Tuesday, 11 March 2008

Analisis Komunikasi Atas Supersemar

Penulisan sejarah mungkin bisa dimanipulasi sesuai dengan kepentingan kekuasaan, tetapi sejarah itu tidak akan pernah bohong dan dapat di manipulasi.

Setidaknya analisis komunikasi atas Supersemar dibawah ini telah membuktikan itu.

Demitologisasi Supersemar
Selasa, 11 Maret 2008 00:15 WIB
Oleh P ARI SUBAGYO

"Our words are never neutral," kata Fiske (Media Matters: Everyday Culture and Political Change, 1994). Pernyataan itu terkesan menebar prasangka, tetapi begitulah adanya. Kata-kata tidak pernah netral.

Pernyataan Fiske hanya salah satu ungkapan tentang ketidaknetralan bahasa. Volosinov (1975) dan Bakhtin (1986) menyebut semua penggunaan bahasa bersifat ideologis, bahkan dilugaskan Kress & Hodge (1979) dalam buku Language as Ideology. Ideologi tidak sebatas will to power (Foucault, 1979), tetapi dalam pengertian umum, worldview, term of reference, juga interpretation frameworks.

Pendek kata, selalu ada kepentingan di balik kata-kata dan bahasa. Bagi ”linguis- sosialis” seperti Volosinov dan Bakhtin, kata-kata merupakan ranah perjuangan ideologis. Membongkar ideologi—termasuk kepentingan—yang tersembunyi dalam kata-kata (teks) merupakan fokus critical discourse analysis (CDA) sebagai pendekatan kontemporer analisis wacana lintas-ilmu.
Terkait Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang diyakini tonggak sejarah Indonesia, sekaligus penuh versi dan kontroversi, menarik diajukan pertanyaan, bagaimana Supersemar dilihat dalam kerangka bahasa dan kepentingan?

Mitos politik

Kepentingan yang eksistensial—apalagi terkait kekuasaan politik—perlu dipelihara. Terjadilah mitologisasi. Berkat jasa kata-kata dan bahasa, lahirlah mitos-mitos. Mitos tak hanya memuat nilai moral—seperti diyakini Roland Barthes (1993)—tetapi bekerja sebagai sarana memelihara kekuasaan, hegemoni, dan dominasi. Itulah yang terjadi pada Supersemar ”versi resmi” (30 Tahun Indonesia Merdeka, 1975).

De Jong (1980) menyebut mitos semacam itu sebagai ”mitos politik” karena digunakan untuk aneka kepentingan politik. Berbeda dengan mitos fiktif, mitos politik dipandang sebagai histoire crue (cerita yang diyakini kebenarannya), lengkap dengan latar tempat, waktu, pelaku, tema sosial-politik, dan ekspresi perspektif ideologi politik. Mengikuti pemikiran Malinowsky, De Jong meyakini mitos bukan hanya idle mental pursuit, melainkan manifestasi interes pragmatis manusia.

Supersemar ”versi resmi” memuat keputusan/perintah Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto (Menteri Panglima AD) untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: (1) Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar revolusi/mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja; (3) Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnja seperti tersebut di atas.
Supersemar secara tekstual tidak berisi ”pengalihan kekuasaan”, tetapi lalu (dimitoskan) menjadi lisensi konstitusional Soeharto untuk ”mengambil segala tindakan jang dianggap perlu”. Sejarah mencatat rentetan peristiwa ”yang dianggap perlu” menyusul terbitnya Supersemar. Ujungnya, Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden, 12 Maret 1967.

Mitologisasi Supersemar berjalan efektif berkat dukungan kebijakan negara, terutama lewat pelajaran sejarah yang indoktrinatif. Apalagi situasi sosiologis-kultural mayoritas masyarakat Indonesia yang berbudaya diam dan represifnya Orde Baru kian mengukuhkan kesakralan Supersemar sebagai mitos politik.

Demitologisasi

Demitologisasi Supersemar bergulir sejak Soeharto—sang protagonis Supersemar ”versi resmi”—meninggalkan kursi presiden, 21 Mei 1998. Kesakralan mitos politik Supersemar mulai diusik lewat berbagai cara. Mulai dari pertanyaan keberadaan naskah asli, testimoni para ”pemeran pembantu” drama 11 Maret 1966, telaah logika historis sejarawan, kajian tekstual-visual berbagai versi Supersemar, hingga penyebutan Supersemar sebagai bagian dari ”kudeta merangkak” terhadap Presiden Soekarno.

Pembacaan teks dengan CDA akan membangkitkan ”kesadaran bahasa kritis” (critical language awareness, CLA), lebih dari sekadar ”kesadaran bahasa” (language awareness, LA). LA hanya knowledge about language, sedangkan CLA adalah awareness of nontransparent aspects of the social functioning of language (Fairclough, 1995, 2003; Weiss & Wodak, eds., 2003).
CLA akhirnya menuntun pembaca dalam memahami—menurut Julia Kristeva (1980)—intertekstualitas. Supersemar bukan teks yang berdiri sendiri, melainkan saling terkait dengan ”teks-teks” lain yang ”ditulis” para pelakunya lewat perbuatan apa pun sebelum dan setelah 11 Maret 1966.

Dalam kacamata CDA, Tragedi 1965, raibnya naskah asli Supersemar, aneka keputusan politik MPRS, isakan almarhum M Yusuf jika ditanya tentang keberadaan naskah asli Supersemar, lahirnya versi-versi dan kontroversi Supersemar, serta bungkamnya sejumlah pelaku utama tentang Supersemar, semua itu adalah teks.

Jika demikian, demitologisasi Supersemar justru dilakukan oleh para pemerannya sendiri. Oleh mereka yang berkepentingan, dan kepentingan itu secara jujur—meski samar-samar—mewujud sebagai ”teks”. Bagaimana nasib (mitos) Supersemar beserta berbagai kepentingan di sebaliknya sepeninggal Soeharto? Mari kita tunggu dengan prasangka kritis.

P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.11.00155185&channel=2&mn=158&idx=158
READ MORE - Analisis Komunikasi Atas Supersemar

Melawan Melalui Lelucon

Kata Iwan Fals dalam salah satu lagunya “Bila Kata tak Lagi Bermakna, Lebih baik diam saja”

Masyarakat memang mempunyai mekanisme tersendiri menghadapi setiap kebohongan public para pemimpinnya. Mekanisme paling minimal tentunya adalah tidak mempercayai setiap kebohongan para pejabat dan bertindak sesuai keinginan dirinya. Langkah paling maksimal tentunya melakukan perlawanan atas setiap kebohongan. Perlawanan bisa dilakukan untuk public, dalam bentuk advokasi public, atau untuk diri sendiri.

Terlepas dari itu semua, memparodikan setiap kebijakan atau fenomena sosial merupakan bentuk perlawanan tersendiri yang sangat mengasyikan. Parodi, ejekan, guyonan menjadi sebuah perlawanan yang sangat segar dan bisa dinikmati oleh banyak kalangan. Gus Dur misalnya, dia pernah mengeluarkan sebuah buku berjudul “Melawan Melalui Lelucon”. Lelucon-lelucon Gus Dur yang segar terhadap setiap kebijakan public juga langkah politisi yang tidak bervisi kebangsaan.

Sebuah leluconhanya akan lahir dari seorang cerdas yang concern dalam sebuah masalah yang begitu kompleks yang seolah tidak ada jalan keluar. Jadi syarat lahir sebuah lelucon cerdas tentunya adalah kecerdasan, positif thinking, optimisme dalam melihat masa depan dan keterlibatan terhadap permasalahan yanga ada.

Lelucon yang segar ini tentunya sangat dibutuhkan. Selain untuk tetap menumbuhkan harapan, lelucon ini tentunya akan menjadi penghibur terhadap semua beban yang dialami oleh masyarakat.

Berikut ini saya temukan sebuah parody, ejekan yang ditulis kemballi secara baik oleh Budiarto Shambazy di Koran Kompas tanggal 11/3/2008. Menarik. Mengingat kembali bagaimana masyarakat melakukan proses resistensi dari setiap ketidakadilan yang dialaminya, dengan cara sendiri yang menyegarkan.

Oya, mengenai buku Gus Dur “Melawan Melalui Lelucon”, saya mau ngucapin terimakasih dulu buat temen saya Donny Nurpatria. Saya dapat buku itu di lemari buku dia ketika masih mahasiswa di Fikom Unpad. Hampir saja saya mengikuti ajaran Gus Dur, untuk tidak mengembalikan buku yang kita pinjam karena itu tindakan bodoh, tetapi Donny ternyata sadar gelagat itu. Jadinya dia tanpa henti menagih buku itu kalo ketemu ma saya. Sampai sekarang saya juga gak tahu apakah buku itu sudah di balikin ke Donny apa belum? Hahahaha…



Supersemar
Selasa, 11 Maret 2008 01:27 WIB
Oleh BUDIARTO SHAMBAZY
Saat membacakan pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 19 September 1995, Tri Agus Siswowihardjo memelésétkan Supersemar jadi ”Sudah Persis Seperti Marcos”. Tri Agus diadili karena mengkritik Orde Baru.

Ferdinand Marcos adalah Presiden Filipina yang kabur ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS). Ia terlibat korupsi dan membunuh Senator Benigno Aquino, suami Presiden Ny Corry Aquino.

Selain pelésétan Supersemar, pleidoi Tri memopulerkan ”Su-dah Ha-rus To-bat”. Singkatan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) ia sulap menjadi ”S Dalang Segala Bencana”.

Lalu, kata ”hakim” ia pelésétkan jadi ”Hubungi Aku Kalau Ingin Menang” dan ”jaksa” jadi ”Jika Anda Kesulitan Suaplah Aku”. Singkatan Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) ia urai jadi ”Kasih Uang Habis Perkara”.

Anda ingat bagaimana nama seorang menteri Orde Baru (Orba) dipelésétkan jadi ”Hari- hari Omong Kosong”. Nama seorang presiden pun jadi ”Bicara Jago, Habis Bicara Bingung”.

Pelésétan bagian dari bahasa politik yang tumbuh subur jika rakyat tertekan. Ia beredar dari mulut ke mulut dan amat menyehatkan karena jadi pelampiasan frustrasi.

Ambil contoh Malaysia, yang baru saja pemilu yang sejak 1957 selalu dimenangi koalisi Barisan Nasional (BN). Partai dominan di BN adalah United Malay National Organisation (UMNO).

Pelésétan UMNO yang kini populer adalah ”U Must Not Object ” (Anda Tak Boleh Keberatan). Maklum, rakyat telah bosan menyaksikan tingkah laku para politisi UMNO.

Sinisme itu tercermin juga dari pelésétan maskapai Malaysia Airline System (MAS), yang diubah jadi ”Mana Ada Sistem?”. Dulu Garuda Indonesia Airways (GIA) diledek ”Garuda Insya Allah” karena suka telat.

Sebagian kalangan menilai proyek mobil nasional Proton gagal karena memboroskan uang rakyat. Proton dipelésétkan jadi ”Possibly the Riskiest Option To drive On road Nowdays” (Pilihan yang Mungkin Paling Berbahaya untuk Dikendarai di Jalan Saat Ini).

Orba dulu punya proyek mercu suar Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN). Ada yang menyebutnya ”Industri Penerima Tamu Negara” karena pabriknya hanya jadi ”tujuan wisata” tamu asing yang berkunjung ke sini.

Di Thailand pesawat IPTN dijuluki ”Gone with the Wind”, merujuk ke film Hollywood. Soalnya cat pesawat yang dikerjakan asal-asalan itu cepat terkelupas diterpa angin tiap kali mengangkasa.

Berhubung IPTN bermarkas di Bandung, orang Priangan punya istilah sendiri. IPTN bagi mereka singkatan ”Ieu Pesawat Teu Ngapung-ngapung” (Pesawatnya Enggak Bisa Terbang).
Negara tetangga, Singapura, dikenal tempat yang tak murah. Pemerintah rajin membangun apartemen-apartemen yang dikelola House Development Board (HDB).

Bagi sebagian rakyat, HDB singkatan ”Highly Dangerous Building” (Gedung Amat Berbahaya). Soalnya ngeri tinggal di lantai 30-an apartemen mereka.

Rakyat negeri mini itu dimanjakan berbagai fasilitas umum kelas satu berbiaya mahal. Maka, Public Utilities Board (PUB) dipelésétkan jadi ”Pay Until Broke” (Bayar Terus sampai Bangkrut).

Salah satu PUB yang ngetop adalah Electronic Road Pricing (ERP) yang diberlakukan di jalan-jalan protokol, seperti Orchard Road. Berhubung mahal, ERP diubah jadi ”Everyday Rob People” (Tiap Hari Merampok Rakyat).

Partai yang selalu memenangi pemilu di sana People’s Action Party (PAP). Kalangan yang sinis menyebutnya Pay And Pay (Bayar Terus).

Dan, Anda pasti tahu, Singapura menerapkan aturan denda yang kesohor ke berbagai penjuru dunia sehingga dilédék dengan ”Fine City”. Artinya bisa dua: kota yang teratur atau sedikit-sedikit main denda.

Kini ke AS. Serbuan pasukan ke Irak menewaskan ribuan serdadu, membuat sebagian rakyat kritis terhadap militer yang tak jera merekrut remaja dengan aneka iming-iming.

Maka, singkatan Navy (Angkatan Laut) dipelésétkan jadi ”Never Again Volunteer Yourself” (Kapok Jadi Relawan). Marine (Marinir) sama dengan ”Muscles Are Required Intelligence Not Essential” (Otot Dibutuhkan, Inteligensia Tidak).

Singkatan Army (Angkatan Darat) jadi ”Aren’t Ready to be Marines Yet” (Belum Siap Jadi Marinir). Maklum, Marinir lebih bergengsi dibandingkan dengan Angkatan Darat.

Setelah 9/11, pemerintah mendirikan Department of Homeland Security. Untuk memperketat keamanan bandara ada Federal Air Transportation Airport Security Service alias FATASS (Bokong Raksasa).

Bangsa ini pun gemar pemelésétan politik. Undang-Undang Dasar (UUD ’45) diubah ”Ujung-ujungnya Duit Empat Liem”, istilah bisnis Ali-Baba yang merujuk ke Liem Swie Liong.

Setelah mundur dari jabatan wapres, Bung Hatta mengubah ”Dwi Tunggal” jadi ”Dwi Tanggal”. Persis kayak gigi anak-anak yang suka ”tanggal” (copot).

Bung Karno tak habis mengerti ada istilah Orba dan Orde Lama (Orla). Kepada pers, ia bilang cuma tahu ada ”Ordasi” (Orde Berdasi) dan ”Orplinplan” (Orde Plin-plan).

Hari ini pas 42 tahun Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Tahun 1975 saya berdarmawisata ke Dieng, Jawa Tengah, dan mampir ke Goa Semar.

Saya shock, penjaga goa potongan tubuh dan wajahnya mirip Semar. Sejak saat itu saya percaya Supersemar singkatan ”Sudah Persis Seperti Semar”.
Supersemar: Sulit Dipercaya, Seram, dan Top Markotop!
Sumber : http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.11.0127558&channel=2&mn=154&idx=154
READ MORE - Melawan Melalui Lelucon

Friday, 29 February 2008

Demagogi dan Komunikasi Politik

Dengan digodoknya beberapa RUU penting (Ketenagakerjaan serta Anti-Pornografi dan Pornoaksi), komunikasi politik menjadi semakin intensif. Semua bentuk komunikasi mau mendapatkan pengaruh, biasanya melalui manipulasi. Manipulasi dimaksudkan untuk membangun citra riil sehingga tampak seperti riil.

Dalam sistem demokrasi, manipulasi akan mendapat perlawanan sikap kritis, namun akan tetap mewarnai politik. Manipulasi menyusup ke dalam celah antara nilai, gagasan, dan opini. Penelusupan ini mau mengaburkan pembedaan antara nilai, gagasan, dan opini sehingga tidak bisa dibedakan agar diterima sebagai fakta.

Manipulasi dan demagogi

Manipulasi sebetulnya merupakan tindak kekerasan. Ia menggunakan strategi mengurangi kebebasan agar pendengar atau pembaca tidak mendiskusikan atau melawan apa yang diusulkan (Breton, 2000:24). Lalu manipulasi masuk ke pikiran seseorang untuk meletakkan opini atau membangkitkan perilaku tanpa diketahui orang tersebut bahwa ada pelanggaran.

Keberhasilannya terletak dalam penyembunyian maksud sesungguhnya dan strategi diam. Maka, manipulasi mengandaikan kebohongan yang diorganisir, penghilangan kebebasan pendengar, dan tersedianya alat untuk mengalahkan resistensi. Media massa berperan sangat penting.

Politisi cenderung bersembunyi di balik kalimat-kalimat kabur, kata-kata yang tidak pasti, untuk menghindar dari tuntutan penerapannya. Maka, tepat kata Jacques Ellul: "informasi adalah sarana propaganda". Dengan informasi, pencitraan dibangun. Pencitraan dibuat sesuai dengan aturan demagogi, yaitu menyesuaikan diri dengan yang diharapkan atau ingin didengar pemirsa. Realitas dikesampingkan untuk mengobok-obok perasaan dan pikiran pendengarnya.
Demagog adalah orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Ia adalah prototipe perayu massa. Politikus cenderung demagog. Ia bisa menyesuaikan diri dengan situasi yang paling membingungkan dengan menampilkan wajah sebanyak kategori sosial rakyatnya. Ia bisa menunjukkan berbagai peran sehingga membuat tindakannya efektif di dalam situasi yang beragam. Demagog akan meyakinkan kepada pendengarnya bahwa ia berpikir dan merasakan seperti mereka. Ia tidak akan menegaskan pendapat pribadinya, tetapi pernyataannya mengalir bersama dengan pendapat pendengarnya.

Maka, demagogi mengandaikan kelenturan wacana. Kelenturan ini dibangun melalui khazanah politik yang ambigu supaya kata yang sama bisa ditafsirkan sesuai dengan harapan pendengarnya. "Merayu berarti mati sebagai realitas untuk menghasilkan tipu daya," kata Bellenger. Demagogi semakin canggih dengan berkembangnya sarana komunikasi.

Logika pasar

Menjamurnya sarana komunikasi memengaruhi media komunikasi politik. Sistem media komunikasi politik diwarnai oleh tiga hal: pertama, kelahiran berbagai bentuk jurnalistik, dari berita sekilas sampai pada buletin 24 jam, dari infotainment, talk-shows, top-news sampai pada aneka berita (JG Blumler 2000:156). Kedua, teknologi ini memungkinkan tersedianya berita baru setiap saat melalui sistem penyebaran internet dan sumber-sumber informasi lainnya. Ketiga, sistem komunikasi, organisasi, dan aliran komunikasi massa tidak lagi didefinisikan oleh batas-batas negara.

Politik harus bersaing dengan program-program lain yang tidak kalah menariknya, seperti program hiburan, olahraga, infotainment, selebriti, mode. Bentuk-bentuk jurnalisme itu semakin dikemas secara menarik sehingga jurnalisme politik harus mampu bersaing merebut simpati audience. Karena luasnya ranah jurnalisme, bentuk persaingan itu memacu semakin banyak pemain yang terlibat atau para pembuat berita di dalam jurnalisme politik: narasumber, wartawan investigatif, penyuplai skandal, tabloid, website, rakyat biasa (arah jurnalisme populis).

Idealisme dalam komunikasi selalu membayangi logika pasar. Akibatnya, menurut Blumler (2000:160), ialah pertama, meredupnya pembedaan antara media berkualitas dan pers tabloid serta menjamurnya pendekatan model infotainment dalam politik; kedua, wartawan politik harus belajar mengakomodasikan masalah-masalah kewarganegaraan dengan nilai-nilai hedonis. Lalu kepekaan terhadap etika jurnalisme melemah; ketiga, standar nilai yang biasanya cukup dihormati oleh para praktisi komunikasi mulai diabaikan karena media tidak lagi merasa terikat pada prinsip pelayanan publik dan norma obyektif jurnalisme.

Prinsip pelayanan publik

Betapapun prioritas pada orientasi keuntungan, suatu media masih tetap membutuhkan legitimasi yang hanya bisa didapat bila ada manfaat publik. Jadi, tidak sepenuhnya benar pernyataan yang mengatakan bahwa media di bawah kontrol pemerintah hanya melayani pemerintah dan media swasta hanya melayani kepentingan pemodal. Ada tiga alasan yang menyanggah pernyataan itu (Curran 2000:125): pertama, media swasta butuh mempertahankan kepentingan audience supaya tetap menguntungkan; kedua, mereka harus mendapatkan legitimasi publik untuk menghindari sanksi masyarakat; ketiga, mereka dapat dipengaruhi oleh keprihatinan profesional dari staf redaksi atau produksi.

Memang harus diakui bahwa biasanya budaya politik demokrasi lebih waspada terhadap ancaman pemerintah atas kebebasan pers daripada ancaman dari para pemodal media swasta. Pemerintah akan segera diserang bila mencoba mendikte pesan pada media publik, tetapi tidak demikian halnya bila para pemilik modal menentukan editorial atau berita utama media mereka.
Di dalam persaingan ketat antarmedia, godaan terbesar ialah memfokuskan diri pada proses presentasi. Akibatnya, alih- alih menyampaikan komunikasi atau memproduksi makna, akhirnya energi habis untuk penyutradaraan makna dalam proses simulasi (Baudrillard, 1981:121). Pakar dan praktisi komunikasi terlalu terkonsentrasi pada teknik serta cenderung mangabaikan nilai atau makna. Informasi terjerumus dalam bahaya kehilangan makna karena fokus pada pengaturan panggung.

Simpati media turun

Mengapa dewasa ini kecenderungan simpati media terhadap politisi dan pemerintah berkurang? Setidaknya ada empat alasan (Blumler, 2000:159): pertama, meningkatnya skeptisisme terhadap pernyataan-pernyataan pemerintah atau politisi. Kecenderungan pada pembelaan diri sangat mewarnai pernyataan-pernyataan mereka; kedua, wartawan tidak senang terhadap upaya politisi untuk mengatur berita demi kepentingan mereka. Maka, wartawan sering menetralisir pesan mereka dengan memasukkan suara-suara kritis; ketiga, meredupnya pesona situasi politik.

Penayangan konflik partai, pemerintah dengan parlemen, sudah kehilangan daya tarik karena tidak ada lagi yang baru dan bisa diramalkan kelanjutannya; keempat, kesadaran akan hak-haknya sebagai warga negara telah mengembangkan tuntutan akan hidup pantas dalam berbagai bidang (kerja, kesehatan, pendidikan, transpor umum), tetapi banyak dari tuntutan itu tidak dapat diselesaikan oleh politisi.

Kesenjangan antara harapan dan kondisi sosial riil ini memungkinkan kelompok penekan mendapat kesempatan memublikasikan perjuangan, nilai, dan tuntutan mereka di media.

Haryatmoko Pengajar Program Pascasarjana Filsafat
Universitas Indonesia dan Universitas Sanata Dharma

Sumber : www.kompas.com
READ MORE - Demagogi dan Komunikasi Politik

Monday, 11 February 2008

Politik Islam dan Politik Indonesia

Pagi ini saya dapat sms, bunyinya :

"Politik Islam telah gagal mengerahkan kekuatan energi generasi mudanya untuk membangun front baru. Malah diarahkan untuk memenuhi hasrat generasi tuanya yang belum juga mau lengser... "

Saya mereply... sekedar menambahkan saja :

"...politik Indonesia telah berjalan tanpa prinsip..butuh kesabaran dan waktu untuk mengumpulkan kekuantan dan masuk kesana"
READ MORE - Politik Islam dan Politik Indonesia

Tuesday, 15 January 2008

Bukan Sekedar Berkunjung


Namanya Muzammil. Sekarang dia mahasiswa National University of Singapore. Bersama 30an temannya dari berbagai negara di Asia Tenggara datang ke Jakarta untuk menghadiri pertemuan Perkumpulan Pemuda Pelajar Islam se-Asia Tenggara.

Ketika diajak mengunjungi masjd Istiqlal Muzammil begitu takjub melihat kemegahan masjid terbesar di Asia Tenggara itu. Terlebih ketika diberitahu kapasitas masjid Istiqlal yang bisa menampung lebih dari ratusan ribu jamaah muslim. Menurut Muzammil daya tampung masjid Istiqlal jauh lebih besar dibanding jumlah keseluruhan muslim Singapura. Tetapi ketika diajak berjalan di sekitaran taman Monas dan kawasan Taman Ismail Marzuki, Muzammil mengerutkan dahinya. Terbaca rasa jijik, aneh dan takut dari wajahnya.

Di kawasan taman Monas Muzammil begitu aneh waktu melihat kereta listrik Jakarta-Bogor yang melintas diatas taman Monas. Begitu banyak penumpang yang berdiri di pintu kereta listrik yang terbuka tanpa pengamanan. Menunjukan tidak adanya safety dalam dunia transportasi di Jakarta.

Sementara itu di kawasan Taman Ismail Marzuki, Muzammil merasa rikuh dan jijik dengan lingkungan sekitar. Bagi Muzammil Jakarta itu kota yang kotor dan amburadul. Bila di Singapura membuang sampah sembarangan merupakan sesuatu yang dilarang dan akan mendapat hukuman sampai seribu dollar Singapura, di Jakarta semua tempat sepertinya merupakan tempat sampah.

Lain lagi kesan yang didapat oleh Fadh teman Muzammil dari Malaysia. Mahasiswi jurusan ilmu hukum dari International Islamic University Malaysia itu merasa aneh mengapa masjid Istiqlal bisa bersebrangan dengan gereja kathedral. Terlebih ketika rombongan diajak berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah. Fadh keheranan melihat masjid, gereja, pura, vihara terletak berdampingan.

Sekali waktu Fadh menyatakan kenapa ada susunan seperti itu. Bagi Fadh susunan rumah ibadah seperti itu rawan menimbulkan persengketaan antar umat beragama. Kami hanya tersenyum mendengar pendapat itu. Kami menjelaskan bila struktur rumah ibadah yang berdampingan justru menjadi obsesi para pendiri republik ini. Susunan rumah ibadah yang berdampingan itu menjadi tanda terciptanya kerukunan umat beragama yang ada di Indonesia. Faktanya Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kerukunan dan toleransi kehidupan umat beragama yang sangat tinggi.

Sementara itu bagi Fendy mengunjungi Indonesia seperti mengunjungi tanah leluhur saja. Fendy meskipun dia warga negara Malaysia, tetapi sebetulnya leluhur dia berasal dari Indonesia. Kebanggaan terlihat dimukanya ketika menaiki anjungan Provinsi Jawa Tengah di Taman Mini Indonesia Indah.

Kunjungan Muzammil, Fadh, Fendy serta teman-teman lainnya ke Indonesia hanya berbilang hari dan sebagian kecil Jakarta saja. Belum menjelajah Indonesia secara keseluruhan yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Tetapi kunjungan itu melahirkan efek psychlogis tersendiri bagi mereka. Dihadapan mereka ajah Indonesia seketika berubah dari kesimpulan sebelumnya.

Disadari atau tidak melalui kunjungan itu mulai terkuak hal-hal yang selama ini sekedar pengetahuan dari media dan orang lain. Informasi yang tentunya belum bisa menggambarkan fakta yang sesungguhnya. Hal yang terpenting lainnya dari kunjungan itu adalah, adanya tuntutan untuk selalu bersikap terbuka, open minded, dalam melihat setiap hal. Ketika hal terakhir ini terjadi, tentunya kita dipaksa untuk terus belajar tanpa kenal waktu. Inilah hal yang terpenting yang selalu terlupakan dari setiap aktivitas mengunjungi wilayah lain.

Perubahan melalui kunjungan.

Pada dasarnya aktivitas berkunjung tidak hanya melepaskan dahaga haus informasi akan keadaan sebuah wilayah. Bila aktivitas berkunjung dihayati secara mendalam dan benar, maka kunjungan tidak hanya melepaskan rasa ingin tahu, tetapi lebih dari itu berkunjung juga akan memenuhi dahaga mental psychologis manusia yang selalu merindukan perubahan dan kebaharuan. Sejarah peradaban manusia sebagai contohnya; dalam perkembangannya tidak akan pernah bisa dilepaskan aktivitas kunjungan yang dilakukan oleh sekelompok kecil masyarakat.

Masyarakat Amerika sebagai contoh. Mereka tidak akan pernah melupakan nama Christopher Columbus. Berbenderakan Castilian Spanyol Columbus, Seorang penjelajah dan pedagang yang menyeberangi Samudera Atlantik dan menemukan Benua Amerika pada 12 Oktober 1492. Setelah kunjungan inilah kemudian tanah amerika menjadi tempat hunian baru bagi warga eropa, sampai sekarang, dan menyingkirkan penduduk asli nya, yaitu Indian. Kemudian hari kita menyaksikan Amerika Serikat menjadi negara besar dominan di bumi ini. Hal ini berawal dari kunjugan seorang Christopher Colombus.

Begitu juga dengan negara-negara lain seperti Indonesia, Malaysia dan Singapore. Deliar Noer misalnya, rektor IKIP Jakarta yang merupakan doktor ilmu politik pertama Indonesia, menyebutkan dalam bukunya The rise and development of the modernist Muslim movement in Indonesia during the Dutch colonial period 1900-1942 (1963) bahwa para pejuang muslim Indonesia yang menguasahakan terbentuknya Indonesia yang modern tidak akan pernah melupakan jasa para kyai yang melaksanakan haji ke tanah suci mekkah.

Dalam kunjungan, orang Islam biasanya menyebutnya dengan ziarah, mereka ke tanah suci itulah cakrawala mereka bertambah. Interaksi dengan komunitas masyarakat muslim di belahan dunia lain dibina. Hasilnya adalah usaha merubah Indonesia dalam bentuk gerakan yang sifatnya koordinatif secara internasional.

Hal seperti ini tidak lupa juga diterapkan oleh negeri jiran kita Malaysia. Usaha mereka mengirimkan pelajar-pelajar nya ke luar negeri, seperti Indonesia dan negara-negara di Eropa, pada dasarnya bukan sekedar mengakui adanya keunggulan lebih dari aspek keilmuan dari negara-negara tersebut. Tetapi lebih dari itu, pengiriman pelajar ke luar negeri tersebut juga dimaksudkan supaya pelajar-pelajar mereka menjadi pribadi yang open minded, belajar secara tekstual dan kultural pada bangsa lain hingga kemudian sanggup menjadi pelopor kemajuan masyarakat di negerinya.

Dalam bentuk yang sedikit berbeda adalah apa yang dilakukan oleh bangsa Jerman. Bagi masyarakat Jerman, sebuah kunjungan bukan berarti dilakukan pada negeri yang berbeda pada waktu yang sama, tetapi sebuah kunjungan juga mesti dilakukan di negeri yang sama dalam ”dimensi waktu” yang berbeda. Untuk memfasilitasi hal ini maka negara Jerman merupakan diantara negara yang sangat perhatian dalam melestarikan peninggalan budaya masa lalunya. Museum serta gedung-gedung kuno dilestarikan sedemikian rupa hingga menjadi daya tarik bagi masyarakat banyak. Tidak perduli apakah museum dan gedung itu melupakan dokumentasi sejarah kelam bangsa Jerman, seperti tragedi pembantaian Nazi terhadap bangsa Yahudi. Harapannya melalui dokumentasi sejarah masa lalu ini adalah ; menjadi tempat kunjungan bagi dunia dan menjadi bahan pengingatan sehingga sejarah kelam tidak terulang dan terinspirasi dalam membangun sejarah kehidupan masa depan manusia yang jauh lebih baik.

Kunjungilah Indonesia!

Era tekhnologi informasi pada saat sekarang ini tentunya telah memudakan aktivitas yang membutuhkan mobilitas manusia. Berkunjung ke negara lain, melalui tekhnologi informasi, bisa dilakukan sambil duduk di depan meja komputer. Atau sambil duduk manis di sofa sambil menghadap TV. Sebelum tekhnologi informasi berkembang dahsyat seperti sekarang, mengunjungi negara lain pun bisa kita lakukan dengan berkunjung ke perpustakaan atau membaca buku koleksi pribadi di rumah.

Tetapi tentunya ada sesuatu yang tertinggal dari aktivitas mengunjungi daerah lain melalui buku, televisi atau internet. Kunjungan melalui buku dan internet hanya memenuhi dahaga intelektual dan rasa ingin tahu semata, tidak lebih dari itu. Menjelajah negara lain melalui media tentunya tidak bisa memenuhi dahaga psychologis yang ada pada setiap manusia. Seperti seorang pemuda yang menyatakan cinta. Menyatakan cinta bisa melalui email, tetapi tentunya akan bernuansa, berwarna dan memenuhi dahaga psychologis manusia bila itu dinyatakan langsung face to face

Visit Indonesia Year 2008 memakai logo siluet burung garuda, dengan pengolahan yang modern, 5 garis berbeda warna. Jenis huruf dan logo mengambil dari elemen otentik Indonesia yang disempurkan dengan sentuhan modern.

Melalui logo ini Visit Indonesia Year menawarkan dinamika Indonesia yang sedang berkembang, kebudayaan lokal yang bermakna dan dinamis serta keanekaragaman Indonesia yang bersatu padu. semuanya hidup di era yang modern ini.

Melalui ini Visit Indonesia Year 2008 tentunya bukan hanya menawarkan keindahan dan keelokan alam Indonesia. Tetapi lebih dari itu, Visit Indonesia Year 2008 juga menawarkan dimensi kebudayaan kehidupan masyarakat Indonesia yang sekian lama berurat akar. Kehidupan, seperti juga budaya timur lainnya, yang selama ini selalu diremehkan dan dianggap tidak ada, tetapi terbukti menjadi sebuah kearifan yang dibutuhkan masyarakat modern. Kearifan timur.

Visit Indonesia Year 2008 adalah usaha memperlihatkan keelokan dan keindahan alam Indonesia, berbarengan dengan sikap dan prilaku bangsa Indonesia yang akan menjadi pelajaran berharga bagi bangsa lain dan ingatan terhadap bangsa sendiri. Sehingga yang mesti ditata pada akhirnya bukan saja situs-situs pariwisata, tetapi juga sikap seluruh masyarakat Indonesia sendiri. Tidak perlu repot-repot berhias diri berlebih-lebihan. Cukup menunjukan kehidupan masyarakat Indonesia yang yang dikenal santun dan beradab. Karena disitulah sesungguhnya keunggulan kita.

Visit Indonesia Year 2008 bukan sekedar mengundang masyarakat internasional ke Indonesia dan mengeruk keuntungan finansial dari mereka. VIY 2008 juga berarti mengundang masyarakat luar ke Indonesia untuk kemudian bertukar pikiran, mengambil kearifan yang dimiliki oleh masing-masing untuk memajukan negeri masing-masing.

Mari berkunjung ke Indonesia!.. Nikmati alamnya !.. Hayati budaya nya !...

Mari berkunjung ke Indoensia !.. dan mari kita berkomunikasi!...

READ MORE - Bukan Sekedar Berkunjung

Monday, 14 January 2008

Biarkan Suharto jadi Sosok Historis

Saat tulisan ini dibuat, kondisi kesehatan Suharto, presiden terlama Indonesia, masih kritis. Banyak isyu muncul kembali mengiringi sakitnya Soeharto. Mulai dari persiapan pemakaman di kompleks pemakaman Soeharto, Karang Anyar Jawa Tengah, kemunculan para pejabat orde baru yang menyambangi dan memberi dukungan moral terhadap keluarga Soeharto, harapan pemberian maaf terhadap Soeharto meskipun tidak pernah ada kejelasan kapan Soeharto meminta maaf serta beberapa gelintir orang yang mencoba memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan popularitas melalui statemen konyol dan kunjungan semu. Yang tidak pernah lepas tentunya masalah status hukum Soeharto. Dakwaan atas pelanggaran HAM serta korupsi selama berkuasa.

Para pendukung Soeharto bersikeras, atas nama kemanusiaan, untuk memaafkan Soeharto merujuk kepada kondisi kesehatan dan jasa-jasa yang sudah diberikannya terhadap Indonesia. Bahkan lebih sadis lagi Ismail Saleh, mantan Mentri Kehakiman era Soeharto, menggunakan kata "biadab" untuk mengingatkan orang-orang yang bersikeras menuntut pengadilan atas Soeharto.

Sementara itu di pihak lain para penuntut Soeharto tetap bersikeras untuk menuntaskan kasus hukum Soeharto. Mahasiswa dan para korban pelanggaran HAM mantan Presiden Soeharto bersikukuh bahwa Soeharto harus tetap diadili. Mereka berdoa atas kesembuhan Soeharto supaya bisa menjalani proses peradilan. Gus Dur, salah satu rival politik Soeharto, seperti biasa berkomentar cerdas dengan bungkusan lelucon. Bagi Gus Dur penegakan hukum adalah segala-galanya. Bila Soeharto tidak bisa ke meja hijau karena sakit, bukankah meja hijau bisa dibawa ke Rumah Sakit?pendapat yang ringan, menyentil, tajam dan cerdas.

Historis dan Mitos

Diantara problem masyarakat Indonesia adalah kejujuran dalam melihat sejarah. Harapan tinggi terhadap kesempurnaan, baik kejadian maupun personal, sering melahirkan pandangan-pandangan yang tidak realistis dan jujur. Ketika harapan akan kesempurnaan ini tidak disikapi secara cerdas dan dewasa oleh para elite serta tokoh masyarakat, kondisinya menjadi lebih kompleks. Tidak hanya masyarakat yang terjebak oleh ketidakjujuran, para elite pun kemudian terjebak untuk melakukan tindakan manipulatif yang tidak urung berdampak negatif bagi dirinya sendiri.

Cerita tentang pahlawan adalah sebuah contoh. Pahlawan sering dilihat sebagai sosok yang berkemampuan diatas rata-rata secara rasional dan irrasional. Dalam pandangan masyarakat kita tidak mungkin seorang hero berkemampuan sama dengan masyarakat umumnya. Seorang pahlawan mesti mempunyai kemampuan lebih dibanding masyarakat umum. Karena dengan kelebihan-kelebihan inilah kemudian dia bisa menjalankan fungsi dan perannya di tengah masyarakat.

Titik ekstrem nya terjadi ketika pahlawan dipandang sebagai sosok yang sangat mitos. Pahlawan adalah sosok yang sangat lengkap baik secara lahir dan bathin. Dia dianggap tidak akan melakukan kesalahan yang dilakukan oleh manusia secara umumnya sehingga melupakan hukum dasar manusia itu sendiri.

Pahlawan juga manusia. Makhluk dimana didalam dirinya diciptakan segala potensi baik dan buruk dalam menjalani hidup. Potensi ini setiap waktu senantiasa bertarung untuk menentukan siapa yang berkuasa pada satu kurun waktu. Suatu saat bisa jadi kebaikan menjadi pemenang, tetapi itu tidak akan pernah menjamin kebaikan selalu menaungi dirinya. Seperti kata Paulo Coelho, kebaikan dan keburukan bagi manusia adalah masalah potensi belaka. Tidak ada manusia yang steril dari unsur kebaikan dan keburukan. Semuanya hanya masalah managerial belaka.

Soeharto, seperti juga hero lainnya yang pernah lahir di negeri ini, adalah manusia biasa. Memiliki potensi baik dan buruk dalam dirinya. Kebaikan yang dilakukan Soeharto merupakan manifestasi kemanusiaannya. Sebagaimana kebaikannya, kejahatan Soeharto tidak akan pernah menjadikannya binatang. Terkecuali bila kejahatan itu dilakukan diluar batas kemanusiaannya. Memposisikan Soeharto, sebagaimana juga tokoh masyarakat lainnya, sebagai manusia adalah sesuatu yang terlupakan.

Soeharto adalah sosok historis. Manusia biasa, seperti juga masyarakat umumnya, yang berhadapan dengan segala pernik kehidupannya. Soeharto bukan sosok mitos tentang seorang yang tanpa cela dan hebat super sempurna. Memandang Soeharto sebagai sosok mitos hanya akan melahirkan kepura-puraan dan ketidak jujuran dalam melihat realitas.

Memaafkan segala bentuk kejahatan adalah sebuah keharusan karena tidak ada manusia yang tidak melakukan kesalahan selama hidupnya. Memaafkan berarti mengakui segala dimensi positif dari semua manusia, dibalik semua alpa yang telah dilakukan. Memaafkan adalah kejujuran dan ketulusan dalam memandang setiap perilaku manusia.

Menghukum bukanlah semata menyalahkan. Hukuman adalah pengingatan kepada setiap orang akan perlunya berhati-hati terhadap segala potensi negatif yang ada dalam diri. Menghukum Soeharto bukanlah tindakan minus kemanusiaan. Karena bila pandangan terakhir ini dipakai, maka kita telah melakukan ketidakadilan. Melupakan nilai kemanusiaan terhadap seluruh korban pelaku kejahatan.

Memaafkan bagi bangsa Indonesia sudah menjadi ajaran hidupnya. Masyarakat sudah memikirkan untuk memberi maaf meskipun Soeharto dan keluarganya tidak pernah mengeluarkan permohonan maaf. Bangsa Indonesia bukanlah pendendam, karena pendendam tidak akan pernah mengeluarkan maaf, terlebih tanpa ada permohonan maaf. Tuntutan hukuman adalah tuntutan adanya keadilan di tengah kehidupan masyarakat.

Menghukum Soeharto tidak akan pernah membuat jasa Soeharto luntur. Soeharto tetaplah manusia dengan atau tanpa hukuman. Soeharto tetaplah seorang hero yang tidak akan pernah dilupakan segala kiprah dan jasanya dalam sejarah perjalanan Indonesia. Memaafkan dan menghukum Soeharto tidak akan pernah menegasikan segala kebesaran Soeharto.

Sebagaimana yang diperlihatkan oleh bangsa Jerman, yang tetap mendokumentasikan secara baik jejak-jejak kekejaman bangsa Jerman terhadap yahudi, kejahatan yang dilakukan tidak pernah membuat bangsa arya sebagai bangsa jahanam. Sampai sekarang Jerman masih tetap dianggap bangsa yang terhormat. Unggul secara mental dan intelektual sehingga menjadi rujukan banyak bangsa dalam membangun negerinya.

Soeharto tidak boleh dikerdilkan, sebagaimana dia juga tidak boleh dikultuskan. Biarlah Soeharto menjadi sosok historis dalam sejarah kehidupan kita. Kebesaran Soeharto tidak akan pernah berkurang meskipun ditempeli status hukum negatif. Yang akan mengurangi kebesaran Soeharto adalah ketidakjujuran dalam menempatkan dirinya.

Memaafkan dan menghukum Soeharto adalah sebuah keharusan.
READ MORE - Biarkan Suharto jadi Sosok Historis

Tuesday, 8 January 2008

Dosa - Dosa Sosial yang Teramat Besar

Dosa-dosa Sosial yang teramat besar. Al Kabair (dosa besar) kata orang Arab. Dikutip dari ucapan Mohandas K Gandhi.

1. Politik tanpa prinsip
2. Kekayaan tanpa kerja keras
3. Perniagaan tanpa moralitas
4. Kesenangan tanpa nurani
5. Pendidikan tanpa karakther
6. Sains tanpa humanitas
7. Peribadatan tanpa pengorbana
n

Apa yang tidak ada di Indonesia?
READ MORE - Dosa - Dosa Sosial yang Teramat Besar

Pantas aja...

Gelar mereka emang doktor, tapi kelakuan tidak lebih dari mandor. Lebih pantas disebut koruptor ketimbang doktor. Terlatih menjadi eksekutor dari setiap kesusahan banyak orang. Kalau saja Tuhan mensyaratkan adanya tumbal untuk kemajuan negeri ini, maka mereka lah orang-orang yang sangat pantas di korbankan.
READ MORE - Pantas aja...

Monday, 7 January 2008

Cultural Politics and Audiovisual Media within China 1

University of Leeds

Institute of Communications Studies


Shall We Get Started?

A Policy Approach to Ethno-Cultural Diversity, Cultural Politics and Audiovisual Media within China

By

Chen Li (200197981)

MA in Communications Studies

Supervised by: Dr. Katharine Sarikakis

1 September 2006

A dissertation submitted to the University of Leeds in accordance with the requirements of the degree of MA in Communications Studies in the Institute of Communications Studies.

CONTENTS

1 THE INTERNATIONAL AND THE NATIONAL

International legislation of cultural diversity

Emergence of ethno-cultural diversity for China

The Chinese approach to the inclusive and ethno-cultural society

Constructing the nationhood

2 SURVIAL OR NOT? TRADITIONAL ETHNO-CULTURES MATTER

Is there any ‘cultural genocide’ in Tibet?

Overview of ethno-cultural policy in China

Discourse of policy-shifts in the post-Mao era

Dual-role of audiovisual media in the discourse of ethno-cultural diversity

3 ETHNO-CULTURAL REPRESENTATION STRATEGIES

THROUGH MAINSTREAM MEDIA AND POLICY IMPLICATIONS

Seeking representation strategies: Vibrating between the realistic and idealistic

Representing ‘positive stereotypes’ of ethno-cultural diversity

Vehicles of Identities

‘Exotic Images’

4 MAPPING MINORITY LINGUISTIC BROADCASTING SERVICES

‘Xinjiang-Tibet’ project: the product of ‘western regional development’ policy

The ‘diversity’ of ethnic minorities’ linguistic satellite media

The rise and fall of CCTV Western Region Channel:

In search of a specialised multicultural channel

Conclusions

References

Acknowledgement

This dissertation could not have been finished without the generous help and support of many people.

First and foremost, I’d like to thank my dissertation supervisor Dr. Katharine Sarikakis, who is always there to provide me invaluable suggestions to clarify my thoughts. Her book Media, Policy and Globalisation (2006) teaches me how to critically examine the role of media policy in different contexts in a logical way.

I’m also grateful to Emeritus Prof. Colin Mackerras at Griffith University, Australia, who is a leading specialist on Chinese ethnic minorities. Thanks to his generous help, his insightful journal can be found by me within the UK.

I am indebted to my friends both at home and at Leeds. Few words of courage or even an eye contact has made me cheer up when coming across difficulties. Special thanks to Wang Xian, producer from China Central Television 9, who gave me useful advice and helped in my data collections and Dr. Yu Li at Ohio State University for her insightful advice and providing related journals.

A profound debt of gratitude is owed to my parents, Jianguo Li and Huafen Chen, who make my dream of studying at UK become true. Their endless love, supports and encourages make me gown up.

INTRODUCTION

The international legalisation of cultural diversity was realised through UNESCO’s Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions on 20 October 2005. Leaving aside the non-stop debates about cultural trade protection or cultural exception, the essence of cultural diversity as the ‘full realisation of human rights and fundamental freedoms’ was emphasised (UNESCO, 2005).

Bhikhu Parekh (2006: 336) advocates the perspective of multiculturalism to approach cultural diversity, given that more and more resistance against ‘homogenising or assimilationist thrust’ and demands for ‘political recognition’ are from diverse groups, such as indigenous groups, ethnic minorities, new and old immigrants and so forth. In this process, ‘cultural heritage’ of different groups and societies should be preserved and promoted through various expressions, as a ‘guarantee of the survival of humanity’. Further, the discourse of ‘within societies’ cannot be marginalised, as more attentions have been paid on the international arena, as in the case of ‘social cohesion’ and multicultural society (UNESCO, 2004). That’s why ‘ethno-cultural diversity’, one form of culture diversity, has been chosen has the focus of this dissertation.

As reaffirmed by 2005 UNESCO Convention, cultural expressions can be enabled to ‘flourish within societies’ on the basis of ‘freedom of thought, expression and information, as well as diversity of media’ (UNESCO, 2005). Obviously the role of media, both as one expression and as a technology, can greatly promote the diversity of cultural expressions. Attempts trying to combine media with ethnic groups are striking. On the basis of the multicultural society[1] in UK or Canada mainly characterised by ‘historical and contemporary flows of people and the operations of power’ (Cottle, 2000: 215), western academic studies like Wober and Gunter (1988), Cottle (2000), Georgiou (2002) categorise three issues as fundamental studies of ethnic minority and media: 1) whether ethnic minorities have been negatively stereotyped, over-represented, under-represented or even invisiblised, which are also the central themes of Canadian TV and UK’s Cultural Diversity Network[2]; for them, content analysis is typically employed to explore the representations in News programmes or TV Dramas; 2) Structural Analysis of Minority Language Radio and Television Stations; 3) specifically, studies of diasporas, as one sub-categories of minority groups, with their representations and media in the discourse of globalisation.

Based on this, this dissertation will employ a policy approach to the ethno-cultural issues, cultural politics and related audiovisual media within China, trying to explore and identify what factors have shaped its related policy initiatives. Given the complex Chinese context (like different definitions of ethnic groups, authoritarian regime, media’s role as mouthpiece, etc.), it seems sensible for us to explore more on the relationships between the majority Han and ethnic minorities as a way of examining whether social cohesion exists or not. From the assimilation strategy in Cultural Revolution to economic-development-dominated current agenda, from anti-splitting and religious-sensitive censorship to selective identities and exoticisation of representation, it inevitably gives us a picture of how far China has been away from the ethno-cultural diversity that is based on freedom of expression and human rights. Additionally, can those apparently prosperous ethnic minority linguistic services express their own voices? It will also draw on examples, both regionally and nationally, to map the ethnic minority linguistic service in China, thus exploring how the accommodations have been made between ideological-constructing and commercialisation-fuelled competitions.

In Chapter 1, I will firstly start from the international legislation and conceptualisation of cultural diversity, analyse the two implications (as emphasised by 2001 Declaration), as well as China’s standpoint as a nation-station towards the Convention in the international stage. Further, French-initiated Diversity strategy was initially utilised to address concerns caused by cultural deficits through ‘identifying uncontrolled global trade in culture as a threat to cultural diversity’ (Beale, 2002: 85) and as a continuing way of ‘cultural exception’ to protect cultural industries. But the meaning of diversity is far more than that. I will adopt Parekh’s (2004) division of common forms of cultural diversity in modern life, then focusing on communal diversity (or ethno-cultural diversity in China’s case) to examine its significant role in the multicultural society. The second part for Chapter 1 will be located into the Chinese ethnic minorities within its own society, tracing how the notion of Chinese nation has been conceptualised, negotiated and interpreted by Chinese as an ‘inclusive’ one with ethno-cultural diversities in the historical discourse.

Chapter 2 will start from debates around Dalai Lama’s assertion of Chinese government’s ‘cultural genocide’ in Tibet, as a way of examining the current ethno-cultural policy system of the Chinese government. Then, I will extend my discussion to a more range of ethnic minorities to explore the extent to which the Chinese government have done to preserve and promote (or damage) the diversity of ethno-cultural expressions as well as ethno-cultural identities. In this process, I will combine analysis from the UNESCO’s joint-projects and comments, Chinese government’s white paper documents, western academics’ critiques as well as human rights monitoring organisations’ accusations, tracing more arguments between national unity concerns and their ethno-cultural identities. Lastly, I will examine the role of audiovisual media and how it dual-functions, namely, how it works as one mean of cultural expression and how it serve as one technology to convey more other cultural expressions like folks and customs, artistic creation and so forth.

Besides the cultural diversity in employments of broadcasting system (that’s where the concept originates), it is the representation that associates the ethnic minorities with the audiovisual media most and attracts most western academics attention. However, as the focus of this dissertation is on the policy and related implications, it might seem sensible for me not to conduct a content analysis to analyse the representation from news programmes, films or TV dramas. Instead, I will start my research premised on findings of anthropologists as well as media researchers who are interested in the ethnic minorities’ representations in the mainstream media, and then associate those characteristics with policies to seek representation strategies, shifts and implications. It will be the focus of Chapter 3.

Chapter 4 will start from the emphasis of linguistic diversity as the fundamental to cultural diversity, map and summarise statistically about the ethnic-minority linguistic radios, satellites, both regionally and nationally, and, lastly, analyse the demise of China Central Television Western Regional Channel. In this way, I will try to find out what factors have contributed to this seemingly prosperous media terrain, then analysing the relationship between purpose of anti-splitting, commercialisation-fuelled factor and the expression of ethnic minorities. Ultimately, I will call for a national channel specialising on ethno-cultural diversity.

In sum, this dissertation does not serve as a report on telling how successful the ethno-diversity has been depicted by the Chinese government in various cultural expressions. Rather, it critically reviews, in the realm of policies, strategies, and laws, the ethno-cultural landscape within China, by examining the role of ethnic minorities’ groups in the notion of ‘Chinese nation’, the extent to which the political agenda have influenced the ethno-cultural policy, the representation strategies adopted by the government-tightly-controlled media, and the ethno-linguistic infrastructure nationwide. Hence, it will come back to the claim made by the 2005 Convention on how important the role of human rights and freedom of expression, calling for a framework towards a democratic media system that empowered ethnic minorities freedom of expression. Only through this way can ethnic minorities represent themselves better in their own produced programmes or linguistic channels, thus achieving a true ethno-cultural diversity.



[1] It is insightful to refer to B. Parekh (2006) that ‘multicultural refers to the fact of cultural diversity’, while ‘muliticulturalism refers to a normative response to that fact’.

[2] Cultural Diversity Network is ‘a network of UK Broadcasters promoting cultural diversity both on and off-screen’. See more CDN website: http://www.cdnetwork.org.uk/

READ MORE - Cultural Politics and Audiovisual Media within China 1