Friday, 6 June 2008

Natsir, Dakwah, dan Politik

AM FatwaWakil Ketua MPR RI

Natsir memulai pendidikan formalnya di lembaga pendidikan Barat, HIS, di Padang dan Solok, MULO di Padang, dan AMS Bandung. Kelak dikenal bukan saja sebagai pendiri dan ketua dewan dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), tetapi juga sebagai tokoh Islam internasional sebagai wakil presiden Muktamar Alam Islami yang berpusat di Pakistan dan anggota Majelis Ta’sisi Rabithah Alam Islami yang berpusat di Saudi Arabia.

Natsir juga pernah menjadi Menteri Penerangan RI (1946-1949), Perdana Menteri RI (1950-1951), dan anggota Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI 1958-1960). Pada 1930-an Natsir dikenal sebagai lawan polemik Soekarno di dalam masalah agama dan negara.

Pada usia senjanya, Natsir dikenal sebagai penyuara fasih hati nurani umat. Posisinya yang terakhir itulah yang menyebabkan Natsir dengan sadar turut menandatangani Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50) , mengkritik Presiden Soeharto. Akibatnya, nyaris seluruh hak-hak sipil Natsir dan 49 orang penanda tangan lainnya dibunuh oleh rezim berkuasa. Dengan latar belakang seperti itu, tidak keliru jika dikatakan Natsir adalah contoh seorang tokoh yang telah memadukan dakwah dan politik, dalam teori maupun dalam praktik.

Dakwah dan politikPertanyaannya, bagaimana mungkin memadukan dua hal yang sepintas mengandung kontradiksi itu? Seperti kita tahu, dakwah adalah menyeru, mengajak orang kepada kebaikan, sedangkan politik cenderung lebih banyak berurusan dengan kepentingan.

Pada perbenturan kepentingan, politik cenderung menarik garis batas antara kawan dan lawan walaupun ada adagium di dunia politik: tidak ada kawan atau lawan abadi di dalam politik. Natsir mendamaikan dua dunia yang berbeda itu. Bagi Natsir, kunci bagi keduanya adalah al-akhlaq al-karimah (akhlak mulia). Seorang dai harus memiliki akhlak mulia, seorang politisi harus punya fatsoen politik.

Dengan akhlak mulia, seorang dai akan dapat meresapi isi hati umat dan mampu memberi bimbingan maksimal kepada umat. Dengan fatsoen politik, seorang politisi akan terhalang dari berperilaku menghalalkan segala cara.

Dakwah yang bersih dan politik yang sementara orang mengatakan kotor, bukan sesuatu yang mustahil untuk dipadukan. Dakwah yang bersih makin bermakna jika mampu memberi nilai tambah bagi lingkungannya yang belum bersih sebab objek dakwah yang sesungguhnya bukanlah masjid atau majelis taklim melainkan pasar dan kerumunan di luar masjid dan majelis taklim.

Dakwah yang dilakukan oleh para dai yang berakhlak mulia adalah teraju bagi aktivis dan aktivitas politik. Dengan keyakinan bahwa politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan, bagi Natsir politik adalah pelaksanaan al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyi ‘an al munkar.

Siapa saja yang berbuat baik harus disokong, siapa pun yang berlaku tidak baik harus dikritik. Oleh karena itu sokongan dan kritik bagi Natsir sama harganya.

Tidak silau jabatanKetika pemerintah memerlukan bantuan untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, meski masih di dalam tahanan rezim Soekarno, Natsir tidak segan menulis surat kepada Tengku Abdurrahman untuk menerima delegasi Indonesia. Ketika hak-hak sipilnya masih dibunuh oleh rezim Soeharto, atas inisiatif sendiri, Natsir mengumpulkan tokoh-tokoh Islam untuk mencari solusi ekonomi akibat dibubarkannya IGGI.

Ketika seorang di antara tokoh itu terheran-heran atas prakarsa yang diambil Natsir dan bertanya dalam nada agak curiga, jangan-jangan Natsir mendapat sesuatu dari Soeharto, dengan tenang Natsir menjawab setiap saat pemerintah boleh datang dan pergi, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini harus tetap berdiri kukuh dan utuh.

Fatsoen dalam berpolitik sangat dijaga oleh Natsir. Ketika Partai Masjumi, tempatnya berkiprah, menolak Perjanjian Linggarjati dan menyatakan oposisi dengan menarik kader-kadernya dari Kabinet Sutan Sjahrir, seizin Masjumi, Natsir, Mohamad Roem, H Agus Salim, dan lain-lain sebagai pribadi bertahan di kabinet karena Natsir, Roem, dan Salim, terlibat sejak awal dalam proses perundingan yang menghasilkan Perjanjian Linggarjati itu.

Sebaliknya, karena tidak setuju hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menunda masuknya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, meskipun dibujuk oleh Presiden Soekarno, Natsir memilih mundur dan menolak jabatan Menteri Penerangan. Paduan dakwah dan politik menyebabkan Natsir tidak silau oleh jabatan menteri!

Paduan dakwah dan politik juga menyebabkan Natsir dan kawan-kawan sangat mampu menempatkan perbedaan pendapat secara proporsional. Suatu hari di parlemen, Natsir berdebat keras dengan Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), DN Aidit. Saking kerasnya perdebatan, mau rasanya Natsir menghantamkan kursi ke Aidit. Akan tetapi, saat rehat justru Aidit membawakan secangkir kopi untuk Natsir dan pembicaraan pun berlangsung hangat mengenai soal-soal keluarga.

Di tangan seorang Natsir yang memulai pendidikannya dari sekolah Belanda, dakwah dan politik dapat dirukunkan. Seperti kata Natsir, politik tanpa dakwah, hancur. Pada masa pancaroba reformasi seperti sekarang ini, banyak pelajaran berharga yang dapat kita tarik dari Natsir.

Republika
Jumat, 06 Juni 2008
READ MORE - Natsir, Dakwah, dan Politik

Thursday, 5 June 2008

Hilangnya Sang Negosiator

Edwi Nugrohadi
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi,
Bidang Minat Psikologi Sosial,
UGM, Yogyakarta

Setelah tragedi di Jakarta dan Makassar akibat polisi menyerbu kampus dengan maksud mengejar para demonstran yang anarkis, kritik tajam bermunculan. Profesionalisme polisi sebagai penjaga ketertiban digugat karena bertindak melewati batas.

Kesadaran bahwa polisi juga bagian dari warga masyarakat yang terkena dampak kenaikan BBM tergilas oleh beratnya perjuangan menyalurkan aspirasi. Muncullah stigma semu yang menjustifikasi keberadaan polisi sebagai penjaga yang memuluskan setiap kebijakan pemerintah.

Realitas tersebut akan dapat direduksi manakala polisi memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dengan massa.

Secara psikologis, kekuatan massa terletak dalam proses deindividuasi, di mana eksistensi masing-masing orang menjadi samar. Karena adanya kesamaan kepentingan yang sifatnya sementara dan dikoordinasi dengan cerdas, muncullah mental unity dalam kumpulan tersebut.

Demi kepentingan yang sudah terbangun, pada gilirannya kesatuan mental itu akan memunculkan collective-behavior yang kerap kali tak terbayangkan dan berpotensi mengarah pada tindakan destruktif dan anarkis. Sifat perilakunya menjadi irasional, emosional, sugestif, dan bahkan mampu menembus sekat-sekat moralitas.

Menengok pada perjalanan sejarah, gambaran dan karakteristik massa sebetulnya dapat dicermati karena sejak orde reformasi pengalaman tersebut belum meninggalkan kehidupan bangsa. Atas nama kepentingan, perjuangan menyuarakan aspirasi seolah harus diakhiri dengan terpenuhinya tuntutan.

Hal itu terjadi baik dalam tataran penentu kebijakan maupun akar rumput. Keterbukaan terhadap perspektif yang berbeda tersumbat karena pengalaman eksistensial masing-masing pihak yang menuntut untuk didengarkan dan diberi pemecahan.

Meski secara sinis semuanya itu dapat dikatakan bagian dari proses berdemokrasi, akibat yang lebih parah sebetulnya memiliki potensi untuk dapat dicegah. Caranya dengan mengedepankan proses negosiasi.

Kenyataan di lapangan membeberkan bahwa negosiasi dalam arti yang sesungguhnya tidak terjadi. Saat perwakilan dari masing-masing pihak bertemu dan berdialog, irama yang berkembang lebih pada pemaksaan kehendak dengan asumsi masing-masing. Menjadi amat dimengerti jika simpulannya kemudian adalah silakan berdemonstrasi sejauh tidak menggangu ketertiban.

Secara teoritis negosiasi diyakini sebagai salah satu model nonkekerasan yang dapat dipakai untuk mencegah terjadinya konflik dengan solusi mutual. Hal itu dimungkinkan karena pihak yang saling berhadapan secara bersama, dengan dasar kepentingan masing-masing, menghendaki kondisi yang lebih baik dan menghindari terjadinya konflik terbuka.

Dari perspektif inilah kepercayaan dapat dibangun solusi-solusi alternatif dapat dipikirkan dan disepakati. Ada dua bentuk yang dapat dipilih, masing-masing memiliki karakteristik berbeda, yakni negosiasi distributif dan integratif. Hal yang patut disayangkan adalah bahwa kemampuan melakukan negosiasi sebagai alternatif solusi belum menjadi bagian inheren kehidupan kita.

Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan hal tersebut ada dua pilihan yang dapat diambil.
Pertama adalah memunculkan tokoh negosiator dalam peristiwa demonstrasi. Betul bahwa tidak semua konflik harus diselesaikan melalui negosiasi, tetapi dalam peristiwa demonstrasi, mereka yang melakukan demo adalah bagian dari bangsa ini.

Jalan kekerasan bukanlah pilihan terbaik. Apalagi menyuruh pihak lain (misalnya penerima BLT) untuk memprotes mereka yang demonstrasi menyuarakan kepentingan bersama.
Bandingkan dengan pengalaman negara yang sudah maju dalam berdemokrasi. Manakala berhadapan dengan perbedaan kepentingan, negosiasi adalah pilihan. Langkah itu juga dilakukan secara profesional dengan mengajukan negosiator andal.

Di tangan negosiator andal itulah pemecahan (entah transaksional atau transformasional sifatnya) dipercayakan. Peran negosiator menjadi sangat sentral karena di pundaknya terpikul beban untuk menyelesaikan perbedaan kepentingan dengan solusi mutual.

Keberadaan sang negosiator dihargai dan bahkan dapat menjadi alternatif karier. Dalam hal ini, Indonesia tertinggal. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketiadaan negosiator andal berakhir pada perang urat syaraf yang mengarah ke intervensi fisik.

Salah satu akibatnya pasti kekacauan terjadi di lapangan dan akan dengan cepat menyulut kekerasan. Apalagi jika peristiwanya berlangsung cukup lama. Kepenatan dan kejengkelan mendengarkan luapan amarah yang kemudian dibumbui dengan panasnya terik matahari dengan cepat mampu melegitimasi tindakan anarkis. Banyaknya kerumunan pada saat kejadian berlangsung ibarat bensin yang disiramkan ke api karena memberi ruang bagi individu yang mengalami deindividuasi untuk melakukan perbuatan yang uncontrollable. Potensi itu dapat dikurangi jika negosiator menjalankan tugasnya dengan baik.

Alternatif kedua yang dapat dilakukan adalah membekali polisi dengan kemampuan bernegosiasi. Bentuk pelaksanaannya bisa beragam, tetapi tujuan yang mau dicapai jelas, yakni setiap polisi (tidak pemimpinnya saja) yang berhadapan dengan massa memiliki kemampuan dan keterampilan bernegosiasi.

Program tersebut dapat diimplementasikan dalam studi para calon polisi di semua tingkatan maupun dalam proses on going formation yang sudah dirancang. Jika pelaksanaannya ditempatkan dalam masa belajar, kurikulum yang lebih up to date merupakan sebuah keharusan.

Paradigma negosiasi sebagai soft-skill harus diubah. Negosiasi harus merupakan hard-skill yang wajib dipunyai oleh setiap calon polisi. Keterampilan itu disinergikan dengan keterampilan lain dan dipraktikkan dalam sebuah tugas lapangan dengan pendasaran pemahaman yang memadai.

Dalam kerangka pendidikan lanjut yang berkesinambungan, keterampilan melakukan negosiasi dapat dimasukkan menjadi salah satu materi pokok. Memang tidak mudah melakukan edukasi pada kelompok yang sudah mapan dengan setting-an kerja. Namun, karena mendesaknya, hal itu harus dilakukan.

Keterampilan tersebut tidak dapat diandaikan muncul begitu saja seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman kerja. Rancangan sistemik harus dibuat sehingga skill tersebut inheren dalam diri setiap polisi. Konkretisasinya dapat diwujudkan melalui jalur nonformal (misalkan pelatihan dengan mendatangkan orang yang memang ahli dalam bidang itu).

Belajar dari sejarah Indonesia 10 tahun terakhir, kemampuan dan keterampilan bernegosiasi adalah sebuah keharusan karena para polisilah yang selama ini selalu berhadapan langsung dengan demonstran (massa). Masyarakat sudah berkembang dan banyak yang cerdas sehingga bukan saatnya lagi menghadapi segala persoalan masyarakat yang menggumpal dalam gerakan massa dengan keterampilan fisik atau senjata.

Sisi baik lainnya, keterampilan itu pada gilirannya justru akan mengartikulasikan visi polisi selama ini, yakni mengayomi dan melayani masyarakat.

Ikhtisar
- Tidak pernah ada proses negosiasi yang sesungguhnya di lapangan dari aparat kepolisian dengan pihak yang bersengketa.
- Kemampuan bernegosiasi menjadi keharusan dan perlu dipupuk sejak menjadi calon abdi negara.
READ MORE - Hilangnya Sang Negosiator

Indonesia Bisa, Unas dan Monas

Kamis, 5 Juni 2008 00:39 WIB

Oleh GF Sasmita Aji

Lampu di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, yang menjadi saksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional belum padam sepenuhnya dan pidato Presiden Yudhoyono di televisi, malam sebelumnya, tentang ”Indonesia Bisa” masih terasa getarannya. Namun, semangat kebangkitan ”nasional” ternoda peristiwa Unas dan Monas.

Bagaimana memaknai kata ”nasional” sebagai suatu semiotika budaya (istilah, Benny H Hoed dalam Semiotik dan dan Dinamika Sosial Budaya, 2008) Bangsa Indonesia ini?
Kebangkitan Nasional 1908 adalah awal kesadaran bangsa untuk bertindak terhadap keterpurukan akibat sistem marjinalisasi penjajah. Harga diri (dignity) menjadi target yang harus diperjuangkan dan pendidikan kunci utama meraih cita-cita ini. Sutomo dengan STOVIA-nya bertindak. Tanggal 28 Oktober 1928 menjadi bukti, dignity mampu mengantar pada identitas dasar bangsa, persatuan. Persatuan inilah senjata ampuh mewujudkan eksistensi bangsa ke dunia lewat kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Maka, Indonesia berdiri dan berkiprah. Tahap demi tahap, berbagai kualitas bangsa bermunculan. Peran pentingnya dalam era pascakolonialisme bagi Asia-Afrika menempatkan Indonesia sebagai salah satu ”negara besar” yang layak diperhitungkan. Bahkan, Indonesia menjadi incaran dua kubu dunia yang bersitegang, kapitalis dan komunis. Perjalanan bangsa Indonesia terus ”membubung” hingga muncul julukan ”Macan Asia”.

Sayang, badai krisis mengubah wajah identitas bangsa sehingga sejak awal abad ke-21 Indonesia harus mulai ”mereposisi” identitasnya. Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional menjadi momentum saat Presiden SBY menegaskan cita-cita nyata yang hendak dan sedang dilaksanakan bangsa Indonesia: kemandirian, daya saing, dan peradaban bangsa. Dua kata kunci yang coba didengungkan: ”Indonesia Bisa”.

Prioritas utama

Jika 1908 mencoba membangun identitas bangsa lewat dignity (yakni pendidikan), persatuan, dan kemerdekaan, 100 tahun kemudian kebangkitan 2008 berupaya mereposisi identitas bangsa lewat kemandirian, daya saing, dan peradaban. Upaya yang dicanangkan SBY ini dilandasi konteks sosial yang sifatnya mendunia, yakni krisis ekonomi akibat harga minyak yang tidak terkontrol lagi. Indonesia yang sudah menjadi negara pengimpor minyak terpukul. Maka, dapat dipahami jika cita-cita kemandirian bangsa menjadi prioritas utama wacana Presiden SBY.

Meski demikian, tampak amat kontras cara berpikir ”manusia awal abad ke-20” dan ”manusia awal abad ke-21”. Kebangkitan 1908 mau menjawab keterpurukan bangsa lewat pendidikan karena penjajah memarjinalkannya dengan kebodohan. Sedangkan kebangkitan 2008 lewat kemandirian (baca: keberhasilan ekonomi) karena ”penjajah” (yakni globalisasi) telah memarjinalkan bangsa Indonesia dengan kemiskinan (meski seorang menteri kita justru menjadi orang terkaya di Asia). Untuk ini, kita harus yakin ”Indonesia Bisa”.

Amat menarik, saat pemerintah getol mendengungkan ”Indonesia Bisa”, ada dua peristiwa di tempat yang memiliki kata ”nasional”: Universitas Nasional dan Monumen Nasional. Keduanya pun sama sekali tidak terkait upaya mereposisi identitas nasional yang diprogramkan pemerintah. Keduanya adalah konflik kekerasan dan bagian identitas bangsa yang memang ”dipupuk”.

Penyerbuan polisi ke Unas, yang diprotes keras rektornya, dan penyerbuan laskar KLI/FPI ke Monas, yang dikutuk banyak kalangan, merupakan representasi kegagalan pemerintah dan bangsa Indonesia dalam mendidik elemen masyarakat. Kekerasan, yang merupakan identitas ”manusia (di) hutan”, adalah wujud kegagalan atau ketidakmampuan kerja otak manusia menghadapi dan menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi.

Semiotika

Namun, di balik kegagalan ini ada keprihatinan yang harus diungkap terkait pelaku kekerasan itu. Juga sensitivitas terhadap kebangkitan ”nasional” yang baru dan masih hangat dan pemahaman terhadap semiotika ”nasional”, yang menjadi karakteristik/identitas tempat itu.

Istilah ”Universitas Nasional” memiliki dua kata acuan pemaknaan. Kata ”universitas” menunjuk jenis institusi, yakni pendidikan (tinggi), dan kata ”nasional” bermakna sebagai ”nama” institusi itu. Jadi, dalam konteks ini, kata ”nasional” pada Unas tidak memiliki signified (istilah Saussure), atau konsep mental, yang berarti ”karakteristik” atau ”milik”. Terlebih, Unas adalah institusi swasta sehingga representasi bangsa Indonesia tidak bisa dikaitkan dengan ”nasional” itu.

Maka, semiotika penyerbuan polisi ke tempat ini lebih dikaitkan dengan representasi ”pelecehan” terhadap institusi pendidikan, bukan pada identitas bangsa. Persoalan menjadi amat serius jika Unas adalah institusi pendidikan yang dikelola penuh oleh dan untuk negara.
Dibandingkan dengan kasus Unas, kasus Monas merupakan bentuk keprihatinan mendalam.

Tidak hanya karena kebengisan peristiwanya sendiri, Monumen Nasional adalah identitas Jakarta dalam arti sempit sekaligus identitas bangsa Indonesia dalam arti luas. Kata ”nasional” dalam Monas berarti lebih tinggi daripada kata ”monumen”-nya. Maka, pelecehan terhadap Monas adalah pelecehan terhadap nasionalitas bangsa Indonesia. Artinya, perbuatan tercela di Monas itu menjadi representasi pelakunya sebagai agen kekerasan dan pelecehan terhadap identitas bangsa Indonesia. Apalagi, dilakukan pada peringatan hari lahir Pancasila dan di depan Istana Negara.

Akhirnya, tugas pemerintahlah memimpin bangsa ini mencapai kemandiriannya. Salah satunya adalah lewat pemahaman terhadap setiap semiotika ”nasional” di sekitar kita.

GF Sasmita Aji
Dosen ”Cultural Studies”
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
READ MORE - Indonesia Bisa, Unas dan Monas

Wednesday, 28 May 2008

Bahasa Indonesia sebagai Aspal Kolonial

Rabu, 28 Mei 2008 00:45 WIB

A Windarto

Tulisan P Ari Subagyo berjudul ”Masalah Utama Bahasa Indonesia” (Kompas, 3/5) menarik untuk dikaji lebih mendalam. Sebab, apa yang dipersoalkan dalam tulisan itu selalu menjadi perdebatan yang aktual di kalangan orang muda Indonesia sesudah mereka berkumpul dan berikrar dalam Soem- pah Pemoeda pada 1928.

Perdebatannya adalah di seputar ”kesatuan bahasa” yang baru saja digagas atau dibangun demi tujuan perjuangan untuk merdeka dari Belanda. Bagi Partai Indonesia Raya, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang diperintahkan untuk digunakan dalam semua pernyataan umum terhadap setiap anggotanya. Begitu pula dengan anggota-anggota pribumi di Volksraad, yang telah memutuskan untuk berbicara dengan bahasa Indonesia ketika bersuara dalam dewan tersebut.

Akan tetapi, seperti apakah sesungguhnya bahasa Indonesia yang ditunjuk oleh partai politik terbesar zaman itu dan badan penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda tersebut? Sebetulnya itu adalah juga bahasa Melayu. Namun, Melayu yang benar. Artinya, ”Melayu Tinggi” yang dibakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, Volkslectuur (Bacaan Rakyat) dan penerbit Balai Poestaka. Sering pula disebut ”Melayu Ophuijsen” sesuai dengan nama insinyur bahasa yang membentuknya.

Bahasa Melayu itu berbeda dengan ”Melayu Rendah”, ”Melayu Betawi”, atau ”Melayu bazaar (pasar)”, seperti yang dipakai oleh Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis dan penulis pribumi awal. Gaya penulisannya dikenal sebagai koyok Cino (seperti China) yang identik dengan China-Melayu. Namun, ia juga memakai campuran Melayu-Belanda yang begitu ekspresif atau bersifat banci-banci modernitas.

Oleh karena itulah, Mas Marco berulang kali ditangkap dengan jeratan pasal haatzaai (menyebarkan kebencian). Bahkan, di akhir hayatnya, ia hidup di kamp interniran Boven Digoel, Irian Barat, dalam pembuangan mirip dengan bahasa Melayu-nya. Sebuah bahasa jalanan yang dibuang, dikucilkan secara linguistik dan diasingkan dengan sukarela.

Kajian mengenai bahasa Indonesia—atau lebih tepat politik bahasa—di atas dipaparkan dengan baik oleh sejarawan Rudolf Mrázek dalam bukunya yang berjudul Engineers of Happyland.

Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006). Bahkan, dengan baik pula, Mrázek menempatkan dan mengibaratkan persoalan bahasa itu sebagai aspal. Hal ini sejalan dengan modernitas kolonial yang sedang digalakkan melalui pembangunan jalan dan rel modern.

Penampilan bahasa Indonesia pasca-Soempah Pemoeda tak lepas dari usaha untuk membuat suatu bangsa yang masih lemah dan sedang tumbuh menjadi seperti sebuah jalanan yang beraspal. Dengan penampilan seperti itu, bahasa Indonesia dihadapkan pada bahaya-bahaya yang merupakan permainan dari bahasa teknis (vaktaal). Dalam bahasa ini, ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah yang diharapkan mampu mengikat atau menyatukan rasa kesatuan dapat gagal dan bahkan hancur berantakan. Dengan kata lain, bahasa itu menjadi seperti ”tidak punya perasaan” (rasaloos) atau ”tidak punya malu” (ma-loeloos).

Akrobat otak

Itulah sebabnya bahasa Indonesia yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan sebagai bahasa persatuan tampil tak jauh berbeda dengan ”Pak Koesir yang telanjang kaki, bingung, ketakutan, gugup, ragu-ragu, dan pantas ditertawakan di tengah lalu lintas umum”.

Penampilan itu adalah stereotip yang dikenakan kepada para pengguna jalan modern yang berlabel p.k. (paardekracht) atau ”daya kuda”, ”Sidin”, dan juga ”Simin”. Label-label itulah yang merepresentasikan identitas ”penduduk asli” atau ”pribumi” yang lebih sering menjadi korban kecelakaan/tabrakan di jalanan dan berjalan tanpa sepatu.

Masuk akal jika sejak semula bahasa Indonesia tak pernah utuh, apalagi terikat pada satu peraturan permainan linguistik semata. Melalui bahasa itu, terbuka kemungkinan untuk ”mengabstrakkan dunia dari keadaan- keadaan sosialnya” dan ”untuk membuatnya tampak seolah- olah, secara teknologis, menggantung di awang-awang”.

Dengan demikian, bahasa seperti itu mampu merekatkan bersama segala sesuatu yang paling tidak akur, bahkan dapat bermanfaat untuk melawan rasa malas dan ketakutan dalam berbahasa karena mirip seperti sebuah batu yang dapat dipasang dan dilepas secara bebas seturut kepentingannya.

Konsekuensi logisnya, bahasa Indonesia menjadi seperti akrobat otak. Atau, mengeltaal, mischprache, gado-gado, ”bahasa campuran”, ”bahasa oblok-oblok”, ”bahasa campur aduk” yang tidak hanya memiliki satu rasa. Dengan cara itulah bahasa Indonesia tidak menjadi mesin, instrumen, dan bahkan komoditas yang dapat diperjualbelikan di pasar.

Hal ini dapat dilacak dari pengalaman berbahasa kaum nasionalis radikal Indonesia yang menulis di majalah atau surat kabar tentang gerakan nasionalisme mereka. Yang ditulis—termasuk dilukis— bukan lagi wilayah Indonesia yang tropis dengan pemandangan alam yang hijau dan lebat.

Sekali lagi, Mas Marco, misalnya, dengan mudahnya menggores dan meretakkan, bahkan merusak, apa yang sudah dipoles atau diperhalus dalam bahasa ibu/asli. Singkatan Weltvaartscomissi (Komisi Kesejahteraan) dapat terlihat ”subversif” di mata pejabat kolonial yang terhormat ketika dibuat menjadi WC. Atau, boemipoetra yang secara teknis lucu dan menggigit disingkat sebagai bp Bahkan, Kromoblanda- nya Tillema yang memperlihatkan perpaduan yang tenang dan bahagia antara penduduk asli dan Belanda digubah dengan campuran Melayu-Belanda-nya menjadi ”kromolangit”, ”kromorembulan”, dan ”kromobintang”.

Tidak setiakah bahasa yang mencampuradukkan istilah-istilah asli dengan ungkapan-ungkapan yang seolah-olah datang dari dunia lain? Seorang pakar Jawa termasyhur, Dr Poerbatjaraka, pernah menyatakan kepada salah satu mahasiswanya bahwa keindahan bahasa (Belanda) terletak pada kemampuannya untuk tidak melukai orang (Jawa).

Namun, bagi para pekerja kereta api di Semarang yang pernah menggalang aksi pemogokan terbesar pada 10 Mei 1923, istilah spoor tabrakan, ”tabrakan kereta”, justru menjadi teriakan perang yang mampu membangkitkan dan menggerakkan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda meski hanya dalam waktu 12 hari.

Bahasa memang potensial sebagai perekat kebangsaan di antara orang-orang yang tak saling kenal. Hanya masalahnya, bahasa seperti itu dapat muncul secara historis jika, salah satunya, tidak dianggap sebagai kebenaran yang dikeramatkan.

Begitu pula dengan bahasa Indonesia yang telah mampu menumbuhkan nasionalisme. Bahasa itu sesungguhnya tidak dilahirkan di ruang- ruang resmi perserikatan/perkumpulan, tetapi ”dipungut” dari jalanan kolonial yang keras atau beraspal.

A Windarto Anggota
Staf Peneliti Lembaga Studi Realino, Yogyakarta
READ MORE - Bahasa Indonesia sebagai Aspal Kolonial

Tuesday, 27 May 2008

Pelajaran Pahit Seputar Kenaikan Harga BBM

Selasa, 27 Mei 2008 00:45 WIB
TJIPTA LESMANA
Pemerintahan Yudhoyono masih saja menggunakan retorika ala Orde Baru dalam memberikan justifikasi kebijakan menaikkan harga BBM.

Pertama, subsidi BBM hanya dinikmati oleh orang kaya, 80 persen untuk knalpot mobil orang kaya, kata Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kedua, harga BBM Indonesia masih termurah di Asia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro malah membandingkan harga BBM Indonesia dengan harga di Filipina, Thailand, dan Singapura. Retorika itu pula yang berulang-ulang disampaikan rezim Orde Baru. Masih untung Purnomo ”lupa” dengan pernyataan Prof Subroto, Menteri Pertambangan dan Energi era Soeharto, bahwa harga bensin di Indonesia, setelah dinaikkan, masih lebih murah dibandingkan dengan segelas Coca-Cola, kemudian ”dikoreksi” dengan segelas teh es manis di negara Barat.
Retorika adalah ilmu persuasi yang diciptakan Aristoteles sekitar 2.500 tahun yang lalu. Menurut Aristoteles, diperlukan tiga keterampilan khusus untuk bisa memengaruhi, bahkan mengubah sikap dan pemikiran orang banyak, yaitu etos, logos, dan pathos. Logos adalah keterampilan memberikan argumentasi dan rasio kuat supaya khalayak percaya dengan apa yang Anda katakan. Untuk itu, kalau perlu, disajikan juga bukti, fakta, dan data. Namun, sayang, logos yang diajukan Purnomo ataupun Jusuf Kalla kurang tepat jika tidak dikatakan ngawur.
Di Belanda, harga bensin saat ini 1,7 euro per liter atau sekitar Rp 23.000. Namun, ongkos bus umum jarak dekat 1 euro, koran 1 euro. Parkir 1 jam di Bandar Udara Schipol 1,5 euro. Seorang pengangguran diberikan subsidi minimal 800 euro per bulan. Seorang yang baru lulus S-1 dan bekerja paling tidak mendapat gaji 1.300 euro. Maka, tidak ada seorang pun yang memprotes harga bensin 1,6 euro. Di Singapura, pendapatan per kapita rakyatnya sekitar 25.000 dollar AS per tahun. Maka, harga bensin di Singapura sekitar 1,5 dollar AS pun tidak membuat rakyat ribut.
Ketika orang-orang Polandia mengetahui bahwa harga bensin kita cuma 45 sen per liter, mereka tidak percaya. Kok, murah betul? Namun, ketika saya memberitahukan pendapatan per kapita rakyat Indonesia 1.500 dollar AS per tahun, mereka sangat heran dan bertanya lagi, ”Setahun atau sebulan?” Saya jawab, ”Setahun.” Baru mereka mengerti bahwa bensin 45 sen per liter di Indonesia tergolong mahal karena 60 persen penduduk kita hanya mengeluarkan belanja 2 dollar AS per hari, sementara pendapatan rakyat Polandia rata-rata 10.000 dollar AS per tahun. Maka, harga bensin 4,45 zloty per liter (1,8 dollar AS) dianggap biasa-biasa saja.
Itukah sebabnya wacana yang membandingkan harga bensin Indonesia dengan negara-negara luar, apalagi negara maju, harus ditanggapi kritis sekali. Pejabat kita mestinya tidak ”asal ngomong”.
Hanya angin surga
Bagaimana dengan wacana bahwa 80 persen subsidi BBM hanya dinikmati oleh orang kaya? Dari perspektif logos, wacana ini pun lemah.
Pertama, jika pemerintah sejak awal tahu bahwa mobil-mobil pribadi mengonsumsi paling banyak BBM, kenapa pemerintah tidak membatasi jumlah mobil yang berkeliaran di jalan-jalan? Kemacetan serius di berbagai kota besar kini sudah menghadapi tingkat gawat. Kendaraan roda dua di Jakarta bak semut yang mengepung kota. Toh, pemerintah sepertinya tidak melakukan upaya apa pun.
Kedua, BBM tak hanya dinikmati orang kaya, tetapi oleh semua lapisan masyarakat. Semua produk barang dan manufaktur membutuhkan konsumsi BBM. Maka, begitu harga BBM naik, harga barang dan jasa serentak naik. Pada akhirnya, orang di strata bawah yang paling terpukul.
Ketiga, ucapan Jusuf Kalla bahwa kenaikan harga BBM sekarang hanya berakibat kenaikan belanja Rp 50.000 sampai Rp 60.000 bagi orang miskin—sedangkan pemerintah memberikan Rp 100.000 per bulan—hanya teori. Dalam praktik, kehidupan mereka pasti lebih tercekik lagi.
Keempat, Indonesia negara produsen minyak. Minyak yang kita hasilkan mestinya dinikmati sebesar-besarnya oleh seluruh rakyat sesuai amanat UUD 1945. Namun, kenyataannya, minyak sebagian besar dinikmati perusahaan-perusahaan pengelola minyak kita. Kenapa pemerintah tidak berdaya melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh Presiden Evo Morales dari Bolivia?
Perihal kenaikan harga BBM mestinya pemerintah sejak awal memberikan sounding kepada rakyat bahwa pemerintah tidak punya jalan lain kecuali menaikkan harga BBM sebab harga minyak di tingkat internasional memang terus membubung. Banyak negara menempuh kebijakan melepaskan harga BBM sesuai pasar sehingga fluktuasi harga terjadi setiap hari secara alamiah. Namun, pemerintah kita masih saja berkelit dengan retorika impression management berupa jaminan bahwa harga BBM takkan naik selama 2008, dan menaikkan harga BBM hanya opsi terakhir.
Inilah kesalahan fatal pemerintahan SBY! Memberikan ”angin surga” terus kepada rakyat, bukan menggambarkan situasi riil di dunia. Maka, tatkala rakyat menggugat kenaikan harga BBM, antara lain dalam bentuk aksi-aksi unjuk rasa, pemerintah tidak punya pilihan lain, kecuali menyanyikan retorika ala Orde Baru itu, menggebuki para demonstran/mahasiswa, merusak kampus Universitas Nasional, sekaligus menjilat kembali ludah yang sudah disemburkannya jauh-jauh hari...!
Tjipta Lesmana
Kolumnis dan Guru Besar Komunikasi Politik
READ MORE - Pelajaran Pahit Seputar Kenaikan Harga BBM

Tuesday, 11 March 2008

Analisis Komunikasi Atas Supersemar

Penulisan sejarah mungkin bisa dimanipulasi sesuai dengan kepentingan kekuasaan, tetapi sejarah itu tidak akan pernah bohong dan dapat di manipulasi.

Setidaknya analisis komunikasi atas Supersemar dibawah ini telah membuktikan itu.

Demitologisasi Supersemar
Selasa, 11 Maret 2008 00:15 WIB
Oleh P ARI SUBAGYO

"Our words are never neutral," kata Fiske (Media Matters: Everyday Culture and Political Change, 1994). Pernyataan itu terkesan menebar prasangka, tetapi begitulah adanya. Kata-kata tidak pernah netral.

Pernyataan Fiske hanya salah satu ungkapan tentang ketidaknetralan bahasa. Volosinov (1975) dan Bakhtin (1986) menyebut semua penggunaan bahasa bersifat ideologis, bahkan dilugaskan Kress & Hodge (1979) dalam buku Language as Ideology. Ideologi tidak sebatas will to power (Foucault, 1979), tetapi dalam pengertian umum, worldview, term of reference, juga interpretation frameworks.

Pendek kata, selalu ada kepentingan di balik kata-kata dan bahasa. Bagi ”linguis- sosialis” seperti Volosinov dan Bakhtin, kata-kata merupakan ranah perjuangan ideologis. Membongkar ideologi—termasuk kepentingan—yang tersembunyi dalam kata-kata (teks) merupakan fokus critical discourse analysis (CDA) sebagai pendekatan kontemporer analisis wacana lintas-ilmu.
Terkait Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang diyakini tonggak sejarah Indonesia, sekaligus penuh versi dan kontroversi, menarik diajukan pertanyaan, bagaimana Supersemar dilihat dalam kerangka bahasa dan kepentingan?

Mitos politik

Kepentingan yang eksistensial—apalagi terkait kekuasaan politik—perlu dipelihara. Terjadilah mitologisasi. Berkat jasa kata-kata dan bahasa, lahirlah mitos-mitos. Mitos tak hanya memuat nilai moral—seperti diyakini Roland Barthes (1993)—tetapi bekerja sebagai sarana memelihara kekuasaan, hegemoni, dan dominasi. Itulah yang terjadi pada Supersemar ”versi resmi” (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1975).

De Jong (1980) menyebut mitos semacam itu sebagai ”mitos politik” karena digunakan untuk aneka kepentingan politik. Berbeda dengan mitos fiktif, mitos politik dipandang sebagai histoire crue (cerita yang diyakini kebenarannya), lengkap dengan latar tempat, waktu, pelaku, tema sosial-politik, dan ekspresi perspektif ideologi politik. Mengikuti pemikiran Malinowsky, De Jong meyakini mitos bukan hanya idle mental pursuit, melainkan manifestasi interes pragmatis manusia.

Supersemar ”versi resmi” memuat keputusan/perintah Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto (Menteri Panglima AD) untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: (1) Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar revolusi/mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja; (3) Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnja seperti tersebut di atas.
Supersemar secara tekstual tidak berisi ”pengalihan kekuasaan”, tetapi lalu (dimitoskan) menjadi lisensi konstitusional Soeharto untuk ”mengambil segala tindakan jang dianggap perlu”. Sejarah mencatat rentetan peristiwa ”yang dianggap perlu” menyusul terbitnya Supersemar. Ujungnya, Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden, 12 Maret 1967.

Mitologisasi Supersemar berjalan efektif berkat dukungan kebijakan negara, terutama lewat pelajaran sejarah yang indoktrinatif. Apalagi situasi sosiologis-kultural mayoritas masyarakat Indonesia yang berbudaya diam dan represifnya Orde Baru kian mengukuhkan kesakralan Supersemar sebagai mitos politik.

Demitologisasi

Demitologisasi Supersemar bergulir sejak Soeharto—sang protagonis Supersemar ”versi resmi”—meninggalkan kursi presiden, 21 Mei 1998. Kesakralan mitos politik Supersemar mulai diusik lewat berbagai cara. Mulai dari pertanyaan keberadaan naskah asli, testimoni para ”pemeran pembantu” drama 11 Maret 1966, telaah logika historis sejarawan, kajian tekstual-visual berbagai versi Supersemar, hingga penyebutan Supersemar sebagai bagian dari ”kudeta merangkak” terhadap Presiden Soekarno.

Pembacaan teks dengan CDA akan membangkitkan ”kesadaran bahasa kritis” (critical language awareness, CLA), lebih dari sekadar ”kesadaran bahasa” (language awareness, LA). LA hanya knowledge about language, sedangkan CLA adalah awareness of nontransparent aspects of the social functioning of language (Fairclough, 1995, 2003; Weiss & Wodak, eds., 2003).
CLA akhirnya menuntun pembaca dalam memahami—menurut Julia Kristeva (1980)—intertekstualitas. Supersemar bukan teks yang berdiri sendiri, melainkan saling terkait dengan ”teks-teks” lain yang ”ditulis” para pelakunya lewat perbuatan apa pun sebelum dan setelah 11 Maret 1966.

Dalam kacamata CDA, Tragedi 1965, raibnya naskah asli Supersemar, aneka keputusan politik MPRS, isakan almarhum M Yusuf jika ditanya tentang keberadaan naskah asli Supersemar, lahirnya versi-versi dan kontroversi Supersemar, serta bungkamnya sejumlah pelaku utama tentang Supersemar, semua itu adalah teks.

Jika demikian, demitologisasi Supersemar justru dilakukan oleh para pemerannya sendiri. Oleh mereka yang berkepentingan, dan kepentingan itu secara jujur—meski samar-samar—mewujud sebagai ”teks”. Bagaimana nasib (mitos) Supersemar beserta berbagai kepentingan di sebaliknya sepeninggal Soeharto? Mari kita tunggu dengan prasangka kritis.

P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.11.00155185&channel=2&mn=158&idx=158
READ MORE - Analisis Komunikasi Atas Supersemar

Melawan Melalui Lelucon

Kata Iwan Fals dalam salah satu lagunya “Bila Kata tak Lagi Bermakna, Lebih baik diam saja”

Masyarakat memang mempunyai mekanisme tersendiri menghadapi setiap kebohongan public para pemimpinnya. Mekanisme paling minimal tentunya adalah tidak mempercayai setiap kebohongan para pejabat dan bertindak sesuai keinginan dirinya. Langkah paling maksimal tentunya melakukan perlawanan atas setiap kebohongan. Perlawanan bisa dilakukan untuk public, dalam bentuk advokasi public, atau untuk diri sendiri.

Terlepas dari itu semua, memparodikan setiap kebijakan atau fenomena sosial merupakan bentuk perlawanan tersendiri yang sangat mengasyikan. Parodi, ejekan, guyonan menjadi sebuah perlawanan yang sangat segar dan bisa dinikmati oleh banyak kalangan. Gus Dur misalnya, dia pernah mengeluarkan sebuah buku berjudul “Melawan Melalui Lelucon”. Lelucon-lelucon Gus Dur yang segar terhadap setiap kebijakan public juga langkah politisi yang tidak bervisi kebangsaan.

Sebuah leluconhanya akan lahir dari seorang cerdas yang concern dalam sebuah masalah yang begitu kompleks yang seolah tidak ada jalan keluar. Jadi syarat lahir sebuah lelucon cerdas tentunya adalah kecerdasan, positif thinking, optimisme dalam melihat masa depan dan keterlibatan terhadap permasalahan yanga ada.

Lelucon yang segar ini tentunya sangat dibutuhkan. Selain untuk tetap menumbuhkan harapan, lelucon ini tentunya akan menjadi penghibur terhadap semua beban yang dialami oleh masyarakat.

Berikut ini saya temukan sebuah parody, ejekan yang ditulis kemballi secara baik oleh Budiarto Shambazy di Koran Kompas tanggal 11/3/2008. Menarik. Mengingat kembali bagaimana masyarakat melakukan proses resistensi dari setiap ketidakadilan yang dialaminya, dengan cara sendiri yang menyegarkan.

Oya, mengenai buku Gus Dur “Melawan Melalui Lelucon”, saya mau ngucapin terimakasih dulu buat temen saya Donny Nurpatria. Saya dapat buku itu di lemari buku dia ketika masih mahasiswa di Fikom Unpad. Hampir saja saya mengikuti ajaran Gus Dur, untuk tidak mengembalikan buku yang kita pinjam karena itu tindakan bodoh, tetapi Donny ternyata sadar gelagat itu. Jadinya dia tanpa henti menagih buku itu kalo ketemu ma saya. Sampai sekarang saya juga gak tahu apakah buku itu sudah di balikin ke Donny apa belum? Hahahaha…



Supersemar
Selasa, 11 Maret 2008 01:27 WIB
Oleh BUDIARTO SHAMBAZY
Saat membacakan pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 19 September 1995, Tri Agus Siswowihardjo memelésétkan Supersemar jadi ”Sudah Persis Seperti Marcos”. Tri Agus diadili karena mengkritik Orde Baru.

Ferdinand Marcos adalah Presiden Filipina yang kabur ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS). Ia terlibat korupsi dan membunuh Senator Benigno Aquino, suami Presiden Ny Corry Aquino.

Selain pelésétan Supersemar, pleidoi Tri memopulerkan ”Su-dah Ha-rus To-bat”. Singkatan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) ia sulap menjadi ”S Dalang Segala Bencana”.

Lalu, kata ”hakim” ia pelésétkan jadi ”Hubungi Aku Kalau Ingin Menang” dan ”jaksa” jadi ”Jika Anda Kesulitan Suaplah Aku”. Singkatan Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) ia urai jadi ”Kasih Uang Habis Perkara”.

Anda ingat bagaimana nama seorang menteri Orde Baru (Orba) dipelésétkan jadi ”Hari- hari Omong Kosong”. Nama seorang presiden pun jadi ”Bicara Jago, Habis Bicara Bingung”.

Pelésétan bagian dari bahasa politik yang tumbuh subur jika rakyat tertekan. Ia beredar dari mulut ke mulut dan amat menyehatkan karena jadi pelampiasan frustrasi.

Ambil contoh Malaysia, yang baru saja pemilu yang sejak 1957 selalu dimenangi koalisi Barisan Nasional (BN). Partai dominan di BN adalah United Malay National Organisation (UMNO).

Pelésétan UMNO yang kini populer adalah ”U Must Not Object ” (Anda Tak Boleh Keberatan). Maklum, rakyat telah bosan menyaksikan tingkah laku para politisi UMNO.

Sinisme itu tercermin juga dari pelésétan maskapai Malaysia Airline System (MAS), yang diubah jadi ”Mana Ada Sistem?”. Dulu Garuda Indonesia Airways (GIA) diledek ”Garuda Insya Allah” karena suka telat.

Sebagian kalangan menilai proyek mobil nasional Proton gagal karena memboroskan uang rakyat. Proton dipelésétkan jadi ”Possibly the Riskiest Option To drive On road Nowdays” (Pilihan yang Mungkin Paling Berbahaya untuk Dikendarai di Jalan Saat Ini).

Orba dulu punya proyek mercu suar Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN). Ada yang menyebutnya ”Industri Penerima Tamu Negara” karena pabriknya hanya jadi ”tujuan wisata” tamu asing yang berkunjung ke sini.

Di Thailand pesawat IPTN dijuluki ”Gone with the Wind”, merujuk ke film Hollywood. Soalnya cat pesawat yang dikerjakan asal-asalan itu cepat terkelupas diterpa angin tiap kali mengangkasa.

Berhubung IPTN bermarkas di Bandung, orang Priangan punya istilah sendiri. IPTN bagi mereka singkatan ”Ieu Pesawat Teu Ngapung-ngapung” (Pesawatnya Enggak Bisa Terbang).
Negara tetangga, Singapura, dikenal tempat yang tak murah. Pemerintah rajin membangun apartemen-apartemen yang dikelola House Development Board (HDB).

Bagi sebagian rakyat, HDB singkatan ”Highly Dangerous Building” (Gedung Amat Berbahaya). Soalnya ngeri tinggal di lantai 30-an apartemen mereka.

Rakyat negeri mini itu dimanjakan berbagai fasilitas umum kelas satu berbiaya mahal. Maka, Public Utilities Board (PUB) dipelésétkan jadi ”Pay Until Broke” (Bayar Terus sampai Bangkrut).

Salah satu PUB yang ngetop adalah Electronic Road Pricing (ERP) yang diberlakukan di jalan-jalan protokol, seperti Orchard Road. Berhubung mahal, ERP diubah jadi ”Everyday Rob People” (Tiap Hari Merampok Rakyat).

Partai yang selalu memenangi pemilu di sana People’s Action Party (PAP). Kalangan yang sinis menyebutnya Pay And Pay (Bayar Terus).

Dan, Anda pasti tahu, Singapura menerapkan aturan denda yang kesohor ke berbagai penjuru dunia sehingga dilédék dengan ”Fine City”. Artinya bisa dua: kota yang teratur atau sedikit-sedikit main denda.

Kini ke AS. Serbuan pasukan ke Irak menewaskan ribuan serdadu, membuat sebagian rakyat kritis terhadap militer yang tak jera merekrut remaja dengan aneka iming-iming.

Maka, singkatan Navy (Angkatan Laut) dipelésétkan jadi ”Never Again Volunteer Yourself” (Kapok Jadi Relawan). Marine (Marinir) sama dengan ”Muscles Are Required Intelligence Not Essential” (Otot Dibutuhkan, Inteligensia Tidak).

Singkatan Army (Angkatan Darat) jadi ”Aren’t Ready to be Marines Yet” (Belum Siap Jadi Marinir). Maklum, Marinir lebih bergengsi dibandingkan dengan Angkatan Darat.

Setelah 9/11, pemerintah mendirikan Department of Homeland Security. Untuk memperketat keamanan bandara ada Federal Air Transportation Airport Security Service alias FATASS (Bokong Raksasa).

Bangsa ini pun gemar pemelésétan politik. Undang-Undang Dasar (UUD ’45) diubah ”Ujung-ujungnya Duit Empat Liem”, istilah bisnis Ali-Baba yang merujuk ke Liem Swie Liong.

Setelah mundur dari jabatan wapres, Bung Hatta mengubah ”Dwi Tunggal” jadi ”Dwi Tanggal”. Persis kayak gigi anak-anak yang suka ”tanggal” (copot).

Bung Karno tak habis mengerti ada istilah Orba dan Orde Lama (Orla). Kepada pers, ia bilang cuma tahu ada ”Ordasi” (Orde Berdasi) dan ”Orplinplan” (Orde Plin-plan).

Hari ini pas 42 tahun Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Tahun 1975 saya berdarmawisata ke Dieng, Jawa Tengah, dan mampir ke Goa Semar.

Saya shock, penjaga goa potongan tubuh dan wajahnya mirip Semar. Sejak saat itu saya percaya Supersemar singkatan ”Sudah Persis Seperti Semar”.
Supersemar: Sulit Dipercaya, Seram, dan Top Markotop!
Sumber : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.11.0127558&channel=2&mn=154&idx=154
READ MORE - Melawan Melalui Lelucon

Friday, 29 February 2008

Demagogi dan Komunikasi Politik

Dengan digodoknya beberapa RUU penting (Ketenagakerjaan serta Anti-Pornografi dan Pornoaksi), komunikasi politik menjadi semakin intensif. Semua bentuk komunikasi mau mendapatkan pengaruh, biasanya melalui manipulasi. Manipulasi dimaksudkan untuk membangun citra riil sehingga tampak seperti riil.

Dalam sistem demokrasi, manipulasi akan mendapat perlawanan sikap kritis, namun akan tetap mewarnai politik. Manipulasi menyusup ke dalam celah antara nilai, gagasan, dan opini. Penelusupan ini mau mengaburkan pembedaan antara nilai, gagasan, dan opini sehingga tidak bisa dibedakan agar diterima sebagai fakta.

Manipulasi dan demagogi

Manipulasi sebetulnya merupakan tindak kekerasan. Ia menggunakan strategi mengurangi kebebasan agar pendengar atau pembaca tidak mendiskusikan atau melawan apa yang diusulkan (Breton, 2000:24). Lalu manipulasi masuk ke pikiran seseorang untuk meletakkan opini atau membangkitkan perilaku tanpa diketahui orang tersebut bahwa ada pelanggaran.

Keberhasilannya terletak dalam penyembunyian maksud sesungguhnya dan strategi diam. Maka, manipulasi mengandaikan kebohongan yang diorganisir, penghilangan kebebasan pendengar, dan tersedianya alat untuk mengalahkan resistensi. Media massa berperan sangat penting.

Politisi cenderung bersembunyi di balik kalimat-kalimat kabur, kata-kata yang tidak pasti, untuk menghindar dari tuntutan penerapannya. Maka, tepat kata Jacques Ellul: "informasi adalah sarana propaganda". Dengan informasi, pencitraan dibangun. Pencitraan dibuat sesuai dengan aturan demagogi, yaitu menyesuaikan diri dengan yang diharapkan atau ingin didengar pemirsa. Realitas dikesampingkan untuk mengobok-obok perasaan dan pikiran pendengarnya.
Demagog adalah orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Ia adalah prototipe perayu massa. Politikus cenderung demagog. Ia bisa menyesuaikan diri dengan situasi yang paling membingungkan dengan menampilkan wajah sebanyak kategori sosial rakyatnya. Ia bisa menunjukkan berbagai peran sehingga membuat tindakannya efektif di dalam situasi yang beragam. Demagog akan meyakinkan kepada pendengarnya bahwa ia berpikir dan merasakan seperti mereka. Ia tidak akan menegaskan pendapat pribadinya, tetapi pernyataannya mengalir bersama dengan pendapat pendengarnya.

Maka, demagogi mengandaikan kelenturan wacana. Kelenturan ini dibangun melalui khazanah politik yang ambigu supaya kata yang sama bisa ditafsirkan sesuai dengan harapan pendengarnya. "Merayu berarti mati sebagai realitas untuk menghasilkan tipu daya," kata Bellenger. Demagogi semakin canggih dengan berkembangnya sarana komunikasi.

Logika pasar

Menjamurnya sarana komunikasi memengaruhi media komunikasi politik. Sistem media komunikasi politik diwarnai oleh tiga hal: pertama, kelahiran berbagai bentuk jurnalistik, dari berita sekilas sampai pada buletin 24 jam, dari infotainment, talk-shows, top-news sampai pada aneka berita (JG Blumler 2000:156). Kedua, teknologi ini memungkinkan tersedianya berita baru setiap saat melalui sistem penyebaran internet dan sumber-sumber informasi lainnya. Ketiga, sistem komunikasi, organisasi, dan aliran komunikasi massa tidak lagi didefinisikan oleh batas-batas negara.

Politik harus bersaing dengan program-program lain yang tidak kalah menariknya, seperti program hiburan, olahraga, infotainment, selebriti, mode. Bentuk-bentuk jurnalisme itu semakin dikemas secara menarik sehingga jurnalisme politik harus mampu bersaing merebut simpati audience. Karena luasnya ranah jurnalisme, bentuk persaingan itu memacu semakin banyak pemain yang terlibat atau para pembuat berita di dalam jurnalisme politik: narasumber, wartawan investigatif, penyuplai skandal, tabloid, website, rakyat biasa (arah jurnalisme populis).

Idealisme dalam komunikasi selalu membayangi logika pasar. Akibatnya, menurut Blumler (2000:160), ialah pertama, meredupnya pembedaan antara media berkualitas dan pers tabloid serta menjamurnya pendekatan model infotainment dalam politik; kedua, wartawan politik harus belajar mengakomodasikan masalah-masalah kewarganegaraan dengan nilai-nilai hedonis. Lalu kepekaan terhadap etika jurnalisme melemah; ketiga, standar nilai yang biasanya cukup dihormati oleh para praktisi komunikasi mulai diabaikan karena media tidak lagi merasa terikat pada prinsip pelayanan publik dan norma obyektif jurnalisme.

Prinsip pelayanan publik

Betapapun prioritas pada orientasi keuntungan, suatu media masih tetap membutuhkan legitimasi yang hanya bisa didapat bila ada manfaat publik. Jadi, tidak sepenuhnya benar pernyataan yang mengatakan bahwa media di bawah kontrol pemerintah hanya melayani pemerintah dan media swasta hanya melayani kepentingan pemodal. Ada tiga alasan yang menyanggah pernyataan itu (Curran 2000:125): pertama, media swasta butuh mempertahankan kepentingan audience supaya tetap menguntungkan; kedua, mereka harus mendapatkan legitimasi publik untuk menghindari sanksi masyarakat; ketiga, mereka dapat dipengaruhi oleh keprihatinan profesional dari staf redaksi atau produksi.

Memang harus diakui bahwa biasanya budaya politik demokrasi lebih waspada terhadap ancaman pemerintah atas kebebasan pers daripada ancaman dari para pemodal media swasta. Pemerintah akan segera diserang bila mencoba mendikte pesan pada media publik, tetapi tidak demikian halnya bila para pemilik modal menentukan editorial atau berita utama media mereka.
Di dalam persaingan ketat antarmedia, godaan terbesar ialah memfokuskan diri pada proses presentasi. Akibatnya, alih- alih menyampaikan komunikasi atau memproduksi makna, akhirnya energi habis untuk penyutradaraan makna dalam proses simulasi (Baudrillard, 1981:121). Pakar dan praktisi komunikasi terlalu terkonsentrasi pada teknik serta cenderung mangabaikan nilai atau makna. Informasi terjerumus dalam bahaya kehilangan makna karena fokus pada pengaturan panggung.

Simpati media turun

Mengapa dewasa ini kecenderungan simpati media terhadap politisi dan pemerintah berkurang? Setidaknya ada empat alasan (Blumler, 2000:159): pertama, meningkatnya skeptisisme terhadap pernyataan-pernyataan pemerintah atau politisi. Kecenderungan pada pembelaan diri sangat mewarnai pernyataan-pernyataan mereka; kedua, wartawan tidak senang terhadap upaya politisi untuk mengatur berita demi kepentingan mereka. Maka, wartawan sering menetralisir pesan mereka dengan memasukkan suara-suara kritis; ketiga, meredupnya pesona situasi politik.

Penayangan konflik partai, pemerintah dengan parlemen, sudah kehilangan daya tarik karena tidak ada lagi yang baru dan bisa diramalkan kelanjutannya; keempat, kesadaran akan hak-haknya sebagai warga negara telah mengembangkan tuntutan akan hidup pantas dalam berbagai bidang (kerja, kesehatan, pendidikan, transpor umum), tetapi banyak dari tuntutan itu tidak dapat diselesaikan oleh politisi.

Kesenjangan antara harapan dan kondisi sosial riil ini memungkinkan kelompok penekan mendapat kesempatan memublikasikan perjuangan, nilai, dan tuntutan mereka di media.

Haryatmoko Pengajar Program Pascasarjana Filsafat
Universitas Indonesia dan Universitas Sanata Dharma

Sumber : www.kompas.com
READ MORE - Demagogi dan Komunikasi Politik

Monday, 11 February 2008

Politik Islam dan Politik Indonesia

Pagi ini saya dapat sms, bunyinya :

"Politik Islam telah gagal mengerahkan kekuatan energi generasi mudanya untuk membangun front baru. Malah diarahkan untuk memenuhi hasrat generasi tuanya yang belum juga mau lengser... "

Saya mereply... sekedar menambahkan saja :

"...politik Indonesia telah berjalan tanpa prinsip..butuh kesabaran dan waktu untuk mengumpulkan kekuantan dan masuk kesana"
READ MORE - Politik Islam dan Politik Indonesia