Wednesday 28 November 2007

Kecurangan, Kejahatan, Penipuan dll..

Segala macam bentuk Kecurangan, penipuan, pengkhianatan pertemanan dan kejahatan lainnya adalah kedholiman terhadap orang lain dan diri sendiri karena mereduksi nilai dasar kemanusiaan yang bersemayam di setiap diri insan. Tidak perlu hari kiamat, balasannya selalu datang dalam waktu dekat.

READ MORE - Kecurangan, Kejahatan, Penipuan dll..

Monday 26 November 2007

Amdal di Pondok Indah?

Bila warga Pondok Indah memang peduli lingkungan, sehingga memprotes proyek Bus Way yang katanya tidak memiliki Amdal, kenapa mereka memakai mobil-mobil yang ber CC besar. Bahkan satu rumah memiliki lebih dari satu mobil. Sikap yang sangat boros energi dan tidak peduli lingkungan.

Mesti diakui motivasi mendasar dari semua penolakan yang dilakukan. Apalagi bila dilanjutkan dengan kasus portal-portalan dan pengalaman Budiartho Shambazy, Kompas 22 November. Tidak bermaksud mendukung pemprov DKI atau Warga PI karena keduanya memang tidak layak di dukung.
READ MORE - Amdal di Pondok Indah?

Friday 23 November 2007

Bukan sekedar alunan nada

Guru besar musik dari Bandung, almarhum Harry Roesly, mempunyai argumentasi yang sangat sederhana dan menarik tentang perlunya musik dalam kehidupan kita. Menurut almarhum, musik adalah kebutuhan dasar manusia karena musik merupakan manifestasi jiwa manusia itu sendiri. Manusia, menurut Harry Roesly, adalah makhluk yang mencintai harmony, keseimbangan di kehidupan sehari-harinya. Selalu ada kejanggalan dan gangguan bila kita melihat ketidakseimbangan dan ketidakharmonisan di kehidupan kita. Gerak kaki dan tangan kita saja ritmis, akan sangat mengganggu kita dan orang lain bila gerak tangan dan kaki kita tidak ritmis. Begitu kira-kira contoh sederhananya.

Tentunya almarhum hanya mengurai sedikit hal saja tentang musik. Banyak hal yang masih bisa kita gali dari setiap alunan nada yang kita dengar. Musik merupakan dokumentasi sejarah, karena syair-syair musik tentunya tidak lahir dari sebuah ruang vakum. Syair musik selalu lahir dari pergulatan intens antara idealita dan realita yang dihadapi setiap penciptanya. Adapun kualitasnya tentunya tergantung dari pergulatan dan motifasi dari musik yang diciptakan.

Sebagai dokumentasi sejarah juga kadang musik membuat kita untuk sedikit merenung ke perjalanan kehidupan kita sebelumnya. Masa kejayaan musik selalu mengingatkan masa ketika kita hidup waktu itu. Segala macam idealisme dan obsesi serta kekonyolan masa dahulu kita secara tidak sadar terungkap kembali ke permukaan.

Inilah yang saya rasakan ketika iseng-iseng memutar beberapa lagu masa lalu seperti lagu dari Iwan Fals& Sawung Jabo lewat album Dalbonya. Juga ketika track musik merambat ke lagu-lagu berikutnya. Lagu cinta dari Jayanti Damansari tentang bukit yang indah, bis kota dari God Bless dan lagu dari Gank Pegangsaan. Syairnya seolah menjadi dokumentasi sejarah dan membuat kita untuk sedikit merenung ke belakang. Lagu itu saya dapatkan secara tidak sengaja di sebuah blog.

Iwan Fals dengan Sawung Jabo melalui album Dalbo ketika itu memang tidak menuai sukses penjualan. Sepertinya pola musik, saya kurang faham tentang aliran-aliran musik secara detail, yang disajikan oleh Dalbo tidak cukup menarik bagi masyarakat meskipun disana ada nama Iwan Fals yang sudah cukup tenar. Tetapi syair dari Dalbo seolah mengingatkan saya secara personal tentang semangat muda dan idealisme ketika itu.

Melalui Dalbo, Iwan dan Jabo, melakukan proses kritik sosial yang cukup keras. Bagi dalbo penguasa, ketika itu, adalah kelompok orang yang lalim dan sewenang-wenang. Para orang kaya hanya hidup berdasar gengsi saja, tidak berpikir apa-apa tentang dirinya dan sekitarnya. Sementara itu kehidupan masyarakat pun sudah tidak ada lagi kosa kata kepedulian didalamnya.

Hal yang sangat mengejutkan, ketika hal yang menjadi kritik Dalbo masih menjadi keseharian kehidupan kita. Artinya reformasi kemudian belum,saya tidak ingin menyebut kata tidak, menghasilkan apa-apa bagi kehidupan kita. Masih banyak hal yang mesti kita benahi.

Begitu juga ketika mendengar syair-syari dari Jayanti Mandasari, dengan lagu "di puncak hijau" rasanya kita memang perlu merevisi kembali cara pandang hidup kita. Setting tentang bukit yang hijau dengan pemandangan yang indah, burung yang berkicauan, harum wangi bunga menjadi tempat memadu kasih sepasang pemuda. Menempatkan alam sebagai pusat kehidupan kita seolah sudah tidak ada lagi di kehidupan kita.

Lagu cinta yang kita dengar saat sekarang ini tidak lebih dari kepedihan tentang kegagalan cinta. Seolah hidup adalah penderitaan dan kesusahan karena kegagalan cinta. Tidak ada visi yang di tawarkan dan nilai yang diajarkan. Jayanti mandasari seolah mengingatkan kita tentang alam yang mendatangkan kedamaian, tidak hanya sekedar syair cinta picisan saja.

Yang lebih menarik dari lagu-lagu lama itu adalah revisi tentang diri. Masa emas beredarlagu lama selalu mengingatkan masa diri kita saat itu juga. Mendengarkan musik-musik yang diputar tahun 80-90an selalu mengingatka masa hidup kita di tahun-tahun itu.

Tahun 80-90an adalah masa-masa menempuh pendidikan sekolah dasar dan pesantren. masa ketika menikmati pelajaran dan didikan idealisme kehidupan melalui ajaran-ajaran agama, pergaulan dengan sesama yang ceria dan menceriakan serta kekonyolan-kekonyolan khas yang dilakukan anak seusia itu.

Masa-masa itu sudah lalu. Ajaran-ajaran idealisme itu kadang terlupakan, untung tidak terhapuskan, dan kehidupan ceria pun sudah lama tidak dinikmati. Relasi kemanusiaan sekarang seolah tidak pernah lepas dari kepentingan dan kepusangan.

Selesai mendengarkan lagu itu saya shalat Jumat. Seperti biasa, khatibnya tidak menarik dan tidak layak untuk didengarkan isi ceramahnya. Saya lebih banyak melamun memikirkan rencana kehidupan ke depan, sesuai dengan cita-cita dan apa yang saya jalani ketika kecil dulu. Membayangkan hidup membangun masyarakat di pedalaman. Melalui tekhnologi informasi tetap bersentuhan dengan dunia global dan memberi konstribusi. Sepertinya itu kehidupan yang ideal dibanding dengan apa yang dijalani sekarang.

Terima kasih buat teman-teman yang sudah menyediakan file lagu itu secara free di internet.

oya, satu hal lagi

Lagu-lagu kritik sosial, seperti yang dinyanyikan oleh Franky dan Iwan Fals, lahir dari sebuah zaman yang sangat refresif. Orde baru tidak mentolerir setiap bentuk kritikan yang ada di masyarakat. Tetapi anehnya lagu seperti itu juga tumbuh dan berkembang.

Sekarang lagu yang hadir tidak lebih dari roman-roman cinta yang minim kedalaman makna, padahal kita hidup di zaman yang relatif bebas. Semuanya lebih berorientasi untuk memuaskan kebutuhan pasar saja, tidak lebih. Tidak ada nuansa informatif dan edukatif dari syair-syair yang di tawarkan. Padahal kita hidup di zaman bebas dimana kebebasan selalu menstimuli ke kreatifitas.

Gak tahu lah.. Saya cuman sekedar nulis saja. Saya gak sempat ketemu Almarhum Harry Roesly untuk menanyakan hal ini.

Terpenting sekali lagi, terima kasih buat teman-teman yang menyediakan file itu secara free di internet.

Jakarta, 22 November 2007



READ MORE - Bukan sekedar alunan nada

Monday 19 November 2007

Teilhard de Chardin


”Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.”
READ MORE - Teilhard de Chardin

Friday 16 November 2007

Pak Natsir…

Hari ini saya cukup tertegun membaca tulisan di halaman depan sebelah bawah Republika (16/11/2007). ”Natsir, Pahlawan Yang Terlupakan”. Berita tentang acara refleksi se-abad Muhammad Natsir yang dihadiri Mensos Bachtiar Chamzah dan beberapa tokoh muslim di Gedung Mahkamah Konstitusi. Tulisannya tidak mendalam apalagi menyentuh. Hanya reportase kegiatan saja. Yang membuat saya cukup terharu adalah ketika nama itu disebut; “ M Natsir “

Saya belum pernah membaca secara detail apa dan bagaimana Pak Natsir apalagi sampai melakukan riset khusus tentang atau bertemu dengan beliau. Pengalaman psychologis paling terdekat dengan Pak Natsir bagi saya mungkin ketika pesantren dulu sempat main-main ke kampung beliau di Alahan Panjang Sumatera Barat. Daerah yang sangat indah, tenang dan sejuk dengan keajaiban alam Danau Ateh (danau atas) dan danau bawah. Itupun tanpa sengaja untuk merasa dan menikmati kampung kelahiran seorang tokoh internasional. Sekedar memenuhi ajakan seorang teman yang kebetulan berasal darisana.

Selainnya pengalaman psychologi saya dengan Pak Natsir hanya datar-datar saja. Perkenalan pertama dengan namai beliau, hanya nama saja, berasal dari Bapak yang berulang kali menyebut ketokohan dan kekagumannya pada Pak Natsir. Bapak memang aktivis Masyumi tulen. Militansinya sebagai kader Masyumi memang tidak terbantahkan. Sampai-sampai anaknya yang tidak pernah diberitahu, dan diajak, apa dan bagaimana Masyumi bisa ikut terlibat di lingkungan peninggalan Masyumi sebagai ketua Umum PB PII.

Selain dari Bapak, pengetahuan saya tentang Pak Natsir didapat dari pembicaraan seminar, buku-buku, berita media dan ungkapan kekaguman dari orang-orang yang pernah berinteraksi dengan beliau. Tidak lebih dari itu.

Tetapi dari pengalaman yang sangat sederhana itu tetap saja melahirkan sikap tersendiri kepada Pak Natsir. Penghormatan pertama kali yang saya lakukan kepada beliau adalah waktu menjadi santri level tsanawiyah di Perguruan Thawalib Padang Panjang. Ada berita dari kakak kelas dan ustadz kalau seorang tokoh islam di Jakarta bernama Pak Natsir meninggal dunia. Ajakan untuk melaksanakan shalat ghaib untuk Pak Natsir saya laksanakan secara spontan tanpa pertanyaan, apalagi penolakan, sama sekali. Meskipun saya tidak tahu apa dan bagaimana Pak Natsir.

Sekarang nama itu muncul lagi. Keharuan dan kekaguman muncul dengan sendirinya tanpa diminta. Mungkin ini yang disebut sebagai Pahlawan. Ketiadaannya saja sudah memberikan efek apatah lagi kehadirannya. Sepertinya inilah bukti dari janji Al Quran tentang orang-orang yang akan selalu hidup di sekitar kita dan panjang umur bila mereka konsisten menempuh jalan Allah

Doa saya, semoga seluruh kerja Pak Natsir diterima dan diteruskan. Minimalnya tidak dinodai oleh orang-orang yang sering mengaku sebagai pengagum dan penerusnya.

Semoga.


Republika

Berita Utama

Jumat, 16 Nopember 2007


Natsir, 'Pahlawan' yang Terlupakan

''Kalau tahun ini gagal, tahun depan akan saya ajukan lagi. Tidak ada kata putus asa,'' tegas Mensos, Bachtiar Chamsyah, di depan ratusan undangan yang menghadiri diskusi 'Refleksi Seabad M Natsir', Kamis (15/11).

Ruangan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) yang tadinya senyap, sontak berubah gemuruh. Tepuk tangan pun membahana. ''Tahun ini, selaku Mensos, saya mengusulkan tujuh nama calon pahlawan nasional. Hasilnya, empat orang disetujui. Tapi tiga nama, termasuk Pak Natsir, tidak lolos,'' kata Bachtiar.

''Saya kemudian bertanya alasan penolakan itu kepada Pak Hatta Rajasa (Mensesneg). Dia hanya jawab begini ... begini .... Ya saya tahu alasannyalah,'' jelasnya, meski enggan menyebut arti kata 'begini' tersebut. Turut hadir dalam acara itu di antaranya Wakil Ketua DPR, AM Fatwa; Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie; Ketua KAHMI, Abdul Asri Harahap; anggota DPR, AM Lutfi; Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Syuhada Bahri; Rusjdi Hamka; dan keluarga M Natsir.

Sejarah Indonesia modern memang melupakan sosok Mohammad Natsir yang lahir di Alahan Panjang, Sumbar, 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta pada 1993. Padahal, berbagai jabatan strategis pernah diembannya, terutama ketika Republik ini masih 'bayi'. Posisi itu adalah menteri penerangan, perdana menteri, dan ketua umum Partai Politik Islam Masyumi.

''Jasa beliau sangat besar. Bukan hanya bagi orang Islam, tapi juga bagi semua warga bangsa ini,'' tegas Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Jasa Natsir bagi bangsa Indonesia, ungkap Jimly, setidaknya mencakup empat hal. Mempertahankan Pancasila, menjaga UUD 1945, mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan menggalang Bhinneka Tunggal Ika.

Bachtiar merasa ada sesuatu yang menarik ketika membaca buku-buku Natsir. Berbeda dengan gaya berpikir Bung Karno yang bergelora, tulisan Natsir justru kebalikannya. ''Pemikirannya lebih substansial menukik ke dalam hati. Selain itu, salah satu pesannya yang sulit dilupakan serta terus relevan adalah 'Berbentenglah di hati rakyat, bukan berbenteng di hati pejabat','' kata Bachtiar.

Semua warga bangsa ini, sambung guru besar ilmu politik UGM, Ichlasul Amal, sudah tahu seberapa besar jasa Natsir bagi Indonesia. Namun, di sisi lain, katanya, Natsir sendiri sebenarnya beberapa kali berada dalam kegamangan hidup.

Hal ini, misalnya, terlihat ketika harus memilih kembali sistem negara kesatuan. Sementara, kala itu, kekuatan politik luar Jawa berkeras ingin tetap mempertahankan sistem federalisme. Kegamangan hidup Natsir yang lain adalah ketika harus memilih kembali ke Sumatra Barat untuk memimpin PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).

''Sebab, waktu itu dia harus memilih antara seorang 'nasionalis' atau 'kritis' terhadap tindak-tanduk kebijakan pemerintah pusat,'' jelas Amal. Pilihan Natsir ini jelas berbeda dengan mantan wakil presiden, Moh Hatta, yang lebih memilih tetap menjadi 'nasionalis'.

Kegamangan itu juga dirasakan oleh Ketua PP Perhimpunan KB-PII, M Natsir Zubaidi. Kondisi politik negara usai pembekuan Badan Konstituante dan Dekrit Presiden 1959, menurut Zubaidi, memang memaksa Natsir harus kritis. Negara saat itu tengah mengarah pada pemerintahan otoriter. Presiden Soekarno memaksa 'memasukkan' kekuatan kelompok komunis demi menopang kekuasaannya. Natsir pun menentangnya.

Sebagai akibat, rumah Natsir di Menteng dirusak massa Pemuda Rakyat. Natsir menyelamatkan diri dengan kembali ke kampung halaman di Padang. Di sanalah kemudian, dia ikut PRRI bersama para tentara yang 'tidak puas'. ''Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dia benar-benar memberontak, atau sebenarnya terjebak dalam permainan tingkat tinggi itu. Inilah yang belum terjawab sampai sekarang,'' kata Zubaidi.

Untuk itu, menurutnya, sangat dipahami bila kemudian Natsir belum bisa mendapat status pahlawan nasional. Dugaan yang ada, kini masih ada beberapa pihak di kalangan militer yang trauma dengan pemberontakan PRRI. ''Akibatnya, Pak Natsir tetap tak bisa menjadi pahlawan. Uniknya lagi, setelah geger PRRI surut, tokoh pemberontak yang berasal dari militer, malah kemudian namanya direhabilitasi dan diberi konsesi berupa areal perkebunan. Ya mirip dengan nasib orang GAM itulah,'' ulas Zubaidi. muhammad subarkah/palupi a auliani

Sumber :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=313985&kat_id=3
READ MORE - Pak Natsir…

Friday 9 November 2007

Semiotika Nama

Kalau Shakespeare pernah bertanya apa(lah) arti sebuah nama, sangat mungkin saat ini pertanyaan tersebut berulang dalam intensitas berbeda. Oleh globalisasi, dengan gaya hidup sebagai ujung tombaknya, zaman sekarang tidaklah begitu "memedulikan" nama.

Saya sempat terkejut ketika tetangga di seberang desa mencomot nama "Andreas Surya Saputra" untuk anak pertamanya. Padahal, ia seorang Muslim taat. Keterkejutan saya semakin bertambah ketika ada pastor yang bertugas di Semarang memiliki nama "Ibn Fajar Muhammad".

Entahlah, sejak kapan proses ini terjadi. Sekarang tidak ada lagi blok hitam-putih untuk sebuah nama bahwa nama ini harus mewakili golongan tertentu. Sementara itu, nama lain masuk dalam wilayah pendakuan satuan primordial tertentu. Suatu nama klise tidak lagi menyokong garansi kepemilikan dari sebuah kelompok tertentu.

Sebutan "romo" tak lagi untuk pastor, tetapi juga kiai. Kata tahbisan tidak lagi khas menandai seseorang dilantik menjadi hierarki. Sementara kata mesias sudah tidak begitu keramat lagi eksklusif menunjuk pribadi tertentu. Seorang penyerang dalam suatu klub sepakbola dengan sangat mudah mendapat gelar sebagai "mesias" (lihat Majalah Bola).

Dalam tradisi agama tertentu, nama mencerminkan suatu periode liminal khusus yang unik. Seseorang diinisiasi dalam suatu komunitas besar. Itulah paguyuban yang mengidentifikasi diri dengan berbagai pernik khas.

Berkaitan dengan proses demikian, nama "Andreas" termasuk satu dari sekian santo-santa yang dijadikan penanda inisiasi seseorang ke dalam gereja Katolik. Ada latar sejarah tertentu mengenai pribadi orang yang dianggap suci untuk diteladani. Sejauh ini pengambilan nama pelindung tidak bisa serampangan.

Hanya saja, secara kebetulan nama pelindung itu kebanyakan dari Eropa. Entah siapa dahulu yang membonceng dan menunggangi tidaklah jelas genealogi nama-nama Eropa yang kemudian mewabah dalam kultur masyarakat kita. Globalisasi sekadar mendorong identitas kesetaraan masyarakat Indonesia yang inferior. Nama Barat dipresumsi bisa mendongkrak sindrom eksistensial untuk melampiaskan kejengkelan sebagai penyandang status subordinat kultural.

Saya belajar untuk tidak terlalu kaget dengan banalitas masyarakat dalam memilih nama buat anak-anak mereka. Mungkin kita memang sedang digerus kecemasan akut karena ketidakmudahan daya-ucap eksplorasi kata-kata yang membanjir. Sebegitu mudah suatu kata menjadi populer, segampang itu pula artikulasi sekaligus bobot semiotiknya habis. Budaya niraksara kita begitu subur dengan proyek kudeta-mengudeta kata, persis di saat kita tidak bisa memilah dengan pasti marka antara reduksi atau progresi atas Eropanisasi nama-nama dalam masyarakat kita.

Ada teman yang berkomentar, kita ini cabang dari Eropa. Kultur franchise rasanya tidak berlebihan menjadi ilustrasi budaya kita. Nyaris tidak ada lagi kebanggaan memiliki nama yang benar-benar Indonesia. Atau, "nama Indonesia" sekadar ilusi?

Berarti selama ini saya salah sangka.

TULUS SUDARTO

Rohaniman, Bekerja di Paroki Lampersari, Semarang


Sumber ;

http://www.kompas.co.id/

Jumat, 09 November 2007

READ MORE - Semiotika Nama

Dr Ikram Abidi

"Hidup itu seperti naik sepeda, untuk menjaga keseimbangan kita harus tetap bergerak"
READ MORE - Dr Ikram Abidi

Thursday 8 November 2007

Iklan Syari’ah Islam yang tidak Islami

Setiap kali naik Bus Way melewati halte Dukuh Atas, mata saya selalu tertumpu pada sebuah iklan produk Bank Muamallat.. Yang membuat saya jengkel, mangkel dan merasa malu sebagai seorang muslim adalah kalimat promosi dalam iklan itu. Saya lupa detailnya tapi kira-kira bunyinya adalah ; tinggalkan riba, pindah ke jalur halal..

Riba adalah haram dan harus dihindari. Teks iklan itu seolah mau mengatakan bahwa menabung di Bank konvensional merupakan tindakan yang haram, riba dan harus di hindari. Dengan kata lain, bila masyarakat ingin mendapatkan syurga maka bank nya adalah Bank Muamallat. Menabung di BRI, BNI, Danamon dan bank konvensional lainnya hanya mengantarkan masyarakat ke neraka karena keharamannya.

Dilihat dari sudut apapun, baik itu memakai argumentasi keagamaan maupun ilmu komunikasi dalam manajerial organisasi modern, iklan ini sangat tidak cerdas dan mencerdaskan. Teks iklan hanya menunjukan kepicikan berpikir atau bila tidak hanya merupakan indikator tidak profesionalnya orang-orang yang merasa muslim dalam berkecimpung di dunia profesional.

Sudut Pandang Agama

Memakai sudut pandang agama, keharaman bank konvensional masih merupakan kontroversi. Benar bahwa ada ulama yang menyatakan keharaman bunga bank konvensional, tetapi bahwa sebuah kebenaran juga bila banyak ulama yang menghalalkan bunga bank konvensional. Artinya keharaman bunga bank masih menjadi perdebatan. Masyarakat masih memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapatnya berdasar pada alasan-alasan yang di lontarkan para ulama.

Bunga bank bukan faham al Qiyadhah Al Islamiyah. Pemahaman keagamaan yang terang-terang telah melanggar prinsip dasar keislaman ; kesaksian muhammad sebagai nabi terakhir dan pengingkaran terhadap rukun Islam dan iman. Fatwa keharaman bunga bank, sebagaimana juga fatwa kehalalannya, adalah perbedaan pada masalah furu’. Keduanya masih memungkinkan adanya kritik karena mengabaikan dimensi sosiologis masyarakat.

Kehadiran Bank Syariah tidak dapat dilepaskan dari kebimbangan yang melanda masyarakat dalam berinteraksi dengan dunia perbankan. Sehingga sangat tepat bila ada iklan sebelumnya yang menyatakan kalau memakai fasilitas perbankan syariah adalah usaha yang akan lebih menentramkan masyarakat.

Lebih jauh lagi, bila kita ingin membicangkan Bank Syariah, argumentasi pendirian Bank Syari’ah yang katanya untuk menjalankan syariat Islam sudah menjadi sangat tidak relevan. Pendirian Bank Syari’ah pada akhirnya tidak jauh berbeda dengan pendirian bank konvensional lainnya. Motif ekonomi untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Pendirian Bank Syariah sama sekali sudah tidak ada kaitannya dengan itikad untuk melaksanakan Syariat Islam. Karena tidak ada keterkaitan antara HSBC, yang mendirikan HSBC Syariah, dengan idealisme ajaran Islam. Sebagaimana juga Bank Danamon yang memiliki unit Syariah. Bila yang pertama berasal dari Hong Kong dan Shanghai, yang kedua pemiliknya adalah Singapore. Dua negeri sekuler dimana komunitas muslim sangat sedikit dan relatif tidak memiliki akses kebijakan di dua negera.

Mari kita melihat Bank Syariah sebagai sebuah alternatif dari sistem perbankan homogen yang ditawarkan kepada masyarakat. Keunggulan masing-masing sistem akan diuji dari aspek manfaatnya bagi masyarakat umum. Sebagai seorang muslim tentunya kita sangat meyakini kalau tawaran alternatif itu, selama dijalankan secara murni dan konsisten, akan menjadi solusi dari sistem ekonomi yang sudah begitu menghegemonik.

Sudut pandang komunikasi.

Kemestiannya adalah; iklan itu memberikan advantage value dan competitive value dari produk perbankan Syariah yang ditawarkan dibandingkan dengan produk perbankan lainnya. Terlebih bila hal ini dikaitkan dengan warga Jakarta yang lebih well informed dan rasional.

Praktek komunikasi seperti ini jelas, selain tidak cerdas, juga tidak mencerdaskan. Tidak cerdas karena sangat tidak sesuai dengan kharakther masyarakat Jakarta yang well informed, rasional dan well educated. Tidak mencerdaskan karena sama sekali tidak menunjukan sisi argumentasi rasional bagi masyarakat. Masyarakat digiring untuk membabi buta menuruti segala hasrat yang belum tentu tingkat kebenarannya. komunikasi menjadi sangat minus aspek edukasi.

Eksplorasi idiom-idiom agama hanya menunjukan ketidakmampuan untuk bisa bersaing secara fair dengan bank konvensional. Seolah dengan mengatakan tabungan ini sesuai perintah agama, tidak perlu lagi adanya menaikan kualitas produk perbankan melalui service atau layanan tambahan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Mengatakan produk saya tabungan saya halal sementara yang lain haram, hanya menunjukan kepicikan memahami agama dan kepengecutan untuk berkompetisi secara fair dengan para kompetitor lainnya.

Maaf Pak Direktur!.. Iklan perusahaan anda sangat tidak islami dan tidak profesional

READ MORE - Iklan Syari’ah Islam yang tidak Islami

Wednesday 7 November 2007

Kemiskinan

Saya datang kesini untuk belajar sambil bekerja. Meskipun disini saya sudah mapan, saya akan tetap balik kampung di Pagaralam Sumatera Selatan. Membuat yayasan pendidikan dan wirausaha membangun ekonomi masyarakat di kampung saya. Banyak hal yang mesti saya lakukan setiba di Indonesia nanti.

Kira-kira begitulah ungkapan Rizalman. Mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi pasca sarjana ilmu ekonomi di University of Malaya. Rizalman meskipun mempunyai orang tua yang relatif mampu, tetap beritikad untuk memenuhi segala kebutuhan biaya pendidikannya di negeri orang secara mandiri. Mula keberangkatannya ke negeri jiran hanya dibekali beberapa ratus ribu untuk hidup satu bulan pertama. Selanjutnya Rizal, begitu dia biasa dipanggil teman-teman dan saudara-saudaranya, berjuang keras memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Rizal hanyalah satu diantara sekian banyak masyarakat Indonesia yang memiliki kemandirian dan kepedulian terhadap kondisi sekitarnya. Meskipun menjalani kehidupan yang lebih mudah dan nyaman di negeri tetangga, ingatannya terhadap negeri sendiri tidak pernah pupus. Baginya apa yang dia jalani sekarang merupakan modal untuk membangun kampung halamannya dari keterpurukan ekonomi dan keterbelakangan pendidikan.

Sikap seperti ini, dalam setting sosial yang berbeda, akan kita temukan di tempat-tempat lain baik itu di luar negeri maupun dalam negeri. Di kawasan Victoria Park Hong Kong misalnya. Warga Negara Indonesia yang sedang mencari nafkah disana, secara rutin mengadakan pertemuan setiap Sabtu dan Minggu. Bersenda gurau dengan bahasa kampung halaman sambil berbagi informasi kondisi tanah air. Hasil kerja keras selama 5 hari kerja tidak pernah dinikmati untuk diri sendiri. Sebagian besar dikirim ke kampung halaman untuk sanak familinya. Harapan mereka dengan kiriman uang itu tidak hanya sanak saudara saja yang terbantu, tetapi masyarakat di kampung halaman bisa terangkat dari kesulitan ekonomi.

Di negeri sendiri, jiwa-jiwa patriotik yang energik ini, terlihat begitu jelas pada setiap moment kemanusiaan yang membutuhkan partisipasi bersama. Catatan penanganan bencana tsunami di Aceh maupun gempa bumi Yogyakarta tidak akan pernah melupakan partisipasi kelompok-kelompok masyarakat yang tanpa pamrih mengulurkan segala potensi yang dimiliki untuk membantu korban bencana. Bantuan masyarakat ini muncul sedemikian rupa secara mandiri tanpa rekayasa. Begitu besarnya kemunculan jiwa patriotik ini, sehingga menyudutkan pihak yang berwenang karena dianggap lalai dan tidak mampu untuk melaksanakan koordinasi dan komunikasi bantuan.

Banyaknya kelompok masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial merupakan modal utama yang sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang membelit negeri kita; kemiskinan.

Bahaya kemiskinan bukan semata ketiadaan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lebih jauh dari itu, bahaya kemiskinan adalah ancaman terciptanya budaya kemiskinan di kehidupan kita. Kemiskinan selalu menghasilkan perilaku masyarakat yang tidak peduli kepada kebersihan dan kesehatan, minus kepatuhan terhadap aturan dan ketertiban serta mengabaikan pendidikan. Kemiskinan merupakan musuh bersama. Budaya kemiskinan akan selalu berakibat tidak hanya bagi orang miskin saja, tetapi juga mengancam kehidupan orang-orang mampu.

Adanya kelompok masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial tinggi, merupakan modal dasar yang sangat luar biasa dalam penanggulangan kemiskinan. Melalui kelompok masyarakat inilah usaha pengentasan kemiskinan akan berjalan lebih komprehensif dan menyeluruh. Kelompok masyarakat inilah yang akan membantu orang miskin dan pemerintah dalam menanggulangi masalah kemiskinan.

Dimensi bantuan dalam penanganan kemiskinan diungkap lebih luas oleh Jeffrey D Sach. Ekonom lulusan Harvard Univesity yang menjadi penanggung jawab program PBB dalam penanggulangan kemiskinan dunia, sebagaimana tertuang dalam Millennium Development Goal (MDGs).

Menurut Jeffret Sach dalam bukunya The End of Poverty (2005), meski orang miskin ingin keluar dari kemiskinannya, ia tidak mampu melakukannya dengan kekuatan sendiri. Begitu banyak faktor menjeratnya sampai tak berkutik: penyakit, cuaca buruk, lingkungan yang hancur, isolasi fisik, dan tentu saja tiadanya cukup uang. Kaum miskin dunia melihat tangga menuju pembangunan, mereka tergoda oleh gambaran kemakmuran dari dunia sebelah lain. Namun, mereka tak mampu meletakkan kakinya pada anak tangga, dan karenanya tidak mampu untuk merangkak keluar dari kemiskinan (hal 20).

Maka, kemiskinan harus langsung ditangani dan digarap. Ini sebabnya Jeffret Sach begitu menggebu-gebu menuntut agar negara- negara kaya menyediakan bantuan sebesar 135 miliar dollar AS pada tahun 2006, terus meningkat hingga 195 miliar dollar AS pada 2015 (untuk sampai target Millennium Development Goals). Tuntutan ini bukan impian karena negara-negara kaya telah setuju dengan Monterrey Consensus tahun 2002 untuk menyediakan bantuan pembangunan resmi (ODA) sebesar 0,7 persen dari pendapatan nasional bruto (PNB) mereka (atau sekitar 235 miliar dollar AS per tahun).

Sementara itu pada sisi lain Amartya Sen mengingatkan dimensi sistem dalam usaha penyelesaian kemiskinan. Bagi Amarya Sen, ekonom asal India yang dianugrahkan penghargaan Noble ekonom (1998) atas dedikasinya dalam penanganan kemiskinan, kemiskinan akan tertangani melalui adanya sistem sosial politik yang terbuka.

Ilustrasi yang diberikan Sen adalah apa yang terjadi di China dan India. Kesiapan sumber daya manusia akibat pendidikan massal dan pelayanan kesehatan umum yang lebih memadai, membuat China lebih berhasil dari India memasuki era marketisasi, karena sampai tahun 1991 tingkat buta huruf orang dewasa di India masih sebesar 50 persen, dan pelayanan kesehatan dasarnya juga sangat terabaikan. Akan tetapi, menyusul kegagalan program Lompatan Jauh Ke Depan, antara tahun 1958-1961 China mengalami bencana kelaparan terburuk sepanjang sejarah dengan angka kematian berkisar 30 juta orang. Sementara, dalam situasi ekonomi yang lebih buruk, India justru tak pernah lagi mengalami bencana kelaparan sejak kemerdekaan mereka di tahun 1947.

Bagi Amartya Sen, jawabannya terletak pada demokrasi di India yang jauh lebih marak. Menurut Sen, dalam iklim demokrasi, keterbukaan dan kebebasan tak memungkinkan bencana seburuk ini terjadi. Karena itulah, dalam Development as Freedom, peraih The Bank of Sweden Prize in Economic Sciences ini menandas-nandaskan pentingnya kritik, keterbukaan, kebebasan, dan demokrasi bagi pembangunan sebuah masyarakat. Bagi Sen boleh jadi demokrasi tidak selalu membawa kemakmuran, tetapi di negara-negar demokrasi tidak akan pernah ada kelaparan karena pemerintah yang demokratis akan lebih tanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya.

Demokrasi yang mengharuskan adanya transparansi, kebebasan, akuntabilitas, ruang publik yang bisa diakses masyarakat umum sudah menjadi komitmen kita bersama. Kata ini selalu menjadi bahan perhatian bagi para pengambil kebijakan dalam menjalankan fungsi dan perannya. Bagi para pakar, pengamat dan lembaga swadaya masyarakat, demokrasi sudah menjadi pijakan dalam mengevaluasi dan merumuskan setiap kebijakan pembangunan masyarakat.

Penutup

Modal besar itu, masyarakat yang memiliki tanggung jawab sosial dan sistem sosial politik yang demokratis, sudah ada di depan kita. Selanjutnya, sambil menjaga dan menumbuh suburkan kedua potensi ini, tentunya kita tinggal melangkah bersama untuk menanggulangi kemiskinan. Kemiskinan itu bisa kita atasi.

READ MORE - Kemiskinan