Tuesday 11 March 2008

Analisis Komunikasi Atas Supersemar

Penulisan sejarah mungkin bisa dimanipulasi sesuai dengan kepentingan kekuasaan, tetapi sejarah itu tidak akan pernah bohong dan dapat di manipulasi.

Setidaknya analisis komunikasi atas Supersemar dibawah ini telah membuktikan itu.

Demitologisasi Supersemar
Selasa, 11 Maret 2008 00:15 WIB
Oleh P ARI SUBAGYO

"Our words are never neutral," kata Fiske (Media Matters: Everyday Culture and Political Change, 1994). Pernyataan itu terkesan menebar prasangka, tetapi begitulah adanya. Kata-kata tidak pernah netral.

Pernyataan Fiske hanya salah satu ungkapan tentang ketidaknetralan bahasa. Volosinov (1975) dan Bakhtin (1986) menyebut semua penggunaan bahasa bersifat ideologis, bahkan dilugaskan Kress & Hodge (1979) dalam buku Language as Ideology. Ideologi tidak sebatas will to power (Foucault, 1979), tetapi dalam pengertian umum, worldview, term of reference, juga interpretation frameworks.

Pendek kata, selalu ada kepentingan di balik kata-kata dan bahasa. Bagi ”linguis- sosialis” seperti Volosinov dan Bakhtin, kata-kata merupakan ranah perjuangan ideologis. Membongkar ideologi—termasuk kepentingan—yang tersembunyi dalam kata-kata (teks) merupakan fokus critical discourse analysis (CDA) sebagai pendekatan kontemporer analisis wacana lintas-ilmu.
Terkait Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang diyakini tonggak sejarah Indonesia, sekaligus penuh versi dan kontroversi, menarik diajukan pertanyaan, bagaimana Supersemar dilihat dalam kerangka bahasa dan kepentingan?

Mitos politik

Kepentingan yang eksistensial—apalagi terkait kekuasaan politik—perlu dipelihara. Terjadilah mitologisasi. Berkat jasa kata-kata dan bahasa, lahirlah mitos-mitos. Mitos tak hanya memuat nilai moral—seperti diyakini Roland Barthes (1993)—tetapi bekerja sebagai sarana memelihara kekuasaan, hegemoni, dan dominasi. Itulah yang terjadi pada Supersemar ”versi resmi” (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1975).

De Jong (1980) menyebut mitos semacam itu sebagai ”mitos politik” karena digunakan untuk aneka kepentingan politik. Berbeda dengan mitos fiktif, mitos politik dipandang sebagai histoire crue (cerita yang diyakini kebenarannya), lengkap dengan latar tempat, waktu, pelaku, tema sosial-politik, dan ekspresi perspektif ideologi politik. Mengikuti pemikiran Malinowsky, De Jong meyakini mitos bukan hanya idle mental pursuit, melainkan manifestasi interes pragmatis manusia.

Supersemar ”versi resmi” memuat keputusan/perintah Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto (Menteri Panglima AD) untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: (1) Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar revolusi/mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja; (3) Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnja seperti tersebut di atas.
Supersemar secara tekstual tidak berisi ”pengalihan kekuasaan”, tetapi lalu (dimitoskan) menjadi lisensi konstitusional Soeharto untuk ”mengambil segala tindakan jang dianggap perlu”. Sejarah mencatat rentetan peristiwa ”yang dianggap perlu” menyusul terbitnya Supersemar. Ujungnya, Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden, 12 Maret 1967.

Mitologisasi Supersemar berjalan efektif berkat dukungan kebijakan negara, terutama lewat pelajaran sejarah yang indoktrinatif. Apalagi situasi sosiologis-kultural mayoritas masyarakat Indonesia yang berbudaya diam dan represifnya Orde Baru kian mengukuhkan kesakralan Supersemar sebagai mitos politik.

Demitologisasi

Demitologisasi Supersemar bergulir sejak Soeharto—sang protagonis Supersemar ”versi resmi”—meninggalkan kursi presiden, 21 Mei 1998. Kesakralan mitos politik Supersemar mulai diusik lewat berbagai cara. Mulai dari pertanyaan keberadaan naskah asli, testimoni para ”pemeran pembantu” drama 11 Maret 1966, telaah logika historis sejarawan, kajian tekstual-visual berbagai versi Supersemar, hingga penyebutan Supersemar sebagai bagian dari ”kudeta merangkak” terhadap Presiden Soekarno.

Pembacaan teks dengan CDA akan membangkitkan ”kesadaran bahasa kritis” (critical language awareness, CLA), lebih dari sekadar ”kesadaran bahasa” (language awareness, LA). LA hanya knowledge about language, sedangkan CLA adalah awareness of nontransparent aspects of the social functioning of language (Fairclough, 1995, 2003; Weiss & Wodak, eds., 2003).
CLA akhirnya menuntun pembaca dalam memahami—menurut Julia Kristeva (1980)—intertekstualitas. Supersemar bukan teks yang berdiri sendiri, melainkan saling terkait dengan ”teks-teks” lain yang ”ditulis” para pelakunya lewat perbuatan apa pun sebelum dan setelah 11 Maret 1966.

Dalam kacamata CDA, Tragedi 1965, raibnya naskah asli Supersemar, aneka keputusan politik MPRS, isakan almarhum M Yusuf jika ditanya tentang keberadaan naskah asli Supersemar, lahirnya versi-versi dan kontroversi Supersemar, serta bungkamnya sejumlah pelaku utama tentang Supersemar, semua itu adalah teks.

Jika demikian, demitologisasi Supersemar justru dilakukan oleh para pemerannya sendiri. Oleh mereka yang berkepentingan, dan kepentingan itu secara jujur—meski samar-samar—mewujud sebagai ”teks”. Bagaimana nasib (mitos) Supersemar beserta berbagai kepentingan di sebaliknya sepeninggal Soeharto? Mari kita tunggu dengan prasangka kritis.

P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.11.00155185&channel=2&mn=158&idx=158
READ MORE - Analisis Komunikasi Atas Supersemar

Melawan Melalui Lelucon

Kata Iwan Fals dalam salah satu lagunya “Bila Kata tak Lagi Bermakna, Lebih baik diam saja”

Masyarakat memang mempunyai mekanisme tersendiri menghadapi setiap kebohongan public para pemimpinnya. Mekanisme paling minimal tentunya adalah tidak mempercayai setiap kebohongan para pejabat dan bertindak sesuai keinginan dirinya. Langkah paling maksimal tentunya melakukan perlawanan atas setiap kebohongan. Perlawanan bisa dilakukan untuk public, dalam bentuk advokasi public, atau untuk diri sendiri.

Terlepas dari itu semua, memparodikan setiap kebijakan atau fenomena sosial merupakan bentuk perlawanan tersendiri yang sangat mengasyikan. Parodi, ejekan, guyonan menjadi sebuah perlawanan yang sangat segar dan bisa dinikmati oleh banyak kalangan. Gus Dur misalnya, dia pernah mengeluarkan sebuah buku berjudul “Melawan Melalui Lelucon”. Lelucon-lelucon Gus Dur yang segar terhadap setiap kebijakan public juga langkah politisi yang tidak bervisi kebangsaan.

Sebuah leluconhanya akan lahir dari seorang cerdas yang concern dalam sebuah masalah yang begitu kompleks yang seolah tidak ada jalan keluar. Jadi syarat lahir sebuah lelucon cerdas tentunya adalah kecerdasan, positif thinking, optimisme dalam melihat masa depan dan keterlibatan terhadap permasalahan yanga ada.

Lelucon yang segar ini tentunya sangat dibutuhkan. Selain untuk tetap menumbuhkan harapan, lelucon ini tentunya akan menjadi penghibur terhadap semua beban yang dialami oleh masyarakat.

Berikut ini saya temukan sebuah parody, ejekan yang ditulis kemballi secara baik oleh Budiarto Shambazy di Koran Kompas tanggal 11/3/2008. Menarik. Mengingat kembali bagaimana masyarakat melakukan proses resistensi dari setiap ketidakadilan yang dialaminya, dengan cara sendiri yang menyegarkan.

Oya, mengenai buku Gus Dur “Melawan Melalui Lelucon”, saya mau ngucapin terimakasih dulu buat temen saya Donny Nurpatria. Saya dapat buku itu di lemari buku dia ketika masih mahasiswa di Fikom Unpad. Hampir saja saya mengikuti ajaran Gus Dur, untuk tidak mengembalikan buku yang kita pinjam karena itu tindakan bodoh, tetapi Donny ternyata sadar gelagat itu. Jadinya dia tanpa henti menagih buku itu kalo ketemu ma saya. Sampai sekarang saya juga gak tahu apakah buku itu sudah di balikin ke Donny apa belum? Hahahaha…



Supersemar
Selasa, 11 Maret 2008 01:27 WIB
Oleh BUDIARTO SHAMBAZY
Saat membacakan pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 19 September 1995, Tri Agus Siswowihardjo memelésétkan Supersemar jadi ”Sudah Persis Seperti Marcos”. Tri Agus diadili karena mengkritik Orde Baru.

Ferdinand Marcos adalah Presiden Filipina yang kabur ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS). Ia terlibat korupsi dan membunuh Senator Benigno Aquino, suami Presiden Ny Corry Aquino.

Selain pelésétan Supersemar, pleidoi Tri memopulerkan ”Su-dah Ha-rus To-bat”. Singkatan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) ia sulap menjadi ”S Dalang Segala Bencana”.

Lalu, kata ”hakim” ia pelésétkan jadi ”Hubungi Aku Kalau Ingin Menang” dan ”jaksa” jadi ”Jika Anda Kesulitan Suaplah Aku”. Singkatan Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) ia urai jadi ”Kasih Uang Habis Perkara”.

Anda ingat bagaimana nama seorang menteri Orde Baru (Orba) dipelésétkan jadi ”Hari- hari Omong Kosong”. Nama seorang presiden pun jadi ”Bicara Jago, Habis Bicara Bingung”.

Pelésétan bagian dari bahasa politik yang tumbuh subur jika rakyat tertekan. Ia beredar dari mulut ke mulut dan amat menyehatkan karena jadi pelampiasan frustrasi.

Ambil contoh Malaysia, yang baru saja pemilu yang sejak 1957 selalu dimenangi koalisi Barisan Nasional (BN). Partai dominan di BN adalah United Malay National Organisation (UMNO).

Pelésétan UMNO yang kini populer adalah ”U Must Not Object ” (Anda Tak Boleh Keberatan). Maklum, rakyat telah bosan menyaksikan tingkah laku para politisi UMNO.

Sinisme itu tercermin juga dari pelésétan maskapai Malaysia Airline System (MAS), yang diubah jadi ”Mana Ada Sistem?”. Dulu Garuda Indonesia Airways (GIA) diledek ”Garuda Insya Allah” karena suka telat.

Sebagian kalangan menilai proyek mobil nasional Proton gagal karena memboroskan uang rakyat. Proton dipelésétkan jadi ”Possibly the Riskiest Option To drive On road Nowdays” (Pilihan yang Mungkin Paling Berbahaya untuk Dikendarai di Jalan Saat Ini).

Orba dulu punya proyek mercu suar Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN). Ada yang menyebutnya ”Industri Penerima Tamu Negara” karena pabriknya hanya jadi ”tujuan wisata” tamu asing yang berkunjung ke sini.

Di Thailand pesawat IPTN dijuluki ”Gone with the Wind”, merujuk ke film Hollywood. Soalnya cat pesawat yang dikerjakan asal-asalan itu cepat terkelupas diterpa angin tiap kali mengangkasa.

Berhubung IPTN bermarkas di Bandung, orang Priangan punya istilah sendiri. IPTN bagi mereka singkatan ”Ieu Pesawat Teu Ngapung-ngapung” (Pesawatnya Enggak Bisa Terbang).
Negara tetangga, Singapura, dikenal tempat yang tak murah. Pemerintah rajin membangun apartemen-apartemen yang dikelola House Development Board (HDB).

Bagi sebagian rakyat, HDB singkatan ”Highly Dangerous Building” (Gedung Amat Berbahaya). Soalnya ngeri tinggal di lantai 30-an apartemen mereka.

Rakyat negeri mini itu dimanjakan berbagai fasilitas umum kelas satu berbiaya mahal. Maka, Public Utilities Board (PUB) dipelésétkan jadi ”Pay Until Broke” (Bayar Terus sampai Bangkrut).

Salah satu PUB yang ngetop adalah Electronic Road Pricing (ERP) yang diberlakukan di jalan-jalan protokol, seperti Orchard Road. Berhubung mahal, ERP diubah jadi ”Everyday Rob People” (Tiap Hari Merampok Rakyat).

Partai yang selalu memenangi pemilu di sana People’s Action Party (PAP). Kalangan yang sinis menyebutnya Pay And Pay (Bayar Terus).

Dan, Anda pasti tahu, Singapura menerapkan aturan denda yang kesohor ke berbagai penjuru dunia sehingga dilédék dengan ”Fine City”. Artinya bisa dua: kota yang teratur atau sedikit-sedikit main denda.

Kini ke AS. Serbuan pasukan ke Irak menewaskan ribuan serdadu, membuat sebagian rakyat kritis terhadap militer yang tak jera merekrut remaja dengan aneka iming-iming.

Maka, singkatan Navy (Angkatan Laut) dipelésétkan jadi ”Never Again Volunteer Yourself” (Kapok Jadi Relawan). Marine (Marinir) sama dengan ”Muscles Are Required Intelligence Not Essential” (Otot Dibutuhkan, Inteligensia Tidak).

Singkatan Army (Angkatan Darat) jadi ”Aren’t Ready to be Marines Yet” (Belum Siap Jadi Marinir). Maklum, Marinir lebih bergengsi dibandingkan dengan Angkatan Darat.

Setelah 9/11, pemerintah mendirikan Department of Homeland Security. Untuk memperketat keamanan bandara ada Federal Air Transportation Airport Security Service alias FATASS (Bokong Raksasa).

Bangsa ini pun gemar pemelésétan politik. Undang-Undang Dasar (UUD ’45) diubah ”Ujung-ujungnya Duit Empat Liem”, istilah bisnis Ali-Baba yang merujuk ke Liem Swie Liong.

Setelah mundur dari jabatan wapres, Bung Hatta mengubah ”Dwi Tunggal” jadi ”Dwi Tanggal”. Persis kayak gigi anak-anak yang suka ”tanggal” (copot).

Bung Karno tak habis mengerti ada istilah Orba dan Orde Lama (Orla). Kepada pers, ia bilang cuma tahu ada ”Ordasi” (Orde Berdasi) dan ”Orplinplan” (Orde Plin-plan).

Hari ini pas 42 tahun Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Tahun 1975 saya berdarmawisata ke Dieng, Jawa Tengah, dan mampir ke Goa Semar.

Saya shock, penjaga goa potongan tubuh dan wajahnya mirip Semar. Sejak saat itu saya percaya Supersemar singkatan ”Sudah Persis Seperti Semar”.
Supersemar: Sulit Dipercaya, Seram, dan Top Markotop!
Sumber : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.11.0127558&channel=2&mn=154&idx=154
READ MORE - Melawan Melalui Lelucon