengan kebebasan mimbar dan otonomi perguruan tinggi, tidak digubris Menteri. Sebelumnya, tak lama setelah peristiwa Malari, Deliar sempat mengemukakan pendapat yang berbeda dengan kebijaksanaan pemerintah Orde Baru dalam menghadapi gerakan mahasiswa, dimuat dalam Harian Kami.

Yang ironis ialah bahwa kira-kira sepuluh tahun sebelumnya, Deliar dilarang mengajar di Universitas Sumatera Utara dan yang memecatnya adalah Prof. Dr. Sjarif Thayeb, juga sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Dia dipecat, karena desakan golongan kiri yang menuduhnya antek Amerika dan dekat dengan Bung Hatta, yang ketika itu sudah berhenti sebagai wakil presiden dan dianggap berseberangan dengan Presiden Soekarno, sehingga Deliar dianggap subversif dan anti Manipol. Dipecat dari IKIP – sebenarnya lebih dari itu, karena menteri juga melarangnya mengajar di semua perguruan tinggi di seluruh tanah air – karena dianggap menghasut para mahasiswa. Oleh karena itu, sempat diinterogasi Tim Interogasi yang menangani Gestapu. Padahal, Deliar yang pernah menjadi Ketua HMI, niscaya antikomunis – hal yang jelas tampak dalam tulisan-tulisannya. Begitulah nasib ilmuwan (sosial) politik, yang berani secara jujur mengemukakan pandangannya secara ilmiah tanpa memedulikan arah kebijakan politis pemerintah yang berkuasa.

Karena, tidak boleh lagi mengajar di seluruh Indonesia baik di universitas swasta maupun (apalagi!) di universitas negeri, Deliar menerima tawaran untuk menjadi peneliti di ANU (Australian National University), Canberra. Sebenarnya, dia juga ditawari mengajar atau melakukan penelitian di Chicago dan Singapura, tetapi urusan dengan Australia lebih cepat selesai. Setelah berada di Australia, dia juga mendapat tawaran untuk mengajar di Kuala Lumpur di Universiti Kebangsaan Malaysia dan tawaran dari The Ford Foundation, untuk membimbing penyusunan tesis para sarjana IAIN yang mendapat beasiswa belajar di Leiden, Belanda. Tapi, pemerintah RI menutup kemungkinan itu dengan menghubungi IAIN dan pemerintah Singapura. Sementara, di Australia pihak universitas mempunyai kebebasan penuh, tak boleh masuk intervensi kekuasaan (politik) pemerintah ke dalamnya. Tahun pertama Deliar menjadi peneliti di ANU. Tahun berikutnya menjadi tenaga pengajar tamu di Griffith University di Brisbane. Setelah setahun, kedudukan itu berubah menjadi pengajar tetap.

Setelah mengajar lima tahun, Deliar bisa mempertemukan maksud beberapa orang kawannya sesama ilmuwan yang Islami di Jakarta yang ada di lingkungan M. Natsir, untuk membentuk lembaga riset LIPPM (Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat) bekerja sama dengan Griffith University. Deliar yang dipercaya memimpin lembaga tersebut, selama tiga tahun pertama masih bekerja di Griffith University, tetapi enam bulan dalam setahun dia diperbolehkan bekerja di Jakarta untuk LIPPM. Di samping itu, Griffith University bersedia menerima para sarjana LIPPM yang hendak memperdalam ilmunya dengan biaya mereka. Sayang bahwa setelah bekerja enam bulan pertama di Jakarta untuk meletakkan dasar-dasar organisasi LIPPM, ketika berada di Brisbane, Deliar diminta Mr. Moh. Roem, yang menjadi salah seorang Dewan Penyantun LIPPM agar jangan kembali ke Jakarta tanpa alasan yang jelas. Deliar berpendapat bahwa sebagai lembaga riset LIPPM, seharusnya mempunyai kebebasan dan tidak diharuskan menyesuaikan hasil penelitiannya, dengan keinginan pihak yang mendanai LIPPM. Setelah ditinggalkan oleh Deliar, LIPPM perlahan-lahan sirna dari permukaan bumi.

Deliar Noer dilahirkan di Medan 9 Februari 1926. Setelah menamatkan sekolah menengah dia melanjutkan ke Universitas Nasional dan ketika menjadi mahasiswa aktif sebagai anggota, kemudian bahkan menjadi Ketua Umum HMI. Setelah menyelesaikan sarjana muda, dia mendapat kesempatan melanjutkan ke Cornell University di Amerika. Di sana, dia berhasil menjadi orang Indonesia pertama yang menggondol gelar doktor (Ph.D.) dalam ilmu politik dengan disertasi "The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942" (Oxford University Press, KL, 1972) yang sekarang telah menjadi klasik. Di samping itu, Deliar banyak menulis buku tentang Islam dan politik di Indonesia, di antaranya "Partisipasi dalam Pembangunan" (ABIM, KL, 1975), "Administration of Islam in Indonesia" (Modern Indonesian Project, Ithaca, 1982), "Ideologi, Politik, dan Pembangunan" (Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1980), "Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal" (Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1984), "Mohammad Hatta: Biografi Politik" (LP3ES, Jakarta, 1990), "Aku Bagian dari Ummat Aku bagian dari Bangsa, Otobiografi" (Mizan, Bandung, 1996), "Pemikiran Politik di Negeri Barat" (edisi revisi, Mizan, 1997), "Partai Islam di Pentas Nasional" (edisi revisi, Mizan, Bandung, 2000), "Membincang Tokoh-tokoh Bangsa" (Mizan, Bandung, 2001), "Islam dan Masyarakat" (Yayasan Risalah, Jakarta, 2003), "Islam & Politik" (Yayasan Risalah, Jakarta, 2003), "KNIP" (Yayasan Risalah, Jakarta, 2005), dll.

Deliar bukan hanya ilmuwan. Dia juga aktivis. Pada awal masa Orde Baru, dia pernah menjadi staf penasihat Presiden Soeharto, tetapi kemudian mengundurkan diri, karena berbeda paham dengan staf yang lain. Bersama Moh. Hatta dkk., ia pernah juga berusaha mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), tetapi tidak mendapat persetujuan dari pemerintah Orde Baru. Kemudian pada masa Reformasi 1998, Deliar membentuk Partai Umat Islam, tetapi dalam Pemilu 1999 tidak mendapat dukungan yang cukup.

Disertasinya tentang gerakan kaum modernis Islam di Indonésia yang sudah menjadi klasik itu meneliti lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, dan tokoh-tokoh modernis Islam di seluruh Indonesia, yang dianggap paling lengkap. Dilukiskannya perbedaan paham antara kaum modernis dengan kaum tradisional, seperti A. Hassan dari Persis, Kiai Haji Abdulhalim dari Persatuan Umat Islam Majalengka, Ajengan Ahmad Sanusi dari Sukabumi, dll. Tapi, telaah Dr. Mohammad Iskandar dari UI tentang pesantren Gunungpuyuh dan Ajengan Ahmad Sanusi dari Sukabumi menunjukkan bahwa agaknya karena kendala bahasa (K.H. Abdulhalim dan Ajengan Ahmad Sanusi banyak menulis dalam bahasa Sunda, yang tidak dikuasai Deliar Noer) tidak menelaah sikap dan pendapat K.H. Ahmad Sanusi dan K.H. Abduhalim dengan cermat. Deliar tidak mengetahui bahwa sikap K.H. Ahmad Sanusi berlainan dengan sikap A. Hassan yang selalu menganjurkan agar setiap muslim melakukan ijtihad, jangan taklid saja. Menurut Ajengan Ahmad Sanusi, ijtihad hanya bisa dilakukan oleh muslim yang menguasai alat-alatnya seperti pandai bahasa Arab, mengetahui isi Alquran, mengetahui al-Hadis dll. Bagi orang awam, lebih baik taklid saja.

Bagi saya sendiri yang menarik dalam disertasinya itu adalah keterangan bahwa K.H. Abdulhalim dilahirkan di Desa Ciborelang, Majalengka. Desa Ciborelang adalah kampung saya, walaupun benar termasuk Kabupaten Majalengka, tetapi bukan di Kota Majalengka, melainkan di kecamatan Jatiwangi. Oleh karena itu, saya sempat menelusurinya. Ternyata K.H. Abdulhalim dilahirkan di sebelah utara jalan raya Bandung-Cirebon, persis di perbatasan Desa Ciborelang dengan desa Sutawangi. Tapi, rumah tempatnya dilahirkan termasuk Desa Ciborelang, yaitu di pinggir Sungai Cigoong yang menjadi batas kedua desa tersebut.

Tentu saja kekurangan itu tidak mengurangi nilai disertasi, sebagai hasil penelitian yang berbobot.

Ketika saya telah selesai menyusun naskah kumpulan karangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, saya meminta Deliar Noer untuk menulis kata pengantar. Permintaan itu dipenuhinya, tetapi ketika setelah buku itu terbit aku mengirimkan uang sebagai honorarium pengantar yang ditulisnya. Uang itu dikembalikannya dengan alasan bahwa dia merasa berutang budi kepada Mr. Sjafruddin dan kawannya segenerasi, maka penulisan pengantar itu dianggapnya sebagai penghormatannya kepada beliau.

Dengan meninggalnya Deliar, Indonesia kehilangan seorang ilmuwan yang daria dan konsisten serta dihormati kalangan Indonesianis di seluruh dunia. Innalilalhi wainna ilaihi roji’un. Mudah-mudahan Allah akan menerima iman-Islam serta amal perbuatannya, mengampuni kekurangan dan keluputannya, serta memberinya tempat yang mulia di hadirat-Nya. Sementara, kepada keluarganya diberikan sabar dan tawakal menghadapi kehilangan yang tak dapat dielakkan ini. Amin. ***

Penulis, sastrawan & budayawan Sunda.

READ MORE - Mengenang Deliar Noer (1926-2008)

Kesalehan Lingual

Sabtu, 28 Juni 2008 | 00:32 WIB

Oleh P ARI SUBAGYO

Tidak ada realitas di luar bahasa. Karena itu, semua peristiwa kekerasan—termasuk ”Tragedi Monas” 1 Juni 2008—pasti melibatkan bahasa.

Bermula dari hasutan kata-kata, lalu terbakarlah amarah massa. Nalar menjadi pudar, budi tersungkur mati. Yang tinggal hanya gelegak emosi. Setiap kali kekerasan terjadi, setiap kali pula terbukti, kata-kata lebih tajam daripada pedang. Words are mightier than swords.

Sebagai buah evolusi fisiologis dan peradaban manusia, bahasa menjadi pembeda manusia dari satwa. Dengan bahasa, manusia mewujudkan kemanusiaannya. Tak heran Sudaryanto (Menguak Fungsi Hakiki Bahasa, 1990) menyimpulkan, fungsi hakiki bahasa adalah pengembang akal budi dan pemelihara kerja sama. Simpulan itu merupakan hasil perasan kritis-reflektif berbagai ide tentang fungsi bahasa dari Bühler, Révész, Jakobson, Sapir, Pei, Leech, Hymes, Malinowsky, Ogden & Richards, Halliday, hingga Wood.

Masalahnya, mengapa bahasa terus menjadi pemicu kekerasan? Mengapa bahasa justru mencederai kemanusiaan yang dilekati, diabdi, dan menjadi alasan meng-ada-nya?

Kekerasan verbal

Menurut Bourdieu (Language and Symbolic Power, 1992), bahasa menjadi sarana perwujudan kuasa simbolik (symbolic power). Bahasa lalu memungkinkan terjadinya kekerasan verbal (verbal violence) melalui kata-kata yang merendahkan, mengancam, atau menyudutkan. Pihak lain tercitrakan sebagai ancaman atau sosok menjijikkan yang wajib dibinasakan. Kekerasan verbal lalu memicu kekerasan fisik (physical violence) dan anarkisme.

Namun, kekerasan verbal tak melulu akibat manifestasi kuasa simbolik. Secara natural atau kultural, sejumlah kata berasosiasi dengan kekerasan. Kata-kata seperti membunuh, menyerbu, menyerang, menendang, dan menghantam dalam dirinya telah bermakna kekerasan.

Begitu pun lembaga dan jabatan semacam front, laskar, milisi, komando, komandan, dan panglima berasosiasi dengan kekerasan sebab menghadirkan nuansa perang. Maka, nama ormas yang berasosiasi dengan kekerasan atau berpotensi menimbulkan kekerasan seyogianya ditinjau ulang. Apalagi ormas-ormas semacam itu—apa pun motif pembentukannya—telah menjadi kelompok bersenjata yang tak segan mengambil alih fungsi aparat keamanan dan penegak hukum.

Kekerasan verbal sebenarnya hadir amat lembut dalam pronomina aku-kamu dan kita-mereka yang ada nyaris di semua bahasa. Pronomina itu diam-diam membentuk paradigma ”aku-kamu” dan ”kita-mereka” yang asimetris. Bahasa memang dapat membangun solidaritas sekaligus permusuhan, seperti kata Jay (The Psychology of Language, 2003), ”Language brings us together, and it separates us from others. Language establishes who we and who we are not”.

Paradigma ”aku-kamu” dan ”kita-mereka” gamblang terpampang terutama dalam nama-nama ormas atau tim ad hoc yang beridentitas agama. Paradigma itu tak tersadari telah menjadi kerangka berpikir dalam memandang sesama: si A bagian kita, sedangkan si B bagian mereka!

Harap maklum, nama agama dan segala kata yang bersangkutan dengan agama begitu gampang menyulut sentimen pengikutnya. Sentimen itu tentu melulu bermuatan emosi, bukan nalar dan kearifan.

Pengawafungsian

Tidak selamanya bahasa berfungsi mulia. Sesekali bahasa justru sengaja untuk mengerdilkan akal budi dan memecah kerja sama. Saat kebencian dan kemarahan tidak tertahan, kata-kata menjadi sarana pelampiasan. Jelas itu bukan fungsi bahasa yang diharapkan karena fungsinya telah diselewengkan, bahkan digerogoti atau dienyahkan. Penggerogotan atau pengenyahan fungsi hakiki itulah yang disebut ”pengawafungsian” bahasa (Sudaryanto, 1990).

Padahal, begitu pengawafungsian bahasa terjadi, saat itu juga kebudayaan gagal dikreasi. Roda peradaban terhenti. Bahkan, kebudayaan yang sudah ada dapat dihancur-musnahkan. Rumah, gedung, kemitraan, dan mutiara peradaban, yang dibangun bertahun-tahun, dalam sekejap binasa akibat pengawafungsian bahasa.

Lagi-lagi, kata dan idiom yang membawa identitas agama harus disebut karena begitu rentan diawafungsikan. Tak hanya karena sarat paradigma ”aku-kamu” dan ”kita-mereka”, tetapi kata-kata berbau agama juga akrab dengan penalaran totem pro pars. Menyebut keseluruhan, tetapi sebenarnya hanya mewakili sebagian. Praktik pengatas-namaan agama dengan berbagai dalih pun marak, lengkap dengan sesat pikirnya. Padahal, tidak ada realitas tunggal, termasuk dalam agama dan keyakinan.

Menyangkut Jakarta, menarik ditengok kesaksian Lubis (2008) dalam Jakarta 1950-an. Sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian, dan ajang pertarungan aneka kepentingan, Jakarta sejak awal republik telah diriuhkan berbagai laskar rakyat, yang disebut Lubis ”the militia of Jakarta”. Siapa pun dapat mendirikan laskar asal memiliki keberanian dan karisma seorang warlord. Anggota direkrut begitu saja dari masyarakat. Untuk membangkitkan sentimen, digunakan atribut khususnya agama dan kedaerahan. Mereka tidak segan merampok, memerkosa, mengancam, dan meresahkan warga yang tergolong ”bukan kita”. Jadi, Jakarta memang lahan subur pengawafungsian bahasa.

Kesalehan lingual

Bangsa ini perlu mengupayakan kesalehan lingual, yakni kearifan berbahasa agar memendam kata-kata yang menebar permusuhan dan memicu kekerasan. Chapman (dalam The Five Love Languages: How to Express Heartfelt Commitment to Your Mate) menawarkan lima ”bahasa kasih”, salah satunya words of affirmation (kata-kata penguatan) guna memampukan pasangan membangun kepercayaan dan citra diri.

Tawaran Chapman memang untuk relasi interpersonal suami-istri. Situasinya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan ”rumah tangga” Indonesia yang rumit penuh silang-sengketa kepentingan. Tawaran itu dapat dijadikan inspirasi mengelola lidah dan kata-kata demi menghasilkan bahasa kasih. Apalagi genderang ”perang” kampanye Pemilu 2009 segera berdentang. Repotnya, lidah dan kata-kata digerakkan pikiran, perasaan, keinginan, juga kepentingan. Kesalehan lingual memang menuntut kerelaan dan kedewasaan kita sebagai bangsa.

P ARI SUBAGYO

Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

READ MORE - Kesalehan Lingual

Wednesday, 18 June 2008

Media, Teknologi, dan Kekuasaan

Rabu, 18 Juni 2008

Ninok Leksono

“Sekarang politisi tahu bahwa setiap langkah—kata ataupun ekspresi—akan direkam, dikemas, dan dihubungkan ke seluruh dunia, dalam beberapa menit.” (Edward Luce, Financial Times, 13/6/2008)

Semula, mata kuliah yang diunggulkan di jurusan komunikasi sejumlah universitas adalah Media, Teknologi, dan Masyarakat (Society). Namun, dari satu sesi di dalam mata kuliah itu, yakni yang terkait dengan kekuasaan, kemudian oleh Program Studi Hubungan Internasional FISIP UI dimunculkan menjadi satu mata kuliah sendiri, yakni Media, Teknologi, dan Kekuasaan (Power).

Mahasiswa dengan itu lalu mendapatkan aktualisasi dari penerapan teknologi baru, khususnya di bidang media, dalam kaitannya dengan praksis politik. Ketika hari-hari ini berlangsung rangkaian proses pemilihan presiden AS, contoh aktual tersebut bertambah nyata.

Pada harian ini, Kamis (12/6), peneliti CSIS, Philips J Vermonte, juga menjelaskan beberapa aspek pemanfaatan media untuk pencapaian tujuan politik. Mengutip majalah The Atlantic Monthly edisi Juni 2008, Vermonte menyebutkan bagaimana cara komunikasi politik mengalami transformasi dari masa ke masa. Andrew Jackson, misalnya, membentuk Partai Demokrat saat teknologi cetak mengalami kemajuan pesat pada awal 1800-an. Jackson mengorganisasi editor dan penerbit untuk membentuk parpol. Lalu Abraham Lincoln menjadi tokoh legendaris setelah transkrip kampanye presidennya disebarluaskan melalui koran yang saat itu berkembang marak di AS.

Pada masa berikutnya, Franklin Roosevelt memimpin AS melalui masa sulit mengampanyekan program New Deal secara efektif lewat pesan radio. Akhirnya, John Kennedy jadi sangat populer setelah debat antarcalon presiden pertama kali disiarkan televisi. Kennedy sejak itu giat memanfaatkan televisi untuk memperkuat citranya.

Media baru

Memang hal yang tak diragukan lagi, media terbukti merupakan alat efektif untuk menjangkau massa pemilih bagi para kandidat, dan corong bagi pemegang kekuasaan.

Meski sejumlah politisi Indonesia telah gencar menghadirkan diri di media, dari iklan Ketua Umum PAN hingga situs web mantan Ketua Umum Partai Golkar, itu masih merupakan pemanfaatan paling basic.

Bandingkan dengan yang dilakukan kandidat dari Partai Demokrat, Barack Obama, dengan internet. Dengan mengeksploitasi sifat Web 2.0 yang menekankan pada komunitas, tim Obama telah menggelar 30.000 acara dalam 15 bulan kampanye pemilihan pendahuluan. Rekaman video kegiatan yang digelar bisa diakses melalui situs YouTube, My-Space, dan Facebook. Pendukung juga dapat menikmati berbagai pesan kampanye melalui iPod.

Kubu Obama juga menyadari, kampanye politik tak bisa sepenuhnya bersifat ”putih”. Buktinya, Obama diserang dengan berbagai macam isu. Kampanye hitam ini pun ia jawab melalui internet, yaitu dengan meluncurkan situs Fight the Smears (Perangi Cela).

Dengan berbagai kiprah kampanye di internet, Edward Luce menulis, kalau ada medali emas dalam pemanfaatan teknologi baru untuk tujuan politik, maka setiap aficionado akan menyerahkannya kepada Obama (Financial Times, 13/6).

Ide itu masuk akal juga karena kanal Obama di YouTube punya hampir 1.300 video yang dibuat staf kampanyenya, dan itu setiap hari terus bertambah. Dari sisi orang yang melihatnya, video Obama telah ditonton 50 juta orang, sementara kanal YouTube John McCain yang punya 200 video baru ditonton 4 juta orang.

Tiga manfaat

Menurut Direktur Media Baru Obama Joe Rospars, tim kampanye melihat internet sebagai alat yang bisa untuk mencapai tiga sasaran, yakni membantu mengorganisasi pendukung, mengumpulkan dana, dan menyampaikan pesan (telling the campaign’s story).

Berkembangnya dukungan terhadap Obama di internet juga disebabkan oleh sikap ”silakan saja”, laissez-faire, Obama, di mana pendukung dipersilakan ikut membangun konten kampanye dan bahkan membangun situs pendukung masing-masing, seperti juga kita lihat di Indonesia. Ada yang menyebut, kampanye Obama demikian internetfriendly. Sementara kedua calon lain, dalam hal ini Hillary Clinton dan John McCain, lamban dalam memanfaatkan potensinya. Ada kesan, tim kampanye Hillary menerapkan pengawalan terhadap isi situs mereka (gate-keeping). Padahal, semakin enteng video di era YouTube ini, semakin cepat ia menyebar. Namun, dengan semua kemajuan ini, politisi juga menarik kearifan dari pemanfaatan teknologi baru.

Akan meluas

Apa pun, kini teknologi baru telah tersedia bagi para aspiran politik yang sedang mendambakan kekuasaan. Memang untuk berbagai negara, terkait dengan infrastruktur yang terpasang, masih banyak dianalisis, mana teknologi yang paling efektif dari teknologi tersebut. Salah satu analisis disampaikan pakar komunikasi Ade Armando dalam Seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia di Banjarmasin pertengahan April silam. Karena internet masih terbatas di kota-kota besar, televisi dan media cetak dipercayai masih pemegang peranan terbesar dalam pemanfaatan teknologi media untuk politik.

Masalahnya, media yang besar pengaruhnya itu juga tidak selamanya bebas nilai. Pada masa lalu, Hitler menjadikan media untuk propaganda besar-besaran bagi cita-cita Nazi-nya (lihat Media and Society in the Twentieth Century, Gorman & McLean, 2003). Orde Baru juga melakukan hal yang sama.

Bahkan, karena besarnya pengaruh media seperti televisi, sosok seperti PM Italia Silvio Berlusconi dan keluarganya mengontrol jaringan penyiaran swasta Mediaset, yang diperkuat dengan tiga kanal terestrial (Financial Times, 13/6).

Selain untuk memengaruhi rakyat pemilih, medium seperti televisi juga besar peranannya dalam penyebaran nilai. Jadi, tidak heran apabila pemilik modal—apalagi yang punya cita-cita politik—tak ragu untuk berinvestasi besar dalam pertelevisian.

Di era pemilihan, politisi akan semakin luas memanfaatkan teknologi baru media.
READ MORE - Media, Teknologi, dan Kekuasaan

Bukan Militan Tapi Konyol

Pagi tadi, mungkin sampai sekarang, di depan Istana ada demonstrasi menuntut pembubaran Ahmadiyyah yang digalang oleh Forum Umat Islam (FUI). Sekilas waktu saya lihat di berita pagi, koordinatornya pentolan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Massa yang saya lihat terdiri dari bapak-bapak berjenggot yang gendong anak-anaknya sambil membawa bendera putih bertuliskan lafadz syahadat.

Tidak ketinggalan, dan ini yang membuat saya miris, adalah para muslimah yang membawa bayi untuk ikut demonstrasi. Saya melihat itu bener-bener bayi dibawah umur satu tahun. Untuk melindungi dari panasnya Jakarta, saya lihat si Ibu menutup bayi itu dengan kain. Hebatnya ternyata tidak hanya ibu itu saja yang membawa bayi. Ada ibu-ibu muslimah lainnya yang membawa bayi dan anak-anak balita mereka.

Karena demonstrasi itu, Route perjalanan saya dari statsiun Juanda ke Medan Merdeka Barat yang bisa saya lalui via Istana Negara jadi terhalang. Perjalanan menjadi lebih panjang dan otomatis, walaupun tukang ojeg tidak meminta, saya mesti faham kalo dia sudah mengeluarkan energi lebih dari biasanya. Jadinya saya ikhlaskan ongkos lebih dari biasanya juga.

Selain itu, jujur saja, saya tidak begitu satu hati dengan tema demonstrasi dan aktor-aktor utamanya. Tema demonstrasi hanya menunjukan kearoganan umar beragama sedangkan aktor-aktornya, sebagaimana saya pernah interaksi dengan beberapa diantara mereka, jauh dari ajaran Islam hanif yang diajarkan nabi. Kemarahan yang dilanjutkan dengan kekerasan selalu menjadi solusi dari setiap problem keummatan yang ada.

Tetapi kekesalan saya bukan karena terganggunya perjalanan ke kantor, bertambahnya biaya transportasi ke kantor, tema demonstrasi yang diusung serta aktor-aktor penggalang demonstrasi yang picik. Semua kerugian itu mesti saya terima dengan lapang dada karena saya merupakan bagian dari masyarakat yang mengingatkan perlunya kebebasan berekspresi dan melihat demokrasi sebagai jalur kehidupan kita.

Saya marah dan kesel karena melihat bayi-bayi yang mesti ikut dibawa turun ke lapangan untuk berdemonstrasi. Saya bingung, apakah mereka tidak pernah merasa kalo panas dan polusinya Jakarta tidak baik bagi bayi-bayi yang masih berada di bawah umur.

Bila bayi saya lahir nanti, saya tidak akan pernah mengikuti apa yang mereka lakukan. Ini bukan masalah komitmen dan militansi membela Islam. Tapi hanya kekonyolan dan kebodohan saja yang membuat orang membawa bayi dibawah umur satu tahun ikut demonstrasi di tengah Jakarta yang panas dan penuh dengan polusi.

Menurutku apa yang mereka perbuat tidak berbeda jauh dengan para wanita muda pengemis yang memajang bayi di emperan trotoar Jakarta di siang hari yang panas terik dan penuh polusi untuk mengemis. Bahkan mungkin mereka lebih parah lagi, karena yang mereka gendong itu anak sendiri. Bukan seperti wanita muda pengemis yang menggendong anak orang lain.

Jakarta 18 Juni 2008
READ MORE - Bukan Militan Tapi Konyol

The Globalutionaries

The New York Times24 July 1997

FOREIGN AFFAIRS
By THOMAS L. FRIEDMAN

Jakarta, Indonesia – There is a fascinating revolution going on in Indonesia. It’s not always visible, but if succeeds it could save this country from the dead hand of the Suharto regime, which after 30 years in power is a spent force, without energy or ideas.

Wimar Witoelar, a popular Jakarta talk-show host, described the Indonesian revolutionaries to me as those 20- and 30-year-olds, most of them educated and working in the private sector, "who want to get rich without having to be corrupt and who want to have democracy but don’t want to go out in the streets and get killed for it".What’s interesting is their strategy. The Suharto regime allows no space for a democratic opposition to emerge. So what the pro-democracy, pro-clean-government forces are relying on is not a revolution from below, not a revolution from above, but a revolution from beyond.

Their strategy is to do everything they can do to intregrate Indonesia into the global economy on the conviction that the more Indonesia is tied into the global system, the more its government will be exposed to the rules, standards, laws, pressure, security and regulations of global institutions, and the less arbitrary, corrupt and autocratic it will be able to be. Their strategy, in short, is to Gulliverize the Suharto regime by globalizingIndonesian society.

As a military analyst, Juwono Sudarsono, put it: " The global market will force upon us business practices and disciplines that we cannot generate internally". Or as another reformer here remarked to me: " My son and I get our revenge on Suharto every day by eating at Mc Donald’s".

Indonesia’s "globalutionaries" include business school grads who want Indonesia in the World Trade Organization (W.T.O) and APEC and ASEAN:

Young Entrepreneurs who welcome foreign investment here so that any move the Suharto regime makes with the domestic economy, and any shenanigans it might try, will have international implications; and human rights activists who use the internet to get their stories out and whose hackers occasionally break into – and alter – government web sites. The Indonesian press can’t directly rebuke the Suharto regime for its rampant nepotism. So instead it reports with great relish on how the U.S and japan are taking Indonesia before a W.T.O court to protest the fact that Indonesia’s national car factory – controlled by the President’s son – is being protected by all sorts of tariffs out of line with W.T.O norms.

Many, of course, have made a similar argument about China – that the more it is intregrated into the global economy, the more open and pluralistic it will inevitably become. But what is interesting about Indonesia is that it isn’t outsiders making this argument to justify their business dealings here. It is Indonesian reformers making the argument as a self-conscious political strategy.

So globalization has many dark sides, from environmental degradation to widening the gap between rich and poor, but what you see in Indonesia is its most important upside – the ability to generate pressure on autocratic regimes when no domestic space is available.

While everyone is focusing on the question of whom President Suharto will appoint as his next vice president and lilkely successor, I would argue that it almost doesn’t matter. The really interesting succession in Indonesia is already happening, and it is the one being mounted in the private sector by the globalutionaries. They are plugging Indonesia into the world in ways that will, over time, redefine both politics here and the limits of what’s possible – no matter who succeeds Mr. Suharto.

In the meantime, if the U.S wants to promote this process of opening up and democratizing politics in Southeast Asia it needs a multifaceted strategy. It has to work with military officers who want to professionalize their ranks, give protection to the non governmental human rights organizations when they come under attack for reasonable activities and find every way possible to encourage countries like Indonesia to intregrate with the global economy and institutions, rather than cutting them off, which is idiotic.

It would be nice if every democracy movement could be led by a hero like Andrei Sakharov. But you have to work with what you’ve got, and around here the biggest agents of change are the globalutionaries.
READ MORE - The Globalutionaries

Monday, 16 June 2008

Fuck You Ego !..

Ketika ego ke depan, maka tawaran menjadi tenaga peneliti pada penelitian ini menjadi sesuatu yang harus ditolak. Bagaimana tidak, bila dibandingkan dengan posisi sebelumnya sebagai pimpinan puncak organisasi yang terbiasa melakukan interaksi dengan elite dan kerja-kerja konseptual, pada penelitian kali ini saya hanya menjadi tenaga lapangan saja. Terlebih bila dibandingkan dengan posisi saya di penelitian lainnya, sebagai koordinator dan konseptor penelitian

Tetapi ketika ego itu sejenak diturunkan, maka menjadi tenaga penelitian kali ini menjadi sesuatu yang sangat menarik. Bahkan kemudian menjadi tenaga penelitian yang mengharuskan turun ke lapangan ini menjadi sesuatu yang harus diikuti. Setidaknya hal ini merujuk kepada beberapa hal

Pertama dalam beberapa tahun terakhir waktu saya dihabiskan interaksi dengan elite atau organisasi-organisasi tingkat nasional. Kadang elite dan organisasi ini sering mentahbiskan diri sebagai representasi masyarakat tingkat grass root yang tidak pernah kita cek kebenarannya

Kedua substansi pembicaraan dengan elite tentunya mempunya perbedaan cukup signifikan dengan masyarakat tingkat grasroot. Hal yang paling menonjol diantaranya adalah tentang kepentingan. Sulit menemukan kekosongan kepentingan pribadi di setiap pembicaraan para elite. Terlebih dengan para politisi. Sangat sulit menemukan hati dan logika dari setiap ucapan yang dikeluarkan

Ketiga menyaksikan dan merasakan langsung apa yang dialami oleh masyarakat tingkat grassroot pada akhirnya akan menjadi sebuah pelajaran tersendiri. Ada logika yang akan digugat dan ada hati yang digugat

Keempat berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat bawah bukan sesuatu yang mudah. Tidak ada jaminan seorang guru yang sukses mengajar di SLTA bisa sukses bila berpindah ngajar di tingkat Sekolah Dasar. Begitu juga sebaliknya

Banyak hal yang mesti diungkap kenapa mesti ikut menjadi tenaga penelitian dan keluar masuk kampung di sebuah desa di Kabupaten Bandung. Hal diatas hanyalah catatan ringan yang diingat kembali ketika berada di depan komputer sehingga tidak tercatat secara sistematis

Lalu bagaimana catatan pengalaman lapangannya?ini membutuhkan waktu khusus untuk mengeksplorasinya kembali sehingga tidak menjadi catatan ringan yang penuh dengan kisah heroik.

Tetapi yang jelas banyak pengalaman yang menarik dari berinteraksi dengan masyarakat. Ada logika kita yang di pertanyakan, nurani yang digugat juga pendirian kita yang mesti di revisi setelah melihat langsung bagaimana masyarakat tingkat bawah menjalani kehidupannya.

Apa yang dipertanyakam?apa yang digugat dan apa yang direvisi?saya coba tulis dilain kesempatan



Bandung 15 Juni 2008
READ MORE - Fuck You Ego !..

Thursday, 12 June 2008

Fenomena Obama dan Internet

Kamis, 12 Juni 2008 | 03:00 WIB

Philips J Vermonte

Berakhirnya pemilihan pendahuluan untuk memilih calon presiden dari Partai Demokrat, posisi Barack Obama sebagai figur penting dalam politik di AS kian kokoh.

Banyak tulisan menggambarkan karisma Obama yang ditandai dengan kepiawaiannya berpidato sebagai sebab utama mengapa Obama tampil begitu fenomenal dalam kampanye pemilihan presiden AS kali ini.

Figur baru

Obama yang berkulit hitam dinilai sebagai figur inspirasional, menjadi ajang pembuktian American dream di mana tidak ada yang bisa membatasi mimpi seseorang. Obama menjadi orang kulit hitam pertama yang menjadi calon presiden AS.

Namun, diskusi yang dibatasi karisma atau kepiawaian berpidato akan mengaburkan pesan mendasar Obama, yaitu tentang munculnya sebuah ”politik baru” dalam lanskap politik di AS.

Obama adalah figur baru dalam politik AS. Namun, idealisme dan pengalamannya selama beberapa tahun menjadi community organizer di sudut miskin Chicago selepas lulus Universitas Harvard meyakinkan Obama bahwa politik harus bersifat bottom-up, bukan top-down. Keyakinan untuk mewujudkan politik bottom-up ini mewarnai cara Obama mengelola kampanyenya.

Majalah The Atlantic Monthly (Juni 2008) menurunkan laporan tentang mesin politik Obama. Kunci kesuksesan Obama adalah kemampuannya mengintegrasikan teknologi informasi ke dalam seluruh kampanyenya.

”Kampanye” paling awal Oba- ma adalah sebuah malam pengumpulan dana di Silicon Valley. Pengumpulan dana yang berlangsung sebelum Obama resmi mendeklarasikan diri menjadi calon presiden ini terbukti menjadi basis bagi mesin kampanyenya. Para entrepreneur teknologi di Silicon Valey, dari perusahaan kecil dan besar, bergabung dengan Obama dan membantu merancang kampanye pengumpulan dana melalui internet. Chris Hughes, pendiri situs Facebook—sebuah jaringan sosial berbasis internet paling populer di kalangan mahasiswa dan pelajar di AS— memutuskan cuti dari perusahaannya itu agar bisa bekerja full-time di markas besar tim kampanye Obama di Chicago.

Jaringan sosial berbasis internet itu selanjutnya menjadi tulang punggung penggalangan dana dan media bagi para relawan dalam tim kampanye Obama.

Berkat kecanggihan memanfaatkan jaringan internet, tim kampanye Obama menuai hasil spektakuler. Data terakhir menunjukkan, tim kampanye Obama memiliki 750.000 relawan aktif, 8.000 kelompok pendukung, dan tim ini mengorganisasi 30.000 events dalam 15 bulan kampanye pemilihan pendahuluan. Video-video rekaman pidato dan event-event yang dihadiri Obama bisa diakses gratis melalui podcast di iTunes store. Hasilnya, ratusan ribu orang bisa merasakan gemuruh pendukung Obama di tempat kampanye dan menangkap pesan kampanye melalui layar iPod masing-masing. Youtube, Facebook, iPod-podcast, dan My-space. Secara cerdas, internet dimanfaatkan Obama dengan efektivitas yang tak dapat ditandingi kandidat lain.

Dominasi internet

Donasi melalui internet adalah politik baru yang dibawa tim kampanye Obama. Tercatat, Obama menerima donasi dari 1,3 juta orang melalui internet. Kenyataan ini menghancurkan paradigma lama pengumpulan dana melalui lobbyist dan pebisnis besar. Obama lebih mengandalkan donasi berjumlah kecil dari massa pemilih yang berjumlah jutaan orang. Tim kampanye Obama melaporkan, 94 persen donasi yang mereka terima datang dari individu-individu yang menyumbang kurang dari 200 dollar AS.

Angka ini amat kontras bila dibandingkan dengan 26 persen yang dilaporkan Hillary Clinton dan 13 persen yang dilaporkan John McCain, calon presiden dari Partai Republik. Saat Hillary dan John McCain masih mengandalkan donor-donor besar, Obama mentranslasikan politik bottom- up yang dipelajari sebagai community organizer ke dalam pengumpulan dana kampanye menuju Gedung Putih.

Seperti ditulis The Atlantic Monthly, sejarah AS mencatat, transformasi cara berkomunikasi secara reguler mengubah wajah politik AS. Andrew Jackson membentuk Partai Demokrat saat teknologi printing mengalami kemajuan pesat pada awal tahun 1800-an. Andrew Jackson mengorganisasi editor dan penerbit untuk membentuk partai politik. Abraham Lincoln tampil menjadi tokoh legendaris setelah transkrip debat dalam kampanye presidennya yang terkenal disebarluaskan melalui koran-koran yang saat itu menjamur di AS.

Franklin Roosevelt memimpin AS melalui masa-masa sulit mengampanyekan program New Deal secara efektif melalui pesan regulernya di radio yang saat itu sedang disempurnakan. John Kennedy menjadi amat populer setelah debat antarcalon presiden dan pertama kali disiarkan televisi. Sejak itu, Kennedy cermat memanfaatkan televisi untuk memperkuat citranya.

Gairah baru

Hal terpenting lainnya, kampanye Obama membawa gairah baru bagi pemilih di AS. Bersama Hillary, berlomba untuk mencatat sejarah sebagai calon presiden wanita pertama di AS, tim kampanye Obama berhasil memobilisasi voter turnout dalam jumlah mengejutkan. Pemilihan presiden AS kali ini agaknya akan menjadi counter argument bagi ilmuwan politik Robert Putnam yang dalam bukunya, Bowling Alone (2001), mensinyalir, publik AS kian apatis secara politik, antara lain diindikasikan oleh penurunan secara drastis jumlah pemilih yang memanfaatkan hak pilihnya dari tahun ke tahun.

Philips J Vermonte

Peneliti CSIS Jakarta;

Kandidat Doktor Ilmu Politik di Northern Illinois University, AS

READ MORE - Fenomena Obama dan Internet

Monday, 9 June 2008

Dipimpin Oleh Kejujuran, Kesegaran, Kepolosan dan Simple

Bekerja dibawah koordinasi mahasiswa itu sangat menyenangkan. Bukan karena status Mahasiswa atau mahasiswinya, tetapi Kejujuran,, Kesegaran, Kepolosan dan Simple yang dimiliknya lah yang membuat kita tunduk atas segala ucapannya.

Dua hari kemarin, untuk sebuah kepentingan penelitian, saya menemui seorang mahasiswa yang secara umur jauh dibawah, bahkan ternyata junior saya se almamater. Dua tahun setelah saya ditahbiskan sebagai Sarjana, perempuan ini baru menyandang status sebagai mahasiswi. Tetapi sekarang dia bertindak sebagai pengatur diri saya.

Semuanya menjadi sangat sederhana. Ketika tidak ada konsumsi, diungkapkan permintaan maaf tanpa menutupi masalah sebenarnya kalo sedang tidak ada uang. Perjanjian untuk bertemu tidak perlu di sebuah restoran atau coffee, tapi cukup menunggu di depan supermarket.

Ketika masuk pembahasan uang, dan inilah yang cukup menarik, urusannya juga jadi sederhana. Setelah menjelaskan aturan pembayaran uang dibagikan. Supaya lebih sopan uang dimasukan kedalam amplop tanpa perlu mendatangani kwintansi tanda terima. Tetapi setelah itu tidak ada satupun terdengar nada dan terlihat sikap kecurigaan. Tanpa komando tanpa koordinasi, semuanya percaya si mahasiswi sudah menjalankan tugas dengan jujur.

Berbeda berurusan dengan orang besar. Di kantor swasta manapun yang professional semua penerimaan dan pengeluaran keuangan mesti dicatat dalam sebuah buku yang terdokumentasikan secara ketat. Berlembar-lembar tanda terima mesti ditandatangani hanya untuk membuktikan bahwa semuanya sudah tertib administrasi dan tidak terjadi manipulasi.

Tetapi setelah itu tidak akan pernah ada yang menjamin tidak ada gerutuan karena ketidakpuasan atas semuanya. Mulai dari nominal yang tidak sesuai dengan usaha yang dikeluarkan atau kekesalan terhadap wajah sok kuasa pemberi uang seolah dia telah menjadi dewa penolong dengan uang yang dikeluarkannya, meskipun sebenarnya dia hanya administrator belaka.

Tetapi yang lebih parah urusan dengan birokrasi. Pengeluaran uang mesti diikuti tanda tangan bukti penerimaan. Katanya sih supaya tertib administrasi, menghindari manipulasi dan membuktikan kepada para pemeriksa bahwa tidak terjadi kecurangan dalam pengelolaan keuangan.

Padahal kita menerima uang yang jumlahnya lebih sedikit dibanding kwitansi penerimaan uang yang kita tandatangani. Itulah birokrasi kita !...

Tapi by the way katanya ada yang lebih aneh yaitu urusan dengan para politisi. Kita bisa menerima uang dengan jumlah yang sangat besar, tanpa kwitansi dan tidak jelas sumbernya darimana terhadap kerja yang tidak pernah kita lakukan. Atau bila bekerja, itupun hanya kerja cuap-cuap di ruang rapat atau telepon kesana kemari

Ya itulah birokrasi dan politisi negeri ini!.. yang katanya memimpin kita saat ini !...

Bandung, 7 Juni 2008
READ MORE - Dipimpin Oleh Kejujuran, Kesegaran, Kepolosan dan Simple

Friday, 6 June 2008

Bahasa Perubahan

Jumat, 6 Juni 2008

Oleh Rhenald Kasali

”Perubahan belum tentu menjadikan sesuatu lebih baik, tetapi tanpa perubahan tak ada kemajuan, tak ada pembaruan.”

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla tahun 2004 memenangi pemilihan presiden/wakil presiden dengan mengusung tema ”perubahan”. Tema ”perubahan” juga menjadi janji kunci Barack Obama untuk menjadi calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Ia menyuarakan mutlaknya perubahan di Washington DC sambil menyebut John McCain identik dengan Presiden George W Bush yang telah membuat AS terpuruk.

Konflik dan kontradiksi adalah bahasa penting dalam sejarah perubahan. Akan tetapi, terlibat dalam konflik atau menciptakan konflik bukanlah tujuan dari setiap perubahan yang menghendaki kemajuan. Manusia bisa berputar-putar pada obyek yang berubah dan hanyut dikendalikannya, atau keluar dari pusaran setan itu dengan solusi alternatif.

Yang pertama terperangkap dengan ”adu jago” (dialektika) yang membuat perubahan problematik, sedangkan yang kedua mengajak keluar dengan bahasa harapan. Mungkinkah konflik-konflik yang marak belakangan ini termasuk soal kenaikan harga BBM mampu memicu perubahan positif bagi Indonesia?

Bahasa dialektika

Di pemakaman Abraham Lincoln (1865), Disraeli pernah menyatakan, pembunuhan terhadap pejuang antiperbudakan ini tak bisa mengubah sejarah, betapapun kerasnya konflik dan teror yang diciptakan lawan-lawan Lincoln.

Konflik memang merupakan bagian memilukan dalam sejarah perubahan. Namun, ucapan Disraeli justru banyak dikritisi. ”Assasinations” justru bisa memukul balik dan memicu perubahan. Setiap kebohongan dan teror akan menemukan akibatnya sendiri.

Konflik sangat meletihkan dan tidak menguntungkan bagi bangsa yang sedang berubah karena konflik terus memicu konflik, sedangkan ekuilibriumnya cuma sebentar. Selain itu, masyarakat bisa beranggapan, konflik satu-satunya cara mencapai tujuan.

Adalah keyakinan saya, kita mulai keletihan menyaksikan konflik dan adu mulut. Konflik bukan cuma terjadi di seputar kenaikan harga BBM. Wabah flu burung, ketertiban lalu lintas, penertiban pedagang kaki lima, pembangunan jalan tol dan lintasan busway, privatisasi BUMN, upah buruh, sampai pilkada. Semua diwarnai ancaman-ancaman dan adu kekuatan.

Konflik sering kali dimulai dengan adanya ketidakpastian sehingga prosesnya melewati keragu-raguan. Di tengah-tengah keragu-raguan, muncullah silang pendapat. Kata Tomatsu Shibutani (1966), ”Informasi dibutuhkan manusia untuk meramalkan tindakan.” Akan tetapi, Rosnow (1980) menemukan fakta selalu ada pihak yang punya kesenangan membelokkan informasi untuk kepentingannya.

Ketidakpastian, pembelokan fakta, dan lemahnya otoritas membuat konflik berkepanjangan. Dalam situasi itu, banyak pihak terperangkap dalam bahasa dialektika yang yang bersumber dari kaum Hegelian yang kental dengan istilah-istilah teror (”awas saja”), konflik (”lawan”, ”frustrasi”), konfrontasi (”hadapi”), dan kekuasaan (”hancurkan”, ”tekan”, ”mobilisasi massa/kekuatan”, ”taklukkan”, ”kuasai”).

Bagi kaum Hegelian (Van de Ven, 1995), suasana stabil hanya terjadi saat posisi konflik berimbang. Perubahan terjadi saat yang satu berhasil menguasai yang lain.
Meski ada pendapat, konflik akan berakhir dengan sintesis kreatif, kasus-kasus perubahan melalui bahasa dialektika justru menemukan jawaban sebaliknya. Biayanya mahal, menindas hak-hak asasi manusia, dan setiap kali selesai selalu konflik lagi. Bahasa konflik memicu tindakan-tindakan brutal, seperti mobilisasi kekuatan, saling lempar dan pukul, rampas, bom molotov, pentung, dan seterusnya. Dan, ini bukan cuma mewarnai mahasiswa dan pendemo, tetapi juga meluas sampai politisi dan polisi. Padahal, semua itu berawal dari mulut pencari kekuasaan.

Pertanyaannya, inikah yang kita inginkan dari republik yang ”baru bisa sekadar mimpi” ini karena janji perubahan tak kunjung tiba buktinya?

Bahasa trialektika

Sebenarnya ada bahasa yang lebih optimistis, tetapi dalam kultur konflik tidak terkesan heroik. Dikenal pasca-Perang Dingin: Trialektika. Trialektika ditopang oleh tujuan yang jelas (a clear future), daya tarik (attractiveness), dan adanya keaktifan (Ford & Ford, 1994).

Dalam kamus perubahan kaum trialektika, tidak ada kata resistensi sebab resistensi hanyalah sebuah wake-up call. Kalau alarm disetel orang lain, pasti mengganggu kenyamanan yang tertidur.

Trialektika tidak menyalahkan resistensi, tetapi introspektif dengan mengatakan, ”mereka belum tertarik” atau ”belum mengerti”. Maka, membuat perubahan menjadi menarik, tepercaya dengan tujuan-tujuan yang jelas serta tahapan kemenangan mutlak dibutuhkan.

Celakanya, meski kaum trialektika yakin tindakannya baik untuk bangsa, kaum dialektika bisa membelokkan simpati sehingga rakyat bingung. Dalam kebingungan itu, rakyat hanya berpegang pada persepsinya semata, yaitu siapa yang bisa memasok oksigen untuk menyambung nyawa, bukan janji.

Tindakan perubahan

Bahasa bisa saja diperdebatkan. Kata- kata bisa diselubungkan. Janji-janji perubahan mudah diucapkan dan kekuasaan bisa dipertukarkan. Namun, perubahan tidak bisa disamar-samarkan. Bahasa perubahan yang dipakai setiap orang akan menentukan hasilnya seperti apa. Mudah diramalkan, bahasa konflik hasilnya adalah perubahan problematik, sedangkan bahasa trialektika meski kurang heroik, menjanjikan harapan.

Perubahan pada abad ke-21 jelas jauh lebih kompleks. Ada progress paradox, yaitu selalu muncul masalah-masalah baru pada setiap kemajuan. Ada proponen yang mengagung-agungkan kemajuan dan ada oponen yang memperbesar masalah. Dengan demikian, perubahan memerlukan lebih dari sekadar komunikasi, yaitu terobosan secepat kilat, aliansi kekuatan, endorsement, dan tentu saja nyali.

Semua itu tampak dalam tiga bulan pertama. Jika tiga bulan pertama tidak ada perubahan signifikan, siapa pun yang menjanjikan perubahan, ia hanya bercanda dengan kata-kata saja. Dalam tiga bulan pertama itu, pemimpin perubahan bukan cuma dituntut thinking out of the box, tetapi juga jumping out of the box.

Kalau harga BBM terus melambung, mungkin sudah tidak saatnya lagi berkelahi dan berputar-putar di situ. Cari saja alternatif energi baru di luar minyak. Ini jelas lebih baik daripada adu mulut atau unjuk kekuatan.

Rhenald Kasali
Mengajar Manajemen Perubahan pada Universitas Indonesia
READ MORE - Bahasa Perubahan

Natsir, Dakwah, dan Politik

AM FatwaWakil Ketua MPR RI

Natsir memulai pendidikan formalnya di lembaga pendidikan Barat, HIS, di Padang dan Solok, MULO di Padang, dan AMS Bandung. Kelak dikenal bukan saja sebagai pendiri dan ketua dewan dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), tetapi juga sebagai tokoh Islam internasional sebagai wakil presiden Muktamar Alam Islami yang berpusat di Pakistan dan anggota Majelis Ta’sisi Rabithah Alam Islami yang berpusat di Saudi Arabia.

Natsir juga pernah menjadi Menteri Penerangan RI (1946-1949), Perdana Menteri RI (1950-1951), dan anggota Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI 1958-1960). Pada 1930-an Natsir dikenal sebagai lawan polemik Soekarno di dalam masalah agama dan negara.

Pada usia senjanya, Natsir dikenal sebagai penyuara fasih hati nurani umat. Posisinya yang terakhir itulah yang menyebabkan Natsir dengan sadar turut menandatangani Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50) , mengkritik Presiden Soeharto. Akibatnya, nyaris seluruh hak-hak sipil Natsir dan 49 orang penanda tangan lainnya dibunuh oleh rezim berkuasa. Dengan latar belakang seperti itu, tidak keliru jika dikatakan Natsir adalah contoh seorang tokoh yang telah memadukan dakwah dan politik, dalam teori maupun dalam praktik.

Dakwah dan politikPertanyaannya, bagaimana mungkin memadukan dua hal yang sepintas mengandung kontradiksi itu? Seperti kita tahu, dakwah adalah menyeru, mengajak orang kepada kebaikan, sedangkan politik cenderung lebih banyak berurusan dengan kepentingan.

Pada perbenturan kepentingan, politik cenderung menarik garis batas antara kawan dan lawan walaupun ada adagium di dunia politik: tidak ada kawan atau lawan abadi di dalam politik. Natsir mendamaikan dua dunia yang berbeda itu. Bagi Natsir, kunci bagi keduanya adalah al-akhlaq al-karimah (akhlak mulia). Seorang dai harus memiliki akhlak mulia, seorang politisi harus punya fatsoen politik.

Dengan akhlak mulia, seorang dai akan dapat meresapi isi hati umat dan mampu memberi bimbingan maksimal kepada umat. Dengan fatsoen politik, seorang politisi akan terhalang dari berperilaku menghalalkan segala cara.

Dakwah yang bersih dan politik yang sementara orang mengatakan kotor, bukan sesuatu yang mustahil untuk dipadukan. Dakwah yang bersih makin bermakna jika mampu memberi nilai tambah bagi lingkungannya yang belum bersih sebab objek dakwah yang sesungguhnya bukanlah masjid atau majelis taklim melainkan pasar dan kerumunan di luar masjid dan majelis taklim.

Dakwah yang dilakukan oleh para dai yang berakhlak mulia adalah teraju bagi aktivis dan aktivitas politik. Dengan keyakinan bahwa politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan, bagi Natsir politik adalah pelaksanaan al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyi ‘an al munkar.

Siapa saja yang berbuat baik harus disokong, siapa pun yang berlaku tidak baik harus dikritik. Oleh karena itu sokongan dan kritik bagi Natsir sama harganya.

Tidak silau jabatanKetika pemerintah memerlukan bantuan untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, meski masih di dalam tahanan rezim Soekarno, Natsir tidak segan menulis surat kepada Tengku Abdurrahman untuk menerima delegasi Indonesia. Ketika hak-hak sipilnya masih dibunuh oleh rezim Soeharto, atas inisiatif sendiri, Natsir mengumpulkan tokoh-tokoh Islam untuk mencari solusi ekonomi akibat dibubarkannya IGGI.

Ketika seorang di antara tokoh itu terheran-heran atas prakarsa yang diambil Natsir dan bertanya dalam nada agak curiga, jangan-jangan Natsir mendapat sesuatu dari Soeharto, dengan tenang Natsir menjawab setiap saat pemerintah boleh datang dan pergi, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini harus tetap berdiri kukuh dan utuh.

Fatsoen dalam berpolitik sangat dijaga oleh Natsir. Ketika Partai Masjumi, tempatnya berkiprah, menolak Perjanjian Linggarjati dan menyatakan oposisi dengan menarik kader-kadernya dari Kabinet Sutan Sjahrir, seizin Masjumi, Natsir, Mohamad Roem, H Agus Salim, dan lain-lain sebagai pribadi bertahan di kabinet karena Natsir, Roem, dan Salim, terlibat sejak awal dalam proses perundingan yang menghasilkan Perjanjian Linggarjati itu.

Sebaliknya, karena tidak setuju hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menunda masuknya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, meskipun dibujuk oleh Presiden Soekarno, Natsir memilih mundur dan menolak jabatan Menteri Penerangan. Paduan dakwah dan politik menyebabkan Natsir tidak silau oleh jabatan menteri!

Paduan dakwah dan politik juga menyebabkan Natsir dan kawan-kawan sangat mampu menempatkan perbedaan pendapat secara proporsional. Suatu hari di parlemen, Natsir berdebat keras dengan Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit. Saking kerasnya perdebatan, mau rasanya Natsir menghantamkan kursi ke Aidit. Akan tetapi, saat rehat justru Aidit membawakan secangkir kopi untuk Natsir dan pembicaraan pun berlangsung hangat mengenai soal-soal keluarga.

Di tangan seorang Natsir yang memulai pendidikannya dari sekolah Belanda, dakwah dan politik dapat dirukunkan. Seperti kata Natsir, politik tanpa dakwah, hancur. Pada masa pancaroba reformasi seperti sekarang ini, banyak pelajaran berharga yang dapat kita tarik dari Natsir.

Republika
Jumat, 06 Juni 2008
READ MORE - Natsir, Dakwah, dan Politik

Thursday, 5 June 2008

Hilangnya Sang Negosiator

Edwi Nugrohadi
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi,
Bidang Minat Psikologi Sosial,
UGM, Yogyakarta

Setelah tragedi di Jakarta dan Makassar akibat polisi menyerbu kampus dengan maksud mengejar para demonstran yang anarkis, kritik tajam bermunculan. Profesionalisme polisi sebagai penjaga ketertiban digugat karena bertindak melewati batas.

Kesadaran bahwa polisi juga bagian dari warga masyarakat yang terkena dampak kenaikan BBM tergilas oleh beratnya perjuangan menyalurkan aspirasi. Muncullah stigma semu yang menjustifikasi keberadaan polisi sebagai penjaga yang memuluskan setiap kebijakan pemerintah.

Realitas tersebut akan dapat direduksi manakala polisi memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dengan massa.

Secara psikologis, kekuatan massa terletak dalam proses deindividuasi, di mana eksistensi masing-masing orang menjadi samar. Karena adanya kesamaan kepentingan yang sifatnya sementara dan dikoordinasi dengan cerdas, muncullah mental unity dalam kumpulan tersebut.

Demi kepentingan yang sudah terbangun, pada gilirannya kesatuan mental itu akan memunculkan collective-behavior yang kerap kali tak terbayangkan dan berpotensi mengarah pada tindakan destruktif dan anarkis. Sifat perilakunya menjadi irasional, emosional, sugestif, dan bahkan mampu menembus sekat-sekat moralitas.

Menengok pada perjalanan sejarah, gambaran dan karakteristik massa sebetulnya dapat dicermati karena sejak orde reformasi pengalaman tersebut belum meninggalkan kehidupan bangsa. Atas nama kepentingan, perjuangan menyuarakan aspirasi seolah harus diakhiri dengan terpenuhinya tuntutan.

Hal itu terjadi baik dalam tataran penentu kebijakan maupun akar rumput. Keterbukaan terhadap perspektif yang berbeda tersumbat karena pengalaman eksistensial masing-masing pihak yang menuntut untuk didengarkan dan diberi pemecahan.

Meski secara sinis semuanya itu dapat dikatakan bagian dari proses berdemokrasi, akibat yang lebih parah sebetulnya memiliki potensi untuk dapat dicegah. Caranya dengan mengedepankan proses negosiasi.

Kenyataan di lapangan membeberkan bahwa negosiasi dalam arti yang sesungguhnya tidak terjadi. Saat perwakilan dari masing-masing pihak bertemu dan berdialog, irama yang berkembang lebih pada pemaksaan kehendak dengan asumsi masing-masing. Menjadi amat dimengerti jika simpulannya kemudian adalah silakan berdemonstrasi sejauh tidak menggangu ketertiban.

Secara teoritis negosiasi diyakini sebagai salah satu model nonkekerasan yang dapat dipakai untuk mencegah terjadinya konflik dengan solusi mutual. Hal itu dimungkinkan karena pihak yang saling berhadapan secara bersama, dengan dasar kepentingan masing-masing, menghendaki kondisi yang lebih baik dan menghindari terjadinya konflik terbuka.

Dari perspektif inilah kepercayaan dapat dibangun solusi-solusi alternatif dapat dipikirkan dan disepakati. Ada dua bentuk yang dapat dipilih, masing-masing memiliki karakteristik berbeda, yakni negosiasi distributif dan integratif. Hal yang patut disayangkan adalah bahwa kemampuan melakukan negosiasi sebagai alternatif solusi belum menjadi bagian inheren kehidupan kita.

Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan hal tersebut ada dua pilihan yang dapat diambil.
Pertama adalah memunculkan tokoh negosiator dalam peristiwa demonstrasi. Betul bahwa tidak semua konflik harus diselesaikan melalui negosiasi, tetapi dalam peristiwa demonstrasi, mereka yang melakukan demo adalah bagian dari bangsa ini.

Jalan kekerasan bukanlah pilihan terbaik. Apalagi menyuruh pihak lain (misalnya penerima BLT) untuk memprotes mereka yang demonstrasi menyuarakan kepentingan bersama.
Bandingkan dengan pengalaman negara yang sudah maju dalam berdemokrasi. Manakala berhadapan dengan perbedaan kepentingan, negosiasi adalah pilihan. Langkah itu juga dilakukan secara profesional dengan mengajukan negosiator andal.

Di tangan negosiator andal itulah pemecahan (entah transaksional atau transformasional sifatnya) dipercayakan. Peran negosiator menjadi sangat sentral karena di pundaknya terpikul beban untuk menyelesaikan perbedaan kepentingan dengan solusi mutual.

Keberadaan sang negosiator dihargai dan bahkan dapat menjadi alternatif karier. Dalam hal ini, Indonesia tertinggal. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketiadaan negosiator andal berakhir pada perang urat syaraf yang mengarah ke intervensi fisik.

Salah satu akibatnya pasti kekacauan terjadi di lapangan dan akan dengan cepat menyulut kekerasan. Apalagi jika peristiwanya berlangsung cukup lama. Kepenatan dan kejengkelan mendengarkan luapan amarah yang kemudian dibumbui dengan panasnya terik matahari dengan cepat mampu melegitimasi tindakan anarkis. Banyaknya kerumunan pada saat kejadian berlangsung ibarat bensin yang disiramkan ke api karena memberi ruang bagi individu yang mengalami deindividuasi untuk melakukan perbuatan yang uncontrollable. Potensi itu dapat dikurangi jika negosiator menjalankan tugasnya dengan baik.

Alternatif kedua yang dapat dilakukan adalah membekali polisi dengan kemampuan bernegosiasi. Bentuk pelaksanaannya bisa beragam, tetapi tujuan yang mau dicapai jelas, yakni setiap polisi (tidak pemimpinnya saja) yang berhadapan dengan massa memiliki kemampuan dan keterampilan bernegosiasi.

Program tersebut dapat diimplementasikan dalam studi para calon polisi di semua tingkatan maupun dalam proses on going formation yang sudah dirancang. Jika pelaksanaannya ditempatkan dalam masa belajar, kurikulum yang lebih up to date merupakan sebuah keharusan.

Paradigma negosiasi sebagai soft-skill harus diubah. Negosiasi harus merupakan hard-skill yang wajib dipunyai oleh setiap calon polisi. Keterampilan itu disinergikan dengan keterampilan lain dan dipraktikkan dalam sebuah tugas lapangan dengan pendasaran pemahaman yang memadai.

Dalam kerangka pendidikan lanjut yang berkesinambungan, keterampilan melakukan negosiasi dapat dimasukkan menjadi salah satu materi pokok. Memang tidak mudah melakukan edukasi pada kelompok yang sudah mapan dengan setting-an kerja. Namun, karena mendesaknya, hal itu harus dilakukan.

Keterampilan tersebut tidak dapat diandaikan muncul begitu saja seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman kerja. Rancangan sistemik harus dibuat sehingga skill tersebut inheren dalam diri setiap polisi. Konkretisasinya dapat diwujudkan melalui jalur nonformal (misalkan pelatihan dengan mendatangkan orang yang memang ahli dalam bidang itu).

Belajar dari sejarah Indonesia 10 tahun terakhir, kemampuan dan keterampilan bernegosiasi adalah sebuah keharusan karena para polisilah yang selama ini selalu berhadapan langsung dengan demonstran (massa). Masyarakat sudah berkembang dan banyak yang cerdas sehingga bukan saatnya lagi menghadapi segala persoalan masyarakat yang menggumpal dalam gerakan massa dengan keterampilan fisik atau senjata.

Sisi baik lainnya, keterampilan itu pada gilirannya justru akan mengartikulasikan visi polisi selama ini, yakni mengayomi dan melayani masyarakat.

Ikhtisar
- Tidak pernah ada proses negosiasi yang sesungguhnya di lapangan dari aparat kepolisian dengan pihak yang bersengketa.
- Kemampuan bernegosiasi menjadi keharusan dan perlu dipupuk sejak menjadi calon abdi negara.
READ MORE - Hilangnya Sang Negosiator

Indonesia Bisa, Unas dan Monas

Kamis, 5 Juni 2008 00:39 WIB

Oleh GF Sasmita Aji

Lampu di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, yang menjadi saksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional belum padam sepenuhnya dan pidato Presiden Yudhoyono di televisi, malam sebelumnya, tentang ”Indonesia Bisa” masih terasa getarannya. Namun, semangat kebangkitan ”nasional” ternoda peristiwa Unas dan Monas.

Bagaimana memaknai kata ”nasional” sebagai suatu semiotika budaya (istilah, Benny H Hoed dalam Semiotik dan dan Dinamika Sosial Budaya, 2008) Bangsa Indonesia ini?
Kebangkitan Nasional 1908 adalah awal kesadaran bangsa untuk bertindak terhadap keterpurukan akibat sistem marjinalisasi penjajah. Harga diri (dignity) menjadi target yang harus diperjuangkan dan pendidikan kunci utama meraih cita-cita ini. Sutomo dengan STOVIA-nya bertindak. Tanggal 28 Oktober 1928 menjadi bukti, dignity mampu mengantar pada identitas dasar bangsa, persatuan. Persatuan inilah senjata ampuh mewujudkan eksistensi bangsa ke dunia lewat kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Maka, Indonesia berdiri dan berkiprah. Tahap demi tahap, berbagai kualitas bangsa bermunculan. Peran pentingnya dalam era pascakolonialisme bagi Asia-Afrika menempatkan Indonesia sebagai salah satu ”negara besar” yang layak diperhitungkan. Bahkan, Indonesia menjadi incaran dua kubu dunia yang bersitegang, kapitalis dan komunis. Perjalanan bangsa Indonesia terus ”membubung” hingga muncul julukan ”Macan Asia”.

Sayang, badai krisis mengubah wajah identitas bangsa sehingga sejak awal abad ke-21 Indonesia harus mulai ”mereposisi” identitasnya. Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional menjadi momentum saat Presiden SBY menegaskan cita-cita nyata yang hendak dan sedang dilaksanakan bangsa Indonesia: kemandirian, daya saing, dan peradaban bangsa. Dua kata kunci yang coba didengungkan: ”Indonesia Bisa”.

Prioritas utama

Jika 1908 mencoba membangun identitas bangsa lewat dignity (yakni pendidikan), persatuan, dan kemerdekaan, 100 tahun kemudian kebangkitan 2008 berupaya mereposisi identitas bangsa lewat kemandirian, daya saing, dan peradaban. Upaya yang dicanangkan SBY ini dilandasi konteks sosial yang sifatnya mendunia, yakni krisis ekonomi akibat harga minyak yang tidak terkontrol lagi. Indonesia yang sudah menjadi negara pengimpor minyak terpukul. Maka, dapat dipahami jika cita-cita kemandirian bangsa menjadi prioritas utama wacana Presiden SBY.

Meski demikian, tampak amat kontras cara berpikir ”manusia awal abad ke-20” dan ”manusia awal abad ke-21”. Kebangkitan 1908 mau menjawab keterpurukan bangsa lewat pendidikan karena penjajah memarjinalkannya dengan kebodohan. Sedangkan kebangkitan 2008 lewat kemandirian (baca: keberhasilan ekonomi) karena ”penjajah” (yakni globalisasi) telah memarjinalkan bangsa Indonesia dengan kemiskinan (meski seorang menteri kita justru menjadi orang terkaya di Asia). Untuk ini, kita harus yakin ”Indonesia Bisa”.

Amat menarik, saat pemerintah getol mendengungkan ”Indonesia Bisa”, ada dua peristiwa di tempat yang memiliki kata ”nasional”: Universitas Nasional dan Monumen Nasional. Keduanya pun sama sekali tidak terkait upaya mereposisi identitas nasional yang diprogramkan pemerintah. Keduanya adalah konflik kekerasan dan bagian identitas bangsa yang memang ”dipupuk”.

Penyerbuan polisi ke Unas, yang diprotes keras rektornya, dan penyerbuan laskar KLI/FPI ke Monas, yang dikutuk banyak kalangan, merupakan representasi kegagalan pemerintah dan bangsa Indonesia dalam mendidik elemen masyarakat. Kekerasan, yang merupakan identitas ”manusia (di) hutan”, adalah wujud kegagalan atau ketidakmampuan kerja otak manusia menghadapi dan menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi.

Semiotika

Namun, di balik kegagalan ini ada keprihatinan yang harus diungkap terkait pelaku kekerasan itu. Juga sensitivitas terhadap kebangkitan ”nasional” yang baru dan masih hangat dan pemahaman terhadap semiotika ”nasional”, yang menjadi karakteristik/identitas tempat itu.

Istilah ”Universitas Nasional” memiliki dua kata acuan pemaknaan. Kata ”universitas” menunjuk jenis institusi, yakni pendidikan (tinggi), dan kata ”nasional” bermakna sebagai ”nama” institusi itu. Jadi, dalam konteks ini, kata ”nasional” pada Unas tidak memiliki signified (istilah Saussure), atau konsep mental, yang berarti ”karakteristik” atau ”milik”. Terlebih, Unas adalah institusi swasta sehingga representasi bangsa Indonesia tidak bisa dikaitkan dengan ”nasional” itu.

Maka, semiotika penyerbuan polisi ke tempat ini lebih dikaitkan dengan representasi ”pelecehan” terhadap institusi pendidikan, bukan pada identitas bangsa. Persoalan menjadi amat serius jika Unas adalah institusi pendidikan yang dikelola penuh oleh dan untuk negara.
Dibandingkan dengan kasus Unas, kasus Monas merupakan bentuk keprihatinan mendalam.

Tidak hanya karena kebengisan peristiwanya sendiri, Monumen Nasional adalah identitas Jakarta dalam arti sempit sekaligus identitas bangsa Indonesia dalam arti luas. Kata ”nasional” dalam Monas berarti lebih tinggi daripada kata ”monumen”-nya. Maka, pelecehan terhadap Monas adalah pelecehan terhadap nasionalitas bangsa Indonesia. Artinya, perbuatan tercela di Monas itu menjadi representasi pelakunya sebagai agen kekerasan dan pelecehan terhadap identitas bangsa Indonesia. Apalagi, dilakukan pada peringatan hari lahir Pancasila dan di depan Istana Negara.

Akhirnya, tugas pemerintahlah memimpin bangsa ini mencapai kemandiriannya. Salah satunya adalah lewat pemahaman terhadap setiap semiotika ”nasional” di sekitar kita.

GF Sasmita Aji
Dosen ”Cultural Studies”
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
READ MORE - Indonesia Bisa, Unas dan Monas