Tuesday, 24 May 2011

Beragama Yang Menyehatkan


Banyak ilmuwan barat memiliki ungkapan pejoratif mengenai agama. Karl Marx menganggap agama tidak jauh seperti candu yang melenakan dan merusak, Sigmund Freud perintis Psychoanalisa menganggap agama sebagai obsessional neurosesis, bahkan Nietszhe “membunuh” Tuhan karena dianggap sebagai pangkal kerusakan masyarakat.

Pandangan-pandangan mereka tentunya keliru. Mereka hanya menganalisa fenomena beragama di sebagian kalangan. Mereka alpa untuk menganalisa lebih lanjut hakekat beragama yang sesungguhnya baik melalui analisa komprehensif terhadap teks-teks kitab suci maupun kehidupan orang shaleh yang telah mempraktekannya. Marx tutup mata melihat agama sebagai sumber perlawanan, Freud tidak tahu bila agama sangat menunjang kesehatan jiwa dan Nietszhe melupakan bila pemahaman tentang Tuhan lah yang menjadi sumber survival kebanyakan orang.  

Tetapi sayangnya, para penganut agama membabi buta menanggapi komentar tersebut. Seolah apa yang mereka ungkapkan total salah dan tidak terkandung didalamnya isyarat bagi kita sebagai orang beragama untuk melakukan refleksi. Karena sebetulnya dalam kesalahan total analisa yang diungkap, ada hal-hal yang membuat kita mesti mawas diri dan intropeksi tentang bagaimana sebetulnya kita harus beragama.

Bila kita melakukan pembacaan terbalik terhadap ungkapan para ilmuwan tersebut, maka kita akan menemukan koreksi-koreksi yang sangat baik bagi orang beragama. Terlepas apakah mereka bermaksud untuk mengkoreksi atau mengingatkan kita, tetapi hal ini sangatlah penting. Marx mungkin mengatakan agama candu, tetapi hal terkandung didalamnya adalah; hati-hati kalau kita tidak beragama dengan benar, maka akan menjadi candu bagi kehidupan kita bukan sarana kebahagian. Begitu juga dengan Nietszhe, yang seolah mengatakan; karena Tuhan difahami dengan tidak benar maka Tuhan saya bunuh.

Dalam kenyataannya kemudian kita menemukan banyak yang beragama tetapi makna beragama tersebut tidak termanifestasikan dalam kehidupan. Mengaku beragama tetapi sangat senang menyakiti orang lain, padahal agama mengajarkan akhlakul karimah kepada sesama. Orang beragama tetapi saling menggunjing padahal agama mengajarkan silaturahim

Beragama Yang Menyehatkan

Bagi beberapa kalangan beragama hanyalah alat. Mereka memperlakukan agama untuk kebutuhan sehari-hari memenuhi kebutuhan mereka akan status maupun identitas. Agama adalah something to use not to live, agama hanya menjadi sesuatu untuk dipakai seperti pakaian bukan petunjuk hidup. Orang seperti ini pergi haji untuk mendapat gelar haji, berinfak dan menolong orang hanya untuk mendapatkan pujian

Sebaliknya adalah orang yang menempatkan agama sebagai hal yang menunjang kesehatan jiwa dan mengatur kehidupan manusia. Agama adalah hal sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang beragama seperti ini akan menonjolkan makna substansial agama seperti akhlakul karimah, silaturahim, keshalehan sosial ketimbang bersusah payah meraih gelar dalam agama tetapi melupakan substansinya. Mereka akan menghindari segala bentuk manipulasi dan kecurangan karena keduanya sesuatu yang dilarang agamanya.

Seperti air, pengguna agama sebagai pakaian laksana air menggenang. Air menggenang berkumpul di suatu tempat dan memperlihatkan bahwasannya dia adalah air, tetapi hanya mendatangkan bau dan menjadikan sumber penyakit. Hanya mendatangkan bala ketimbang manfaat. Sebaliknya orang yang menempatkan agama sebagai comprehensive commitmen, laksana air mengalir. Air tersebut jernih, menebar kebaikan dan menjadi sumber kehidupan bagi banyak orang. Seperti itulah sebetulnya beragama yang sehat. Mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan bagi diri sendiri dan menyebar pada lingkungannya. 
READ MORE - Beragama Yang Menyehatkan

Bahasa Di Rumah Kaca




Pada akhirnya kita faham kenapa penggagas Sumpah Pemuda mesti repot-repot menempatkan bahasa sebagai salah satu poin deklarasi. Meski hidup di tengah minimnya akses informasi, mereka secara cerdas dan jeli melihat bahasa sebagai instrumen penting hidup bernegara.

Perjalanan sejarah mengukuhkan gagasan Sumpah Pemuda. Demi memobilisir dan membangkitkan antusiasme masa yang baru saja terpuruk oleh kolonialisme, Soekarno memenuhi pidatonya dengan bahasa heroik dan bombastis. Sampai sekarang ungkapan Ganyang Malaysia, Jas Merah, Nawaksara, revolusi sudah menjadi memori nasional yang kerap dikumandangkan kembali.

Begitu juga dengan rezim Soeharto. Dalam sejarah rezim pasca kemerdekaan, mungkin Soeharto lah yang paling massif dan sistematis memperlakukan bahasa sebagai bagian mengelola kekuasaan. Para pejabat rajin mengumbar jargon; stabilitas nasional, pembangunan, keamanan, untuk membungkam daya kritis publik. Tidak cukup disitu, lembaga bahasa pun didirikan untuk mendistorsi hakikat bahasa. Bahasa diposisikan kering dan disasosiatif sehingga pusat bahasa lebih sibuk mengurus awalan dan akhiran ketimbang mendorong publik berekspresi dengan bahasa lisan maupun tulisan

Politik bahasa Soeharto pun berbuah manis bagi pengelolaan negara. Hanya dengan menyebut OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), Ekstrem Kanan/Kiri, maka daya kritis publik bisa diredam. Aktor-aktor nya bisa dipenjara tanpa pengadilan, diculik dan disiksa. Soeharto sukses menjadikan bahasa dalam ranah yang sangat netral pada satu sisi, dan memonopoli makna bahasa untuk kepentingan rezim pada sisi lain

Selanjutnya mungkin saat inilah kita menikmati kebebasan berbahasa. Bila sebelumnya bahasa dimonopoli negara, maka sekarang setiap orang bebas berbahasa sesuai dengan apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Bahasa adalah sesuatu yang sangat asosiatif dan multi interpretasi, tidak seperti rezim orde baru yang memposisikan bahasa menjadi disasosiatif dan mono interpretasi.

Bahasa hasil monopoli hanya melahirkan indoktrinasi, instruksi, dan komando. Maka tidak aneh bila kosakata yang muncul adalah penataran, temu wicara atau arahan. Sebaliknya, reformasi telah menempatkan bahasa sebagai instrumen asosiatif dan multi interpretasi. Sehingga banyak muncul desakan publik untuk melaksanakan berbagai forum klarifikasi atau kesepakatan bersama. Dialog publik, debat publik, pertemuan bersama, menjadi kosa kata baru di langit berbahasa negara kita.

Berbahasa di Rumah Kaca

Reformasi berhasil membuka katup penghalang sosial bagi setiap orang untuk berbahasa. Pasca reformasi tidak ada lagi larangan, sensor atau budaya telepon. Melarang adalah sesuatu yang dilarang. Keberhasilan gerakan reformasi ini kemudian bersinergi dengan kesuksesan revolusi komunikasi dan informasi yang berhasil mengangkat katup tekhnis penghalang distribusi informasi dan berimbas pada pemaknaan

Jika masa awalnya internet hanya menjadi saluran sharing dan distribusi informasi, selanjutnya internet telah memungkinkan lokalisasi dan kanalisasi informasi sedemikian rupa. Situs-situs jejaring sosial, blog berhasil mengagregasi bahasa yang muncul dan menjadi pemicu terjadinya gerakan sosial masyarakat.

Perkembangan ini tidak hanya membuat masyarakat lebih bebas berbahasa, tetapi juga menempatkan semua aktor bahasa seolah ada dalam rumah kaca. Tidak hanya bahasa dimonitor, prilaku pemakai bahasa pun menjadi penilaian publik. Dana milyaran rupiah untuk menutupi palesiran Gayus, hilang tidak berbekas hanya oleh beberapa paragraph surat pembaca. Alinda bisa mengungkap ketidakadilan Jaksa hanya dengan curhat

Oleh karena itu Agamawan boleh berbahasa kalau pemerintah pembohong. Pemerintah juga boleh berbahasa kalau agamawan itu gagak hitam. Seperti juga MUI bisa berbahasa kalau tragedi Cikeusik adalah “bentrokan” bukan ‘penyerangan” seperti diungkap banyak kalangan. Tetapi mereka jangan sampai absen mengingat kalau kebebasan mereka berbahasa diiring posisi mereka dalam rumah kaca. Publik dengan sangat telanjang bisa melihat dan menguji bahasa mereka.

Kita mesti belajar dari kejadian di Mesir dan Stadion Gelora Bung Karno. Pro Mubarak boleh muncul baik dengan kuda, unta bahkan pesawat sekalipun. Tetapi publik tetap bisa menilai kalau bahasa mereka adalah pesanan bukan otentik ekspresi diri. Begitu juga Nurdin Khalid dengan PSSI nya. Spanduk dukungan terhadap Nurdin bisa dibuat dari sutra termahal dan dipasang di setiap pojok Stadion. Tapi semuanya tidak bermakna kala koor se isi stadion menyebut Nurdin untuk turun, karena itulah bahasa yang otentik

Kehidupan di rumah kaca mensyaratkan bahasa tanpa manipulasi. Semua kebaikan dan keburukan terlihat jelas dan menjadi penilaian dasar publik akan siapa yang telah berbahasa jujur dan siapa yang penuh manipulatif. Kesadaran inilah yang absen dari pelaku bahasa kita. Pemerintah, Agamawan, Jamaah Ahmadiyah, MUI tidak akan pernah hancur karena terror senjata dan tsunami. Tapi mereka akan luluh lantak oleh bahasa mereka dan kaumnya.
READ MORE - Bahasa Di Rumah Kaca

Revolusi Sosial Bersama Twitter



Prita Mulyasari pasti tidak pernah menyangka bila curhatnya tentang layanan Rumah Sakit Omni di internet berbuntut panjang. Tidak hanya Omni yang kelimpungan menghadapi reaksi publik, pemerintah pun mesti susah payah menjelaskan pada publik kalau regulasi yang mereka buat pro publik. Ujung cerita ini sudah diketahui semua; pengumpulan koin prita yang sangat monumental.

Tidak lama berselang, gundah gulana publik yang diungkap lewat media kembali menjadi heboh nasional. Setidaknya ada tiga surat pembaca dengan dua tema berbeda. Surat pembaca pertama adalah keluhan tentang rombongan presiden SBY di tol Jagorawi yang merepotkan masyarakat. Surat pembaca kedua dan ketiga adalah kesaksian yang mengurai terpidana mafia pajak, Gayus, yang sedang palesir ke Bali dan Luar Negeri meskipun statusnya sebagai tahanan kepolisian.

Seperti juga koin Prita, ketiga surat pembaca ini menjadi isu publik. Istana perlu mengklarifikasi dan meminta maaf. Begitu juga surat pembaca tentang Gayus. Meskipun pelesiran bernilai milyaran rupiah itu diorganisir sedemikian rupa dengan melibatkan seluruh elemen penyelenggara negara bidang hukum, kasus itu tetap terbongkar. Tidak cukup mentri, Presiden pun perlu untuk mengeluarkan instruksi khusus berkenaan kasus Gayus

Saat ini setidaknya kita sedang menghadapi dua fenomena yang tidak jauh berbeda. Kejatuhan Hosni Mubarak di Mesir dan curhatnya Alinda Kariza tentang ketidakadilan yang melanda Ibunya. Drama kejatuhan Presiden Mesir Hosni Mubarak, selain menyisakan cerita tentang mobilisasi sekelompok massa bayaran pro mubarak, juga menyisakan cerita tentang sebuah rezim berkuasa mesti mematikan internet dan memutus situs-situs jejaring sosial yang jadi media masyarakat untuk berkomunikasi dan memobilisasi gerakan.

Di negeri sendiri, publik dihentakan oleh curahan hati Alinda Khariza di blog pribadinya yang di tweet di account tweeternya. Dalam waktu tidak kurang dari setengah hari, karena banyaknya orang yang simpati dan retweet, ribuan orang mengakses blog Alinda untuk membaca langsung curahan hatinya. Lebih dari 500 email menyatakan dukungan dan puluhan dering telepon masuk ke ponsel Alinda menyatakan simpati. Sekarang Alinda, keluarganya juga seluruh orang yang marah terhadap ketidakadilan yang dipraktekan penegak hukum, mendapat angin segar untuk melakukan perlawanan.

Siapapun pasti tidak pernah menyangka kalau situs jejaring sosial akan berpengaruh sedemikian besar. Internet umumnya dan situs jejaring sosial khususnya, banyak digunakan orang untuk mengekspresikan seluruh isi kepalanya. Tidak pernah tersirat menggunakan twitter dan facebook untuk melakukan aksi mobilisasi massa dan protes massal terhadap sebuah rezim yang dianggap tidak adil dan dzalim. Lalu kenapa hal ini bisa terjadi?

Fundamental Human Communication

Ada beberapa faktor yang menyebabkan internet, blog dan situs jejaring sosial dengan mudah mengumpulkan simpati publik dan memobilisasinya menjadi gerakan massal. Kelompok faktor pertama karena nature internet sebagai penemuan teknologi informasi dan komunikasi sedangkan yang kedua berasal dari improvisasi kemampuan teknologi komputer yang mampu mengcover beberapa kharakther komunikasi manusiawi, human communication, dalam sebuah praktek mediated communication yang dalam beberapa asumsi awal sering disebut low in socio emotional touch.

Nature teknologi informasi dan komunikasi adalah kemampuan multiplikasi dalam waktu singkat. Solidaritas gerakan facebooker untuk Bibit-Chandra bisa booming mencapai angka jutaan hanya dalam hitungan hari dan menjadi perhatian publik. Begitu juga tulisan Alinda di blog yang bisa diketahui dan diakses semua orang hanya dalam hitungan jam hanya dengan hanya kicauan di tweeter dan retweet para follower.

Pada sisi lain karena internet baru menjangkau kalangan tertentu, pengguna internet adalah kalangan menengah keatas yang melek baca, berpendidikan diatas rata-rata dan secara ekonomi sudah stabil. Karena berasal dari kalangan ini, maka mereka dengan sangat mudah bisa memobilisasi diri dan lingkungannya untuk mengungkapkan setiap keresahan. Kalangan menengah keatas adalah mereka yang sudah menuntaskan problem klasik dapur rumah tangga dan bergerak pada pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri.

Dua nature dari karakter pengguna internet ini yang kemudian bersinergi dengan perkembangan terbaru para pengguna internet yang mampu berekspresi di dunia maya sebagaimana mereka berekspresi di dunia nyata. Meskipun para pengguna internet tidak berhadapan, tetapi inovasi dunia teknologi telah membuat mereka seolah berhadapan meskipun berjauhan.

Dalam bukunya Communication and Human Behavior Rubben dan Stewart mengungkap beberapa hal fundamental dalam perilaku komunikasi manusiawi adalah subjektivitas, self reference, self reflexivity (1998: 76-79). Faktanya ternyata hal-hal penting ini selain bisa dicover dengan baik dalam komunikasi di dunia maya juga berubah

Subjektivitas adalah sesuatu yang inheren dalam setiap praktek komunikasi. Setiap orang mesti mempunyai latar belakang dan tingkat pengetahuan berbeda sehingga berbeda pula menafsirkan setiap pesan yang disampaikan setiap orang. Apa yang disebut murah hati bagi seseorang, berbeda maknanya bagi orang lain. Bagi seseorang murah hati adalah memberikan uang bila bertemu atau bagi orang lain murah hati berarti selalu memberikan senyum bila bertemu seberapapun kesulitan yang sedang dia hadapi.

Tetapi saat ini kita hidup di alam yang sudah diseragamkan sehingga orang memiliki interpretasi tunggal. Subjektivitas sudah hilang dan orang menjadi sangat objektif dan memiliki interpretasi tunggal untuk setiap realitas. Hal inilah yang terjadi di dunia maya. Cukup menampilkan photo Gayus maka bayangan orang adalah tentang pegawai negara yang korup dan merugikan, bukan tentang seorang kepala keluarga yang sangat melindungi dan menyayangi keluarganya. Bila disebut politisi maka kita berpikir tentang sekelompok orang yang suka bersilat lidah dan korup, bukan kelompok orang yang sedang berargumentasi dan membangun negara.

Adapun self references adalah ketika kita mengikutsertakan pengalaman pribadi dalam berinterpretasi. Internet sebagai sarana komunikasi juga selalu mengikutsertakan pengalaman pribadi yang melingkupinya. Ketika Alinda mencurahkan isi hatinya, ada yang menghubungi Alinda dan memberikan apresiasi karena dia mampu berbicara akan pengalaman yang sama dengan mereka. Mereka memberikan apresiasi terhadap tulisan Alinda bukan karena simpati semata, tetapi juga empati bahwa mereka telah mengalami hal yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami keluarga Alinda

Sedangkan self reflexivity adalah kebiasaan setiap orang untuk memproyeksikan bila pengalaman yang menimpa seseorang juga menimpa dirinya. Solidaritas masyarakat untuk Prita bukan hanya berdasarkan pengalaman mereka ketika berhadapan dengan layanan kesehatan masyarakat yang acap bermasalah, tetapi juga sebagian dikarenakan membayangkan bagaimana kalau dirinya dan keluarganya mengalami hal yang tidak jauh berbeda dengan Prita.

Hal yang juga penting adalah inovasi tekhnik penulisan dan teknologi penyajian gambar telah berhasil membuat setiap penonton televisi dan pembaca media seolah sedang menyaksikan kejadian secara langsung. Berapa banyak orang yang menyatakan ikut menitikan air mata mendengar nama Indonesia diserukan seisi Gelora Bung karno kala timnas sepakbola bertanding, meskipun mereka hanya menonton melalui Televisi. Atau ketika siaran Live TV yang menayangkan penyelamatan para penambang Chili membuat dunia ikut heroik, menitikan air mata dan mengalirkan bersimpati.

Warning Bagi Penyelenggaran Negara

Revolusi komunikasi dan informasi tidak hanya berhasil memperluas daya jangkau, tetapi juga kecepatan penyebaran informasi. Lebih jauh dari itu, berkomunikasi di dunia maya seperti berkomunikasi di dunia nyata. Perkembangan terkini revolusi komunikasi berhasil membangkitkan emosi dan mendorong publik memobilisasi diri.

Perkembangan ini sudah disadari dan dimanfaatkan sedemikian rupa oleh banyak kalangan seperti institusi bisnis dan pendidikan. Sehingga kedua institusi ini banyak melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih positif. Tetapi sayangnya perkembangan ini diremehkan oleh para penyelenggara negara. Mestinya mereka ingat bahwa perkembangan yang ada telah menempatkan mereka berada dalam rumah kaca dimana setiap orang bisa memonitor dan melihat secara jelas apa yang mereka perbuat.

Tetapi sepertinya kita sedang berhadapan dengan para penyelenggaran negara yang sudah bebal sehingga tidak bosan dan kapok melakukan penyimpangan dalam pengelolaan negara. Bila sudah seperti ini, maka revolusi sosial adalah sesuatu hal yang tidak mungkin. Seperti yang diungkap oleh William Paesley, pakar komunikasi dari Stanford University, Technological change has placed communication in the front lines of a social revolution
READ MORE - Revolusi Sosial Bersama Twitter

Menghadapi Gerakan Sosial Boikot Pajak




Bandung, 31 Maret 2010

Tindakan Gayusmenimbulkan kemarahan dan kerepotan berbagai pihak. Kepolisian yang baru saja mendapat applaus karena sukses menangkap gerombolan teroris, kembali menghadapi tekanan publik sebagaimana kasus Cicak Buaya dulu. Kejaksaan yang belum rehat setelah menghadapi tudingan publik pada kasus Anggodo, kembali mendapat cibiran publik atas perilaku jaksanya yang membiarkan Gayus di vonis bebas di PN Tanggerang.

Sementara itu Menkeu Sri Mulyani geram bukan main. Kerja kerasnya mereformasi Depkeu dengan remunerasi, perbaikan system, pengetatan pengawasan seolah tidak berbekas. Berbagai macam instruksi dan pemeriksaan terhadap pegawa pajak pun digelar. Yang paling marah tentunya wajib pajak. Hasil kerja kerasnya ternyata hanya untuk memperkaya pegawai pajaknya.

Bila diurai dalam sebuah siklus waktu keseharian, yang terjadi adalah sbb; Ketika kita mendapat uang, seketika kita dihadang Pajak Penghasilan (PPh). Ketika pendapatan yang baru dipotong itu kita bawa ke Bank untuk disimpan sebagian, kita mesti sudah bersiap adanya Pajak Bunga Bank. Ketika uang dibawa pulang untuk kemudian membayar berbagai macam surat tagihan bulanan yang datang ke rumah, mulai dari tagihan PDAM, listrik, pulsa, telepon rumah, didalam tagihan selalu ada peringatan kalau jumlah tersebut belum ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10%. Malamnya ketika bersama keluarga pergi ke supermarket membeli kebutuhan harian, selalu tercantum adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPn) yang mesti kita bayar dari setiap kebutuhan yang kita beli. Bahkan ketika kita kembali pulang untuk istirahat dan melihat rumah, kita sudah diintimidasi adanya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Diluar berbagai macam pajak yang sudah disebutkan diatas, ada jenis pajak lain yang belum diungkap. Ada pajak negara meliputi ; Pajak penjualan barang mewah, Pajak bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Bea Masuk dan Cukai. Adapun pajak daerah; Pajak kendaraan bermotor, pajak reklame, pajak radio

Karena hasil kerja keras dan keseharian kita sudah dipenuhi pajak, ketika ada informasi kalau pajak itu ditilep oleh petugas pajaknya sendiri, publik memberikan respon keras. Penemuan terakhir bidang tekhnologi informasi dan komunikasi berupa terbentuknya situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter, memungkinkan masyarakat untuk bisa meningkatkan lebih jauh kadar kegeramannya atas kejadian ini. Masyarakat dunia maya memobilisasi sebuah group yang menyatakan menolak pajak karena hanya untuk memperkaya pejabatnya saja.

Pemerintah tidak boleh meremehkan Gerakan sosial para facebooker ini. Mesti ada sebuah tindakan simpatik menghadapi gerakan ini. Setidaknya ada tiga alasan bagi pemerintah tidak menganggap remeh gerakan ini. Pertama, pengalaman sebelumnya dalam kasus perseteruan Cicak Buaya. Facebooker selain aktif di dunia maya, juga serentak turun ke jalan. Kejadian adalah gerakan koin peduli prita yang digagas di dunia maya, menjadi sebuah gerakan sosial yang massal di dunia nyata. Gerakan yang menyatakan dukungan pada Prita yang tertindas oleh konspirasi para Jaksa dan institusi kapital.

Kedua adalah kemampuan situs jejaring sosial untuk melipatgandakan dukungan dalam waktu singkat dan dalam jumlah besar. Terlebih media elektronik dan cetak yang juga memberikan perhatian yang sangat besar terhadap kasus ini. Ketiga adalah kharakter para pengguna situs jejaring sosial yang relatif sudah mapan secara ekonomis dan well informed.

Menghadapi Gerakan Sosial Facebooker

Lalu bagaimanakah menghadapi gerakan sosial boikot pajak ini?

Starting point yang mesti menjadi bahan perhatian adalah bahwa meski facebooker menggunakan frasa “Gerakan Boikot Pajak” pada dasarnya adalah sebuah sikap, bukan perilaku. Facebooker baru menyatakan sikap mereka terhadap penyimpangan pajak oleh oknum pegawai pajak.

Menurut pakar psikologi seperti Lous Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Berkowitz, 1972). Jadi apa yang diungkap oleh para facebooker barulah sebatas penilaian terhadap fenomena yang ada, belum menyatakan prilaku mereka untuk tidak membayar pajak.

Kajian psikologi sendiri menunjukan tidak selalu konsistennya antara sikap dan perilaku. Dari tiga postulat tentang hubungan antara sikap dan perilaku, hanya satu postulat yang menyatakan konsistensi antara sikap dan perilaku. Dua yang lain menyatakan tidak konsisten dan situasional

Adalah studi klasik LaPierre (1934) yang mengrim surat kepada banyak pemilik hotel dan restoran di seluruh Amerika Serikat menanyakan apakah mereka mau menerima tamu orang Cina. Hasilnya 91% mengataka “Tidak” dan sisanya mengatakan “Belum tentu”. Lalu LaPierre dengan sepasang suami istri Cina keliling Amerika sejauh kurang lebih 16000 km mendatangi 250 restoran dan hotel tersebut. Ternyata dari kesemua kunjungannya itu, LaPierre dan kedua orang Cina tersebut hanya mengalami penolakan sekali saja.

Sementara Allen, Guy dan Edgley (1980) berpendapat bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor seperti norma-norma, peranan, keanggotaan kelompok, kebudayaan dan lain sebagainya. Sehingga sejauhmana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi yang lain.

Maka yang harus dilakukan oleh pemerintah sekarang adalah mencegah sikap tersebut berujung kepada perilaku. Mencegah gerakan sosial boikot pajak menjadi perilaku tidak membayar pajak
Menurut Kelman (1958, dalam Brigham, 1991) setidaknya ada tiga proses sosial yang berperanan dalam proses perubahan sikap, yaitu kesediaan (compliance), identifikasi (identification), dan internalisasi (internalization). Kesediaan terjadi ketika individu bersedia menerima pengaruh dari orang atau kelompok lain karena berharap memperoleh tanggapan positif seperti dukungan dan simpati.

Adapun identifikasi adalah proses ketika seseorang meniru perilaku atau sikap seseorang atau kelompok lain karena sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai bentuk hubungan menyenangkan antara dia dengan fihak lain. Sementara internalisasi terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia bersikap dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang ia percayai dan sesuai dengan sistem nilai yang dimaksud.

Memenuhi aspek kesediaan, pemerintah harus memberikan respon positif terhadap gerakan sosial facebooker. Apresiasi dan penjelasan terhadap kasus ini mesti terus dilakukan. Tentunya jawaban-jawaban yang diberikan tidak cukup hanya berupa penjelasa verbal berupa pers confrence, press release, tetapi juga dalam bentuk tindakan konkrit.

Apa yang dilakukan Mentri Keuangan dengan memeriksa dan memberhentikan sementara atasan Gayus di Dirjen Pajak patut mendapat apresiasi. Terlebih ketika Menkeu menginstruksikan pemeriksaan SPT para petguas pajak dan mengapresiasi keinginan banyak orang untuk memonitor gaya hidup para pegawai pajak.

Lebih jauh dari itu, Departemen Keuangan pada dasarnya bisa membuat terobosan lebih jauh dalam berkomunikasi dengan facebooker. Misalnya adalah menggelar jumpa facebooker menjelaskan semua permasalahan. Tindakan ini akan mempertegas para facebooker bahwa pemerintah apresiatif dengan keresahan facebooker.

Dalam aspek identifikasi, perlu dipikirkan berkomunikasi dengan publik dengan menggunakan publik figure. Karena gerakan kali ini berkaitan dengan pajak, maka ada baiknya mencari figur-figur para wajib pajak yang sukses di tengah masyarakat. Ketua gabungan pengusaha, publik figur yang dikenal taat pajak bisa digandeng untuk meredam gerakan sosial ini.

Pada aspek internalisasi, perlu dikreasikan kembali susunan pesan yang akan dibicarakan kepada publik. Publik mesti diingatkan kembali tujuan pajak sebagai usaha untuk memakmurkan masyarakat. Mengungkapkan hal ini jauh lebih baik daripada menggambar-gemborkan adanya ancaman pidana terhadap pemboikot pajak.

Membiarkan dan menganggap remeh gerakan sosial para facebooker, hanyalah sebuah pintu masuk terjadinya konsistensi antara sikap dan perilaku. Gerakan sosial yang baru sebatas sikap, akan menjadi sebuah perilaku nyata bila tidak ditangani secara baik dan profesional. Bila hal ini terjadi, tidak hanya pemerintah yang merugi, masyarakat banyak juga menjadi rugi
READ MORE - Menghadapi Gerakan Sosial Boikot Pajak

Monday, 23 May 2011

Dendam Terhadap Yahudi



Ini tulisan dari orang yang hanya memperhatikan berita insiden internasional penyerangan misi kemanusian kapal Mavi Marmara oleh Israel. Tetapi tidak mengerti bagaimana diplomasi internasional itu bagaimana. Tulisan orang yang pernah baca-baca tafsir quran, hadits serta menghapal keduanya. Tetapi karena kelalaian, rekaman di kepala dua teks suci itu banyak yang lompat keluar kepala.

Jadi jangan tanya detail posisi ayat dalam alquran yang dinukilkan, sanad (riwayat) dan matan (teks) haditsnya atau detail artikel yang dibaca. Saya hanya mengandalkan kepercayaan saja kalau yang saya nukilkan memang benar-benar alquran, hadits dan artikel yang saya baca. Kalau saudara tidak percaya, tinggalkan saja. No problem

Premis utamanya; saya muslim. Makna Islam adalah berserah atau keselamatan. Berserah adalah pengakuan adanya yang maha tinggi tempat dimana kita menyerahkan semua yang kita lakukan. Keselamatan bermakna bahwa bila memahami dan menjalani agama ini secara benar dan konsisten, maka keselamatan adalah milik kita baik di dunia maupun hari nanti.

Premis lanjutannya adalah tujuan Allah, yang dinyatakan dalam Al Quran, bahwa penciptaan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah supaya manusia itu saling mengenal. Supaya terjadi proses interaksi, berbagi, share informasi sehingga menghasilkan kerjasama dan formula baru dalam menghadapi persoalan hidup. Tidak ada keunggulan total sebuah kelompok masyarakat dibanding kelompok masyarakat lain.

Sebuah masyarakat boleh jadi unggul pada satu sisi, tetapi pasti selalu memiliki kelemahan pada sisi lain. Sehingga bila proses taaruf yang diisyaratkan Alquran terjadi, yang terjadi adalah bersatunya kelompok masyarakat yang saling menutupi kelemahan dan menyatukan kelebihan sehingga kualitasnya meningkat.

Fenomenanya adalah kekejaman Israel di Palestina. Apa yang terjadi di Palestina sudah menjadi kesadaran publik. Bila masa Orde Baru hanya sebagian kelompok masyarakat saja yang mengetahui dan peduli terhadap konflik Palestina-Israel, perkembangan massif media massa telah menjadikan isyu ini berkembang sedemikian massif menyentuh banyak kalangan. Sehingga simpati dan partisipas publik terhadap penderitaan masyarakat Palestina sudah tidak menjadi monopoli sebagian kelompok atau sub kelompok masyarakat.

Diantara partisipasi publik itu kemudian terdengar cukup jelas ungkapan kemarahan, kebencian, dendam, terhadap ras Yahudi. Kesimpulan yang muncul ke permukaan pun relatif ada kesamaan; Yahudi bangsa laknat, ras pengkhianat dari dulu sampai sekarang, layak dibunuh dan di siksa. Entah hoax atau bukan, di internet ada informasi kalau Hitler membunuh sebagian Yahudi dan membiarkan sebagian lainnya hidup supaya dunia tahu kenapa dia membantai Yahudi.

Pokoknya Israel itu bangsa yang dikutuk Tuhan sejak dia dilahirkan sampai sekarang. Sehingga jangankan di usir, di bunuh pun mereka boleh. Indonesia dijajah ratusan tahun oleh Belanda, tetapi kita tidak pernah mengatakan bahwa Belanda sebagai bangsa yang dilahirkan terkutuk, dilahirkan menjajah atau bangsa yang layak dilaknat.

Kerasnya suara kutukan, dendam serta perilaku Israel yang menjengkelkan, menjadikan dendam dan marah sebagai sebuah sifat yang melekat bila disebut nama Israel. Sehingga tidak aneh, ketika Presiden Gus Dur menyatakan akan membuat hubungan dagang dengan Israel, rencana tersebut urun dilaksanakan karena kuatnya aroma dendam dan rasional.

Padahal kalau mau diikuti lebih lanjut, gagasan Alm Gus Dur untuk membangun hubungan dengan Israel sangatlah rasional. Bagi Gus Dur sangatlah tidak mungkin Indonesia berperan besar menyelesaikan konflik Palestina-Israel bila Indonesia hanya memiliki akses ke salah satu negara saja. Indonesia mesti memiliki akses kepada keduanya sehingga dialog terjadi.

Selanjutnya yang terjadi adalah pemupukan dendam yang terus menerus di satu sisi, dan kekerasan yang tidak pernah berhenti di sisi lain. Seperti api disiram oleh minyak, dendam dan kemarahan tidak hilang oleh intimidasi dan kekerasan. Sementara Israel yang keras kepala pun tidak pernah mengurungkan kekerasannya hanya karena desakan, kecaman dan hujatan masyarakat internasional. Hujatan dan kecaman adalah makanan sehari-hari mereka.

Bila sudah seperti ini, bagaimana kemudian masalah ini akan selesai?Dimana-mana bila kedua sifat keras dan panas berhadapan, yang ada adalah kehancuran. Rumus sederhananya adalah pepatah orang Indonesia sendiri yang mengatakan kalau menang jadi abu kalah jadi arang.

Rumusannya sepertinya memang harus kembali kepada apa yang disebut agama sebagai keselamatan dan pandangan bahwa penciptaan manusia bersuku-suku dan bangsa untuk taaruf. Memasang kembali pandangan dalam kepala kita bahwasannya semua bangsa itu punya kelebihan dan kekurangan. Yahudi memang kurang ajar dan kejam, tetapi rasanya lebih tepat bila itu dikatakan itu dengan ungkapan limitatif “sebagian”.

Saya teringat hadits nabi yang mengatakan kalau dhaalim (penganiaya) dan madhlum (korban penganiayaan) sama-sama harus dikasihani. Pelaku kedholiman mestilah dikasihani karena pada dasarnya dia menyalahi kodratnya sebagai manusia untuk senantiasa rahman dan rahim kepada sesama. Madhlum terlebih lagi mesti dikasihani karena ada hak pada dirinya yang dirampas orang lain.

Karena mengasihani madhlum (bangsa Palestina) maka bantuan harus tetap kita kirimkan, do’a mesti tetap dipanjatkan dan dukungan mesti terus diteriakan. Karena mengasihani dhaalim (bangsa Israel) maka tekanan politik, kecaman, hujatan, negosiasi, diplomasi harus tetap kita lakukan karena kita tidak ingin mereka terus menerus melanggar kodratnya sebagai manusia dengan terus menerus melakukan kekerasan dan kekejian.

Dalam sebuah artikelnya di harian Seputar Indonesia, Rhenald Kasali, Guru Besar FE UI, menyebutkan kalau menurut sebuah penelitian otak orang marah itu mengkerucut menjadikan dia tidak kreatif dan cerdas keluar dari sebuah permasalahan. Saya membayangkan bila proses negosiasi, diplomasi dilandaskan pada kemarahan. Apakah yang akan terjadi bila sebuah negosiasi dan diplomasi tidak dilandaskan kecerdasan dan kreatifitas. Saya selalu meyakini kalau perjanjian para founding fathers selalu diliputi sifat arrahman dan arrahim, minimal terhadap bangsanya sendiri kalau tidak bisa terhadap lawan negosiasinya.

Tapi gak tahu lah. Ini kan orang yang memperhatikan. Orang yang juga sering marah karena amarah bukan karena kasih sayang. Orang yang tidak pernah tahu bagaimana proses negosiasi dan diplomasi itu terjadinya seperti apa dan bagaimana.

Waallahu’alam bi shawab

Bandung, Rabu 02 Juni 2010
READ MORE - Dendam Terhadap Yahudi

Mau Punya Anak Berapa?



Pagi hari di dapur selepas shalat shubuh. Sementara saya nyuci piring, istri yang sedang masak iseng nanya lagi; “Jadi kita mau punya anak berapa”? Ini pertanyaan iseng tapi serius yang diungkap kesekian kalinya. Biasanya jawaban saya pun tergantung mood. Kalau lagi serius saya hitung secara cermat baiknya berapa. Tetapi kalau sedang rileks maka saya jawab juga dengan iseng. “Emang bunda mampunya berapa?” Nah kalau sudah seperti ini, maka dialognya tidak karu-karuan.

Pagi hari ini mungkin mix antara serius dan rileks. Disela-sela senyum dan ketawa saya coba menghitung-hitung kira-kira anak saya yang sudah mendekati usia 3 tahun ini mau dikasih adik berapa orang. Banyak variable yang hinggap di kepala saya untuk menjawab pertanyaan ini.

Kalau secara genetik, maka saya mesti buat anak sebanyak-banyaknya. Istri saya 9 bersaudara dan saya 10 bersaudara. Tetapi saya tidak terpikir mempunyai anak sebanyak itu. Saya meragukan kemampuan saya untuk memperhatikan dan mengkontrol tumbuh kembang anak segitu banyaknya. Apalagi saya sadar kalau istri saya bukanlah orang yang bisa saya tempatkan sebagai deputi di rumah. Istri saya punya potensi yang mesti saya berikan kesempatan dan dorong untuk berkembang sehingga rumah adalah bagian dari kehidupannya.

Beberapa waktu lalu saya baca sebuah artikel di Kompas yang menyebutkan kalau tumbuh kembang dan kebahagian anak salah satunya dipengaruhi oleh kuantitas pertemuan dengan ayahnya. Semakin banyak kuantitas pertemuan ayah dan anak, semakin baik tumbuh kembang anak. Kemarin saya seolah mendapatkan penguatan artikel Kompas itu. Saya membaca tuntas laporan khusus Majalah Tempo tentang kehidupan K.H Wahid Hasyim. Putra K.H Hasyim Asy’ari pendiri NU, ayahanda Gus Dur, dan Mentri Agama priode awal.

Dari hasil investigasi Tempo disebutkan kalau Alm K.H Wahid Hasyim, sangatlah dekat dengan anak-anaknya terutama anak pertama Abdurrahman Ad Dachil atau yang biasa kita kenal dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Setiap pagi K.H Wahid Hasyim disela kesibukannya sebagai tokoh masyarakat, mentri agama, aktivis politik zaman kemerdekaan, selalu menyempatkan diri untuk bisa mengantar anak-anaknya ke sekolah dan memantau tidur siang anaknya. Sekarang siapapun kalau memperhatikan keluarga Hasyim ini, pasti orang sangat iri dan kagum akan kesuksesan mereka.

Kalau variablenya anjuran pemerintah untuk ber KB, saya pikir sayang juga yah. Seorang teman pernah mengeluh karena dia hanya akan punya anak satu saja. Pasalnya adalah karena dia menikah dan mempunyai anak pertama diatas umur 30 tahun. Menurut info yang dia dapat, kalau dia melahirkan lagi, maka anak yang lahir akan rentan tumbuh kembangnya. Sementara saya dan istri termasuk orang beruntung, menikah pada umur umur yang tidak terlalu muda juga tidak terlalu tua. Jadi masih punya kesempatan berproduksi sangat banyak. Lagian katanya kita menikah itu bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan psychologis dan biologis, tetapi juga kewajiban membangun generasi

Kalau istri saya sendiri katanya pingin punya lebih dari dua anak. Katanya biar nanti kita mempunyai anak dengan kemampuan dan profesi yang berbeda. Mulai dari seniman, dosen, birokrat, militer sampai dengan kyai.

Selesai nyuci piring saya pindah ke ruang tv. Di karpet tergeletak katalog LSE (London School Of Ecnomics and Political Science) yang belum sempat dibereskan. Melihat itu saya jawab pertanyaan istri saya “Bagaimana kalau kita punya anak 5 orang saja?’. “Kenapa 5 orang?” istri saya nanya balik

“Kita sesuaikan dengan jumlah benua. Jadi nanti kita sekolahkan anak-anak kita di masing-masing benua. Nanti ada yang sekolah di Benua Eropa (Cambridge, LSE atau Sorbonne), benua Amerika (MIT, Yale, Stanford), benua Afrika (Al-Azhar, Kairo-Mesir) benua Asia (Jepang), dan Australia (ANU)” Jawab saya.

Sambil senyum istri saya menjawab “Bisa juga. Tapi kan jumlah benua ada 6, kalau yang di benua Antartika mau disekolahkan dimana?”. Ups, saya nyengir dapat jawaban istri. Pengetahuan geographi saya memang jeblok sampai-sampai tidak tahu kalau jumlah benua itu ada 6.

Belum sempat saya jawab, istri saya menyahut lagi “Nanti siang kita ke Fathia, katanya pendaftaran sudah buka. Si Ade sudah saatnya masuk Play Group, gak bisa di Taman Penitipan Anak lagi. Juni ini umurnya masuk 3 tahun”. Di belakang komplek rumah ada sekolah alam. Namanya Fathia Islamic School, untuk Play Group, TK dan SD. Beberapa teman merekomendasikan sekolah itu.

“Ok. Oya, disana berapa sih pendaftaran dan SPP buat Play Group?” tanya saya. “Katanya sih pendaftaran 4 juta, SPP 200 ribuan/bulan. Sudah ada duitnya belum”? Istri saya balik nanya sambil senyum. Sambil nyengir saya jawab “Duitnya sih sudah ada, tapi belum masuk rekening dan belum ada di dompet. Mesti dicari dulu hehehe…”

Sudah jauh-jauh khayal nyekolahin anak ke Sorbonne, lupa harus nyiapin duit buat pendaftaran Play Group. Mungkin begitu yah kalau kita bermimpi itu. Jauh melambung keatas tapi lupa berpijak ke kenyataan. Tapi masak sih dilarang bermimpi?Justru berbahaya kan kalau kita tidak punya mimpi. Yang tidak boleh itu kita bermimpi tetapi tidak berusaha mewujudkan mimpi itu. Lagian kita sudah dibuat susah dialam nyata, masak alam mimpi mau dibuat susah juga. Jadi saya nikmati aja mimpi punya anak kuliah di Sorbonne
READ MORE - Mau Punya Anak Berapa?

Memblokir Blackberry


Dimuat di HU Pikiran Rakyat 17 Januari 2011



Research in Motion (RIM) mendapat teguran cukup serius dari pemerintah. Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring mengancam menutup layanan Blackberry bila RIM tidak memenuhi aturan main tentang layanan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia. Salah satu aturan main yang tidak dipenuhi RIM adalah penutupan situs porno di layanan Blackberry.

Setidaknya ada tiga peristiwa, personal maupun sosial, yang melintas dalam memori ketika isu pornografi dan media mencuat kembali ke permukaan. Peristiwa pertama adalah ketika awal 1998, masa ketika warung internet menjamur di mana-mana. Riset kala itu menunjukkan, situs yang menjadi top ten dikunjungi pengguna internet adalah situs-situs yang memberikan layanan pornografi baik visual maupun audio visual. Akan tetapi, sepuluh tahun kemudian situs-situs porno terlempar dari sepuluh besar situs yang paling banyak dikunjungi digantikan situs-situs news online, blog, dan jejaring sosial.

Peristiwa berikutnya adalah pengalaman penulis dengan seorang teman yang adiktif dengan film porno. Kebiasaan ini gayung bersambut dengan tren film di bioskop-bioskop kala itu. Pada suatu waktu kami mengajak dia menonton film yang sedang jadi pembicaraan publik. Keluar dari bioskop, teman tadi terperangah. Keluarlah ungkapan yang memuji film yang baru saja ditonton dan membandingkan dengan model film yang selama ini ia tonton. Selepas itu, kebiasaannya menonton film porno pun drastis turun.

Kejadian terakhir adalah fenomena yang terjadi di beberapa negara berkembang yang sempat dikunjungi penulis. Negara-negara yang memiliki tingkat pengangguran sangat rendah, ada jaminan sosial dan kesehatan dari pemerintah, serta tingkat pendapatan ekonomi masyarakat yang jauh di atas rata-rata. Di setiap penjual koran dan majalah eceran di sana, selalu terselip majalah-majalah porno. Akan tetapi, tidak seperti anggapan kalau majalah itu akan menjadi daya tarik, masyarakat meresponsnya biasa-biasa saja.

Setidaknya ada dua benang merah dari peristiwa tadi, memberikan alternatif informasi dan hiburan yang mendidik selalu menjadi solusi untuk mengalihkan publik dari layanan informasi yang merusak dan tidak mendidik. Benang merah lainnya adalah tentang agenda hidup. Di negara maju, masyarakatnya selalu mempunyai agenda di kesehariannya. Agenda ini yang kemudian menjelma dalam aktivitas keseharian yang tertata dengan baik. Setiap orang akan menyensor segala macam bentuk aktivitas yang tidak akan mendukung orientasinya. Majalah porno akan masuk keranjang sampah pada suatu masyarakat yang mempunyai aktivitas jelas. Hal inilah yang sedang menjadi problem kita, yaitu minimnya aktivitas masyarakat (baca: lapangan pekerjaan).

Tidak ada yang salah dengan ancaman pemerintah terhadap RIM. Karena memang tugas pemerintah adalah menjalankan UU yang menyatakan pelarangan terhadap pornografi dan melindungi warganya dari perilaku yang meresahkan.

Masalahnya mungkin menjadi sangat sulit ketika dihadapkan kepada pertanyaan, ke mana dan bagaimana sebetulnya kebijakan politik komunikasi pemerintah akan dijalankan? Dari sini juga lahir pertanyaan kedua, bagaimana sebetulnya selama ini pemerintah menganggap warganya?

Pelarangan atau pembatasan adalah salah satu strategi kebijakan. Akan tetapi, bila polanya terus seperti ini, akan melawan psikologi publik yang sejak pascareformasi didorong untuk terus berekspresi menyatakan penolakan terhadap segala bentuk pelarangan. Bila terus seperti ini, yang terjadi adalah sesuatu yang sangat kontraproduktif. Kekuasaan, jaringan, sumber daya uang pemerintah akan terbuang sia-sia bila terus-menerus dipakai untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak memenuhi kepentingan publik. Mungkin akan lebih baik bila energi dan segala sumber daya pemerintah dihabiskan untuk mendorong, mengajak, dan melayani partisipasi publik dalam menyediakan informasi alternatif yang menjadi kebutuhan publik.

Contoh kecil dalam konteks pengembangan IT. Publik belum mendengar bagaimana optimalisasi penggunaan IT untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana pemerintah mengembangkan IT untuk mendukung kegiatan pertanian sehingga petani bisa memanfaatkan IT sebagai penunjang aktivitas mereka, baik dalam proses penanaman maupun penjualan hasil bertani. Mungkin hal itu sudah dilakukan, tetapi ketika tidak optimal disosialisasikan, akan dianggap tidak dilakukan.

Dalam konteks lain, Kominfo bisa mulai menghadirkan layanan informasi yang menarik seperti memperbaiki situs-situs kementerian atau pemerintah daerah yang tampil apa adanya, monoton, dan kadang hanya update ketika masa penerimaan CPNS, menjadi situs yang menarik, interaktif, update, dan menjadi rujukan publik.

Bagaimana sebetulnya selama ini pemerintah menganggap masyarakatnya? Apakah pemerintah menganggap masyarakat sebagai kumpulan orang yang tidak berpengetahuan dan tidak berdaya sehingga harus terus menerus dilindungi atau pemerintah mengganggap masyarakat kita sebagai kumpulan orang yang tidak berpengetahuan, tetapi memiliki potensi sehingga solusinya adalah memberikan fasilitas dan dorongan untuk berkreasi?

Di sinilah yang kemudian menjadi kontradiksi sikap pemerintah. Pada satu sisi, pemerintah sering menganggap masyarakat sebagai kumpulan orang tidak berpengetahuan dan tidak punya inisiatif, di sisi lain muncul ungkapan-ungkapan menuntut partisipasi publik dari pemerintah. Menuntut sesuatu dari kumpulan orang yang dianggap tidak berpengetahuan tentunya sesuatu yang absurd.

Kebijakan komunikasi mestilah berangkat dan berjalan berdasarkan pandangan yang utuh dan lengkap terhadap masyarakat karena masyarakatlah yang menjadi target dan aktor dari setiap kebijakan komunikasi yang dilahirkan pemerintah.
READ MORE - Memblokir Blackberry

Perubahan DPR dengan Gedung Baru?




Dimuat di Koran Pikiran Rakyat Tanggal 24/1/2011 Hal 23.
Suplemen Teropong (Analisa Sosial Politik)

Perubahan DPR dengan Gedung Baru?

Untuk kesekian kalinya DPR mengejutkan publik. Bukan karena anggotanya tertangkap tangan menerima suap, manuver politik apalagi prestasi kinerjanya. Tetapi karena keputusan Ketua DPR untuk meneruskan rencana pembangunan gedung baru DPR yang bernilai lebih dari 1 Trilyun. Publik pun riuh membicarakan hal ini terlebih karena isu ini sudah bergulir sebelumnya dan sudah mendapat reaksi negatif dari publik.

Dibumbui kegagapan anggota BURT memberikan penjelasan publik alasan pembangunan gedung baru, masyarakat makin riuh mengetahui bahwa di gedung baru itu akan dibangun kolam renang yang bisa dinikmati oleh para penghuni gedung. Meskipun DPR berdalih bahwa itu adalah bak penampungan air untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran, tetapi bahasa yang sudah dimunculkan ke publik adalah kolam renang bukan bak penampungan air.

Ketua DPR yang merangkap sebagai Ketua BURT tetap ngotot meneruskan rencana pembangunan gedung tersebut. Selain untuk menggantikan gedung DPR lama yang katanya sudah tidak layak dan membahayakan, gedung baru DPR merupakan bagian dari grand design usaha memperbaiki dan meningkatkan kinerja anggota dewan yang menjadi sorotan publik.

Yang menjadi pertanyaan publik selanjutnya kemudian tidak hanya tentang besarnya biaya yang dipakai untuk membangun gedung, tetapi sampai sejauh manakah rencana ini memang bisa mengubahh wajah DPR menjadi institusi yang efektif dan efisien menjalankan pungsi dan perannya. Apakah setelah pembangunan gedung DPR ini selesai, anggota dewan kemudian tidak akan korupsi lagi, melahirkan banyak produk undang-undang dan selalu menghadiri setiap agenda rapat?

Back to Classic

Mari kita kembali mengingat masa kecil kita. Ada masa ketika ingin bisa mengendari sepeda ataupun ingin mahir berenang. Dua pengalaman ini tentunya bukan pengalaman mahal yang hanya dialami kalangan elite saja, sekelas anggota dewan masa kecilnya pastinya mengalami ini.

Ketika anak-anak ingin bisa memainkan sepedai, langkah umum yang banyak dilakukan oleh orang tua adalah menyediakan sepeda buat mereka. Bila orang tua mampu, sepeda bisa dibeli, bila orang tuanya tidak mampu mereka meminjam atau menyewa sepeda. Tetapi apakah ketika sepeda tersedia anak-anak itu bisa langsung mengendarai sepeda?Tentunya tidak.

Tahap pertama adalah anak-anak itu mesti mencoba mengendarai sepeda dan yang paling utama adalah anak-anak itu mau dan berani untuk belajar bersepeda. Disinilah kemudian yang sering menjadi biang kegagalan anak-anak tidak bisa bersepeda. Menumbuhkan kemauan dan keberanian pada anak-anak untuk bersepeda. Kalau ini tidak terjadi, maka adanya sepeda tidak akan berpengaruh terhadap kemampuan mengendarai sepeda.

Bagi orang tua yang benar-benar ingin melihat anaknya bisa bersepeda mereka pasti melakukan dialog dengan anaknya. Mereka akan membujuk anaknya untuk mencoba berani belajar bersepeda dengan mengatakan kalau bersepeda itu adalah sebuah kesenangan. Orang tua biasanya menyuruh anak-anaknya membayangkan mereka bisa bermain bersama-sama dengan anak-anak lainnya, mengingatkan anak-anaknya kalau mereka tidak bisa bersepeda maka mereka tidak bisa bermain dan tidak punya teman. Atau mungkin orang tua akan mengingatkan anaknya kemungkinan dikemudian hari dia dikejar anjing, dia bisa melarikan diri dengan cepat karena bisa bersepeda.

Orang tua yang faham dan benar-benar ingin melihat anaknya bersepeda, mereka tidak cukup untuk menyediakan sepeda untuk anaknya, tetapi juga memberikan pemahaman kepada anaknya tentang bersepeda. Tidak cukup menyediakan peralatan, tetapi juga merubah persepsi sang anak tentang apa dan bagaimana bersepeda.

Begitu juga ketika orang tua ingin anak-anaknya bisa berenang. Mengajak ke kolam renang, sungai atau membuatkan kolam renang di rumah hanyalah langkah awal yang konvensional mengajarkan anak bisa berenang. Dibutuhkan sebuah pemahaman dari sang anak tentang manfaat bisa berenang dan bahaya nya tidak bisa berenang. Untuk menstimuli anaknya berenang, ada orang tua yang memberikan gambaran bila si anak mengalami kecelakaan laut tetapi tidak bisa berenang. Kalau anak tidak bisa kemampuan renang, maka anak tadi diingatkan akan tenggelam seperti kapal karam dan mati.

Begitu juga dengan orang dewasa. Adanya kendaraan tidak cukup membuat orang bisa mengendarai kendaraan. Para pegawai membutuhkan perubahan persepsi kalau mengendarai sepeda motor kerja lebih efisien dan ekonomis sehingga pendapatan bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain. Berapapun banyaknya jumlah mobil yanga ada di garasi seseorang, selama dia merasa nyaman, aman dan tidak bermasalah dengan keuangan, maka dia akan terus mengandalkan supir pribadi bukan dirinya untuk mengendarai mobil.

Saran dari Lembah Alto

Adalah sekelompok peneliti yang berkumpul di lembah Palo Alto dan mensistematiskan pengalaman-pengalaman diatas. Menurut Rhenald pada tahun 1950 beberapa peneliti bertemu di lembah Palo Alto, California. Mereka terdiri atas para ahli manajemen, psikologi dan para terapis yang melakukan apa yang merka sebut sebagai “Mental Research” Mereka sangat berkepentingan terhadap perubahan yang tengah melanda dunia dan merasa risau terhadap sikap yang ditunjukan oleh orang-orang yang katanya setuju terhadap perubahan tetapi gagal meresponnya. Karena bekerja di lembah Alto, tim ini dikenal dengan sekutu The Palo Alto School (Kasali, 2007; 212)

Pada tahun 1975, setelah berkumpul 25 tahun, tim ini akhirnya berhasil merumuskan apa yang mereka sebut dengan the law of change. The Palo Alto School menyatakan menemukan bahwa ada dua jenis perubahan yang harus dilakukan setiap orang. Bila hanya satu perubahan saja yang dilakukan, maka perubahan itu belum tentu akan berhasil. Keduanya itu adalah perubahan realita dan perubahan persepsi. Bila dirumuskan dalam sebuah kalimat sederhana, kira-kira ajaran The Palo Alto School adalah; “If you want to change, you have to change twice. You not only need to change the reality of your situation, you also need to change the perception of this reality”

Perubahan realita itu terjadi didalam sistem yang sama, berulang-ulang, berkelanjutan, supaya tetap sama hasilnya. Perubahan realita hanya memodifiksi komponen/bagian-bagian dan tetap patuh pada aturan baku yang berlaku (follow the rules). Retroactive feedback dan menjaga keseimbangan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam perubahan realita.

Adapun perubahan persepsi adalah perubahan yang keluar dari sistem lama, menemui sesuatu yang baru, tidak meneruskan hal yang sama dan memiliki kejutan-kejutan. Dalam perubahan realita orang merombak cara berpikir atau melihat, asumsi-asumsi, hipotesa-hipotesa dan pandangan-pandangannya. Perutaran lama sudah tidak bisa dipakai dan harus diganti secara menyeluruh. Orang yang melakukan perubahan persepsi mesti berani untuk melawan arus, “break the rule/order”. Ketimbangan mengagungkan keseimbangan, balance, perubahan persepsi menimbulkan chaos dan kejutan-kejutan.

Dalam dunia manajemen menurut Rhenald, kebanyakan orang lebih banyak melakukan perubahann realita. Misallnya saja perbaikan gedung, menambah produk baru di pasar, membangun merek, melakukan pelatihan-pelatihan, menerapkan layanan prima, komputerisasi, balance score card dan lain sejenisnya. Tetapi sangat minim yang melakukan perubahan persepsi.

Orang terus bersikukuh melakukan perubahan realita tetapi alpa melakukan perubahan persepsi. Seperti orang dewasa yang ingin berhenti merokok hanya dengan cara menghapus anggaran merokok dan membeli permen saja (perubahan realita). Tetapi dia masih mengatakan “sekali-kali merokok tidak apa lah”. Tidak ada perubahan persepsi dalam dirinya. Atau orang dewasa yang ingin menurunkan berat badan cukup hanya dengan mengambil kegiatan olahraga (fitness) dan diat makanan saja (perubahan realita). Tetapi dia tidak mau merubah persepsi bahwa kelebihan berat badan tidak hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga mengancam kehidupan. Orang bisa mati karena serangan jantung atau stroke karena kolesterol (perubahan persepsi)

Seperti orang yang selalu datang terlambat ke kantor, maka kita tidak bisa mengubahnya dengan hanya menuntutnya untuk datang tepat waktu (perubahan realita) tanpa mengindahkan perubahan dalam persepsi bahwasannya telat masuk kantor itu akan merugikan diri sendiri dan semua orang (perubahan persepsi)

Perubahan DPR dengan Gedung Baru?

Disinilah kemudian kita lihat bolong besar dari alasan pembangunan gedung baru DPR yang dikaitkan dengan perbaikan kinerja anggota dewan. Ide ini hanya mengindahkan satu perubahan (perubahan realita) tetapi tidak mensyiratkan adanya perubahan cara berpikir (perubahan persepsi). Ironisnya kemudian kita lebih banyak melihat anggota dewan yang lebih mengedapankan perubahan realita ketimbang perubahan persepsi. Sehingga tidak aneh kalau kemudian yang muncul ke publik adalah tentang tuntutan kenaikan gaji, tunjangan, perbaikan rumah dinas dll.

Saat ini publik belum mendengar adanya usaha anggota dewan yang ingin melakukan perubahan lalu melakukan perubahan persepsi. Hal ini misalnya bisa diwujudkan dengan dibuatnya regulasi khusus buat anggota dewan yang melanggar hukum dengan timbalan hukum yang lebih berat. Yang terjadi justru sebaliknya, anggota dewan yang melakukan tindak pidana korupsi lebih banyak dilindungi oleh partainya ketimbang didorong untuk diganjar hukuman yang lebih berat dari biasanya.

Bila pola perubahan yang digagas DPR seperti ini, maka sebetulnya dengan sangat mudah kita akan melihat pola-pola perubahan lanjutannya. Bila sekarang yang dituntut adalah adanya gedung baru dengan fasilitas kolam renang di lantai atas, besoknya pasti akan muncul tuntutan adanya kolam renang di lantai bawah atau tengah karena semua anggota dewan sangat membutuhkannya. Ujung-ujungnya semua lantai pun dituntut mempunyai kolam renang

Gagasan pembangunan gedung DPR baru benar pada satu sisi, mesti dilanjutkan dengan kebenaran pada sisi lain berupa perubahan cara pikir dan persepsi. Bila hal ini tidak dilakukan maka yang terjadi tidak hanya kerugian bagi masyarakat, tetapi kerugian bagi semua fihak. Kerugiannya tidak hanya sekedar adanya anggaran yang dihambur-hamburkan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap legislatif. Bila sudah seperti ini, maka bangunan sistem politik yang sidang kita tata pun terancam mendapat penolakan dari publik. Ujung-ujungnya, maka perilaku anggota dewan tidak hanya merugikan mereka, tetapi juga merugikan tatanan kehidupan bernegara di negeri ini.
READ MORE - Perubahan DPR dengan Gedung Baru?

The Road of Lost Innocence




The Road of Lost Innocence ditulis Somaly Mam. Sebuah memoar yang menceritakan praktek prostitusi dan perdagangan anak di Kamboja dalam perspektif seorang korban yang dikemudian hari menjadi pembela para korban perdangan seks anak itu. Sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia judul yang sama oleh penerbit Hikmah Mizan.

Saya mendapatkan buku ini tidak sengaja ketika main ke tempat teman. Suntuk tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Ketika melihat ada buku seperti novel tergelatak di kasur, langsung saya sambar. Terhenti ketika aliran listrik padam, dan akhirnya bisa diselesaikan malam itu juga.

Somaly Mam bukan seorang sastrawan atau penyair. Sehingga tidak akan ditemukan susunan dan pilihan kata yang akan memukau. Somaly juga bukan seorang filosof, ilmuwan dan aktivis yang kenyang melahap teori-teori sosial. Sehingga kita tidak akan pernah menemukan kutipan-kutipan mendalam atau teoritisasi atas pengalamannya dalam sebuah analisa yang rumit seperti analisa gender, budaya patriarkhi, politik ekonomi dan lain sebagainya.

Somaly Mam adalah korban perdagangan seks anak dan orang yang berjuang membela anak-anak korban perdagangan seks di Kamboja. Somaly baru kenal huruf Kamboja ketika berumur 9 tahun dan belajar huruf latin, untuk mempelajari bahasa Perancis, pada umur belasan. Itupun terpaksa karena bertemu dengan seorang pekerja kemanusiaan dari Perancis, Pieere, yang dikemudian hari menjadi suaminya. Karena posisi inilah kemudian kita bisa melihat kelebihan dari buku ini. Somaly mengurai sebuah pengelaman dengan detail dan otentik tanpa bumbu-bumbi untuk menciptakan efek dramatis. Somaly hanya bertujuan untuk menyuarakan suara hati para korban dan mengingatkan dunia akan sebuah kejadian yang sangat barbar yang terjadi di era yang katanya sedang menuju puncak peradaban manusia

Coba saja bagaimana kita bisa membayangkan di zaman digital ada anak perempuan berumur 5-6 tahun yang diantar oleh Ibu dan Bapaknya ke rumah bordil untuk membayar hutang-hutang mereka. Karena harga keperawanan tinggi dan pengetahuan yang beredar mengajarkan bahwa menikmati keperawanan bisa memanjangkan umur dan mencerahkan kulit, maka setelah anak umur 5-6 tahun itu diperkosa dan hilang keperawanannya, para mucikari menjahit vagina anak tadi tanpa anastesi untuk kemudian dijual kepada lelaki lain. Dan itu tidak terjadi pada 1-2 orang anak, tetapi pada ribuan anak di Kamboja. Somaly sendiri dengan organisasi yang dia bangun, sudah menyelamatkan sekitar 4000 anak korban prostitusi.

Sebagaimana mengukuhkan ajaran-ajaran kehidupan yang sudah diterima masyarakat, pengalaman Somaly juga menjungkirbalikan pemahaman yang sudah mapan di tengah masyarakat. Sebagaimana sesuatu itu mungkin saja terjadi, sesuatu juga sangat mungkin tidak terjadi. Coba saja simak beberapa hal berikut ini.

Banyak orang mengatakan; sebagaimana harimau tidak akan pernah memakan anaknya sendiri, maka orang tua itu tidak akan pernah juga memakan anaknya sendiri. Tetapi faktanya menunjukan bila berapa banyak orang tua yang membunuh bayi yang baru terlahir.

Dalam kasus perdagangan seks di Kamboja Somaly menceritakan bagaimana seorang anak perempuan berumur 5 tahun diantar Ibu nya ke rumah bordil. Ketika si anak dengan polos meminta memeluk dan meminta perlindungan terhadap Ibunya, sang Ibu menampar, memarahi si anak dan menyuruhnya mengikuti si mucikari. Setelah itu si Ibu dengan tenang meninggalkan si anak dengan uang 15$ di tangan.

Selanjutnya dirangkailah sebuah “perjanjian” antara si orang tua dan si mucikari. Setiap bulan si orang tua bisa datang mengambil uang hasil prostitusi sang anak dengan catatan si anak tidak lari atau diambil oleh orang tuanya. Untuk mengikat si anak, mucikari dengan suaminya menjatuhkan mental sang anak. Bila si anak menolak melayani klien, anak tersebut tidak hanya dipukul dan dimarahin, tetapi juga dimasukan ruang bawah tanah yang sudah dipenuhi ular. Adapun pengalaman Somaly, karena dia sudah kebal dan tidak takut dengan ruang bawah tanah yang dipenuhi ular, majikan Somaly mengguyur dan memasukan belatung ke mulut Somaly.

Hal lain adalah ketika Somaly diminta seorang anak perempuan untuk menemui Ibunya yang sudah mengirim dia ke rumah bordil ketika dia berumur 5 tahun. Ketika bertemu sang Ibu anak tadi bertanya kenapa Ibu nya mengirim dia ke rumah bordil. Si Ibu menangis sesenggukan dan mengaku bahwasannya dia tidak tahu kalau itu rumah bordil. Tetapi saudara lelaki nya menyela, bahwa dia juga khawatir si Ibu akan mengirim adik perempuannya ke rumah bordil tapi itu tidak jadi karena adik perempuannya itu cacat.

Akhirnya si anak berkata pada Ibunya, kalau dia bukan Ibunya. Sambil menunjuk kepada Somaly si anak berkata kalau itulah Ibu dia yang sesungguhnya. Karena dia mendapatkan apa yang harusnya dia dapat dari seorang Ibu pada diri Somaly. Kejadian ini mengingatkan kita pada sebuah adigium yang mengatakan bahwa kadang kala persaudaraan itu bukan berkaitan dengan darah, tetapi berkaitan dengan cinta.

Hal yang sangat menarik adalah ketika dilihat dalam perspektif budaya komunikasi yang menjadikan Somaly sebagai orang yang dipercaya para korban. Masyarakat Kamboja adalah masyarakar tertutup. Membicarakan kesusahan dan malapetaka yang menimpa diri kepada orang lain hanyalah membuka aib diri sendiri dan membuka pintu malapetaka berikutnya. Somaly tidak pernah mengatakan kepada orang tua angkatnya bila pada umur 9 tahun dia sudah diperkosa oleh seorang pedagang Cina untuk menebus hutang kakeknya. Begitu juga yang dialami anak-anak korban pemerkosaan

Tetapi karena Somaly korban dan merasakan betul pahit getir prostitusi anak, maka tanpa bicara dia bisa merasakan apa yang dirasakan para korban. Somaly tidak perlu lagi berbicara dan berceramah, cukup memegang tangan dan memeluk, setiap korban prostitusi seks langsung percaya kepada Somaly. Sepertinya komunikasi antar hati inilah yang kemudian menjadikan Somaly dan para korban bisa bersama-sama menjalani perjalanan hidup mereka yang getir itu.

Meskipun Somaly menggugat orang tua yang rela mengorbankan anaknya serta budaya patriarkhi yang menindas anak perempuan, pada akhirnya Somaly menyadari kalau itu adalah produk konflik yang terjadi di negaranya. Kamboja sekian lama jatuh pada konflik yang berkepanjangan. Kepedihan yang ada menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang hidup berasaskan saling percaya dan kebersamaan. Pada era konflik, memperhatikan kehidupan tetangga adalah musibah. Seperti ada kecelakaan kendaraan di jalan raya, maka jalan yang terbaik adalah tidak menolong korban. Karena bila kita menolong, maka kitalah yang akan ketiban sial menjadi tersangka ataupun terbebani

Hal selanjutnya kita akan menemukan cerita khas aparat penegak hukum dunia ketiga yang korup. Berkongkalingkong dengan hakim, para pemerkosa yang diajukan ke pengadilan oleh Somaly bisa divonis bebas. Pada akhirnya Somaly bisa mendapat bantuan dari teman-temannya di pemerintahan dan kepolisian untuk mengadili para pemerkosa. Itupun hanya 5% dari total 3000 kasus yang dia ajukan ke pengadilan.

Hal yang menganggu Somaly adalah ketika pertanyaan teologis mampir ke kepalanya. Seorang korban bertanya kepada Somaly tentang keberadaan Tuhan yang maha kuasa tapi membiarkan dia dalam penderitaan yang sangat hebat. Hal yang sama juga diungkap Somaly yang mempertanyakan tentang orang-orang yang rajin berdoa ke vihara bersama dia dan pada saat bersamaan menjadi pelaku pemerkosaan.

Saya tidak menjadi atheis ataupun meragukan keadilan Allah setelah membaca memoar Somaly, tetapi jujur saja, saya masih mencari sisi keadilan Allah pada kasus Somaly. Semoga cepat ditemukan.
READ MORE - The Road of Lost Innocence