Rabu, 18 Juni 2008
Ninok Leksono
“Sekarang politisi tahu bahwa setiap langkah—kata ataupun ekspresi—akan direkam, dikemas, dan dihubungkan ke seluruh dunia, dalam beberapa menit.” (Edward Luce, Financial Times, 13/6/2008)
Semula, mata kuliah yang diunggulkan di jurusan komunikasi sejumlah universitas adalah Media, Teknologi, dan Masyarakat (Society). Namun, dari satu sesi di dalam mata kuliah itu, yakni yang terkait dengan kekuasaan, kemudian oleh Program Studi Hubungan Internasional FISIP UI dimunculkan menjadi satu mata kuliah sendiri, yakni Media, Teknologi, dan Kekuasaan (Power).
Mahasiswa dengan itu lalu mendapatkan aktualisasi dari penerapan teknologi baru, khususnya di bidang media, dalam kaitannya dengan praksis politik. Ketika hari-hari ini berlangsung rangkaian proses pemilihan presiden AS, contoh aktual tersebut bertambah nyata.
Pada harian ini, Kamis (12/6), peneliti CSIS, Philips J Vermonte, juga menjelaskan beberapa aspek pemanfaatan media untuk pencapaian tujuan politik. Mengutip majalah The Atlantic Monthly edisi Juni 2008, Vermonte menyebutkan bagaimana cara komunikasi politik mengalami transformasi dari masa ke masa. Andrew Jackson, misalnya, membentuk Partai Demokrat saat teknologi cetak mengalami kemajuan pesat pada awal 1800-an. Jackson mengorganisasi editor dan penerbit untuk membentuk parpol. Lalu Abraham Lincoln menjadi tokoh legendaris setelah transkrip kampanye presidennya disebarluaskan melalui koran yang saat itu berkembang marak di AS.
Pada masa berikutnya, Franklin Roosevelt memimpin AS melalui masa sulit mengampanyekan program New Deal secara efektif lewat pesan radio. Akhirnya, John Kennedy jadi sangat populer setelah debat antarcalon presiden pertama kali disiarkan televisi. Kennedy sejak itu giat memanfaatkan televisi untuk memperkuat citranya.
Media baru
Memang hal yang tak diragukan lagi, media terbukti merupakan alat efektif untuk menjangkau massa pemilih bagi para kandidat, dan corong bagi pemegang kekuasaan.
Meski sejumlah politisi Indonesia telah gencar menghadirkan diri di media, dari iklan Ketua Umum PAN hingga situs web mantan Ketua Umum Partai Golkar, itu masih merupakan pemanfaatan paling basic.
Bandingkan dengan yang dilakukan kandidat dari Partai Demokrat, Barack Obama, dengan internet. Dengan mengeksploitasi sifat Web 2.0 yang menekankan pada komunitas, tim Obama telah menggelar 30.000 acara dalam 15 bulan kampanye pemilihan pendahuluan. Rekaman video kegiatan yang digelar bisa diakses melalui situs YouTube, My-Space, dan Facebook. Pendukung juga dapat menikmati berbagai pesan kampanye melalui iPod.
Kubu Obama juga menyadari, kampanye politik tak bisa sepenuhnya bersifat ”putih”. Buktinya, Obama diserang dengan berbagai macam isu. Kampanye hitam ini pun ia jawab melalui internet, yaitu dengan meluncurkan situs Fight the Smears (Perangi Cela).
Dengan berbagai kiprah kampanye di internet, Edward Luce menulis, kalau ada medali emas dalam pemanfaatan teknologi baru untuk tujuan politik, maka setiap aficionado akan menyerahkannya kepada Obama (Financial Times, 13/6).
Ide itu masuk akal juga karena kanal Obama di YouTube punya hampir 1.300 video yang dibuat staf kampanyenya, dan itu setiap hari terus bertambah. Dari sisi orang yang melihatnya, video Obama telah ditonton 50 juta orang, sementara kanal YouTube John McCain yang punya 200 video baru ditonton 4 juta orang.
Tiga manfaat
Menurut Direktur Media Baru Obama Joe Rospars, tim kampanye melihat internet sebagai alat yang bisa untuk mencapai tiga sasaran, yakni membantu mengorganisasi pendukung, mengumpulkan dana, dan menyampaikan pesan (telling the campaign’s story).
Berkembangnya dukungan terhadap Obama di internet juga disebabkan oleh sikap ”silakan saja”, laissez-faire, Obama, di mana pendukung dipersilakan ikut membangun konten kampanye dan bahkan membangun situs pendukung masing-masing, seperti juga kita lihat di Indonesia. Ada yang menyebut, kampanye Obama demikian internetfriendly. Sementara kedua calon lain, dalam hal ini Hillary Clinton dan John McCain, lamban dalam memanfaatkan potensinya. Ada kesan, tim kampanye Hillary menerapkan pengawalan terhadap isi situs mereka (gate-keeping). Padahal, semakin enteng video di era YouTube ini, semakin cepat ia menyebar. Namun, dengan semua kemajuan ini, politisi juga menarik kearifan dari pemanfaatan teknologi baru.
Akan meluas
Apa pun, kini teknologi baru telah tersedia bagi para aspiran politik yang sedang mendambakan kekuasaan. Memang untuk berbagai negara, terkait dengan infrastruktur yang terpasang, masih banyak dianalisis, mana teknologi yang paling efektif dari teknologi tersebut. Salah satu analisis disampaikan pakar komunikasi Ade Armando dalam Seminar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia di Banjarmasin pertengahan April silam. Karena internet masih terbatas di kota-kota besar, televisi dan media cetak dipercayai masih pemegang peranan terbesar dalam pemanfaatan teknologi media untuk politik.
Masalahnya, media yang besar pengaruhnya itu juga tidak selamanya bebas nilai. Pada masa lalu, Hitler menjadikan media untuk propaganda besar-besaran bagi cita-cita Nazi-nya (lihat Media and Society in the Twentieth Century, Gorman & McLean, 2003). Orde Baru juga melakukan hal yang sama.
Bahkan, karena besarnya pengaruh media seperti televisi, sosok seperti PM Italia Silvio Berlusconi dan keluarganya mengontrol jaringan penyiaran swasta Mediaset, yang diperkuat dengan tiga kanal terestrial (Financial Times, 13/6).
Selain untuk memengaruhi rakyat pemilih, medium seperti televisi juga besar peranannya dalam penyebaran nilai. Jadi, tidak heran apabila pemilik modal—apalagi yang punya cita-cita politik—tak ragu untuk berinvestasi besar dalam pertelevisian.
Di era pemilihan, politisi akan semakin luas memanfaatkan teknologi baru media.
No comments:
Post a Comment