Friday 7 August 2009

Sayang dan Cintanya orang Tua Terhadap Anak..

Setahun terakhir ini saya sangat mudah tertegun dan tersentuh bila melihat relasi anak orang tua. Terkhusus relasi seorang ibu dan anaknya yang masih kecil. Terakhir ketika membaca ulang novel “Arus Balik” Pramoedya. Usaha Idayu, istri cantik dan setia dari tokoh utama novel itu ; Wiranggaleng, yang menjaga dan memelihara Gelar membuat saya untuk tertegun, menghela nafas dan mengulang kembali beberapa teks tentang itu.

Gelar adalah anak yang tidak diharapkan Idayu karena lahir dari pemerkosaan seorang Syahbandar jahat yang sangat dibenci masyarakat. Tetapi meskipun begitu, Idayu tetap memeliharanya sepenuh hati. Kepada suami yang dicintainya dia berikan cundrik untuk menikam dirinya bila hal ini dianggap pengkhiatan seorang istri. Idayu boleh mati, tapi Gelar meskipun anak diluar harapan tetaplah anaknya dan dia berhak hidup. Hal itu tidak dilakukan Wiranggaleng. Gelar tetap diasuh dan diperlakukan sebagai anaknya oleh Wiranggaleng

Selanjutnya adalah episode ketika Idayu dan kedua anaknya berada di sarang pemberontak. Meskipun berada dalam ketakutan, karena berstatus sebagai sandera, Idayu tidak pernah mau memperlihatkan rasa ketakutan di depan anak-anaknya. Menurut dia anak-anaknya sedang membutuhkan perlindungan dan dia adalah pelindung itu. Idayu ingin anaknya tetap tenang dengan menunjukan bahwa pelindungnya pun tenang menghadapi situasi genting ini. Sampai akhir cerita buku bertebal 750 halaman itu, banyak lagi relasi orang tua dan anak yang membuat saya tertegun.

Mungkin setelah mempunyai anak, saya jadi mudah tertegun dan terenyuh bila melihat anak kecil. Sebelum itu hanya datar-datar saja. Bila ada perhatian, itupun hanya lingkup terbatas dan selektif. Dari 9 keponakan yang masih kecil, hanya 1 keponakan yang relative menyita perhatian. Kemudian perhatian yang diberikan kepada salah satu keponakan istri, karena anak itu mengalami cedera otak, down syndrome, dan apresiasi saya terhadap orang tuanya yang tetap memelihara dan mendidik anak itu.

Setelah istri melahirkan mulailah perhatian saya terhadap anak tumbuh. Tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan bagaimana rasa yang muncul dalam diri ketika pada tengah malam tebangun dan melihat anak yang sedang tidur terlelap. Tanpa sadar tangan saya sering mengusap-mengusap kepalanya sambil berjanji kalau saya akan mempertaruhkan segalanya untuk menjalankan kewajiban saya terhadap dia dan mengucapkan beberapa ekspektasi saya terhadap dia.

Diantara momen yang sering membuat saya takjub adalah ketika melihat anak saya menyusu kepada ibunya. Melalui diskusi dengan istri, akhirnya saya ketahui bahwa menyusui itu aktivitas simbiosis mutualisme antara ibu dan anak. Menyusui bukan hanya aktivitas seorang ibu yang memberikan ASI, nutrisi makanan yang paling higienis dan compatible dengan kebutuhan perkembangan anak, tetapi juga aktivitas seorang anak yang membantu ibunya menjalani masa-masa recovery phisik pasca melahirkan. Selain itu pastinya menyusui adalah aktivitas saling memberi kasih sayang antara ibu dan anak yang sangat menakjubkan.

Karena ASI yang baik adalah hasil konsumsi makanan seorang ibu yang juga baik, maka setiap minggu sebelum kembali kerja ke Jakarta, saya selalu membeli stok susu khusus ibu menyusui dengan buah-buahan dan mengupas buahnya sehingga ready to eat. Berkali-kali istri mengatakan kalau pekerjaan itu bisa dilakukan oleh orang lain dan saya sebaiknya istirahat saja. Saya bilang kepada istri saya; membeli susu dan buah dan mengupasnya buat istri yang menyusui adalah pekerjaan psikologis bukan phisik. Ini diantara ekspresi psikologis saya sebagai seorang suami dan seorang bapak. Kalau sudah saya jawab seperti itu, istri tidak lagi melarang dan hanya tersenyum saja.

Bila sudah di Kereta untuk kembali kerja di Jakarta, saya sering melamun mengingat kembali fragmen antara saya, istri saya dan anak saya. Anak saya menyusu kepada istri saya, mengisap sari-sari makanan untuk kehidupannya dan saya memberikan suplai makanan dan buah-buahan untuk istri saya sehingga suplai makanan buat anak tetap terjaga. Dalam pandangan yang lebih luas, mungkin inilah diantara keindahan kehidupan yang diberikan Tuhan terhadap manusia ; siklus kasih sayang

Semenjak itulah saya mulai perhatian terhadap anak-anak. Saya sempatkan waktu untuk beli buku dan mainan yang menarik buat anak.Bila di TV ada berita tentang bayi yang dibuang, langsung saya ganti channel karena gak tega. Bila melihat ibu-ibu meminta-minta sambil menggendong bayi, tanpa sadar saya palingkan wajah karena gak tega. Bila ada perilaku keponakan atau anak tetangga yang janggal; saya diskusikan dengan istri apa dan bagaimana penyebabnya setelah itu lalu menyalahkan orang tuanya. Selanjutnya saya juga jadi faham kenapa film, pengemis, politisi, artis sinetron sering mengeksploitasi relasi anak dan orang tua. Saya mengerti kenapa Soeharto yang lebih doyan kekuasaan ketimbang uang, tapi korupsinya gak tanggung-tanggung.

Selain itu diantara yang saya ingat juga adalah kisah yang sangat popular nabi Ibrahim waktu diperintah Tuhan untuk menyembelih anaknya. Bila waktu kecil saya anggap kehebatan Nabi Ibrahim itu ketika dia tidak mempan dibakar api, sekarang saya memahami kenapa kejadian penyembelihann Ibrahim sebagai sebuah drama kehidupan yang banyak diagungkan orang-orang. Drama inilah memang yang bisa mendeskripsikan kualitas seorang nabi Ibrahim dalam hubungan beliau dengan Tuhan, keluarga dan masyarakatnya

Pada akhirnya saya sering bertanya-tanya, kenapa kemudian terjadi hubungan yang begitu hebat antara orang tua dan anak?Kenapa orang tua bisa berbuat apa saja demi anaknya padahal jelas dia tidak mendapatkan apa-apa, secara kasat mata, dari apa yang diperbuatnya. Tidak ada yang menggajihnya, anaknya pun tidak bisa mengapresiasi apa-apa yang telah diperbuat orangtuanya terhadap dia.

Sementara ini baru ada 2 hal temuan saya yang menjadi landasan sikap orang tua terhadap anaknya itu

Pertama, ini pelajaran yang saya dapat ketika di madrasah dulu, ini karena kita memang sudah dikarunia Tuhan akan rasa kasih sayang terhadap anak. Rasa sayang terhadap anak adalah atribut kemanusiaan yang sudah melekat dalam diri kita. Rasa sayang adalah ciri manusia sebagai makhluk spiritual

Letak ayat dan suratnya saya lupa tapi kira-kira bunyi aslinya seperti ini “zuyyina linnasi hubbusyahawati minnanisai wal baniina wal qanattirul muqantarati mindhihabi wal fidhotil wal khoilil mussawamah”. Terjemahan bebasnya kira-kira ; manusia itu dihiasi dengan rasa suka terhadap perempuan dan anak, barang-barang berharga seperti emas dan perak dan juga kuda tunggangan.

Faktanya sekarang pun kita lihat demikian. Tidak ada yang tidak suka perempuan, menyukai anak-anak, perhiasan dan juga kuda tunggangan (dalam konteks sekarang kuda tunggangan ini adalah alat transportsi seperti motor, mobil, perahu dan pesawat). Semua orang berkorban untuk hal-hal diatas

Kedua,Ini saya dapatkan dari sebuah acara bincang-bincang pagi TV One dengan Sarah Vi, artis yang cerai dan merasa anaknya diculik oleh keluarga suaminya. Sarah Vi menceritakan lika-liku usahanya yang sudah sangat lama untuk bertemu dan mendapatkan anaknya kembali dari keluarga suaminya. Tetapi semuanya tidak berhasil dan membuat dia hampir putus asa. Tetapi rasa putus asa itu dia tepis dan hilang kembali ketika dia mengingat anaknya yang sudah berpisah lama itu.

Jawaban menarik datang dari psikolog yang hadir sebagai nara sumber. Menurut psikolog itu, Sarah Vi harus tetap optimis bahwa anaknya akan kembali dan sebetulnya meskipun anak itu tidak dicari oleh Ibunya; dia yang akan mencari ibunya. Alasannya sangat sederhana dan filosofis menurut saya ; karena dalam diri anak itu ada diri kita dan dalam diri kita ada diri anak kita. Kita adalah satu kesatuan dengan anak kita. Anak itu adalah sebagian dari diri kita dan dia akan selau mencari sebagian dari dirinya itu. Sejarah menunjukan orang tua yang terpisah dengan anak, mereka akan selalu berusaha untuk saling mencari dan bertemu. Hanya waktu saja yang membedakan antara kasus yang satu dengan kasus yang lain.

Berdasar argument ini maka pada satu titik kita bisa mengambil kesimpulan kalau kecintaan terhadap anak adalah juga wujud keegoan diri kita. Bentuk rasa cinta dan rasa sayang terhadap anak adalah bentuk rasa cinta dan rasa sayang terhadap diri kita sendiri karena pada diri anak itu ada sebagian diri kita.

Mungkin dari sini kita mesti menghapus beberapa ego yang sering muncul dari diri kita berkaitan dengan anak. Mengatakan bahwa anak harus berbhakti kepada orang tua karena orang tua sudah mencintai,melindungi dan memberinya kasih sayang mungkin harus kita revisi kembali. Karena cinta dan kasih sayang yang kita berikan kepada anaknya pada dasarnya adalah ekspresi keegoan kita.

Dalam kasus lain adalah ketika orang tua merasa jumawa terhadap anaknya karena ketika bayi sudah merawat dan melindunginya. Rasa ini sepertinya harus kita revisi. Diskusi saya dengan istri, secara biologis, seorang anak ketika dia lahir pun pada dasarnya dia juga sedang berjuang untuk hidup dan eksis di dunia ini. Jadi seorang bayi bisa terus hidup dan eksis bukan hanya karena kita sudah memberinya susu, merawat, melindungi dan lain-lain, tetapi juga karena dia sudah berusaha untuk terus hidup dan eksis.

Bila sudah seperti ini, maka pada akhirnya anak juga berjasa terhadap orang tuanya karena dia sudah hadir di dunia. Karena kehadirannya, orang tua mempunyai salurah untuk mengekspresikan rasa cinta dan kasih sayang. Sedangkan rasa cinta dan kasih sayang adalah kebutuhan hakiki dan psikologis orang tua sebagai manusia.

Alasan lainnya saya belum tahu..

Jakarta, 07-08-2009

READ MORE - Sayang dan Cintanya orang Tua Terhadap Anak..

Memilih Karena Menolak

Konon kita ini tidak pernah benar-benar serius memilih seseorang. Kita memilih seseorang karena menolak seseorang, tidak jelas apa sebabnya, apakah karena memang tidak ada orang yang layak dipilih, kemarahan besar terhadap seseorang atau memang karena keputusasaan. Pada akhirnya yang terpilih bukan yang terbaik. Tetapi yang jelas seringkali terjadi kita memilih seseorang karena menolak seseorang. Coba saja lihat faktanya berikut ini.

Pasca Habibie, Gus Dur dipilih DPR menjadi Presiden karena DPR menolak Megawati. Dua tahun berikutnya keadaan berbalik, Megawati dipilih karena DPR menolak Gus Dur. Waktu terus berlanjut dan Gus Dur pun melakukan hal yang sama ; memilih Ali Masykur Musa sebagai Ketua Umum PKB karena menolak Muhaimin Iskandar.

Jauh di Amerika sana John McCain mesti susah payah menyusun strategi komunikasi walau dia satu partai, tetapi dia tidak punya kedekatan khusus dengan George Bush. Takut tidak dipilih karena masyarakat banyak yang benci terhadap Bush. Tadi pagi saya tanya sopir taksi yang saya naiki dari Gambir tentang pilihan presidennya. Dia bilang “saya pilih Lanjutkan saja pak”. Ketika saya tanya alasannya, dia jawab sederhana “Semuanya pembohong, saya pilih yang sudah jelas terasa saja”

Beberapa hari menjelang pilpres, yang ada dikepala saya untuk dipilih antara SBY dan JK. Ini bukan karena penolakan terhadap Megawati, tetapi memang alasan-alasan rasional saya menyatakan untuk tidak memilih Megawati. Mulai dari kapasitas pribadi dan juga kapasitas kelompok Megawati itu sendir. Mungkin kalau orang-orang seperti alm Sophan Sophian, Eros Djarot dkk masih ada disana, kapasitas kelompok mereka masih bisa saya acungi jempol. Masalahnya orang-orang seperti itu sudah minim, untuk tidak mengatakan tidak ada.

Sebagai orang yang terlibat untuk mensukseskan SBY, pastinya SBY menjadi prioritas. Bukan hanya karena tingkat pengetahuan yang relatif lebih, tetapi juga mungkin karena etika juga. Masak tim SBY tidak memilih SBY?

Tetapi tidak dapat dipungkiri, banyak hal menarik bila menyimak gagasan dan performance Jusuf Kalla. Minimalnya kita tertarik dengan spirit fighting dan juga iklan-iklannya yang jauh lebih menarik dibanding kandidat lain. Oleh karena itu kedudukan antara SBY dan JK menjadi berimbang, bahkan mungkin condong ke JK. Ibarat menonton Liga Champion antara AC Milan dan Barcelona, sulit untuk memihak salah satu karena kita suka keduanya sejak SMA dulu

Tetapi pada akhirnya cahaya terang untuk menentukan pilihan itu datang juga. Pemicunya adalah pertemuan antara kubu JK dan Mega yang difasilitasi Pak Din Syamsudin di PP Muhamadiyyah. Sampai sekarang saya belum mendapat penjelasan yang memadai kenapa ormas, dan ketuanya, sekaliber Muhammadiyyah, mesti terlibat langsung dalam urusan politik praktis dukung-mendukung seperti ini. Kenapa tempatnya mesti di Muhamadiyyah?

Meskipun memakain argumentasi amar ma’ruf nahi munkar, nuansa politik praktis dalam kasus ini sangat kental. Apalagi sebelumnya disinyalir Muhammadiyyah mengeluarkan maklumat buat warganya yang mengarah ke pasangan tertentu

Tetapi seperti yang saya bilang, ini hanya pemicu saja karena tampil terlalu vulgar dan dilakukan oleh ormas yang sangat terpandang, kuat dan terhormat. Seorang teman memberitahu kalau MUI dan ormas keislaman lainnya juga melakukan hal yang sama; terlibat politik praktis yang cukup jauh dalam bentuk aksi dukung mendukung. Hanya saja saya tidak melihat sejelas apa yang dilakukan Pak Din. Yang jelas-jelas saya lihat iklannya sih Forum Umat Islam yang mengatasnamakan puluhan ormas-ormas keislaman untuk mendukung salah satu capres dan itu diumumkan secara vulgar dalam bentuk iklan di media.

Sampai saat sekarang ini saya masih berpendapat bahwa organisasi keagamaan mestilah steril dari politik praktis. Mereka adalah penjaga moral bangsa ini. Saya membayangkan bagaimana kalau negeri ini ada dalam keadaan chaos, seperti kasus 98, dan tidak ada orang atau komunitas yang didengar masyarakat karena semuanya sudah terlibat politik praktis. Bila semua organisasi kemasyarakatan beserta tokohnya terlibat, siapa lagi yang akan menjadi panutan masyarakat? Jangankan dalam kondisi chaos, dalam kondisi normal saja organisasi kemasyarakatan, apalagi yang berbasis agama, mesti menjaga dirinya dari politik praktis karena komunitas mereka adalah masyarakat bukan elite politik.

Seorang teman pernah mengatakan kalau tokoh-tokoh, utamanya tokoh agama, memang mesti menyatakan keberpihakannya karena ini bentuk pengabdian terhadap bangsa ini. Netral berarti pengecut dan tidak punya sikap. Masalahnya bagi saya, apakah politik kemudian satu-satunya jalan untuk mengabdi terhadap bangsa ini?Lalu apakah pengabdian seorang tokoh masyarakat dan pemimpin ormas terhadap bangsa ini mesti dinyatakan dalam aksi dukung mendukung?Banyak hal lain yang mesti dibenahi di negeri ini, politik hanya bagian kecil dari kehidupan bangsa ini.

Lagi pula, apakah pilpres kemarin sudah begitu gawat sehingga agama mesti pasang badan?Ini bukan perlawanan melawan Belanda sehingga harus ada fatwa agama jihad sebagai basis perlawanannya. Ini hanya pertaruangan politik biasa antar kontestan yang berbeda pada tataran cara bukan komitmen. Mestinya agama pasang badan terhadap korupsi yang susah diberantas, penyebaran narkoba yang begitu massif dan kejahatan yang sudah tidak terkendali

Jujur saja, saya kemudian berdoa kalau langkah saya memilih, karena menolak keterlibatan komponen civil society dalam politik praktis, sama dilakukan oleh masyarakat lainnya. Saya bilang sama seorang teman; saya puas kalau kebanyakan orang melakukan ini juga. Biar jadi bahan pembelajaran dan pengingatan kalau suara orang-orang yang merasa tokoh itu sebenarnya sudah tidak dihitung masyarakat lagi. Masyarakat sudah tidak mendengar mereka.

Ke depan, selain menyadarkan mereka untuk tidak terlibat lebih jauh dalam urusan politik praktis, tetapi juga mengingatkan mereka untuk kembali ke habitat asalnya ; bergaul bersama masyarakat. Bukankah ketika suara mereka tidak di dengar masyarakat berarti mereka selama ini tidak mengenal masyarakat?yang ujung-ujungnya berarti selama ini mereka jarang berinteraksi dengan masyarakat.

Tetapi sebuah sms pesimis datang dari seorang teman aktivis salah satu ormas keagamaan “mudah-mudahan, biar tahu rasa mereka, mudah-mudahan seperti biasanya tidak pernah merasa malu hehehe…” Ini hanya ungkapan pesimis aja. Tetapi saya yakin kok, kalau pilpres nanti akan ada perubahan. Masing-masing akan berjalan sesuai peran dan posisinya
READ MORE - Memilih Karena Menolak

Perilaku Manusia

Jika tampak padanya pengharapan, ia dihinakan ketemakan
Jika bergolak padanya ketamakan, ia dirusak kerakusan
Jika dikuasai keputusasaan, ia dibunuh rasa kasihan
Jika terbakar emosi, amarahnya semakin meledak-ledak
Jika dilenakan kesenangan, ia lupa untuk menjaga
Jika mendapat ketakutan, ia disibukan oleh alasan
Jika mendapat keamanan, kelalaian mencurinya
Jika memperoleh harta, ia dikuasai kekuasaan
Jika ditimpa musibah, ia dikuasai kesedihan
Jika digigit kefakakira, ia disibukan oleh ujian
Jika ditimpa kelaparan, kelemahan ikut duduk bersamanya
Jika kenyang, perutnya teramat penuh
Jadi setiap kekurangan baginya berbahaya, dan setiap kelebihan merusaknya

Imam Ali Ibn Abi Thalib
READ MORE - Perilaku Manusia

Friday 6 February 2009

Anarkisme Politik Kerumunan

Kompas,
Jumat, 6 Februari 2009

Siapa pun yang ada dalam kerumunan pasti berpikir, merasa, dan bertindak serupa.

Kekuatan emosional dan irasional menyeruak. Nafsu barbarian muncul. Keragaman individualitas ditenggelamkan homogenitas kerumunan.

Itulah gambaran Gustave Le Bon (1841-1931) tentang kerumunan. Agresif dan destruktif merupakan perilaku yang identik dengan eksistensi kerumunan. Tragisnya, kerumunan disamakan dengan kekuatan rakyat. Bahkan, kerumunan telah dipandang sebagai pelaksanaan demokrasi yang diwujudkan dalam gelombang demonstrasi. Sekian banyak orang berkumpul dan menciptakan kerumunan untuk mengekspresikan pendapat dan menuntut hak. Tanpa disadari, perilaku yang dinilai sebagai wujud demokrasi itu menjelma sebagai keberingasan mobokrasi.

Mobokrasi adalah konsep yang tidak asing lagi dalam perjalanan demokrasi kita. Sebagai contoh, pembakaran dan perusakan sejumlah kantor pemerintah, rumah dinas, dan kendaraan di Kabupaten Kaur, Bengkulu, pada 2005 terkait dengan kekalahan seorang kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Bahkan, berbagai demonstrasi yang mengerahkan aksi-aksi kekerasan merupakan fenomena mobokratis. Lebih ironis lagi, tindakan serba merusak itu dimaksudkan untuk mendapat liputan media massa!

Mobokrasi adalah kekuasaan yang dikendalikan mob, yakni kerumunan yang secara emosional dan irasional muncul untuk menjalankan aksi-aksi penuh destruksi. Ketika ada pihak yang dianggap membuat kesalahan dan tidak memenuhi kehendak dari kerumunan yang agresif itu, pihak yang dimaksud pun dikeroyok, dipukuli, atau dihajar beramai-ramai hingga ajal. Gejala itulah yang terjadi pada kematian Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat.

Mendatangkan kerusuhan

Memang tidak semua kerumunan menciptakan kerusakan dan kekacauan. Herbert Blumer (1900-1987), sebagaimana diuraikan Alex Thio (Sociology, 1989: 580) mengklasifikasikan empat tipe kerumunan: (1) kerumunan tidak tetap (casual crowd), yang keberadaannya amat singkat dan terorganisasi secara longgar. Tipe ini bersifat spontan, misalnya orang yang bersama-sama melihat gedung terbakar atau kecelakaan; (2) kerumunan konvensional (conventional crowd), yang terjadi secara terencana dan berperilaku teratur, misalnya penonton dalam teater atau pertandingan sepak bola; (3) kerumunan bertindak (acting crowd), yang keterlibatannya didasari pada permusuhan atau aktivitas destruktif, misalnya mob yang melakukan pembantaian; dan (4) kerumunan ekspresif (expressive crowd), yang muncul untuk melampiaskan emosi dan ketegangan, misalnya para penonton konser musik rock.

Namun, pada dasarnya, tiap kerumunan rentan mendatangkan kerusuhan. Hal ini bisa berlangsung karena tiap individu yang ada dalam kerumunan mudah kehilangan identitas diri. Ini yang disebut anonimitas. Dalam momen kerumunan, individu-individu tercerabut dari personalitasnya. Selain itu, kekerasan mudah merebak karena individu-individu cenderung meniru perilaku anggota kerumunan lainnya. Saat satu orang memukul, diikuti orang lain. Kerumunan cepat menularkan kekerasan.

Kerumunan juga tidak lepas dari tindakan permisif. Apa pun tindakan yang dianggap melanggar norma-norma dilampaui dan dimaafkan begitu saja. Sebab, kerumunan merupakan keadaan abnormal. Namun, abnormalitas itu dianggap normal dalam kerumunan karena individu-individu merasa tidak bertindak sendiri. Aksi-aksi kerumunan mengandalkan kehendak gerombolan sehingga tanggung jawab individu seolah bisa diserahkan total kepada kawanan yang banyak. Atas nama kekompakan, akhirnya semua jenis kekerasan dikerahkan. Apalagi saat rasa permusuhan dan kebencian terus dipompakan.>kern 251m<

Ketidakhadiran negara

Ketika kerumunan dominan dalam ranah politik, yang terjadi adalah anarkisme. Hanya saja, apa yang dimaksud dengan anarkisme dalam domain ini bukan corak pemikiran yang bertujuan untuk bersikap kritis terhadap segala bentuk totaliterianisme kekuasaan. Anarkisme adalah suatu keadaan ketika tidak ada lagi otoritas yang mengatur dan mengendalikan. Anarkisme adalah situasi kekacauan yang ditandai dengan ketidakhadiran negara. Polisi yang seharusnya bertindak cepat dan responsif justru dikalahkan demonstran yang mewujudkan dorongan mobokrasi. Pada titik kulminasinya, negara dikalahkan daya rusak politik kerumunan.

Padahal, negara dibenarkan untuk menjalankan kekerasan. ”Setiap negara didasarkan pada kekerasan,” ungkap Leon Trotsky (1879-1940). Jika tidak ada lembaga sosial yang memakai kekerasan, konsep negara mengalami eliminasi, dan kondisi itulah yang memunculkan anarki (HH Gerth dan C Wright Mills, From Max Weber, 1958: 78). Karena itu, hanya negara yang diizinkan memonopoli kekerasan. Dalam menjalankan kekerasan, negara tidak boleh bertindak eksesif. Koridor hukum merupakan kekuatan yang bisa dirujuk polisi sebagai aparat negara.

Negara yang membiarkan aksi- aksi destruktif berarti membolehkan anarkisme politik kerumunan merayakan kemenangan. Pada saat itu otoritas negara dirampas politik kerumunan. Itulah yang dinamakan mobokrasi yang secara vulgar melakukan korupsi atas demokrasi. Akan terulangkah fenomena mobokrasi seperti ini? Jawabannya terletak pada ketegasan negara menjaga tatanan demokrasi agar tidak berulang kali disandera anarkisme politik kerumunan.

Triyono Lukmantoro Dosen Sosiologi Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip, Semarang






READ MORE - Anarkisme Politik Kerumunan