Sunday 21 December 2008

Demi Kejar Tayang

Kompas

Minggu, 21 Desember 2008

Apa pun, program kejar tayang di televisi biasanya dibuat serba tergesa-gesa. Bagaimana kita bisa menilai estetika produk industri kebudayaan semacam ini?

Hari yang sibuk buat Mardhatillah, associate producer Bukan Empat Mata (sebelumnya bernama Empat Mata). Seusai menyelesaikan shooting rekaman Bukan Empat Mata (BEM), Selasa (16/12) petang, Tia, begitu dia disapa, langsung bertolak dari studio Trans7 di Mampang, Jakarta Selatan, menuju Kampus FISIP Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, untuk mengikuti ujian.

Seusai mengikuti ujian, malam itu juga Tia kembali ke Trans7 untuk memimpin shooting BEM yang ditayangkan secara langsung. ”Wah, capeknya minta ampun,” kata Tia, Kamis di Trans7.

Tanpa ada ujian pun, setiap hari Tia sudah supersibuk. Setiap Selasa dan Rabu, Tia harus memimpin masing-masing dua shooting BEM. Sekitar pukul 16.00 hingga 19.00, dia memimpin shooting rekaman (taping) untuk episode Jumat dan Senin. Sekitar pukul 21.00 hingga 23.00, dia memimpin shooting tayang langsung (live).

Apabila shooting episode rekaman mulai pukul 16.00, empat jam sebelumnya Tia dan kru sudah mempersiapkan segalanya. Setelah shooting itu selesai, dia harus segera mempersiapkan BEM shooting berikutnya untuk episode tayang langsung.

Hari Kamis dia dan kru hanya satu kali shooting BEM untuk episode tayang langsung. Di luar itu, Tia harus siap memimpin shooting untuk episode khusus seperti Lebaran.

Jika tidak ada shooting, Tia dan 10 kru intinya harus mengurus tetek bengek persiapan produksi, seperti meriset tamu yang akan diundang, menyusun anggaran, menentukan tema acara, membuat jadwal kerja, menyusun daftar kebutuhan shooting; pascaproduksi, hingga menghadiri rapat yang membahas pergerakan rating BEM.

Saking sibuknya, Tia mengaku sering kali baru bisa pulang ke rumah sekitar pukul 02.00. ”Di rumah saya hanya numpang tidur, setelah itu kembali lagi ke kantor. Untuk melahirkan ide-ide untuk BEM, kadang tidak sempat,” katanya.

Industri televisi, terutama yang memproduksi program kejar tayang, memang menuntut kerja amat keras. Orang-orang yang terlibat dalam pembuatan sinetron kejar tayang mungkin bekerja lebih keras dibandingkan dengan kru BEM. Mereka sering kali shooting hampir 24 jam tanpa henti.

Mari kita tengok lokasi shooting Cinta Indah produksi Multivision Plus atau Upik Abu dan Laura produksi SinemArt beberapa bulan lalu. Para kru ”bergelimpangan” di kursi, tertidur karena capek seusai shooting. Lembar-lembar naskah skenario berserakan begitu saja.

Manoj Punjabi, pemilik rumah produksi MD Entertainment yang memproduksi sinetron kejar tayang seperti Cinta Fitri (SCTV), mengatakan, kerja semacam itu wajar-wajar saja. Apalagi para kru dan bintang telah dibayar mahal.

Dia pun menuntut timnya untuk bekerja 18 jam sehari. ”Pokoknya, untuk shooting satu hari harus bisa (menghasilkan) satu episode agar bisa kejar tayang,” katanya, Jumat.

Dengan cara kerja seperti itu, sinetron Cintra Fitri produksi MD Entertainment bisa dibuat hingga ratusan episode. Cinta Fitri 1 dibuat 200 episode, Cinta Fitri 2 168 episode, dan Cinta Fitri 3 sudah berjalan 30 episode dari rencana 150 episode.

Selain Cintra Fitri 3, ada tiga sinetron kejar tayang lainnya di SCTV, yakni Koq Gitu Sich, Melati Untuk Marvel, dan Cucu Menantu. Praktis setiap hari penonton dicekoki tayangan yang hampir semua digarap di tengah waktu yang serba mepet.

Bagaimana para kru bisa menghasilkan ide yang bernas di tengah tuntutan dan tekanan kerja yang dahsyat dan bersifat rutin? Penulis skenario Cassandra Massardi mengaku sudah biasa dengan tekanan kerja seperti itu. Namun, dia kadang tidak bisa lagi berpikir karena harus menulis skenario terus dalam 24 jam.

”Ya mau tidak mau harus dipaksa mikir karena naskah skenario sudah ditunggu,” katanya beberapa waktu lalu.

Di dunia sinetron sudah lazim skenario dibuat dengan terburu-buru beberapa jam sebelum shooting dimulai. Bahkan, kadang skenario harus diubah di tengah-tengah shooting lantaran ada pemain yang sakit atau tidak datang ke lokasi. Akibatnya, alur cerita sinetron menjadi tidak karu-karuan.

Tia mengatakan, kendala terbesar yang dihadapinya adalah rutinitas kerja. ”Karena semuanya sudah rutin, kadang kita juga kehabisan ide,” katanya.

Mungkin itulah sebabnya mengapa acara Empat Mata dan BEM dari dulu begitu-begitu saja. Guyonan Tukul Arwana tidak banyak berubah selama 2,5 tahun membawakan acara tersebut. Kalaupun ada perubahan, sebatas pada tata panggung.

Genjot terus

Manoj mengatakan, sepengetahuannya, sistem kejar tayang hanya ada di Indonesia. ”Di belahan dunia mana pun, mana ada film serial kejar tayang,” ujarnya.

Di Amerika Serikat, seperti Kompas pernah saksikan, shooting serial televisi dilakukan sekaligus untuk satu musim atau satu putaran. Setelah proses produksi rampung semua, baru serial itu ditayangkan di televisi.

Pembuat film serial di sana pun membatasi sebuah film tidak lebih dari 50, bahkan 20, episode per putaran sehingga mutunya bisa terjaga. Tidak seperti di Indonesia, sinetron bisa diulur-ulur hingga 200 episode per putaran karena ratingnya dianggap bagus meski ceritanya jadi melebar ke mana-mana.

Meski menggunakan sistem kejar tayang, Manoj mengatakan, tidak berarti mutu sinetron kita jelek. Mengapa? Karena aspek cerita tetap menjadi perhatian utama.

Pengamat budaya AS, Laksana, mengatakan, sulit menilai estetika sebuah produk kejar tayang. ”Produk semacam itu tidak lahir dari konsep produksi yang matang. Semua bisa diubah-ubah seenaknya. Yang dipersiapkan secara matang saja hasilnya bisa jelek kok,” katanya.

Kalaupun ada satu-dua yang bagus, lanjutnya, itu pasti kebetulan belaka. Setelah itu, pembuatnya tidak akan bisa mengulang. Mengapa? Karena produksi program tersebut, selanjutnya, akan digenjot dan diperas habisan-habisan demi sistem kejar tayang.

”Pembuatnya sampai tidak punya waktu untuk berpikir, apalagi menemukan ide-ide baru,” ujarnya.

READ MORE - Demi Kejar Tayang

Monday 3 November 2008

Efek Bradley, Bandwagon, Ayers, atau Osama?

Kompas, 3 November 2008

EFFENDI GAZALI

Teori atau metode komunikasi politik mana yang paling memberi pengaruh dan kejutan menjelang 4 November di Amerika Serikat? Efek Bradley versus Bandwagon, atau iklan 30 menit Obama versus video Khalidi atau video kiriman Osama bin Laden (lagi)?

Sekitar dua pekan lalu, marak dibicarakan Efek Bradley. Tom Bradley, mantan Wali Kota Los Angeles, tahun 1982 maju sebagai calon gubernur California. Dalam berbagai jajak pendapat, kandidat dari Partai Demokrat berkulit hitam ini unggul signifikan.

Namun, fakta menunjukkan hal yang lain. Ia kalah lebih dari 50.000 suara pada kandidat dari Partai Republik berkulit putih George Deukmejian.

Tentu saja pemilihan awal New Hampshire antara Hillary Clinton dan Barack Obama kembali menggairahkan para pengagum Efek Bradley. Saat jajak pendapat mengunggulkan Obama tiga belas poin di depan Clinton, faktanya ia kalah tiga poin!

Penganut teori ini berasumsi, sebenarnya sebagian pemilih kulit putih masih rasis, tetapi saat menjadi responden mereka mengatakan sesuatu yang terhormat. Di kubu lain penentang efek ini balik bertanya: bagaimana dengan South Carolina, ketika jajak pendapat menyatakan Obama akan menang 15 poin, ternyata malah terbukti menang 29 poin?

Efek Bandwagon

Selain Efek Bradley, kini peneliti komunikasi politik mulai mewaspadai Efek Bandwagon. Teori ini menyatakan sekelompok pemilih yang masih ragu pada menit-menit terakhir akan memilih kandidat yang diprediksi bakal menang.

Popkin (penulis buku The Reasoning Voter: Communication and Persuasion in Presidential Campaigns) memberi gambaran unik. Seorang pemilih semula tidak ingin memilih Obama karena berkulit hitam! Namun, ia lalu mendengar McCain bakal kalah. Akhirnya ia memilih Obama untuk mengatakan kepada cucu-cucunya bahwa dia dulu ikut (membuat sejarah) memilih Obama!”

Mutz, pakar komunikasi politik Universitas Pennsylvania, menjelaskan, ada sejumlah pertimbangan sebelum seseorang terkena Efek Bandwagon. Utamanya seseorang mencari tahu mengapa popularitas kandidat tiba-tiba menanjak, atau yang lain tiba-tiba anjlok? Isu mutakhir apa saja yang sedang tidak diketahuinya?

Celakanya, informasi yang mereka cari umumnya lebih banyak disediakan oleh media yang sedang mengangkat tokoh yang sedang naik popularitasnya. Dengan demikian, Efek Bandwagon jelas lebih menguntungkan Obama.

Begitu juga di Indonesia, efek ini bisa lebih terasa bagi Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang naik lagi popularitasnya, atau Prabowo yang tiba-tiba melejit, bahkan Sultan Hamengku Buwono X yang sedang ramai dibicarakan; dibandingkan dengan Megawati yang sedang turun popularitasnya atau Jusuf Kalla yang selalu digambarkan rendah dalam jajak pendapat.

Video Ayers

Selain pertarungan Efek Bradley versus Efek Bandwagon, sebagian mantan teman-teman kuliah saya yang kini bekerja sebagai anggota tim sukses atau relawan Obama sedang menunggu apa yang mereka sebut ”Trik (Akhir) Partai Republik”. Mereka khawatir akan ada satu atau dua kejutan yang bisa menghabiskan keunggulan Obama.

Jika itu terjadi, besar kemungkinan arahnya pada keamanan nasional. Di tengah ketidakmampuan McCain-Palin menantang tawaran-tawaran paket ekonomi dan kesejahteraan versi Obama, dijual kembali kekhawatiran rakyat akan serangan terhadap Amerika. Dalam hal itu Obama tidak pernah teruji.

McCain-Palin menggertak agar Los Angeles Times mengizinkan rakyat Amerika menonton video pesta perpisahan Profesor Rashid Khalidi di Universitas Chicago tahun 2003. Khalidi dianggap sebagai juru bicara Yasser Arafat dan PLO.

Dalam acara itu terdapat pidato-pidato dan ungkapan keras terhadap Israel! McCain menantang untuk melihat apakah dalam acara itu Obama tidak sekadar hadir, tetapi juga mengecam Israel atau memberikan standing ovation ketika para pengkritik Israel sedang bicara berapi-api.

Lebih hebat lagi, dalam acara itu hadir nama yang selama ini selalu dikaitkan sebagai ”teman terorisnya” Obama, yaitu William Ayers dan istrinya.

McCain terus menggerutu! Menurut dia, itulah bukti ketidakadilan media. Kalau saja ada video, dia sedang duduk bersama salah seorang anak muda pengagum Nazi, video itu pasti sudah disiarkan di mana-mana!

Video Osama

Salah satu video yang juga sedang ditunggu-tunggu adalah kiriman Osama bin Laden, yang sampai saat ini belum pernah terbukti berhasil ditaklukkan tentara Amerika.

Kali ini ia mungkin mengatakan, ”Saya ingin mengucapkan selamat kepada Obama. Jelas orang seperti Obama lebih pantas dipilih sebagai presiden karena ia terang-terangan mau duduk bersama Ahmadinejad atau tokoh-tokoh pejuang Amerika Latin, tanpa prekondisi!”

Meski video itu ditutup dengan kata-kata ”McCain pergilah ke neraka”, tetapi sebagai sebuah strategi, justru ia akan menguatkan McCain dan positioning-nya pada saat-saat terakhir.

Singkat kata, detik-detik mendekati Selasa 4 November masih terasa amat panjang di Chicago markas kubu Obama yang berangin kencang ini; ia bisa saja menyajikan kejutan sebelum sebuah sejarah terukir pada sore harinya! Sesuatu yang pasti amat menantang dipelajari menjelang Pemilu 2009!

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI; Pimpinan Finalpoint Political Consulting; Menulis dari Chicago, AS

READ MORE - Efek Bradley, Bandwagon, Ayers, atau Osama?

Wednesday 29 October 2008

Ideologi Bahasa Indonesia

Kompas
Rabu, 29 Oktober 2008


Setiap penggunaan bahasa bersifat ideologis. Bahkan, bahasa adalah ideologi. Itulah pandangan para linguis kritis, seperti Volosinov, Bakhtin, Foucault, Fairclough, Wodak, Kress, Hodge, dan Van Dijk.

Dalam hal ini, ideologi adalah gagasan atau keyakinan yang commonsensical (sesuai akal sehat) dan tampak normal. Gagasan atau keyakinan itu telah menjadi bawah sadar masyarakat. Maka, jika masyarakat tidak menyadari ideologi (dalam) bahasa yang dipakainya, itu membuktikan ideologi sedang efektif bekerja.

Bahasa Indonesia pun bersifat ideologis. Ideologi itu mengenai penentuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928) dan bahasa negara (UUD 1945 Pasal 36). Saat para tokoh pemuda mengikrarkan butir ketiga Sumpah Pemuda, mereka digerakkan ideologi kebangsaan yang demokratis dan egaliter. Maka, pilihan jatuh pada bahasa Indonesia bukan bahasa Jawa atau Sunda, yang penutur aslinya lebih banyak. Bahasa Melayu—bahan dasar bahasa Indonesia— hanya berpenutur asli sekitar 4,5 persen populasi. Namun, meski belum jelas benar sosoknya, bahasa Indonesia diyakini lebih demokratis dan egaliter sebab tidak mengenal speech level (tingkat tutur).

Dalam pandangan sosiolinguistik, penentuan bahasa Indonesia jadi bahasa persatuan dan bahasa negara didasari ideologi vernacularization (vernakularisasi, pribumisasi). Menurut Cobarrubias (Ethical Issues in Status Planning, 1983), vernakularisasi adalah penentuan sebuah indigenous language (bahasa pribumi) menjadi bahasa resmi. Segi-segi sosiologis-politis-kultural pasti dipertimbangkan, termasuk kehendak memartabatkan jati diri.

Demikianlah, bahasa Indonesia mengada karena ideologi kebangsaan demokratis-egaliter dan pemartabatan jati diri. Bahkan, bahasa Indonesia pada gilirannya adalah ideologi tentang nasionalisme, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Tak ayal dalam literatur-literatur utama sosiolinguistik, bahasa Indonesia menjadi contoh klasik vernakularisasi, selain Tok Pisin (Papua Niugini), Yahudi (Israel), Tagalog (Filipina), dan Quechua (Peru).

Jika bahasa Indonesia dan situasi kebahasaan mutakhir dicermati, masih adakah jejak ideologi itu? Apa tantangan bagi ideologi bahasa Indonesia? Apa kaitannya dengan Kongres IX Bahasa Indonesia, 28 Oktober-1 November 2008?

Beragam ideologi bahasa

Tiga ideologi selain vernakularisasi, yaitu linguistic assimilation, linguistic pluralism, dan internationalism. Linguistic assimilation menempatkan bahasa terdominan sebagai bahasa resmi. Semua warga—pribumi atau pendatang—wajib mempelajari dan menggunakan bahasa itu. Contohnya bahasa Perancis di Perancis, bahasa Inggris di Inggris dan Amerika Serikat serta wilayah koloninya, serta bahasa Jerman di Jerman. Ideologi ini diterapkan dengan berbagai bentuk, termasuk pemaksaan, seperti kebijakan Hellenization di Yunani dan Russification di Uni Soviet masa lampau.

Linguistic pluralism memberikan kesempatan sama kepada bahasa-bahasa yang ada. Kesempatan itu dapat berbasis wilayah atau ikatan warga. Paham ini diberlakukan antara lain di Belgia, Kanada, Singapura, Afrika Selatan, dan Swiss.

Adapun internationalism (internasionalisme) justru mengangkat non-indigenous language (bahasa nonpribumi). Karena bahasa nonpribumi telah digunakan dalam komunikasi luas, lalu dijadikan bahasa resmi bidang tertentu. Ideologi ini, misalnya, berwujud penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi pendidikan dan perdagangan di Singapura, India, Filipina, dan Papua Niugini.

Tantangan internasionalisme

Bahasa Indonesia masih relatif muda. Namanya baru mulai disebut saat Kongres Pemuda I, 2 Mei 1926. Setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, bahasa Indonesia mengalami promosi dan kodifikasi besar-besaran. Dalam usia 80 (atau 82) tahun, secara korpus bahasa Indonesia makin sempurna. Berbagai kamus dan pedoman tata bahasa, ejaan, dan peristilahan kian lengkap. Jumlah penuturnya makin meningkat. Bahasa Indonesia telah melampaui masa lampaunya sebagai bahasa ”kecil” dan kini menjadi bahasa ”besar”. Namun, bagaimana ideologinya? Bahasa Indonesia masih menjadi ideologi kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan?

Sebagaimana teritori mana pun, Indonesia adalah arena perang ideologi, termasuk ideologi bahasa. Dalam arena itu ideologi bahasa Indonesia harus bertarung menegakkan eksistensinya. Benar pernyataan St Sunardi (Kompas, 27/10/2008) dimensi nasionalisme menjadi lebih rumit daripada sekadar kesamaan sejarah, suku, bangsa, atau budaya. Menyangkut ideologi bahasa Indonesia, kerumitan itu berwujud hadirnya ideologi internasionalisme yang menyatu dengan globalisasi. Padahal, internasionalisme serba bertentangan dengan vernakularisasi.

Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai ideologi berpotensi terpinggirkan, terutama sebagai ideologi kebangsaan dan jati diri.

Kongres IX Bahasa Indonesia

Pada 28 Oktober—1 November 2008 digelar Kongres IX Bahasa Indonesia, bertema ”Bahasa Indonesia Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif di Atas Fondasi Peradaban Bangsa”.

Tampak, tema itu digerakkan ideologi bahasa Indonesia, yakni kebangsaan, demokrasi, jati diri, dan kesederajatan. Upaya penyelenggara kongres, Pusat Bahasa, patut diapresiasi. Bukan hanya karena setia memelihara ideologi bahasa Indonesia, tetapi juga membuka diri atas situasi terkini. Secara tersirat, kata ”kompetitif” menyadari hadirnya ideologi internasionalisme yang tidak harus dihadapi frontal.

Apalagi kaidah-kaidah yang amat kaku tidak ”membakukan”, tetapi ”membekukan” bahasa Indonesia. Sikap normatif berlebihan menjadi kendala bagi pengembangan kreativitas. Martabat bahasa Indonesia pun terlecehkan. ”Bangsa Indonesia soedah sadar akan persatoeannja, boekan sadja dalam artian politik, akan tetapi dalam artian keboedajaan jang seloeas-loeasnja”. Itulah tanggapan surat kabar Kebangoenan pimpinan Sanoesi Pane (22/6/1938) atas rencana Kongres I Bahasa Indonesia di Solo, 25-28 Juni 1938.

Semoga Kongres IX Bahasa Indonesia juga melahirkan tanggapan senada.

P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

READ MORE - Ideologi Bahasa Indonesia

Friday 24 October 2008

Kyai menikahi anak umur 12 tahun

Seorang pengusaha kaya di Semarang Jawa Tengah, Pujiono Cahyo Widioanto, menikahi Lutfiana Alfa bocah umur 12 tahun. Katanya Pujiono itu seorang Kyai. Tapi menurut MUI, Pujiono itu bukan Kyai. Puji tidak pernah masuk pesantren, ujar anggota MUI. MUI Jateng pun memvonis itu sebagai pernikahan yang haram.

Saya sendiri bingung untuk menyebutnya sebagai seorang kyai. Apa kriterianya sehingga media menyebutnya sebagai seorang kyai. Apakah karena dia sudah naik haji lalu pakai surban, jubah putih dan kemana-mana membawa tasbih?atau karena dia sudah zakat sebanyak 1,3 Miliar?Tapi kalau melihat apa yang dia lakukan, menurut saya dia bukanlah seorang Kyai.

Kembali kepada pernikahan yang dilakukan oleh Puji. Ketika membaca berita ini di internet, langsung saja saya posting ke beberapa teman via YM. Ada yang sinis, miris, tertawa dan ada yang tanpa ba bi bu langsung mengatakan ini halal, syah menurut hukum Islam. Karena semua prosedurnya sudah terpenuhi. Nah lho?

Jujur saja, ketika saya membaca berita itu, saya cukup miris bercampur geli ketika membaca argumen yang disampaikan Pak "Kyai". Tetapi saya bertambah miris ketika teman tadi langsung mengatakan bahwasannya ini adalah halal dan syah.

Kemirisan pertama, kenapa sebuah fenomena mesti ditempatkan begitu sempat dalam koridor halal dan haram. Kemirisan kedua, kenapa begitu mudahnya menetapkan sesuatu itu halal dan haram karena melihat kepada prosedurnya?

Saya pikir dalam meneropong sesuatu dalam perspektif Fiqh urusannya tidak bisa dilihat secara hitam putih dalam kalimat halal atau haram. Cara pandang seperti ini selain menunjukan kesempitan cara pandang, juga menunjukan kenaifan. Bila hendak di elaborasi lebih lanjut, bukankah hukum Islam itu berhenti di halal dan haram saja?bagaimana dengan mubah, makruh dan sunnah?

Saya tidak ingin mengatakan orang-orang seperti ini sebagai bodoh dan tidak tahu hukum agama, tapi lebih suka mengatakannya sebagai naif. Karena kadang-kadang hal seperti ini sering datang dari seseorang yang berlabelkan sarjana agama. Saya melihat ini sebagai sebuah kebiasaan kita yang selalu berpikir hitam putih, tidak mempunyai alternatif meskipun hal itu sudah disediakan.

Lalu berkaitan dengan penetapan hukum halal, ini berkaitan dengan kemirisan saya yang kedua, apakah memang benar pernikahan ini halal karena sudah melewati prosedur yang sudah ditetapkan oleh Fiqh?

Kalau pertanyaan ini disampaikan kepada para pengkaji ilmu agama, saya pikir akan menjadi kajian yang sangat panjang. Banyak hal dan perspektif yang perlu di tinjau dan menjadi bahan pertimbangan. Bila menggunakan hadits, maka harus ditinjau bagaimana asbabul wurud hadits tersebut. Bila melandaskan ayat al quran, maka harus dilihat asbabun nuzul. Bila merujuk kepada sirrah nabawiyah, maka harus dicek kembali aspek sosiologis dan psychologis dari sirah tersebut.

Tetapi saya tidak ingin membicarakan hal itu. Pasalnya sederhana saja, saya tidak terlalu expert untuk membicarakan hal sedalam itu. Bila saya menolak pernikahan "Kyai" Puji dan mempertanyakan penetapan hukum halal dari teman tadi, itu karena banyak hal yang tidak terpenuhi, diantaranya metodologi pengambilan hukumnya, dari penjelasan yang diberikan.

Saya hanya ingat kepada ayat yang berbunyi kullu mimma fil ardhi halalan thoyiban. Makanlah apa yang ada di bumi itu dalam keadaan halal dan baik. Jadi yang mesti kita makan itu ternyata tidak hanya cukup halal, tetapi juga mesti baik. Penjelasan sederhana dari guru saya, daging ayam itu baik, tapi kalau daging itu sudah dua hari dan tidak di hangatkan, maka menjdi tidak baik. lebih baik saya tidak memakannya. Kira-kira begitu.

Jadi kira-kira pertanyaan saya adalah, bila apa yang dilakukan pak "Kyai" Puji itu, katakanlah di beri hukum halal, apakah hal itu layak untuk dilakukan?Bagian terakhir ini menjadi sangat penting karena selanjutnya hal ini akan berkaitan dengan hak anak, pendidikan anak, psikologi anak, psikologi orang menikah, psikologi orang hamil dsb.

Tapi sebelum membahas itu pernikahan yang baik atau bukan, secara pribadi saya melihat itu pernikahan yang haram. Masalahnya sederhana saja ; motif sang "kyai" dan mudharat yang akan ditimbulkan. Kalau tidak percaya coba saja lihat profil sang "kyai" tersebut dan baca tentang psikologi pertumbuhan anak. Perkawinan seperti itu hanya akan mendatangkan mudharat. Kasihan terhadap bocah kecil itu.
READ MORE - Kyai menikahi anak umur 12 tahun

Wednesday 15 October 2008

Para Perampok di Jalan Tuhan

Majalah Tempo, 6 - 12 Oktober 2008

Djalaluddin Rahmat

  • Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia
    Sects and Errors are synonymous. If you are a peripatetic and I am a Platonist, then we are both wrong, for you combat Plato only because his illusions offend you, and I dislike Aristotle only because it seems to me that he doesn’t know what he’s talking about.

    Voltaire, Philosophical Dictionary

    "Aku tidak bisa melepaskan diri dari bayangan guruku. Ia masuk dalam mimpi-mimpiku. Pada suatu malam aku pernah terbangun. Aku duduk dalam lingkaran. Di situ ada guruku, Nabi Muhammad, Tuhan, dan Yesus. Guruku menyebutku Hafshah, salah seorang istri Nabi Muhammad. Aku pernah melihat Nabi Muhammad datang kepadaku; memanggilku dengan mesra. Pendeknya, kemudian terjadilah pergaulan suami-istri antara Hafshah dan Nabi Muhammad. Beberapa saat setelah itu, aku baru sadar bahwa Hafshah itu aku dan Nabi Muhammad itu adalah guruku itu,” Helen, bukan nama sebenarnya, mengadukan nasibnya kepadaku.

    Helen sarjana dan profesional. Ia cerdas dan kaya. Ketika ia mulai tertarik pada hal-hal spiritual, kawannya membawanya ke pengajian tasawuf. Ia diperkenalkan kepada seorang ustad. Bukan ustad terkenal. Tampaknya ustad itu tidak mengisi pengajian umum. Ia memusatkan pengajarannya pada komunitas khusus dengan tema khusus. Di seluruh alam semesta, hanya dia yang mempunyai pengetahuan khusus, ilmu makrifat. Ia mau berbagi ilmu makrifat itu hanya kepada manusia-manusia pilihan yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Dengan mengamalkan ritus-ritus tertentu—berzikir, berpuasa, dan bersemadi—Helen berhasil melihat Tuhan. Berkali-kali sesudah itu, ia mengalami ”trans”. Ia bukan hanya berjumpa dengan Tuhan. Ia juga dapat berkencan dengan para nabi.

    Makin ”dalam” pengalaman rohaniahnya, makin bergantung dia kepada sang ustad. Helen yang cerdas kehilangan daya kritisnya ketika ia mendengar kalimat-kalimat gurunya. Ia berikan apa pun yang dimintanya, mulai waktu, uang, kendaraan, rumah, sampai kehormatannya. Ia sudah menjadi sujet di hadapan juru hipnotis. Semua dilakukannya di bawah sadar, sampai ia disentakkan oleh salah satu kuliah psikologi. Sebuah buku dengan judul Saints and Madmen menyadarkan dia bahwa gurunya dan juga dia bukan orang suci, tapi orang gila. Ia bukan mengalami pengalaman rohaniah, tapi gangguan mental. Sayangnya, kesadaran itu muncul setelah ia kehilangan banyak.

    Tak terhitung banyak orang seperti Helen. Manusia modern yang jenuh dengan materialisme gersang. Ia merindukan pengalaman rohaniah. Ada yang kosong dalam jiwanya. Kekosongan itu tidak bisa diisi dengan seks, hiburan, kerja, bahkan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat. Ia ingin getting connected dengan Yang Ilahi. Ia sudah kecapaian dengan logika dan angka. Ia ingin meninggalkan dunia yang dingin dan kusam menuju alam yang hangat dan cemerlang. Ia ingin mendapat—sebut saja—pencerahan rohaniah. Ia tidak mendapatkannya dalam institusi-institusi agama.

    Dalam kerinduan spiritual itu, muncullah guru. Ia menawarkan pengalaman rohaniah yang ”instan”. Kalau kamu sudah kecapaian dengan logika dan angka, masuklah bersama guru ke dalam dunia rasa dan percaya. Bunuh rasionalitas dan tumbuhkan spiritualitas (seakan-akan keduanya bertentangan). Dengan memanipulasi ajaran-ajaran esoterik dalam setiap agama, guru menegaskan—sambil mengutip Rumi—”di negeri cinta, akal digantung”.

    Kalau akal sudah digantung, terbukalah peluang bagi guru untuk memanipulasi pikiran para pengikutnya. Aku menemukan bahwa teknik-teknik menggantung akal yang dilakukan para guru itu sepenuhnya melaksanakan nasihat Dostoyevsky dalam The Brother of Karamazov: ”Ada tiga kekuatan, dan hanya tiga, yang dapat menaklukkan dan melumpuhkan semangat para pemberontak ini. Yang tiga itu ialah mukjizat, misteri, dan otoritas.” Tentu saja hampir tidak ada di antara para guru itu yang membaca Dostoyevsky.

    Mukjizat sebenarnya adalah kumpulan dari halusinasi, ilusi, dan delusi. Guru menciptakannya dengan ”merusak” otak pengikutnya melalui ritual yang aneh-aneh. Salah satu teknik yang paling populer dan paling efektif adalah pengurangan waktu tidur (sleep deprivation), apalagi bila dibarengi dengan tidak makan (food deprivation). Dalam keadaan normal, otak kita mensintesiskan ”pil tidur alamiah” sepanjang waktu bangun kita. Sesuai dengan ritme biologis, kita tidur pada waktu malam. Karena deprivasi tidur, pil tidur alamiah itu berakumulasi dan bermetabolasi menjadi produk-produk beracun. Lalu timbullah mula-mula gangguan mood—pergantian antara euforia dan depresi. Menyusul gangguan mata yang menimbulkan halusinasi (melihat cahaya dan benda-benda bergerak), delusi, dan puncaknya disorganisasi pikiran (sederhananya, gangguan jiwa). Seperti pengurangan tidur, guru juga menciptakan pengalaman rohaniah dengan upacara, seperti latihan masuk kubur, gerakan kolektif yang berulang-ulang, atau penggunaan obat-obat kimiawi. Murid mengira mereka mengalami pengalaman gaib. Ahli neurologi menyebutnya kerusakan otak (brain damage).

    Karena pengalaman rohaniah yang mereka alami, mereka merasa dibawa ke alam gaib. Di sekitar kehidupan guru berkumpul berbagai misteri. Guru pemilik ilmu-ilmu yang sangat rahasia. Guru malah mengembangkan bahasa sendiri. Istilah-istilah agama diberi makna baru. Perjalanan bersama guru adalah perjalanan menyingkap tirai-tirai kegaiban. Murid tidak bisa menyingkap rahasia itu tanpa bimbingan guru. Seperti kata Dostoyevsky, dengan menggabungkan mukjizat, misteri, dan otoritas, bertekuklah jiwa-jiwa kritis ke kaki sang Pembawa Pencerahan.

    Helen sekarang sadar bahwa ia telah jatuh kepada perampok di jalan Tuhan. Hati-hati, dalam perjalanan menuju pencerahan jiwa, Anda akan disabot oleh apa yang disebut Jean Marie-Abgrall sebagai Soul-Snatchers, para pencuri jiwa. Helen masih berjuang menyembuhkan luka-luka jiwanya; sebenarnya kerusakan dalam otaknya. Aku menganjurkan dia untuk berobat ke psikiater. Ia menolaknya.

    Lama aku kehilangan Helen. Secara kebetulan, aku menemuinya dalam satu acara. Aku menanyakan mengapa ia tidak lagi mengontak aku. Ia menarik aku ke tempat sepi. Dengan muka yang penuh ketakutan, ia berbisik: gurunya sudah tahu bahwa ia telah melaporkan keadaannya kepadaku. Ia mendapat ancaman. Ia diperingatkan agar memutuskan semua hubungan dengan masyarakat di luar komunitasnya.

    Bersamaan dengan hilangnya Helen, Juliet Howell, peneliti sufisme urban, muncul lagi di hadapanku. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ia mewawancaraiku perihal tasawuf di masyarakat kota. Waktu itu aku menyelenggarakan kelas-kelas tasawuf di daerah elite. Kali ini ia bertanya tentang pengalamanku membina tasawuf. Ia juga bertanya tentang yayasan kajian tasawuf yang aku kelola. Aku bilang aku sudah tidak lagi berurusan dengan tasawuf. Ia bertanya tentang muridku yang paling ”sufi”. Aku jawab, ”Ia sudah mencapai makrifat setelah belajar dikuburkan hidup-hidup.” Howell mendesak bagaimana caranya membedakan gerakan tasawuf yang benar dengan gerakan para perampok di jalan Tuhan. ”Gunakanlah ukuran UUD dan UUS,” jawabku, ”apabila Anda menemukan gerakan itu ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks, Anda sudah disimpangkan dari jalan Tuhan. Ada dua juga yang membedakan saints dengan madmen: bila setelah mendapat pengalaman rohaniah, Anda merasa diri Anda rendah dan bergairah untuk menyebarkan kasih ke seluruh alam, Anda adalah orang suci. Bila Anda merasakan diri Anda lebih saleh daripada semua orang dan Anda hanya bergairah untuk mengasihi guru Anda, Anda adalah orang gila. Anda sudah masuk perangkap Soul-Snatchers. Gitu aja, kok repot!”

  • READ MORE - Para Perampok di Jalan Tuhan

    Penjajahan Bahasa

    Karena sedang merencanakan kuliah ke Eropa, sebulan terakhir ini saya intesifkan lagi belajar Bahasa Inggrisnya. Target minimalnya bisa mencapai score Toefl 550, supaya tembus persyaratan beasiswa. Maksimalnya yah mencapai score 600, supaya bisa langsung mendaftar dan dapat acceptance letter dari Universitas.

    Seperti juga waktu pertama kali belajar Toefl, saya pikir ini seperti penjajahan bahasa. Bayangkan saja, saya mesti belajar tata bahasa bangsa lain sampai pada tingkatan yang detail, sementara saya sendiri tidak begitu tahu tata bahasa ibu saya : Indonesia dan Sunda. Sementara itu saya haqqul yakin kalau orang Inggris, Amerika dan Australia itu pengetahuan bahasa Inggris nya tidak sedetail yang saya pelajari di Toefl. Jadi kita ini sedang melestarikan bahasa orang lain dan melupakan bahasa kita sendiri kan?

    Yang lebih menjengkelkan ketika saya tadi singgah ke toko buku. Cari buku buat bahan belajar anak saya yang masih 4 bulan. Banyak saya temukan buku untuk mencerdaskan balita dengan iming-iming dwi bahasa, bahasa Inggris - Indonesia. Katanya mendidik anak secara dini berbahasa Inggris.

    Buku-buku ini bagi saya tidak hanya melanjutkan penjajahan bangsa sampai pada tingkat anak balita, tetapi juga menceritakan keminderan terhadap bahasa bangsa sendiri saja. Terlebih ketika tidak satupun saya temukan buku ajar buat balita dalam dwi bahasa, Indonesia - Sunda atau Indonesia - Jawa atau Indonesia dah bahasa daerah lainnya. Apakah mereka berfikir bahasa Sunda, Jawa, Minang dll itu tidak bisa mencerdaskan anak-anak kita?

    Yang lebih menggemaskan adalah ketika saya sempat sms teman yang sedang bergelut di dunia penerbitan. Saya bertanya apakah ada buku ajar buat balita dengan dwi bahasa Indonesia-Sunda. Singkat jawabannya, tidak ada buku untuk itu

    Jakarta, 15 Oktober 2008
    READ MORE - Penjajahan Bahasa

    Friday 19 September 2008

    KOMPENSASI KEPERAWANAN ANAK SD ITU HANYA RP 900 RIBU

    Saya baru saja kembali dari liputan untuk rubrik potret. Liputan ke daerah kumuh di Jakarta Utara. Karena berkaitan dengan runtutan cerita yang saya dapat, maka saya tidak dapat menyebutkan daerah yang dimaksud. 

    Saya tidak tahu mesti meresponnya seperti apa dan bagaimana. Bila kejahatan-kejahatan sebelumnya yang ditampilkan di koran selalu saya curigai ada unsur dramatisasi, maka cerita ini tidak ada unsur dramatisasi. Diperoleh langsung dari orang yang melakukan advokasi terhadap korban. 

    Teman saya tadi menceritakan kalau di kampungnyasempat terjadi geger. Tiga anak ingusan yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar memperkosa perempuan anak didiknya di TPA yang juga masih SD. Ketika hal ini mau di advokasi lebih lanjut dan akan di blow up oleh teman saya tadi, keluarga korban dan keluarga pelaku tidak mau. Katanya hal itu akan diselesaikan secara kekeluargaan. Kebetulan memang diantara keduanya ada pertalian keluarga. 

    yang lebih tragis lagi, penyelesaian secara kekeluargaan selesai dengan uang kompensasi Rp 900 ribu rupiah. Masa depan anak sekolah dasar dihargai sebesar 900 ribu?

    Sampai saat sekarang saya masih bingung bagaimana bersikap mendengar cerita ini.
    READ MORE - KOMPENSASI KEPERAWANAN ANAK SD ITU HANYA RP 900 RIBU

    Thursday 11 September 2008

    Budaya Masjid Vs Budaya Pasar di Bulan Ramadhan

    ‘imal lidunyakan kaannaka ta’isyu abadan

    Wa’mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan

    (Ali Ibn Abi Thalib)

    Konon ada dua budaya dalam kehidupan masyarakat. Pertama budaya masjid yang kedua budaya pasar. Bila yang pertama berkaitan dengan agama yang berarti mengajarkan normativitas dalam keseharian serta pengingatan akan kehidupan here after, maka yang kedua berbicara tentang aspek duniawi.

    Menurut Alm Kuntowidjoyo Dalam buku Budaya dan Masyarakat (1991), Budaya masjid adalah budaya yang menggambarkan budaya masyarakat yang bersih, jujur, dan jauh dari aspek hedonisme. Sedangkan budaya pasar merujuk budaya masyarakat yang penuh tipu daya dan selalu mementingkan keuntungan materi.

    Di kehidupan masyarakat, kedua budaya ini melahirkan orang dengan pola sikap dan pola perilaku yang berbeda. Bila budaya masjid melahirkan orang yang sering disebut alim, santun dan irrasional, maka budaya pasar melahirkan orang yang progresif, rasional dan siap melakukan apa saja untuk memenangkan sebuah kompetisi.

    Karena perbedaan type dan orientasi antara dua budaya ini, tidak jarang tokoh utama masing-masing budaya ini berada dalam posisi konfrontatif. Aktor budaya masjid, bagi aktor budaya pasar, dianggap jumud dan sok alim. Begitu juga sebaliknya,aktor budaya pasar bagi menurut aktor budaya masjid, adalah calon penghuni neraka karena sering menegasikan tuhan di kehidupan kesehariannya.

    Perkembangan selanjutnya adalah ketika budaya pasar dan budaya masjid ini saling berkompetisi. Di satu waktu dan satu tempat kadang budaya masjid sangat dominant, begitu juga sebaliknya. Dominasi bisa terjadi dalam bentuk sarkasme, berupa pelarangan yang dilakukan budaya masjid atau pelecehan oleh aktor budaya pasar.

    Tetapi yang sangat menarik adalah ketika terjadi sinergi antara budaya masjid dan budaya pasar. Aktor budaya pasar secara jenius memanfaatkan setiap moment budaya masjid untuk dijadikan kesempatan mencari keuntungan. Aktor budaya masjid meneriman

    Ramadhan menjadi momen bersama antara aktor budaya masjid dan budaya pasar. Bagi orang masjid, Ramadhan adalah sesuatu yang sangat sakral dan momen yang sangat tepat untuk menyebarkan pemahaman keagamaan secara massal dan menarik. Begitu juga bagi orang-orang pasar. Ramadhan menjadi tempat yang sangat tepat untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

    Tetapi dalam prakteknya, meskipun seolah terjadi sinergitas, pada dasarnya yang terjadi di setiap Ramadhan adalah dominasi. Budaya pasar selalu menjadi penentu utama dari setiap hajatan yang dilakukan pada bulan Ramadhan.

    Hal ini setidaknya bisa dilihat dari banyaknya reduksi makna yang menjadi ajaran-ajaran budaya masjid. Karena kepentingan komersil, ceramah ramadhan mesti sering dipotong iklan. Supaya acaranya menarik, maka semuanya mesti didominasi oleh canda tawa. Akibatnya adalah, acara Ramadhan membawa tertawa tidak memberikan pencerahan.   

    Ketika pasar menjadi sangat dominant pada bulan Ramadhan ini, maka siap-siap saja agama, terkhusus Ramadhan, menjadi sangat tereduksi. Sebanya sederhana saja, karena semuanya bergerak demi uang. Dan ketika semua bergerak demi uang, maka ketika itu juga pada dasarnya budaya masjid sudah kalah.

    Menurut Sosiolog Georg Simmel, Uang dalam sistem capital menjelma menjadi nilai dari segala sesuatu. Dia tak membutuhkan nilai lain, apalagi agama atau moral. Secara sataris, sosiolog Jerman itu bahkan menyatakan, ketika uang telah menjadi nilai utama, maka dia telah menjadi tuhan yang mendevaluasi tuhan-tuhan lainnya.

    Khamami Zada (2006) berpendapat bahwa fenomena market oriented yang muncul dibalik program-program tayangan keagamaan seringkali tidak secara sadar ditangkap pemirsa (umat dan agamawan) sehingga yang terjadi adalah industrialisasi agama.

    Fenomena dakwah keagamaan dan industri hiburan dalam kenyataannya memarjinalkan agama dalam kutub komersialisasi. Dampak terbesar industrialisasi adalah kian maraknya budaya konsumtif (consumer culture) dalam kehidupan masyarakat.

    Apa yang digambarkan oleh Khamami Zada tersebut nampaknya semakin dibuktikan dengan kecenderungan besar, dimana pesan-pesan keagamaan oleh publik hanya dilihat sebagai simbol-simbol budaya, life style dalam budaya konsumtif.

    Lalu bagaimana keluar dari masalah ini?Apakah budaya masjid itu memang terlalu idealis untuk hidup di zaman yang begitu materialistis?ataukah memang tidak ada tempat bagi budaya pasar karena hanya melulu mengajarkan dunia semata seolah tidak ada kearifan di masing-masing fihak

    Masyarakat Indonesia pada dasarnya sejak dahulu sadar dengan kondisi ini. Pentingnya dua budaya ini diformulasikan masyarakat dalam bentuk tata arsitektural kota yang sangat menarik.

    Dimanapun kota di Indonesia, selalu menempatkan masjid dan pasar sebagai dua posisi yang tidak pernah lepas. Masjid dan pasar inilah yang kemudian menjadi pemantau bagi keratin sebagai pusat kekuasaan. Artinya ada kerjasama antara masjid dan pasar dalam menopang kehidupan masyarakat.  

    Beberapa abad sebelumnya Sahabat dan menantu nabi, Ali Ibn Abi Thalib, memberikan rumusan solusi yang sangat ringan dan cerdas. Menurut Ali persoalannya terletak ketika kita mampu memposisikan secara proporsional diantara dua budaya ini. “imal lidunyaka kaannaka ta’isyu abadan wa’mal liakhiratuka kaannaka tamuutu ghaddan”

    Bekerjalah kamu bagi duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah kamu bagi akhirat kamu seolah-olah kamu akan mati besok.

    Masjid dan pasar bukan sesuatu yang mesti dipisahkan. Keduanya bisa saling sinergi dan mendatangkan keuntungan bagi masing-masing. Kecelakaan terjadi ketika terjadi dominasi dan arogansi diantara dua budaya ini.

    Hal inilah yang kemudian sudah ditunjukan oleh Dedy Mizwar dengan sinetron Ramadhannya “Para Pencari Tuhan” jilid II. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Metro TV ketika dengan secara konsisten menayangkan talkshow “Tafsir al Misbah” oleh Prof Dr Quraish Shihab.

    Pesan-pesan agama tersampaikan sebagaimana juga obsesi orang pasar untuk meraih pemirsa sebanyak-banyaknya bisa terfasilitasi. Dan yang terpenting adalah; barakah.

    Waallahu’alam bi shawab

    READ MORE - Budaya Masjid Vs Budaya Pasar di Bulan Ramadhan

    Thursday 14 August 2008

    Cerita Gus Dur dan Megawati

    Ini sedikit cerita tentang mantan Presiden kita. Yang satu emang sudah konyol dari dulunya sehingga saya tidak melihatnya dalam perspektif psikologi kekuasaan sedangkan yang kedua saya melihatnya emang orang yang agak payah ketika berhadapan dengan kekusaan.

    Gus Dur itu adalah mantan presiden kita yang sangat doyan makan durian. Konon katanya dalam sebuah perjalanan di Tol Jabotabek rombongan Gus Dur melewati durian masak yang tercium oleh hidung Gus Dur yang cukup tajam. Karena saking sukanya kontan saja Gus Dur menyuruh supirnya memundurkan mobil dahulu untuk membeli durian tadi. Bayangkan saja, rombongan mobil presiden berjalan mundur di jalan tol hahahaha...

    Tapi kalo cerita ini menurut saya keterlaluan. Konon ketika Presiden Megawati hendak kembali ke Jakarta selepas kunjungan ke Kalimantan, didalam pesawat Megawati baru menyadari kalo makanan kesukaannya tertinggal. Karena Megawati ingin makanan kesukaannya itu kontan saja yang kerepotan adalah ajudannya. Selanjutnya adalah pilot dan co-pilot pesawat yang sudah stand by untuk take off mesti mencancel semuanya. Yang lebih parah adalah jadwal penerbangan pesawat di Bandara itu. Jadwal penerbangan mesti delay selama sejam.

    Bayangkan !... Ratusan orang mesti rela menunggu delay jadwal penerbangan selama sejam hanya karena makanan kesukaan Presiden kita tertinggal.
    READ MORE - Cerita Gus Dur dan Megawati

    Friday 8 August 2008

    Konsisten dengan Tindakan Sederhana

    Think globally act locally!.. Kalau teman saya menulis di CV nya Think big, start small, move fast!.. Dibaca agak sedikit berbeda, mencoba konsisten dengan gagasan besar melalui tindakan-tindakan kecil dan sederhana. Ternyata meskipun tuntutan konsistennya hanya dalam bentuk tindakan kecil dan sederhana, ini bukanlah sesuatu yang sederhana dan mudah juga.

    Malam tadi kira-kira pukul 02.30 saya terbangun. Secara refleks tangan saya mengambil remote control dan menyalakan televisi. Lha?kok menyalakan tv dini hari sih?Apa yang dicari?Tidak ada film yang menarik pada dini hari juga tidak ada berita yang update dini hari. Kecuali memang sedang ada Piala Eropa, Piala Dunia atau Liga Champion. Tapi ini kan sedang tidak jadwalnya.

    Yang jelas menyalakan TV tanpa tujuan pastinya pemborosan energi. Padahal saya sering geram bila mendengar berita tentang pemborosan energi, menulis pemborosan energi yang dilakukan oleh birokrat dan baru-baru saja rumah facebook saya menjadi member sebuah group yang melawan Global Warming.

    Beberapa waktu lalu saya mendengar cerita seorang teman yang bekerja di LSM kesohor di Indonesia. Diantara yang diomongkannya adalah mengingatkan masyarakat tentang ancaman kebangkrutan Indonesia baik secara sosial, politik, ekonomi dan budaya. Untuk masalah ekonomi teman saya tadi condemn juga mencibir semua korupsi. Tetapi ternyata teman saya tadi kalo pulang sering naek kereta dari Gambir dan membayar tiket di gerbong. Lha?Kok?

    Itu baru saya dan temen saya aja yang ngomongin hal besar tapi tidak konsisten dalam bentuk tindakan kecil dan sederhana. Saya curiga, dan saya yakin benar, pastinya masih banyak orang lain yang tidak jauh berbeda dengan kelakuan saya

    Jadi betul menurut Quran, selain refleksi dibutuhkan juga koreksi. watawashaubil haq watawa shaubil shab. Selain ketahanan individu dibutuhkan juga ketahanan kelompok.
    READ MORE - Konsisten dengan Tindakan Sederhana

    Tuesday 5 August 2008

    Orang Baik atau Orang Tertindas?

    Bila ingin melihat betapa baiknya orang Indonesia, coba aja naik KRL Ekspress Jakarta - Bogor, Jakarta - Depok, Jakarta - BSD atau Jakarta - Bekasi pada saat jam berangkat atau pulang jam kantor.

    Setelah membayar karcis yang cukup mahal (Rp 9.000 - Rp 13.000) penumpang KRL harus puas dengan gerbong kereta bekas dari Jepang dengan AC yang kadang-kadang tidak stabil. Masalah kapasitas gerbong?jangan tanya hal itu. Jangan pernah bertanya apalagi menghitung kelayakan kapasitas gerbong itu sebetulnya untuk berapa orang. Pokoknya KRL berhenti di beberapa statsiun yang sudah ditunjuk setelah itu silahkan penumpang yang sudah membeli tiket masuk, tidak perduli didalam sudah penuh atau belum.

    Kecepatan?yang dimaksud dengan ekspress bukannya kereta bergerak cepat, tetapi kereta hanya tidak berhenti di setiap statsiun seperti KRL ekonomi dan bisa jadi kecepatannya tidak jauh berbeda dengan KRL Ekonomi karena traffic nya yang padat. So bisa jadi waktu tempuh dengan KRL Ekspres menjadi sangat tidak ekspres.

    Setelah itu semua, lihatlah kebaikan orang Indonesia itu. Mereka tetap merelakan sebagian uangnya untuk membeli bangku kecil atau koran supaya bisa melepas lelah sejenak dalam kereta setelah seharian bekerja. Jadi ternyata kenyamanan belum kunjung didapat meskipun sudah bayar karcis cukup mahal.

    Begitu baiknya penumpang kereta di Indonesia. Tapi saya juga ragu, apakah ini karena baik atau memang karena kita sudah terbiasa dengan penindasan? Tidak tahu lah...
    READ MORE - Orang Baik atau Orang Tertindas?

    Monday 4 August 2008

    Antara Gelora Bung Karno, Monas dan Menara Petronas

    Beberapa hari yang lalu saya jalan-jalan ke Gelora Bung Karno di Jakarta. Mengelilingi bangunan senayan dan juga masuk ke ruangan dalam, melihat dari jauh bagaimana lapangan bola yang selama ini hanya bisa saya lihat di layar TV saja. Dulu sempat merencanakan nonton bola langsung ke stadion ini dengan catatan Persib Bandung tampil sebagai finalis Ligina. Tapi ternyata Persib, setelah juara di Ligina I, tidak pernah lagi tampil sebagai finalis Ligina di stadion ini.

    Sebetulnya berkali-kali saya sering datang ke kompleks olahraga terbesar di Indonesia mengikuti pameran buku, pendidikan, komputer yang sering digelar di Jakarta Convention Centre nya. Mungkin karena belum ada kepentingan yang mendesak, maka Gelora Bung Karno hanya saya lihat dari jauh saja. Kali ini saya mendekati dan masuk ke bangunan Gelora Bung Karno karena sedang mengantar dan menunggu istri yang mengikuti testing pekerjaan di tempat ini.

    Jangan pernah melihat bangunan Gelora Bung Karno, sebagai stadion kebanggaan nasional dan terbesar di Indonesia, dan membandingkannya dengan Stadion yang dimiliki Malaysia di Bukit Djalil sana. Apalagi membandingkan dengan Allianz Arena di Muenchen Jerman. Selain salah dan proporsional, pandangan seperti ini tidak akan pernah menghadirkan efek ketakjuban kedalam diri. Kemegahan dan kehebatan Gelora Bung Karno tidak akan pernah hadir bila dilihat dengan cara seperti itu.

    Bayangkan lah sebuah negeri yang baru saja lepas dari penjajahan selama 3,5 abad. Penjajahan yang menghancurkan penduduk negeri nya baik secara phisik maupun psychis. Tidak hanya itu, penjajahan itu telah mengakibatkan penduduk negeri ini merasakan kemakmuran alam nya meskipun negeri ini dikenal memiliki alam yang sangat kaya.

    Dalam usia baru seumur jagung dengan kondisi alam dan masyarakat yang dirusak oleh kolonialisme penjajah inilah kemudian Stadion Gelora Bung Karno ini dibangun. Melalui stadion inilah kemudian citra Indonesia terbangun dihadapan negara lainnya. Pastinya bangunan ini tidak akan pernah berdiri tanpa adanya sebuah heroisme, visi dan semangat sebuah bangsa.

    Saya teringat ketika beberapa tahun yang lalu datang ke Kualalumpur. Karena menara kembar (Twin Tower) Petronas sudah menjadi kebanggaan bagi orang-orang Malaysia dan menjadi icon negeri mereka, teman-teman disana mengajak saya mengunjungi kesana. Sebelumnya teman-teman disana juga mengajak saya menikmati megahnya menara KL yang tingginya lebih pendek dibanding menara Petronas.

    Dalam lawatan berikutnya ke Malaysia saya sengaja datang ke menara petronas sendiri. Menampik kesediaan teman-teman di Malaysia untuk mengantar saya kesana. Selain karena saya sudah mengetahui route perjalanan dan Kualalumpur dan lebih mudah dan nyamannya moda transportasi di Kualalumpur dibanding Jakarta, saya juga sedang ingin sendiri memaknai apa yang saya lihat.

    Ditempat yang cukup jauh saya pandangi sekali lagi menara Petronas itu. Sebagaimana juga masyarakat Asia lainnya, saya juga merasakan keindahan dan kemegahan menara kembar ini. Bila malam lampu-lampu yang menyala disekelilingnya terlihat sangat indah. Bila siang arsitekturnya yang unik dan menjulang tinggi menjadi pemandangan sendiri.

    Tanpa sadar air mata saya jatuh dan akhirnya saya sesunggukan menangis. Saya tinggalkan menara Petronas dan masuk ke kereta "Putera" sambil menunduk menyembunyikan air mata saya dari penumpang Putera lainnya. Tidak banyak penumpang yang memperhatikan air mata saya karena mungkin mereka sendiri masih lelah dengan pekerjaannya.

    Saya menangis membayangkan petronas sebagai lambang tertinggalnya Indonesia dibanding Malaysia. Mestinya menurut saya Pertamina bisa membuat menara yang jauh lebih megah, besar dan indah daripada menara petronas. Tapi itu tidak terjadi dengan segala penyimpangan yang telah dilakukan oleh para penguasa di negeri ini. Ironisnya lagi menurut saya, SDM Indonesia jauh lebih handal dibanding Indonesia. Ukurannya sangat sederhana. Teman-teman Malaysia saya selalu menyatakan bahwasannya Indonesia tempat kumpulan orang-orang pintar dan sangat militant. Mereka selalu menyebut nama Habibie, Amien Rais, Ahmad Syafie Maarif, Adi Sasono, Alm Abdul Rahim Natsir, Alm Natsir, Kuntowidjoyo dll sebagai tokoh-tokoh yang selalu menjadi rujukan mereka. Dan mereka hanya menyebut nama Datuk Sri Anwar Ibrahim, sebagai tokoh yang menurut mereka layak menjadi rujukan.

    Saya juga membayangkan betapa modal Indonesia untuk maju jauh lebih besar dibanding teman-teman di Malaysia. Bila Malaysia menjadikan menara petronas sebagai icon kemajuan mereka, Indonesia jauh lebih dahulu memiliki monas yang dibangun pada masa-masa awal kebangkitannya. Tentunya memerlukan tenaga ekstra tersendiri, phisik dan non phisik, membangun bangunan yang begitu monumental seperti Monas.

    Apalagi bila ditelusuri lebih lanjut dengan melihat masjid Istiqlal, masjid terbesar se Asia Tenggara, Gelora Bung Karno, juga Hotel Indonesia. Semuanya dibangun ketika bangsa-bangsa di Asia baru saja lepas dari penjajahan.

    Dikemudian hari saya menyadari membandingkan monas dan menara petronas bukanlah perbandingan yang ideal. Tidak hanya merujuk kepada sejarah, secara angka, pembangunannya itu sendiri, tetapi juga merujuk kepada semangat yang terbangun di kedua bangunan monumental tersebut.

    Menara Petronas bagi saya adalah dokumentasi dari sebuah semangat kapitalisme sejati dari sebuah international coorporate perminyakan. Bangunan itu seolah memancarkan kerakusan sebuah perusahaan yang ingin melahap dunia ini sampai habis menunjukan bahwa dirinya sangat kuat dan berkuasa diatas dunia

    Uang dan kekuasaan. Itulah yang terpancar dari bangunan ini

    Sedangkan Monas adalah dokumentasi dari sebuah keinginan bapak bangsa untuk membangun sprit bangsanya mengisi kemerdekaan yang telah diraih dengan gagah. Monas seolah ingin mengatakan kepada dunia akan adanya sebuah negeri yang subur makmur yang sudah melepaskan diri dari penjajahan dengan gagah berani. Bangunan ini mengingatkan dunia untuk tidak lagi memandang rendah negeri yang baru saja melepaskan diri dari penjajahan.

    Komitmen, Heroisme dan semangat untuk maju. Itulah yang ingin dipancarkan oleh monumen ini.

    Oleh karena itu beberapa hari kemarin saya bilang ke anak saya yang masih berumur 1 bulan bila dia sudah bisa mengikuti saya ke Jakarta nanti, saya ingin mengajaknya berkeliling ke Monas. Tidak hanya melihat bangunan yang sudah menjadi icon Indonesia, tetapi juga merasakan komitmen, heroisme dan semangat untuk maju sebagai bagian yang mesti ada dalam diri anak saya
    READ MORE - Antara Gelora Bung Karno, Monas dan Menara Petronas

    Friday 25 July 2008

    Orang-Orang Sakit

    Adinda Bakrie, keponakan Aburizal Bakrie, akan menikah. Calon suaminya bernama Seeng Hoo Ong, warga Singapura yang dia kenal semasa kuliah di Bobson College Amerika Serikat. Menurut kabar beredar biaya pernikahan menelan dana sampai Rp 10 Miliar. Untuk rangkaian bunga nya saja menghabiskan dana Rp 1 Miliar, mahkota pengantin Adinda Rp 3 Miliar dan kalung, yang menurut Adinda "Murah Kok" berharga Rp 2 Miliar. Tidak tahu berapa miliar untuk membayar dekorator Preston Bailey, yang pernah disewa oleh Donald Trump.

    Pernikahan akan dilaksanakan di Hotel Mulia, sebuah hotel papan atas di Jakarta. Resepsi akan dilanjutkan di Pulau Dewata Bali, tepatnya di Hotel Bvlgari. Para undangan yang akan berangkat kesana tidak usah khawatir masalah transportasi karena keluarga Bakrie sudah menyiapkan penerbangan khusus kesana. Selain para artis, pejabat dan Anggota DPR, rencana pernikahan juga akan mengundang penyanyi Sting dan II Divo. Untuk hal terakhir ini keluarga Bakrie membantahnya

    Aburizal Bakrie, paman Adinda, adalah Mentri Koordinator Kesejahteraan Rakyat kabinet SBY -JK. Diantara orang terkaya di Asia Tenggara yang berasal dari negeri yang sedang mengalami krisis ekonomi yang sangat akut. Negeri dengan pertumbuhan ekonomi mandeg, pengangguran dimana-mana Menurut majalah Globe Asia (Mei 2008) Aburizal adalah orang terkaya se-Asia Tenggara. Sedangkan setahun sebelumnya menurut majalah Forbes Asia (2007) memiliki kekayaan 5,4 miliar dollar AS (sekitar Rp 50 triliun dengan kurs 1 dollar AS = Rp 9.200) atau naik dari 1,2 miliar dollar AS pada tahun sebelumnya.

    Bersama ayah Adinda, Indra Bakrie, Aburizal adalah Pemegang saham PT Lapindo Brantas Sidoarjo. Perusahaan yang paling bertanggung jawab terhadap bencana lumpur panas di Sidoarjo.

    Kerusakan karena lumpur panas Lapindo bukan hanya secara ekologis, tetapi juga kerusakan ekonomis, sosiologis dan psychologis. Sampai sekarang korban lumpur Lapindo masih terlunta-lunta karena tidak adanya penyelesaian yang tuntas. "Bakrie Layak Mati" itu kalimat yang keluar dari temen saya yang pernah datang mengunjungi korban lumpur Lapindo.

    Lalu apa kesimpulan anda bila melihat rencana Adinda Bakrie dan Aburizal Bakrie sendiri?Kalo saya hanya 3 kata saja. ORANG-ORANG SAKIT

    Jakarta, 25 Juli 2008
    READ MORE - Orang-Orang Sakit

    Thursday 24 July 2008

    Nyaman Karena Melihat Ketidaknyamanan

    Kadang saya sering percaya dengan pandangan-pandangan negatif orang tentang hakekat dasar manusia. Pandangan yang menyatakan bahwasannya manusia itu terlahir dalam keadaan nista dan berlumur dosa, kelahiran manusia dilengkapi dengan potensi dasar yang sangat besar untuk merusak, manusia itu adalah Homo Homini Lupus, manusia itu perusak dan penumpah darah atau mengutip film Smallville, manusia adalah makhluk primitif

    Hal ini sebagai contoh bisa terlihat dalam kasus Bus Way. Moda transportasi darat dalam kota yang dipakai Pemda Jakarta dengan cara memberikan jalur khusus bagi bus tersebut yang tidak boleh dilalui oleh kendaraan lain. Akibatnya sangat jelas, sementara kendaraan lain bermacet-macet dijalur lain, Bus Way berjalan lancar tanpa hambatan.

    Saya agak bingung mendengar pendapat umum, apalagi pengelola Bus Way dan Pemda DKI tentunya, yang menyatakan kalau Bus Way itu aman dan nyaman. Tidak jelas dimana letak aman dan nyamannya.

    Bagi yang tidak pernah menggunakan Bus Way coba saja naek Bus Way dan bagi yang pernah menggunakan Bus Way coba naek lagi dan perhatikan serta rasakan lebih detail dimana letak “kenyamanan” dan “keamanan” naek Bus Way.

    Bila kita naek Bus Way, maka kita mesti bersiap-siap untuk antri panjang di halte menunggu kedatangan Bus yang lebih dari 10 menit, Saling dorong dan berjejal ketika masuk Bus, AC yang tidak jelas pengaturannya (walaupun kepanjangannya Air Conditioning), gemerisik hydrolic pintu ketika terbuka dan tertutup serta irama sopir ketika menginjak pedal gas dan pedal rem. Ketika saudara menaiki nya setelah pulang jam kantor, maka nikmatilah segala bentuk pengalaman diatas itu.

    Lalu dimana kenyamanan dan kemanan menaiki Bus Way?ini hanya asumsi. Sekali lagi hanya asumsi saja jadi masih perlu dibuktikan lebih mendalam dan belum layak menjadi pegangan.

    Saya curiga bila yang dimaksud dengan kenyamanan dan keamanan menaiki Bus Way itu terletak pada kata lancar dan anti macet nya itu. Kata yang sering keluar dari banyak orang, dengan redaksi yang berbeda tentunya, ketika ditanya alasan naik Bus Way. Untuk hal ini minimal bisa terlihat ketika volume penumpang Bus Way Koridor Dukuh Atas – Ragunan naik kembali setelah ada kebijakan kendaraan pribadi tidak boleh memakai Jalur Bus Way. Sebelumnya banyak penumpang mengeluh karena banyaknya jalur pribadi yang masuk jalur Bus Way sehingga naik Bus Way juga mesti mengalami kemacetan.

    Jadi ketika Bus Way berjalan lancar tanpa hambatan di jalurnya, sementara di jalur sebelah banyak kendaraan lain yang sedang antri macet, disitulah kenyamanan menaiki Bus Way. Kalau begini ternyata yang dinamakan kenyamanan adalah ketika melihat orang lain tidak nyaman. Tapi ini hanya asumsi, masih perlu ada pembuktian lebih mendetail.

    Jakarta, 24 Juli 2008
    READ MORE - Nyaman Karena Melihat Ketidaknyamanan

    Wednesday 23 July 2008

    Rapat Virtual dan Cara Kerja Modern

    Kompas
    Rabu, 23 Juli 2008

    Ninok Leksono

    ”Sarana teknologi ini (’video-conferencing' dan rapat 'online') akan mengubah cara berpikir perusahaan terhadap perjalanan dan kerja dalam jangka panjang.” Claire Schooley, analis pada Forrester Research, NYT, 22/7).

    Semula, ada kemacetan yang semakin tidak tertahankan di kota-kota besar. Situasi ini lalu melahirkan ide agar karyawan tak selalu harus ke kantor. Manajemen perusahaan dihadapkan pada dilema, mendapatkan karyawan produktif dengan mengorbankan kehadiran di kantor, atau tetap mengharuskan karyawan hadir di kantor dengan kehilangan sebagian (mungkin juga sebagian besar) waktu dan produktivitasnya.

    Ketika kemacetan total di kota besar, seperti Jakarta, diperkirakan datang lebih awal—bukan lagi tahun 2014, melainkan tahun 2011, atau 2012, bayangan akan ”hidup tua di jalanan” semakin melahirkan rasa tak nyaman, khususnya bagi karyawan yang tiap hari harus ke kantor.

    Namun, pada sisi lain, konsep tidak harus di kantor—lepas dari sifat pekerjaan seorang karyawan kreatif atau tidak—masih menjadi bahan perdebatan di kalangan manajemen. Tampaknya, alam pikir tradisional masih mendominasi dalam wacana ini. Namun, waktu mungkin akan mengubah persepsi tersebut.

    Harus diakui bahwa momentum bagi pendekatan baru dalam cara orang bekerja ini bertambah lagi dengan munculnya perkembangan baru, yakni makin mahalnya harga bahan bakar dan—sebelumnya—diperolehnya teknologi yang memungkinkan orang bekerja dari jauh (luar kantor). Bahkan, makin luasnya penggunaan internet membuat orang bisa bekerja dari titik mana pun di dunia. Itu sebabnya istilah www yang semula hanya berarti world wide web kini juga berarti world wide workplace, atau ”tempat kerja di mana pun di dunia”.

    Rapat virtual

    Di harian The New York Times, Selasa (22/7), Steve Lohr menulis feature tentang makin banyaknya perusahaan mengadakan rapat virtual karena biaya perjalanan semakin mahal.

    Peserta rapat semacam itu, seperti dituturkan oleh karyawan Accenture Jill Smart, semula merasa ragu, tapi setelah hadir di ruangan yang dilengkapi dengan fasilitas konferensi video—atau juga dinamai telepresence—dan merasakan sendiri suasana demikian nyata, ia dalam tempo 10 menit lupa bahwa ia tidak bersama-sama dengan mitra konferensi dalam ruangan itu. Maklum saja, Nona Smart ada di Chicago dan mitra konferensinya ada di London.

    Accenture kini telah memasang 13 ruang konferensi video di kantor-kantornya di seluruh dunia dan berencana menambah 22 ruang lagi sebelum akhir tahun ini.

    Cara rapat virtual ditempuh guna menghindari 240 perjalanan internasional dan 120 perjalanan domestik yang harus dilakukan oleh stafnya dalam bulan Mei saja. Langkah itu diyakini dalam setahun bisa menghasilkan penghematan jutaan dollar. Tetapi yang juga diperoleh adalah staf terbebas dari kehilangan jam kerja produktif, yang memang akan hilang kalau mereka harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan.

    Jadi, dengan semakin meningkatnya biaya perjalanan dan hal itu juga membuat maskapai penerbangan mengurangi layanan, perusahaan—besar dan kecil—mengkaji kembali rapat tatap muka (face-to-face meeting), juga perjalanan bisnis.

    Tentu saja langkah ini harus ditopang oleh pendukung yang tidak lain adalah teknologi yang kini sudah mencapai titik di mana ia praktis (atau tidak sulit digunakan), harganya terjangkau, dan lebih produktif guna memindahkan bit-bit digital daripada badan.

    Diperkirakan, arah baru ini lebih dari sekadar reaksi atas meningkatnya biaya perjalanan dan pelemahan ekonomi.

    Pada masa lalu juga sudah ada ramalan bahwa teknologi bisa menggantikan perjalanan. Namun, dulu hal itu dinilai prematur. Kini, teknologi disebut telah bisa membuktikan janjinya. Adanya investasi besar pada jaringan telekomunikasi, perangkat lunak, dan peningkatan pengolahan komputer mendukung munculnya kemajuan yang ada.

    Kini, pilihan yang ada sudah banyak, mulai dari sistem telepresence yang mahal seperti dibuat oleh Cisco dan HP hingga teknologi kolaborasi yang dikenal sebagai web conferencing, online document sharing, wikis, dan teleponi internet.

    Tidak heran kalau kemajuan teknologi ini semakin luas dimanfaatkan oleh perusahaan besar dan kecil. Rapat via internet kini semakin banyak digunakan untuk pelatihan dan presentasi penjualan. Dengan penggunaan cara kerja baru ini, perusahaan ada yang bisa menghemat sampai 60 persen, dan waktu rata-rata untuk menuntaskan penjualan baru dipangkas sampai 30 persen.

    Perkembangan ini memang menyisakan pertanyaan, apakah dengan tren baru ini lalu rapat tatap muka akan ketinggalan zaman? Atau apakah sudah tidak akan ada lagi karyawan yang bekerja dengan menyusuri jalan raya? Ternyata, yang ditekankan di sini adalah bahwa perkembangan situasi dan kemajuan teknologi digital hanya sebagai cara untuk membuat perjalanan kerja lebih selektif dan lebih produktif.

    Perubahan nyata

    Tren perubahan cara kerja yang ditopang oleh kemajuan teknologi ini memang kini dirasakan oleh karyawan di pelbagai perusahaan. Misalnya saja, Michael Littlejohn dari IBM. Dua tahun lalu ia menghabiskan waktu 13 sampai 15 hari dalam sebulan di jalan. Kini, ia hanya perlu 8 sampai 10 hari dalam sebulan untuk perjalanan dinas. Namun, tidak berarti waktu untuk melayani klien berkurang. Untuk memahami masalah klien, atau untuk menuntaskan penjualan, ia masih merasa harus bertatap muka.

    Lebih efektifnya cara kerja baru ini juga dituturkan oleh Darryl Draper dari Bagian Pelatihan Pelanggan di Subaru of America. Dulu, dalam enam bulan ia hanya bisa menjangkau sekitar 220 orang dengan biaya 300 dollar AS per orang. Kini, setelah semua dilakukan melalui internet, selain ia tidak sering bepergian, ia justru bisa menjangkau 2.500 orang setiap enam bulan dan hanya dengan biaya 75 sen dollar AS per orang.

    Tentu, setiap pemanfaatan teknologi ada biaya investasi. Tetapi, dibandingkan dengan biaya operasi yang tidak menentu mengikuti naik-turun harga minyak, investasi di bidang ini lebih bisa dipastikan.

    Sekali lagi, videoconferencing maupun rapat online bukan substitusi sempurna bagi datang ke kantor dan rapat tatap muka, di mana orang bicara satu dengan yang lain. Dengan telepresence orang tidak belajar mengenai budaya lain. Nona Smart menegaskan, ”Anda mendapatkan banyak hal dengan berada di sana, saat sarapan atau santap malam, membangun hubungan (dengan) bertatap muka.”

    Sekali lagi, cara kerja modern bukan untuk menggantikan seluruhnya rapat atau bertemu langsung. Ini hanya cara bijaksana mengeluarkan biaya pada masa apa-apa serba mahal.

    READ MORE - Rapat Virtual dan Cara Kerja Modern

    Birokrasi Kita Kayak Cacing Pita dalam Tubuh

    Kemarin pagi kira-kira pukul 07.00 ketika kereta Parahyangan Bandung - Jakarta yang saya naiki memasuki kota Bekasi, gak jelas Kotamadya atau Kabupaten, dari balik jendela saya lihat lampu-lampu di Jalan masih menyala.

    Bayangkan !... lampu Jalan raya di Bekasi, kota yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan dan informasi Jakarta, sampai pukul 07.00 masih menyala. Padahal saat ini orang sedang ribut tentang krisis listrik sehingga harus ada pemadaman bergilir. Lampu jalan raya yang memiliki watt cukup tinggi masih menyala sampai jam 07.00 masih menyala, apa ini bukan pemborosan listrik?padahal saat ini orang-orang lagi ribut dengan kebijakan SKB yang ditandatangani 5 mentri tentang penghematan listrik di dunia Industri.

    Gara-gara SKB 5 mentri ini, tidak hanya para mentri saja yang menjadi bulan-bulanan parlemen, media dan dunia usaha, para pengusaha pun ngos ngosan karena mesti menghitung ulang jadwal dan biaya produksi sambil membayangkan kerugian yang akan menimpa dirinya diiringi dengan ancaman kemarahan para pekerja nya.

    Hal yang sama juga pastinya juga menimpa para buruh di dunia industri. Mereka terancam kehilangan hari yang sangat berharga bagi mereka. Setelah 5 hari berkutat di ruangan kerja demi menyambung hidup, Sabtu-Minggu adalah waktu mereka menghela nafas dari segala himpitan kehidupan dengan anak dan istri. Sekarang waktu yang sangat menyenangkan itu hilang karena kebijakan penguasa dan logika para kapitalis. Sabtu-Minggu adalah waktu psychologis yang sangat berharga setelah 5 hari berkutat dengan dunia yang sangat materialistik
    Hidupnya lampu jalan di Bekasi sampai jam 07.00 bukan hanya persoalan menghambur hamburkan energi disaat kita sedang mengalami krisis energi, melanggar aturan yang sudah dibuat penguasa, tetapi ini juga masalah tindakan yang menyakitkan terhadap banyak orang yang sedang mengalami krisis material dan psychologis akibat krisis listrik. Bila ada hukum yang bisa diatur secara instant dalam hitungan jam, maka mesti ada aturan untuk menindak prilaku tidak bertanggung jawab orang-orang yang tidak mematikan lampu tersebut.

    Saya tidak tahu pasti siapa yang bertanggung jawab untuk mematikan lampu jalan tersebut, tetapi pastinya hal ini berada dibawah koordinasi Pemerintah Daerah dengan pelaksananya Dinas tata kota. Minimal ini logika sederhana yang ada di kepala saya. Yang bertanggung jawab adalah birokrasi

    Dan inilah birokrasi kita. Birokrasi kita itu seperti cacing pita dalam tubuh. Cacing yang menghabiskan asupan makanan, berapapun banyaknya makanan yang kita masukan, dan melemahkan gerak kita. Tubuh yang mengandung cacing pita akan sangat sulit untuk bergerak gesit

    Seberapapun besar RAPBN kita untuk negeri ini, tidak akan pernah bisa dinikmati oleh masyarakat luas karena habis terserap oleh para birokrat yang korup. Birokrat yang menjadi urat nadi menjalankan program-program RAPBN tidak lebih seperti cacing pita, mengkorup anggaran tersebut sedemikian rupa sehingga hanya sedikit yang bisa dinikmati oleh masyarakat para pembayar pajak

    Bagaimanapun hebatnya para pemimpin kita, revolusionernya kebijakan yang mereka telorkan, lincahnya pegerakan mereka, ketika birokrasi kita seperti ini, pemimpin dan kebijakan itu tidak akan pernah berarti apa-apa. Pemerintah tidak akan pernah bisa bergerak cepat mengeksekusi semua kebijakan revolusioner itu karena birokrasi kita berisi top manager yang miskin visi dan kreasi dan pelaku tekhnis lapangan yang minim skill

    Jadi kalo Slank bilang Birokrasi itu kompleks, aktivis LSM dan para pengusaha bilang birokrasi itu busuk maka menurut saya birokrasi itu Cacing Pita. Memakan banyak energi yang kita kumpulkan dan melemahkan gerakan.

    Ada beberapa hal yang bisa dilakukan menyikapi kondisi birokrasi kita sekarang ini.

    Pertama Evaluasi sistem yang ada meliputi sistem pengawasan, remunerasi, pola kerja dan pola funishment dan reward PNS kita. Evaluasi yang ada harus sampai pada sebuah rumusan menghasilkan sebuah rumusan sistem yang bisa menempatkan birorasi sebagai tempat nyaman membangun karir, menyemai prestasi dan membangun pride sebagai seorang PNS

    Kedua Monitoring ketat terhadap para pimpinan. Penyimpangan yang dilakukan mesti berujung kepada pemecatan. Hal ini selain untuk memperlancar proses regenerasi di tubuh birokrasi dengan orang-orang yang lebih segar, juga untuk menempatkan kembali aturan sebagai patokan dasar bagi setiap orang

    Ketiga pensiun dini kepada para pekerja kelas middle ke bawah yang underperform. Semuanya diganti oleh generasi PNS baru tahun 2000an yang banyak masuk birokrasi tetapi tidak teroptimalkan secara maksimal. PNS yang dipensiunkan, dengan dana pensiun yang besar, diarahkan untuk lebih mengoptimalkan aktivitas ekonomi sektor informal sehingga bisa produktif
    Problem dari pelaksanaannya pasti terbentur masalah dana. Dana APBN kita tidak cukup memberi perhatian kepada program reformasi birokrasi karena banyaknya sektor lain yang juga sama pentingnya. Tetapi pada dasarnya, dengan asumsi leadership yang mempunyai komitmen dan pemerintahan yang kuat, mengusahakan dana trilyunan rupiah untuk hal ini bisa diusahakan.
    Contoh terdekat adalah kemauan politik untuk mengevaluasi kembali kebijakan SKL (Surat Keterangan Lunas) bagi para obligor BLBI. Dibutuhkan kebijakan tangan besi untuk mengambil dana para obligor BLBI yang terbukti sudah mengambil begitu banyak dana masyarakat. Hal ini dilanjutkan dengan usaha pemberantasan korupsi yang intensif dan massif yang akan bisa mengembalikan trilyunan uang negara. Tidak terlupa adalah re-evaluasi terhadap kontrak karya dengan para kapitalis pengelola sumberdaya alam kita. Porsi terbesar mesti lah untuk masyarakat Indonesia. Bila hal ini tidak bisa terpenuhi oleh mereka, maka membiarkan lebih baik daripada mengelola tetapi tanpa hasil
    Tentunya usaha ini hanya bisa berhasil melalui strong leadership yang mempunyai komitmen moral, kebangsaan dan visi jauh kedepan dalam membangun negeri ini

    Jakarta, 23 Juli 2008

    READ MORE - Birokrasi Kita Kayak Cacing Pita dalam Tubuh

    Friday 18 July 2008

    The Next Leaders

    Beberapa hari yang lalu saya menghadiri acara launching produk TV kerjasama antara Universitas Paramadina Mulya dan Metro TV. Namanya acaranya The Next Leaders. Informasi lengkapnya bisa dilihat di www.metrotvnews.com/leaders atau di www.thenextleaders.org

    Sebuah usaha acara mencari bibit baru pemimpin masa depan yang dipadukan dengan pola acara reality show sebagaimana yang sedang marak di TV. Lahir dari sebuah keresahan melihat perkembangan Indonesia yang dikuasai kaum tua yang lamban, korup dan tidak mempunyai visi tentang Indonesia masa depan.

    Bahwasannya acara ini tidak akan berpola seperti Indoensian Idol atau reality show lainnya saya percaya itu. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari komitmen yang dibangun dan para pemberi komitmennya. Hanya saja saya khawatir bila acara ini mereduksi makna Leaders sebagai komunitas orang-orang unggul yang memimpin di dunia politik. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari komposisi orang yang diundang dan thema pembicaraan di acara launching

    Pembicara pada launching itu terdiri dari enam orang laki-laki yang masih muda. Arya Bima sebagai direktur The Lead Institute Universitas Paramadina Mulya, yang menjadi prakarsa acara ini, Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina Mulya, Ray Rangkuti, Aktivis Politik yang sedang melejit, Ketua Gema Keadilan dan Anggota DPR RI, Rama Pramatama, Ketua Barisan Muda PAN, Rizki Shadig, Ketua Taruna Merah Putih DPP PDIP dan Anggota DPR RI, Maruarar Sirait.

    Sebetulnya bila dilihat lebih detail, praktis yang menjadi pembicara itu hanya empat orang saja dan itu datangnya dari ranah politik. Anies Baswedan meskipun seorang akademisi dalam konteks ini dengan Arya Bima saya pikir hanya sebagai tuan rumah saja. Yang lainnya itulah yang kemudian menimbulkan kesan kemana arah dari program ini mau dibuat

    Thema pembicaraan pun berputar masalah politik. Dari mulai isu hak angket BBM, sistem politik Indonesia yang carut marut, kesempatan kaum muda di ranah politik yang tidak terfasilitasi, kaum tua yang tidak bervisi dsb.

    Tidak ada yang salah dengan itu, tetapi bila makna leaders terletak pada ranah politik saya pikir ini menjadi sebuah persoalan serius. Apalagi bila dirunut lebih jauh, bila produk dari acara ini mesti duduk di parlemen atau di eksekutif.

    Permasalahan Indonesia begitu kompleks. Bahwasannya Indonesia sedang dipenuhi oleh para politisi busuk dan birokrat yang korup itu benar. Tetapi jangan lupakan bahwa pada Indonesia juga disesaki oleh orang-orang yang mengaku dirinya sebagai pengusaha tetapi tidak pernah bekerja keras. Orang-orang yang mengumpulkan kekayaan berbekal lobby kasak-kusuk bukan kerja keras dan kerja cerdas. Indonesia miskin leaders di bidang enterpreneurship dimana setidaknya kita membutuhkan 20 persen enterpreneur baru. Data terakhir itu saya dengar di sebuah talkshow TV.

    Bila dirunut lebih lanjut, Indonesia tidak hanya membutuhkan leaders pada ranah politik dan ekonomi, tetapi juga ranah sosial budaya. Kita membutuhkan pemimpin muda nan progresif untuk menggeser orang tua seperti Nurdin Khalid yang tidak tahu diri untuk memimpin PSSI. Kita juga membutuhkan anak-anak muda yang mewarisi bakat dan idealisme seorang Dedy Mizwar dan Garin Nugroho yang mengeksplorasi seni sebagai sebuah sarana mencerdaskan dan memanusiakan manusia. Tidak terlupa kita membutuhkan anak muda yang bisa mewarisi bakat seorang wimar yang bisa menghadirkan tontotan alternatif ditengah gemuruh talkshow yang tidak jelas juntrungannya selain rating

    Semoga saja ikhtiar Paramadina tidak akan mereduksi makna sebuah leaders.

    Jakarta, 18 Juli 2008

    READ MORE - The Next Leaders

    Al Fathihah dan Shalawat untuk Galura

    Beberapa hari yang lalu saya ngobrol seorang ibu yang berumur kira-kira 50an tahun. Si Ibu singgah ke ruangan di kantor saya untuk ikut memakai internet karena internet di ruangannya sedang macet.

    Seperti biasa, si ibu yang ramah memulai membuka pembicaraan antara kamu. Sebuah keramahan yang merupakan gabungan dari sikap dasar ramah dan etika bertamu si Ibu. Tema obrolan pun merambah kesana kemari sampai pada akhirnya si Ibu bertanya tentang anak.

    Saya bilang kalo saya baru menjadi bapak 2 minggu yang lalu. Anak saya lelaki, lahir dengan operasi bedah ceasar dan Alhamdulillah Ibu dan anak selamat dan sehat. Bahwasannya silaturahim itu membawa berkah itu ternyata memang benar.

    Semula ibu tadi, mungkin karena dia orang Jawa, mengingatkan saya untuk mengingat hari lahirnya anak saya lebih detail. Yang dimaksud hari lahir lebih detail merujuk kepada kebiasaan Jawa apakah dia Selasa wage, pon dll. Saya kurang faham untuk masalah itu. Tetapi menurut Ibu tadi, pengetahuan kita secara detail tentang hari kelahiran menjadi sangat penting karena hal itu akan membimbing kita untuk melakukan amalan-amalan keagamaan supaya anak tadi selamat dunia dan akhirat.

    Mungkin karena saya bukan orang Jawa dan tidak begitu faham tentang hari detail tadi, maka tema ini tidak terlalu menarik dan menggugah saya. Meskipun si Ibu tadi menerangkan lebih lanjut amalan apa saja yang mesti dilakukan bila anak kita, misalnya, lahir pada Selasa wage. Semuanya menurut si Ibu tadi supaya anak tadi di dunia mendapat rizki yang halal dan di akhirat nanti semua amalannya diterima oleh Allah. Orang tua waras mana yang tidak ingin anaknya seperti itu?

    Yang cukup menarik bagi saya adalah ketika si Ibu tadi menyarankan saya untuk membacakan alFathihah dan Shalawat Nabi sebanyak 17 kali di ubun-ubun anak itu disetiap selesai shalat shubuh. Menurut si Ibu setiap bayi itu mempunyai malaikat penjaga. Shalawat dan Al Fathihah tadi adalah energi bagi sang penjaga anak tadi.

    Penjelesan dari ibu ini mengingatkan saya kepada obrolan dengan istri saya beberapa bulan sebelumnya dan salah seorang teman saya waktu mahasiswa dulu. Sebelumnya istri saya sempat mengatakan kalo setiap bayi itu sampai umur dua tahun mempunyai seorang malaikat penjaga. Menurut istri saya bila seorang bayi terlihat sedang senyum ketika dia tidur, saat itu sang bayi sedang diajak bermain oleh malaikat penjaganya.

    Adapun Waktu mahasiswa saya sempat berdialog dengan salah seorang teman akrab mahasiswa NU yang mendalami filsafat meskipun kuliahnya di Hubungan Internasional FISIP Unpad. Menurut temen saya tadi kebanyakan orang kampung selalu membakar kemenyan di rumah baru yang akan dihuni atau pojok-pojok ruangan sebuah rumah, biasanya yang kotor dan jarang dipakai, karena kemenyan itu makanan para "penghuni" ruangan tadi. Makanan itu menjadi semacam "bingkisan" bagi para penghuni tadi sehingga dia menjadi lunak dan tidak mengganggu. Detailnya saya lupa, tetapi secara garis besar kira-kira penjelasannya seperti itu

    Kembali ke Ibu tadi. Siapa sih yang tidak ingin anaknya hidup dijaga oleh para malaikat?Hidup terhindar dari segala marabahaya, dilimpah rizki yang halal serta terhindar dari perangkap hidup yang akan membawanya kepada kegelapan.

    Membaca alfathihah dan shalawat mungkin sesuatu yang tidak rasional. Saya yakin pendapat ini tidak hanya bagi orang barat saja, tetapi bahkan bagi para muslim itu sendiri. Tetapi saya sudah menyatakan diri bahwa kehidupan ini tidak hanya bisa dimaknai secara dzahir. Spiritualitas adalah diantara cara kehidupan yang mesti kita lakukan untuk keselamatan kita di dunia ini. Shalawat, takbir, tahmid, dzikir adalah diantaranya. Terlebih saya pernah diingatkan sebuah hadits, yang saya lupa redaksinya, ketika di pesantren dahulu. Bahwa sebuah hadits yang dhaif bisa menjadi rujukan bila hal itu merujuk kepada ajakan untuk memperbanyak amal.

    Selanjutnya saya dihadapkan dengan pertanyaan dengan jarak geographis antara saya dengan anak saya. Istri dan anak saya di Bandung sedangkan saya sedang di Jakarta untuk memenuhi kehidupan kami. Tetapi, sekali lagi, saya tidak terlalu positivistis dalam memaknai hidup saya. Bukankah anak saya itu merupakan bagian dari diri saya sendiri?dia ada dalam diri saya. Maka yang saya lakukan adalah membaca alfathihah dan shalawat itu sebanyak 17 kali sambil membayangkan wajah anak saya dengan maksud sebagai bentuk "kiriman" dari saya

    Bagi anda yang sangat mempercayai dunia ini sangat rasional dan linier saya sarankan untuk tidak mengikuti langkah saya. Membaca shalawat dan alfathihah bagi anak saya, yang berjauhan kota, dengan keyakinan akan menyelematkannya di dunia.

    Tetapi saya ingin mengingatkan juga bahwa orang barat yang katanya rasional pun sekarang sedang berbondong-bondong mencari kearifan timur yang ternyata dalam banyak hal tidak bisa dimengerti bila memakai penjelasan filsafat barat.

    Jakarta, 17 Juli 2008
    READ MORE - Al Fathihah dan Shalawat untuk Galura

    Thursday 17 July 2008

    Politik Santun Mohammad Natsir

    MOHAMMAD Natsir seakan ber­asal dari negeri yang jauh. Sebuah negeri tempat politikus berjuang sungguh-sungguh demi rakyat yang diwakilinya. Mereka memegang te­guh ideologi partai masing-masing. Beradu argumen dengan ganas, tapi tetap dengan tutur kata sopan, dan sesudahnya mereka bercakap hangat dengan lawan politiknya sambil meneguk secangkir kopi di saat rihat. Mereka berperang kata, tapi seketika saling berpegangan tangan saat menghadapi penjajah Belanda.

    Indonesia di awal kemerdekaan, ketika Mohammad Natsir berkecimpung menjadi politikus dari Partai Masyumi, bukanlah negeri khayalan. Ketika itu beda pendapat dan pandangan sudah biasa. Para politikus tak merasa perlu memamerkan kekayaan kepada publik. Bahkan sebaliknya, mereka cukup bersahaja.

    Sebagai Menteri Penerangan, Natsir tak malu mengenakan kemeja kusam dan jas bertambal. Ketika menjadi Ketua Fraksi Masyumi, dia menampik hadiah sebuah mobil Chevrolet Impala yang tergolong mewah dari seorang pengusaha. Ia menolak dengan cara halus agar si pemberi tak merasa kehilangan muka. Padahal di rumahnya yang sederhana hanya ada sebuah mobil DeSoto rom­beng. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” begitu nasihat yang disampaikannya kepada istri dan anak-anak.

    Di awal kemerdekaan itu sebuah negara baru sedang bangkit. Para politikus berkhidmat sekuat-kuatnya untuk Tanah Air. Mereka patriot-pejuang, beberapa di antara­nya pernah mendekam di bui atau menjalani pembuangan di tempat terpencil di masa penjajahan Belanda. Mereka meng­hidupkan politik, bukan mencari hidup dari politik. Ten­tu saja di masa itu ada beberapa politikus yang berpe­rilaku miring, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

    Maka tak salah bila Daniel Lev (almarhum), seorang In­donesianis kenamaan, berkali-kali mengingatkan ge­ne­ra­si muda Indonesia. Bila ingin mempelajari sema­ngat berde­mokrasi serta kehidupan politikus yang bersih dan bersahaja, tak perlu menoleh jauh-jauh ke Eropa atau Ame­rika. “Pelajari saja masa demokrasi pada 1950-an,” katanya suatu kali.

    Politik santun itu perlu dikembalikan ke zaman ini, le­bih dari 60 tahun setelah Indonesia merdeka. Terutama ketika dunia politik terasa pengap oleh skandal beruntun. Sejumlah politikus melakukan korupsi berkawanan, meminta imbalan materi atas aturan hukum yang mereka buat, ada yang terlibat kejahatan seksual.

    Anggota Dewan Perwakilan Rakyat membuat pelatar­an kantornya bak ruang pamer mobil mewah dengan mengen­darai kendaraan luar biasa mahal­ justru di saat kebanyakan rakyat hidup miskin. Mereka berlomba mengejar popularitas demi mendaki tangga karier politik sendiri, sesuatu yang jauh dari kepentingan rakyat pemilihnya. Santun, bersahaja, dan semangat berkhidmat menjadi barang langka. Begitu jauh jarak yang terbentang antara para politikus dan rakyat yang diwakili­nya.

    Sejauh ini minim sekali teguran dari partai politik kepada anggotanya yang berperilaku rendah. Hampir tak ada partai yang menggariskan pedoman jelas kepada anggotanya untuk bertingkah laku sesuai dengan keadaan mayoritas rakyat. Surat teguran dan recalling, dalam sejarah Dewan, hanya akan terbit justru bila terjadi perbedaan pendapat antara anggota dan pemimpin partainya.

    Barangkali sistem perwakilan politik perlu diperbaiki total. Perlu sebuah sistem dengan aturan jelas yang membuat para politikus terikat dan sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi rakyat. Mungkin Indonesia tak bisa lagi membayangkan para politikus akan berperilaku santun dan bersahaja seperti Natsir dan kawan-kawan di masa lalu. Tapi dengan perbaikan sistem, mungkin keadaan baik itu bisa ditiru.

    Nasib negara seyogianya memang tak diserahkan kepada kebajikan orang per orang, tapi pada sistem yang baik. Saat ini segemas apa pun masyarakat pemilih terhadap perilaku para wakilnya, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak punya kekuatan untuk segera menghukum para politikus lancung itu.

    Salah satu usul perbaikan sistem politik itu adalah mempersingkat masa tugas anggota Dewan—seperti dilontarkan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan. Masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya tiga tahun saja, bukan lima tahun seperti sekarang. Dengan masa jabatan yang pendek, konstituen bisa lebih cepat menghukum wakil pilihannya bila menyeleweng. Mereka yang berprestasi bisa dipilih kembali, yang kerang-keroh tak akan dipilih lagi.

    Sistem seperti itu akan membuat demokrasi berpihak dan melayani seluruh rakyat. Para aktor politik di dalamnya tetap boleh mengejar kepentingan pribadi, kelompok, atau partainya, tapi dengan cara yang menguntungkan publik.

    Dengan sistem yang diperbaiki itu, bukan mustahil perilaku santun, bersih, bersahaja akan kembali mewarnai panggung politik negeri. Siapa tahu kelak kita akan bertemu dengan politikus yang sekaliber atau malah le­bih baik daripada seorang Mohammad Natsir.

    Majalah Tempo
    Edisi. 21/XXXVII/14 - 20 Juli 2008
    READ MORE - Politik Santun Mohammad Natsir

    Wednesday 16 July 2008

    Sisi Nasionalis Natsir

    Rabu, 16 Juli 2008

    Oleh Yudi Latif

    Ada saatnya kepentingan dan ideologi sektoral berhenti ketika kepentingan nasional yang lebih besar harus dimulai.

    Dalam mosi integralnya di depan parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Natsir berkata, ”Hanya dengan mengambil inisiatif kembali, yang telah dilepaskan oleh pemerintah selama ini, dapat diharapkan bahwa pemerintah terlepas dari posisi defensifnya seperti sekarang. Dengan begitu mungkin timbul satu iklim pikiran yang lebih segar, yang akan dapat melahirkan elan nasional yang baharu, bebas dari bekas persengketaan-persengketaan yang lama, elan dan gembira membanting tenaga yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan untuk pembangunan negara kita ini. Semuanya itu diliputi suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarisme, federalisme, dan proporsionalisme.”

    Dalam ”Mosi Integral Natsir” ini, jalan keluar dari Negara RIS menuju NKRI ditempuh dengan mengajak semua pihak agar tidak menyinggung masalah federalisme atau unitarisme demi kepentingan nasional yang jangkauannya lebih jauh. Natsir menyerukan agar tak memaksa negara-negara bagian membubarkan diri, mengingat kedudukannya yang setara dengan Republik berdasarkan Konstitusi RIS. Solusinya adalah mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam Republik.
    Kepentingan bangsa

    Dalam menggagas mosi ini, Natsir sebagai pemimpin partai terbesar, Masjumi, terlebih dulu melakukan penjajakan. Di Negara Pasundan, ia menemui Sekarmadji Kartosuwirjo agar tidak memproklamasikan Darul Islam. Di parlemen ia berunding dengan IJ Kasimo dari Partai Katolik, AM Tambunan dari Partai Kristen, dan Mr Hardi dari PNI.

    Hal ini membuktikan manusia selalu lebih kaya daripada suatu kategori. Ketika suatu kategori dipaksakan untuk merepresentasikan seseorang, selalu ada luberan yang tak tertampung oleh kategori itu. Terlebih jika seseorang itu manusia besar, yang selalu lebih besar dari diri sendiri. Seorang Natsir, yang dikategorikan sebagai figur ”Islamis”, yang secara stereotip dihadapkan dengan ”nasionalis”, dalam momen-momen kritis yang mengancam kelangsungan bangsa, lebih mengedepankan kepentingan nasional ketimbang kepentingan dan ideologi partainya.

    Pengalaman traumatik pencoretan Piagam Jakarta segera dilupakan ketika panggilan revolusi harus diutamakan. Natsir berkata, ”Di Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan, saya adalah salah satu di antara menteri yang memiliki hubungan paling dekat dengan Soekarno.... Polemik-polemik yang tajam di antara kami pada tahun 1930-an mengenai dasar negara Indonesia merdeka telah terlupakan.”

    Ditunjuk menjadi perdana menteri pada September 1950, sebagai bentuk penghargaan atas mosinya yang elegan, Natsir tak sungkan membentuk kabinet koalisi, melibatkan unsur-unsur non-Muslim dan nasionalis—Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, PSI, dan PIR.

    Selama lima tahun (1950-1955) dominasi Muslim dalam kepemimpinan politik nasional, partai-partai Islam menjunjung tinggi prinsip demokrasi sambil menidurkan obsesinya terhadap politik identitas.

    Sebagai perdana menteri, Natsir menentang keras pemberontakan Darul Islam. Dia percaya konsep negara Islam merupakan suatu yang ideal, yang tidak bisa diraih melalui kekerasan. Saat yang sama, dia menegaskan, kaum Muslim harus memperjuangkan tata politik yang demokratis. ”Sejauh terkait (pilihan) kaum Muslim, demokrasilah yang diutamakan karena Islam hanya bisa berkembang dalam sistem yang demokratis.”

    Ketika Masjumi berkuasa, Natsir tak ragu mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam pidato di Pakistan Institute of World Affairs, 1952, ia membela Pancasila yang dinilai selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama, lima sila itu dipandang menjadi dasar etika, moral, dan spiritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid.

    Hal serupa ia utarakan pada peringatan Nuzulul Quran, 1954: ”Rumusan Pancasila merupakan hasil pertimbangan yang mendalam di kalangan pemimpin nasional selama puncak perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Saya percaya dalam momen yang menentukan semacam itu, para pemimpin nasional yang sebagian besar beragama Islam tidak akan menyetujui setiap rumusan yang dalam pandangan mereka bertentangan dengan prinsip dan doktrin Islam.”

    Klaim-klaim keislaman atas politik Indonesia dihidupkan kembali oleh partai Islam selama dan setelah kampanye Pemilu 1955. Dalam menghadapi persaingan politik yang sengit, terutama dengan kebangkitan kembali komunisme, politik identitas diaktifkan kembali dalam rangka memobilisasi dukungan.

    Meski persidangan Konstituante berhasil menyepakati semua pasal yang bersifat substantif, ia gagal mencapai kompromi menyangkut dasar negara. Terhadap semua pasal yang telah disepakati itu, ”Kubu Islam” ingin menutupnya dengan mencantumkan Islam sebagai dasar negara. Sedangkan ”Kubu Pancasila” ingin menutupnya dengan dasar Pancasila.

    Prawoto Mangkusasmito menyebut kedua kubu itu sebagai ”kubu Pancasila” versus ”kubu non/anti-Pancasila” sebenarnya tidak tepat. Menurut dia, kubu Islam pun sebenarnya setuju dengan seluruh sila Pancasila. Masalahnya cuma ingin mempertahankan ”tujuh kata” Piagam Jakarta setelah frase ”Ketuhanan yang Maha Esa”. Bagi kubu Islam, hal ini penting untuk memberi tanda bahwa Islam yang sepanjang masa kolonial terus dimarjinalkan mendapat tempat yang layak dalam Indonesia merdeka. Hal ini menjadi lebih penting dihadapkan ancaman PKI yang bermaksud mengubah sila pertama menjadi sila kebebasan beragama/tidak beragama.

    Alhasil, tuntutan terhadap negara Islam, termasuk Piagam Jakarta, bukan sesuatu yang esensial yang tak bisa dipengaruhi perubahan ”cuaca”, tetapi ditentukan oleh struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang ada. Terbukti, antara tahun 1950 hingga awal 1955—saat politik Islam berkuasa—tuntutan ke arah itu mereda. Sebaliknya, ketika politik Islam goyah selepas Pemilu 1955, isu negara Islam dan Piagam Jakarta kembali hidup.

    Kini, saat struktur kesempatan politik memberi keluasan bagi pengembangan Islam, bahkan partai-partai nasionalis pun mengakomodasi aktivis dan sayap Islam, obsesi terhadap politik identitas sebenarnya bersifat anakronistik. Ketika kehidupan nasional dilanda krisis berkepanjangan, saatnya aktivis Islam meniru keteladanan Natsir: mencurahkan perhatian pada hal-hal substantif demi kepentingan nasional yang lebih luas ketimbang kepentingan golongan dan perseorangan.

    Dalam peringatan 100 tahun Natsir, semoga kebesaran jiwanya menyirami jiwa para pemimpin yang kerdil.

    Yudi Latif
    Dewan Ahli Nurcholish Madjid Society;
    Direktur Eksekutif Reform Institute
    READ MORE - Sisi Nasionalis Natsir

    Wednesday 9 July 2008

    Kegelisahan Tamansiswa

    Rabu, 9 Juli 2008

    Darmaningtyas

    Perguruan Tamansiswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara –sebelumnya bernama RM Suwardi Suryaningrat—tanggal 3 Juli 1922 merupakan institusi pendidikan di negeri ini yang berkontribusi besar terhadap perwujudan kemerdekaan RI. Perguruan itu bukan hanya sebagai institusi pendidikan belaka, tetapi juga media perjuangan kemerdekaan.

    Ki Hadjar Dewantara adalah anggota tiga serangkai yang bersama Douwes Dekker dan Cipta Mangunkusuma mendirikan Indische Partij, organisasi politik pertama di Indonesia. Karena pendiriannya yang tegas menentang penjajahan Belanda, ia dibuang ke Bangka dan kemudian ke negeri Belanda (1915-1919).

    Sekolah pertama yang didirikan adalah taman indria (taman kanak-kanak) dan kursus guru, kemudian diikuti dengan pendirian taman muda (SD), dan taman dewasa (SMP merangkap taman guru). Setelah itu, diikuti dengan pendirian taman madya (SMA), taman guru (SPG), prasarjana, dan sarjana wiyata (YB Suparlan, 1981). Dalam waktu delapan tahun Perguruan Tamansiswa telah berkembang menjadi 52 tempat.

    Perkembangannya yang pesat itu menimbulkan kekhawatiran pada Pemerintah Belanda sehingga dikeluarkanlah Undang-Undang Sekolah Liar (Onderiwijs Ondonantie/OO), 1932. Undang-undang itu melarang sekolah partikelir (swasta) beroperasi bila tanpa izin dari pemerintah, harus menggunakan kurikulum dari pemerintah dan gurunya harus tamatan dari sekolah guru pemerintah. Bila OO itu dilaksanakan, Perguruan Tamansiswa akan tutup karena sebagai sekolah swasta kebangsaan, Taman- siswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong dari sekolah guru sendiri.

    Menghadapi tekanan itu, Ki Hadjar Dewantara melawan dengan dua cara. Secara internal, ia menyerukan kepada semua pemimpin Tamansiswa dan Wanita Tamansiswa untuk melawan OO 1932 dengan tetap terus menjalankan sekolah. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh mengajar karena tidak berijazah guru pemerintah secepatnya diganti dengan pamong lain dengan semboyan ”ditangkap satu diganti seribu”.

    Secara eksternal, ia mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor yang menyatakan akan mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan cara tenaga diam (Lijdelik Verset). Perjuangan yang gigih itu membuahkan hasil karena pada tahun 1934 Onderwijs Ondonantie dicabut. Perguruan Tamansiswa dan sekolah swasta lainnya selamat dari kematiannya. Tahun 1936, Tamansiswa memiliki 161 cabang, 1.037 kelas, 11.235 murid, dan 602 guru.

    Dituduh berbau komunis

    Pendirian Perguruan Tamansiswa yang berasaskan tujuh, yaitu kemerdekaan, metode among, berperadaban bangsa sendiri, pemerataan pendidikan, mandiri, sederhana dan makarya, serta dengan suci hati dan tidak mengharap sesuatu hak berkehendak berhamba kepada sang anak, menyebabkan Ki Hadjar Dewantara menghadapi kritikan pedas dari pemerintah penjajah yang menuduh berbau komunis karena kerakyatannya. Akan tetapi, ia juga memperoleh dukungan dari kaum nasionalis/republiken (Ki Soenarno Hadiwijoyo, 2007).

    Pascakemerdekaan, semangat juang Tamansiswa itu terakomodasi dalam semangat berbangsa dan bernegara. Ki Hadjar Dewantara adalah seorang peletak dasar sistem pendidikan nasional. Beberapa Menteri Pendidikan berasal dari Tamansiswa. Banyak tokoh, baik di pemerintahan maupun seniman, lahir dari lingkungan Tamansiswa. Semangat Tamansiswa tecermin dalam rumusan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Pokok-Pokok Pengajaran di Sekolah yang menjunjung tinggi kebangsaan.

    Namun, sesuai dengan perkembangan zaman, Perguruan Tamansiswa makin surut dari panggung sejarah. Sekarang, Perguruan Tamansiswa hanya memiliki: 129 cabang , dengan 85.115 murid, dan 5.500 guru. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang banyak, kondisi Tamansiswa sekarang mengalami kemunduran jauh bila dibandingkan tahun 1936.

    Sekolah-sekolah Tamansiswa sekarang menjadi pilihan terakhir bagi masyarakat setelah tidak diterima di sekolah negeri maupun swasta lainnya, dengan gedungnya yang kumal. Tidak ada tokoh baru yang muncul dari Perguruan Tamansiswa. Secara politis, tidak diperhitungkan lagi, terbukti tidak ada presiden pasca- Orde Baru yang datang ke Tamansiswa untuk mencari legitimasi.

    Korban politik

    Titik awal kemunduran Perguruan Tamansiswa dimulai sejak peristiwa politik 1965–1966 yang menyebabkan sejumlah orang kritis ditangkap, termasuk para pamong Tamansiswa di cabang-cabang. Para pamong yang tersisa atau penggantinya lebih memilih diam, tidak kritis demi menjaga keselamatan perguruan. Namun, sikap diam mereka itu justru merugikan Tamansiswa sendiri karena sejak itu suara Tamansiswa tidak lagi diperhitungkan oleh publik. Kondisi itu berlanjut hingga sekarang.

    Kebijakan Orde Baru mendirikan SD Inpres secara masif di semua daerah turut memundurkan peran Perguruan Tamansiswa. Beberapa SD Tamansiswa yang berdekatan dengan SD Inpres tutup. Demikian pula kecenderungan masyarakat untuk memilih sekolah sesuai dengan agama yang dianutnya, berkontribusi pada tidak lakunya sekolah di lingkungan Tamansiswa karena muncul wacana bahwa sekolah di Tamansiswa itu sekuler. Pada masa Ki Hadjar Dewantara dulu, di Tamansiswa memang tidak diajarkan pendidikan agama, melainkan budi pekerti. Bagi insan Tamansiswa, hantaman dari pemerintah kolonial ternyata lebih mudah dihadapi daripada tantangan dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia sendiri.

    Reformasi politik (1998) ternyata tidak membawa dampak perbaikan bagi Perguruan Tamansiswa. Sebaliknya, kebijakan pendidikan nasional makin jauh dari ajaran Tamansiswa, seperti tecermin dalam UU Sis- diknas yang tidak memiliki roh kebangsaan. RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (RPP PPP) yang sangat kapitalistik juga ditolak Majelis Luhur Tamansiswa karena keduanya itu bertentangan dengan Dasar Tamansiswa (Panca Dharma), yaitu kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

    Penolakan itu adalah ekspresi dari kegelisahan Tamansiswa terhadap praksis pendidikan menjadi sangat kapitalistik, sektarian, dan melupakan sejarah bangsa.

    Darmaningtyas
    Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta
    READ MORE - Kegelisahan Tamansiswa