Oleh Ajip Rosidi
Dr. Deliar Noer (meninggal 17 Juni 2008) pernah menjadi Rektor IKIP Jakarta selama lebih dari 7 tahun, tetapi dipecat ketika hendak membacakan pidato pengukuhannya sebagai guru besar Juni 1974.
Padahal, masa jabatan Deliar Noer yang kedua (terakhir) hanya tinggal beberapa bulan lagi. Isi pidato pengukuhannya dianggap Menteri P dan K Mayjen Prof. Dr. Sjarif Thayeb sebagai menghasut, mungkin karena takut terjadi kerusuhan seperti Malari yang berlangsung beberapa bulan sebelumnya.
Keterangan Deliar bahwa pidato yang berjudul "Partisipasi dalam Pembangunan" itu, disusun secara ilmiah sesuai dengan kebebasan mimbar dan otonomi perguruan tinggi, tidak digubris Menteri. Sebelumnya, tak lama setelah peristiwa Malari, Deliar sempat mengemukakan pendapat yang berbeda dengan kebijaksanaan pemerintah Orde Baru dalam menghadapi gerakan mahasiswa, dimuat dalam Harian Kami.
Yang ironis ialah bahwa kira-kira sepuluh tahun sebelumnya, Deliar dilarang mengajar di Universitas Sumatera Utara dan yang memecatnya adalah Prof. Dr. Sjarif Thayeb, juga sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Dia dipecat, karena desakan golongan kiri yang menuduhnya antek Amerika dan dekat dengan Bung Hatta, yang ketika itu sudah berhenti sebagai wakil presiden dan dianggap berseberangan dengan Presiden Soekarno, sehingga Deliar dianggap subversif dan anti Manipol. Dipecat dari IKIP – sebenarnya lebih dari itu, karena menteri juga melarangnya mengajar di semua perguruan tinggi di seluruh tanah air – karena dianggap menghasut para mahasiswa. Oleh karena itu, sempat diinterogasi Tim Interogasi yang menangani Gestapu. Padahal, Deliar yang pernah menjadi Ketua HMI, niscaya antikomunis – hal yang jelas tampak dalam tulisan-tulisannya. Begitulah nasib ilmuwan (sosial) politik, yang berani secara jujur mengemukakan pandangannya secara ilmiah tanpa memedulikan arah kebijakan politis pemerintah yang berkuasa.
Karena, tidak boleh lagi mengajar di seluruh Indonesia baik di universitas swasta maupun (apalagi!) di universitas negeri, Deliar menerima tawaran untuk menjadi peneliti di ANU (Australian National University), Canberra. Sebenarnya, dia juga ditawari mengajar atau melakukan penelitian di Chicago dan Singapura, tetapi urusan dengan Australia lebih cepat selesai. Setelah berada di Australia, dia juga mendapat tawaran untuk mengajar di Kuala Lumpur di Universiti Kebangsaan Malaysia dan tawaran dari The Ford Foundation, untuk membimbing penyusunan tesis para sarjana IAIN yang mendapat beasiswa belajar di Leiden, Belanda. Tapi, pemerintah RI menutup kemungkinan itu dengan menghubungi IAIN dan pemerintah Singapura. Sementara, di Australia pihak universitas mempunyai kebebasan penuh, tak boleh masuk intervensi kekuasaan (politik) pemerintah ke dalamnya. Tahun pertama Deliar menjadi peneliti di ANU. Tahun berikutnya menjadi tenaga pengajar tamu di Griffith University di Brisbane. Setelah setahun, kedudukan itu berubah menjadi pengajar tetap.
Setelah mengajar lima tahun, Deliar bisa mempertemukan maksud beberapa orang kawannya sesama ilmuwan yang Islami di Jakarta yang ada di lingkungan M. Natsir, untuk membentuk lembaga riset LIPPM (Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat) bekerja sama dengan Griffith University. Deliar yang dipercaya memimpin lembaga tersebut, selama tiga tahun pertama masih bekerja di Griffith University, tetapi enam bulan dalam setahun dia diperbolehkan bekerja di Jakarta untuk LIPPM. Di samping itu, Griffith University bersedia menerima para sarjana LIPPM yang hendak memperdalam ilmunya dengan biaya mereka. Sayang bahwa setelah bekerja enam bulan pertama di Jakarta untuk meletakkan dasar-dasar organisasi LIPPM, ketika berada di Brisbane, Deliar diminta Mr. Moh. Roem, yang menjadi salah seorang Dewan Penyantun LIPPM agar jangan kembali ke Jakarta tanpa alasan yang jelas. Deliar berpendapat bahwa sebagai lembaga riset LIPPM, seharusnya mempunyai kebebasan dan tidak diharuskan menyesuaikan hasil penelitiannya, dengan keinginan pihak yang mendanai LIPPM. Setelah ditinggalkan oleh Deliar, LIPPM perlahan-lahan sirna dari permukaan bumi.
Deliar Noer dilahirkan di Medan 9 Februari 1926. Setelah menamatkan sekolah menengah dia melanjutkan ke Universitas Nasional dan ketika menjadi mahasiswa aktif sebagai anggota, kemudian bahkan menjadi Ketua Umum HMI. Setelah menyelesaikan sarjana muda, dia mendapat kesempatan melanjutkan ke Cornell University di Amerika. Di sana, dia berhasil menjadi orang Indonesia pertama yang menggondol gelar doktor (Ph.D.) dalam ilmu politik dengan disertasi "The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942" (Oxford University Press, KL, 1972) yang sekarang telah menjadi klasik. Di samping itu, Deliar banyak menulis buku tentang Islam dan politik di Indonesia, di antaranya "Partisipasi dalam Pembangunan" (ABIM, KL, 1975), "Administration of Islam in Indonesia" (Modern Indonesian Project, Ithaca, 1982), "Ideologi, Politik, dan Pembangunan" (Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1980), "Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal" (Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1984), "Mohammad Hatta: Biografi Politik" (LP3ES, Jakarta, 1990), "Aku Bagian dari Ummat Aku bagian dari Bangsa, Otobiografi" (Mizan, Bandung, 1996), "Pemikiran Politik di Negeri Barat" (edisi revisi, Mizan, 1997), "Partai Islam di Pentas Nasional" (edisi revisi, Mizan, Bandung, 2000), "Membincang Tokoh-tokoh Bangsa" (Mizan, Bandung, 2001), "Islam dan Masyarakat" (Yayasan Risalah, Jakarta, 2003), "Islam & Politik" (Yayasan Risalah, Jakarta, 2003), "KNIP" (Yayasan Risalah, Jakarta, 2005), dll.
Deliar bukan hanya ilmuwan. Dia juga aktivis. Pada awal masa Orde Baru, dia pernah menjadi staf penasihat Presiden Soeharto, tetapi kemudian mengundurkan diri, karena berbeda paham dengan staf yang lain. Bersama Moh. Hatta dkk., ia pernah juga berusaha mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), tetapi tidak mendapat persetujuan dari pemerintah Orde Baru. Kemudian pada masa Reformasi 1998, Deliar membentuk Partai Umat Islam, tetapi dalam Pemilu 1999 tidak mendapat dukungan yang cukup.
Disertasinya tentang gerakan kaum modernis Islam di Indonésia yang sudah menjadi klasik itu meneliti lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, dan tokoh-tokoh modernis Islam di seluruh Indonesia, yang dianggap paling lengkap. Dilukiskannya perbedaan paham antara kaum modernis dengan kaum tradisional, seperti A. Hassan dari Persis, Kiai Haji Abdulhalim dari Persatuan Umat Islam Majalengka, Ajengan Ahmad Sanusi dari Sukabumi, dll. Tapi, telaah Dr. Mohammad Iskandar dari UI tentang pesantren Gunungpuyuh dan Ajengan Ahmad Sanusi dari Sukabumi menunjukkan bahwa agaknya karena kendala bahasa (K.H. Abdulhalim dan Ajengan Ahmad Sanusi banyak menulis dalam bahasa Sunda, yang tidak dikuasai Deliar Noer) tidak menelaah sikap dan pendapat K.H. Ahmad Sanusi dan K.H. Abduhalim dengan cermat. Deliar tidak mengetahui bahwa sikap K.H. Ahmad Sanusi berlainan dengan sikap A. Hassan yang selalu menganjurkan agar setiap muslim melakukan ijtihad, jangan taklid saja. Menurut Ajengan Ahmad Sanusi, ijtihad hanya bisa dilakukan oleh muslim yang menguasai alat-alatnya seperti pandai bahasa Arab, mengetahui isi Alquran, mengetahui al-Hadis dll. Bagi orang awam, lebih baik taklid saja.
Bagi saya sendiri yang menarik dalam disertasinya itu adalah keterangan bahwa K.H. Abdulhalim dilahirkan di Desa Ciborelang, Majalengka. Desa Ciborelang adalah kampung saya, walaupun benar termasuk Kabupaten Majalengka, tetapi bukan di Kota Majalengka, melainkan di kecamatan Jatiwangi. Oleh karena itu, saya sempat menelusurinya. Ternyata K.H. Abdulhalim dilahirkan di sebelah utara jalan raya Bandung-Cirebon, persis di perbatasan Desa Ciborelang dengan desa Sutawangi. Tapi, rumah tempatnya dilahirkan termasuk Desa Ciborelang, yaitu di pinggir Sungai Cigoong yang menjadi batas kedua desa tersebut.
Tentu saja kekurangan itu tidak mengurangi nilai disertasi, sebagai hasil penelitian yang berbobot.
Ketika saya telah selesai menyusun naskah kumpulan karangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, saya meminta Deliar Noer untuk menulis kata pengantar. Permintaan itu dipenuhinya, tetapi ketika setelah buku itu terbit aku mengirimkan uang sebagai honorarium pengantar yang ditulisnya. Uang itu dikembalikannya dengan alasan bahwa dia merasa berutang budi kepada Mr. Sjafruddin dan kawannya segenerasi, maka penulisan pengantar itu dianggapnya sebagai penghormatannya kepada beliau.
Dengan meninggalnya Deliar, Indonesia kehilangan seorang ilmuwan yang daria dan konsisten serta dihormati kalangan Indonesianis di seluruh dunia. Innalilalhi wainna ilaihi roji’un. Mudah-mudahan Allah akan menerima iman-Islam serta amal perbuatannya, mengampuni kekurangan dan keluputannya, serta memberinya tempat yang mulia di hadirat-Nya. Sementara, kepada keluarganya diberikan sabar dan tawakal menghadapi kehilangan yang tak dapat dielakkan ini. Amin. ***
Penulis, sastrawan & budayawan Sunda.