Thursday, 5 June 2008

Hilangnya Sang Negosiator

Edwi Nugrohadi
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi,
Bidang Minat Psikologi Sosial,
UGM, Yogyakarta

Setelah tragedi di Jakarta dan Makassar akibat polisi menyerbu kampus dengan maksud mengejar para demonstran yang anarkis, kritik tajam bermunculan. Profesionalisme polisi sebagai penjaga ketertiban digugat karena bertindak melewati batas.

Kesadaran bahwa polisi juga bagian dari warga masyarakat yang terkena dampak kenaikan BBM tergilas oleh beratnya perjuangan menyalurkan aspirasi. Muncullah stigma semu yang menjustifikasi keberadaan polisi sebagai penjaga yang memuluskan setiap kebijakan pemerintah.

Realitas tersebut akan dapat direduksi manakala polisi memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dengan massa.

Secara psikologis, kekuatan massa terletak dalam proses deindividuasi, di mana eksistensi masing-masing orang menjadi samar. Karena adanya kesamaan kepentingan yang sifatnya sementara dan dikoordinasi dengan cerdas, muncullah mental unity dalam kumpulan tersebut.

Demi kepentingan yang sudah terbangun, pada gilirannya kesatuan mental itu akan memunculkan collective-behavior yang kerap kali tak terbayangkan dan berpotensi mengarah pada tindakan destruktif dan anarkis. Sifat perilakunya menjadi irasional, emosional, sugestif, dan bahkan mampu menembus sekat-sekat moralitas.

Menengok pada perjalanan sejarah, gambaran dan karakteristik massa sebetulnya dapat dicermati karena sejak orde reformasi pengalaman tersebut belum meninggalkan kehidupan bangsa. Atas nama kepentingan, perjuangan menyuarakan aspirasi seolah harus diakhiri dengan terpenuhinya tuntutan.

Hal itu terjadi baik dalam tataran penentu kebijakan maupun akar rumput. Keterbukaan terhadap perspektif yang berbeda tersumbat karena pengalaman eksistensial masing-masing pihak yang menuntut untuk didengarkan dan diberi pemecahan.

Meski secara sinis semuanya itu dapat dikatakan bagian dari proses berdemokrasi, akibat yang lebih parah sebetulnya memiliki potensi untuk dapat dicegah. Caranya dengan mengedepankan proses negosiasi.

Kenyataan di lapangan membeberkan bahwa negosiasi dalam arti yang sesungguhnya tidak terjadi. Saat perwakilan dari masing-masing pihak bertemu dan berdialog, irama yang berkembang lebih pada pemaksaan kehendak dengan asumsi masing-masing. Menjadi amat dimengerti jika simpulannya kemudian adalah silakan berdemonstrasi sejauh tidak menggangu ketertiban.

Secara teoritis negosiasi diyakini sebagai salah satu model nonkekerasan yang dapat dipakai untuk mencegah terjadinya konflik dengan solusi mutual. Hal itu dimungkinkan karena pihak yang saling berhadapan secara bersama, dengan dasar kepentingan masing-masing, menghendaki kondisi yang lebih baik dan menghindari terjadinya konflik terbuka.

Dari perspektif inilah kepercayaan dapat dibangun solusi-solusi alternatif dapat dipikirkan dan disepakati. Ada dua bentuk yang dapat dipilih, masing-masing memiliki karakteristik berbeda, yakni negosiasi distributif dan integratif. Hal yang patut disayangkan adalah bahwa kemampuan melakukan negosiasi sebagai alternatif solusi belum menjadi bagian inheren kehidupan kita.

Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan hal tersebut ada dua pilihan yang dapat diambil.
Pertama adalah memunculkan tokoh negosiator dalam peristiwa demonstrasi. Betul bahwa tidak semua konflik harus diselesaikan melalui negosiasi, tetapi dalam peristiwa demonstrasi, mereka yang melakukan demo adalah bagian dari bangsa ini.

Jalan kekerasan bukanlah pilihan terbaik. Apalagi menyuruh pihak lain (misalnya penerima BLT) untuk memprotes mereka yang demonstrasi menyuarakan kepentingan bersama.
Bandingkan dengan pengalaman negara yang sudah maju dalam berdemokrasi. Manakala berhadapan dengan perbedaan kepentingan, negosiasi adalah pilihan. Langkah itu juga dilakukan secara profesional dengan mengajukan negosiator andal.

Di tangan negosiator andal itulah pemecahan (entah transaksional atau transformasional sifatnya) dipercayakan. Peran negosiator menjadi sangat sentral karena di pundaknya terpikul beban untuk menyelesaikan perbedaan kepentingan dengan solusi mutual.

Keberadaan sang negosiator dihargai dan bahkan dapat menjadi alternatif karier. Dalam hal ini, Indonesia tertinggal. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketiadaan negosiator andal berakhir pada perang urat syaraf yang mengarah ke intervensi fisik.

Salah satu akibatnya pasti kekacauan terjadi di lapangan dan akan dengan cepat menyulut kekerasan. Apalagi jika peristiwanya berlangsung cukup lama. Kepenatan dan kejengkelan mendengarkan luapan amarah yang kemudian dibumbui dengan panasnya terik matahari dengan cepat mampu melegitimasi tindakan anarkis. Banyaknya kerumunan pada saat kejadian berlangsung ibarat bensin yang disiramkan ke api karena memberi ruang bagi individu yang mengalami deindividuasi untuk melakukan perbuatan yang uncontrollable. Potensi itu dapat dikurangi jika negosiator menjalankan tugasnya dengan baik.

Alternatif kedua yang dapat dilakukan adalah membekali polisi dengan kemampuan bernegosiasi. Bentuk pelaksanaannya bisa beragam, tetapi tujuan yang mau dicapai jelas, yakni setiap polisi (tidak pemimpinnya saja) yang berhadapan dengan massa memiliki kemampuan dan keterampilan bernegosiasi.

Program tersebut dapat diimplementasikan dalam studi para calon polisi di semua tingkatan maupun dalam proses on going formation yang sudah dirancang. Jika pelaksanaannya ditempatkan dalam masa belajar, kurikulum yang lebih up to date merupakan sebuah keharusan.

Paradigma negosiasi sebagai soft-skill harus diubah. Negosiasi harus merupakan hard-skill yang wajib dipunyai oleh setiap calon polisi. Keterampilan itu disinergikan dengan keterampilan lain dan dipraktikkan dalam sebuah tugas lapangan dengan pendasaran pemahaman yang memadai.

Dalam kerangka pendidikan lanjut yang berkesinambungan, keterampilan melakukan negosiasi dapat dimasukkan menjadi salah satu materi pokok. Memang tidak mudah melakukan edukasi pada kelompok yang sudah mapan dengan setting-an kerja. Namun, karena mendesaknya, hal itu harus dilakukan.

Keterampilan tersebut tidak dapat diandaikan muncul begitu saja seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman kerja. Rancangan sistemik harus dibuat sehingga skill tersebut inheren dalam diri setiap polisi. Konkretisasinya dapat diwujudkan melalui jalur nonformal (misalkan pelatihan dengan mendatangkan orang yang memang ahli dalam bidang itu).

Belajar dari sejarah Indonesia 10 tahun terakhir, kemampuan dan keterampilan bernegosiasi adalah sebuah keharusan karena para polisilah yang selama ini selalu berhadapan langsung dengan demonstran (massa). Masyarakat sudah berkembang dan banyak yang cerdas sehingga bukan saatnya lagi menghadapi segala persoalan masyarakat yang menggumpal dalam gerakan massa dengan keterampilan fisik atau senjata.

Sisi baik lainnya, keterampilan itu pada gilirannya justru akan mengartikulasikan visi polisi selama ini, yakni mengayomi dan melayani masyarakat.

Ikhtisar
- Tidak pernah ada proses negosiasi yang sesungguhnya di lapangan dari aparat kepolisian dengan pihak yang bersengketa.
- Kemampuan bernegosiasi menjadi keharusan dan perlu dipupuk sejak menjadi calon abdi negara.

1 comment:

  1. buku yang bagus untuk negosiasi apa ya mas???

    ReplyDelete