Friday, 25 July 2008

Orang-Orang Sakit

Adinda Bakrie, keponakan Aburizal Bakrie, akan menikah. Calon suaminya bernama Seeng Hoo Ong, warga Singapura yang dia kenal semasa kuliah di Bobson College Amerika Serikat. Menurut kabar beredar biaya pernikahan menelan dana sampai Rp 10 Miliar. Untuk rangkaian bunga nya saja menghabiskan dana Rp 1 Miliar, mahkota pengantin Adinda Rp 3 Miliar dan kalung, yang menurut Adinda "Murah Kok" berharga Rp 2 Miliar. Tidak tahu berapa miliar untuk membayar dekorator Preston Bailey, yang pernah disewa oleh Donald Trump.

Pernikahan akan dilaksanakan di Hotel Mulia, sebuah hotel papan atas di Jakarta. Resepsi akan dilanjutkan di Pulau Dewata Bali, tepatnya di Hotel Bvlgari. Para undangan yang akan berangkat kesana tidak usah khawatir masalah transportasi karena keluarga Bakrie sudah menyiapkan penerbangan khusus kesana. Selain para artis, pejabat dan Anggota DPR, rencana pernikahan juga akan mengundang penyanyi Sting dan II Divo. Untuk hal terakhir ini keluarga Bakrie membantahnya

Aburizal Bakrie, paman Adinda, adalah Mentri Koordinator Kesejahteraan Rakyat kabinet SBY -JK. Diantara orang terkaya di Asia Tenggara yang berasal dari negeri yang sedang mengalami krisis ekonomi yang sangat akut. Negeri dengan pertumbuhan ekonomi mandeg, pengangguran dimana-mana Menurut majalah Globe Asia (Mei 2008) Aburizal adalah orang terkaya se-Asia Tenggara. Sedangkan setahun sebelumnya menurut majalah Forbes Asia (2007) memiliki kekayaan 5,4 miliar dollar AS (sekitar Rp 50 triliun dengan kurs 1 dollar AS = Rp 9.200) atau naik dari 1,2 miliar dollar AS pada tahun sebelumnya.

Bersama ayah Adinda, Indra Bakrie, Aburizal adalah Pemegang saham PT Lapindo Brantas Sidoarjo. Perusahaan yang paling bertanggung jawab terhadap bencana lumpur panas di Sidoarjo.

Kerusakan karena lumpur panas Lapindo bukan hanya secara ekologis, tetapi juga kerusakan ekonomis, sosiologis dan psychologis. Sampai sekarang korban lumpur Lapindo masih terlunta-lunta karena tidak adanya penyelesaian yang tuntas. "Bakrie Layak Mati" itu kalimat yang keluar dari temen saya yang pernah datang mengunjungi korban lumpur Lapindo.

Lalu apa kesimpulan anda bila melihat rencana Adinda Bakrie dan Aburizal Bakrie sendiri?Kalo saya hanya 3 kata saja. ORANG-ORANG SAKIT

Jakarta, 25 Juli 2008
READ MORE - Orang-Orang Sakit

Thursday, 24 July 2008

Nyaman Karena Melihat Ketidaknyamanan

Kadang saya sering percaya dengan pandangan-pandangan negatif orang tentang hakekat dasar manusia. Pandangan yang menyatakan bahwasannya manusia itu terlahir dalam keadaan nista dan berlumur dosa, kelahiran manusia dilengkapi dengan potensi dasar yang sangat besar untuk merusak, manusia itu adalah Homo Homini Lupus, manusia itu perusak dan penumpah darah atau mengutip film Smallville, manusia adalah makhluk primitif

Hal ini sebagai contoh bisa terlihat dalam kasus Bus Way. Moda transportasi darat dalam kota yang dipakai Pemda Jakarta dengan cara memberikan jalur khusus bagi bus tersebut yang tidak boleh dilalui oleh kendaraan lain. Akibatnya sangat jelas, sementara kendaraan lain bermacet-macet dijalur lain, Bus Way berjalan lancar tanpa hambatan.

Saya agak bingung mendengar pendapat umum, apalagi pengelola Bus Way dan Pemda DKI tentunya, yang menyatakan kalau Bus Way itu aman dan nyaman. Tidak jelas dimana letak aman dan nyamannya.

Bagi yang tidak pernah menggunakan Bus Way coba saja naek Bus Way dan bagi yang pernah menggunakan Bus Way coba naek lagi dan perhatikan serta rasakan lebih detail dimana letak “kenyamanan” dan “keamanan” naek Bus Way.

Bila kita naek Bus Way, maka kita mesti bersiap-siap untuk antri panjang di halte menunggu kedatangan Bus yang lebih dari 10 menit, Saling dorong dan berjejal ketika masuk Bus, AC yang tidak jelas pengaturannya (walaupun kepanjangannya Air Conditioning), gemerisik hydrolic pintu ketika terbuka dan tertutup serta irama sopir ketika menginjak pedal gas dan pedal rem. Ketika saudara menaiki nya setelah pulang jam kantor, maka nikmatilah segala bentuk pengalaman diatas itu.

Lalu dimana kenyamanan dan kemanan menaiki Bus Way?ini hanya asumsi. Sekali lagi hanya asumsi saja jadi masih perlu dibuktikan lebih mendalam dan belum layak menjadi pegangan.

Saya curiga bila yang dimaksud dengan kenyamanan dan keamanan menaiki Bus Way itu terletak pada kata lancar dan anti macet nya itu. Kata yang sering keluar dari banyak orang, dengan redaksi yang berbeda tentunya, ketika ditanya alasan naik Bus Way. Untuk hal ini minimal bisa terlihat ketika volume penumpang Bus Way Koridor Dukuh Atas – Ragunan naik kembali setelah ada kebijakan kendaraan pribadi tidak boleh memakai Jalur Bus Way. Sebelumnya banyak penumpang mengeluh karena banyaknya jalur pribadi yang masuk jalur Bus Way sehingga naik Bus Way juga mesti mengalami kemacetan.

Jadi ketika Bus Way berjalan lancar tanpa hambatan di jalurnya, sementara di jalur sebelah banyak kendaraan lain yang sedang antri macet, disitulah kenyamanan menaiki Bus Way. Kalau begini ternyata yang dinamakan kenyamanan adalah ketika melihat orang lain tidak nyaman. Tapi ini hanya asumsi, masih perlu ada pembuktian lebih mendetail.

Jakarta, 24 Juli 2008
READ MORE - Nyaman Karena Melihat Ketidaknyamanan

Wednesday, 23 July 2008

Rapat Virtual dan Cara Kerja Modern

Kompas
Rabu, 23 Juli 2008

Ninok Leksono

”Sarana teknologi ini (’video-conferencing' dan rapat 'online') akan mengubah cara berpikir perusahaan terhadap perjalanan dan kerja dalam jangka panjang.” Claire Schooley, analis pada Forrester Research, NYT, 22/7).

Semula, ada kemacetan yang semakin tidak tertahankan di kota-kota besar. Situasi ini lalu melahirkan ide agar karyawan tak selalu harus ke kantor. Manajemen perusahaan dihadapkan pada dilema, mendapatkan karyawan produktif dengan mengorbankan kehadiran di kantor, atau tetap mengharuskan karyawan hadir di kantor dengan kehilangan sebagian (mungkin juga sebagian besar) waktu dan produktivitasnya.

Ketika kemacetan total di kota besar, seperti Jakarta, diperkirakan datang lebih awal—bukan lagi tahun 2014, melainkan tahun 2011, atau 2012, bayangan akan ”hidup tua di jalanan” semakin melahirkan rasa tak nyaman, khususnya bagi karyawan yang tiap hari harus ke kantor.

Namun, pada sisi lain, konsep tidak harus di kantor—lepas dari sifat pekerjaan seorang karyawan kreatif atau tidak—masih menjadi bahan perdebatan di kalangan manajemen. Tampaknya, alam pikir tradisional masih mendominasi dalam wacana ini. Namun, waktu mungkin akan mengubah persepsi tersebut.

Harus diakui bahwa momentum bagi pendekatan baru dalam cara orang bekerja ini bertambah lagi dengan munculnya perkembangan baru, yakni makin mahalnya harga bahan bakar dan—sebelumnya—diperolehnya teknologi yang memungkinkan orang bekerja dari jauh (luar kantor). Bahkan, makin luasnya penggunaan internet membuat orang bisa bekerja dari titik mana pun di dunia. Itu sebabnya istilah www yang semula hanya berarti world wide web kini juga berarti world wide workplace, atau ”tempat kerja di mana pun di dunia”.

Rapat virtual

Di harian The New York Times, Selasa (22/7), Steve Lohr menulis feature tentang makin banyaknya perusahaan mengadakan rapat virtual karena biaya perjalanan semakin mahal.

Peserta rapat semacam itu, seperti dituturkan oleh karyawan Accenture Jill Smart, semula merasa ragu, tapi setelah hadir di ruangan yang dilengkapi dengan fasilitas konferensi video—atau juga dinamai telepresence—dan merasakan sendiri suasana demikian nyata, ia dalam tempo 10 menit lupa bahwa ia tidak bersama-sama dengan mitra konferensi dalam ruangan itu. Maklum saja, Nona Smart ada di Chicago dan mitra konferensinya ada di London.

Accenture kini telah memasang 13 ruang konferensi video di kantor-kantornya di seluruh dunia dan berencana menambah 22 ruang lagi sebelum akhir tahun ini.

Cara rapat virtual ditempuh guna menghindari 240 perjalanan internasional dan 120 perjalanan domestik yang harus dilakukan oleh stafnya dalam bulan Mei saja. Langkah itu diyakini dalam setahun bisa menghasilkan penghematan jutaan dollar. Tetapi yang juga diperoleh adalah staf terbebas dari kehilangan jam kerja produktif, yang memang akan hilang kalau mereka harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan.

Jadi, dengan semakin meningkatnya biaya perjalanan dan hal itu juga membuat maskapai penerbangan mengurangi layanan, perusahaan—besar dan kecil—mengkaji kembali rapat tatap muka (face-to-face meeting), juga perjalanan bisnis.

Tentu saja langkah ini harus ditopang oleh pendukung yang tidak lain adalah teknologi yang kini sudah mencapai titik di mana ia praktis (atau tidak sulit digunakan), harganya terjangkau, dan lebih produktif guna memindahkan bit-bit digital daripada badan.

Diperkirakan, arah baru ini lebih dari sekadar reaksi atas meningkatnya biaya perjalanan dan pelemahan ekonomi.

Pada masa lalu juga sudah ada ramalan bahwa teknologi bisa menggantikan perjalanan. Namun, dulu hal itu dinilai prematur. Kini, teknologi disebut telah bisa membuktikan janjinya. Adanya investasi besar pada jaringan telekomunikasi, perangkat lunak, dan peningkatan pengolahan komputer mendukung munculnya kemajuan yang ada.

Kini, pilihan yang ada sudah banyak, mulai dari sistem telepresence yang mahal seperti dibuat oleh Cisco dan HP hingga teknologi kolaborasi yang dikenal sebagai web conferencing, online document sharing, wikis, dan teleponi internet.

Tidak heran kalau kemajuan teknologi ini semakin luas dimanfaatkan oleh perusahaan besar dan kecil. Rapat via internet kini semakin banyak digunakan untuk pelatihan dan presentasi penjualan. Dengan penggunaan cara kerja baru ini, perusahaan ada yang bisa menghemat sampai 60 persen, dan waktu rata-rata untuk menuntaskan penjualan baru dipangkas sampai 30 persen.

Perkembangan ini memang menyisakan pertanyaan, apakah dengan tren baru ini lalu rapat tatap muka akan ketinggalan zaman? Atau apakah sudah tidak akan ada lagi karyawan yang bekerja dengan menyusuri jalan raya? Ternyata, yang ditekankan di sini adalah bahwa perkembangan situasi dan kemajuan teknologi digital hanya sebagai cara untuk membuat perjalanan kerja lebih selektif dan lebih produktif.

Perubahan nyata

Tren perubahan cara kerja yang ditopang oleh kemajuan teknologi ini memang kini dirasakan oleh karyawan di pelbagai perusahaan. Misalnya saja, Michael Littlejohn dari IBM. Dua tahun lalu ia menghabiskan waktu 13 sampai 15 hari dalam sebulan di jalan. Kini, ia hanya perlu 8 sampai 10 hari dalam sebulan untuk perjalanan dinas. Namun, tidak berarti waktu untuk melayani klien berkurang. Untuk memahami masalah klien, atau untuk menuntaskan penjualan, ia masih merasa harus bertatap muka.

Lebih efektifnya cara kerja baru ini juga dituturkan oleh Darryl Draper dari Bagian Pelatihan Pelanggan di Subaru of America. Dulu, dalam enam bulan ia hanya bisa menjangkau sekitar 220 orang dengan biaya 300 dollar AS per orang. Kini, setelah semua dilakukan melalui internet, selain ia tidak sering bepergian, ia justru bisa menjangkau 2.500 orang setiap enam bulan dan hanya dengan biaya 75 sen dollar AS per orang.

Tentu, setiap pemanfaatan teknologi ada biaya investasi. Tetapi, dibandingkan dengan biaya operasi yang tidak menentu mengikuti naik-turun harga minyak, investasi di bidang ini lebih bisa dipastikan.

Sekali lagi, videoconferencing maupun rapat online bukan substitusi sempurna bagi datang ke kantor dan rapat tatap muka, di mana orang bicara satu dengan yang lain. Dengan telepresence orang tidak belajar mengenai budaya lain. Nona Smart menegaskan, ”Anda mendapatkan banyak hal dengan berada di sana, saat sarapan atau santap malam, membangun hubungan (dengan) bertatap muka.”

Sekali lagi, cara kerja modern bukan untuk menggantikan seluruhnya rapat atau bertemu langsung. Ini hanya cara bijaksana mengeluarkan biaya pada masa apa-apa serba mahal.

READ MORE - Rapat Virtual dan Cara Kerja Modern

Birokrasi Kita Kayak Cacing Pita dalam Tubuh

Kemarin pagi kira-kira pukul 07.00 ketika kereta Parahyangan Bandung - Jakarta yang saya naiki memasuki kota Bekasi, gak jelas Kotamadya atau Kabupaten, dari balik jendela saya lihat lampu-lampu di Jalan masih menyala.

Bayangkan !... lampu Jalan raya di Bekasi, kota yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan dan informasi Jakarta, sampai pukul 07.00 masih menyala. Padahal saat ini orang sedang ribut tentang krisis listrik sehingga harus ada pemadaman bergilir. Lampu jalan raya yang memiliki watt cukup tinggi masih menyala sampai jam 07.00 masih menyala, apa ini bukan pemborosan listrik?padahal saat ini orang-orang lagi ribut dengan kebijakan SKB yang ditandatangani 5 mentri tentang penghematan listrik di dunia Industri.

Gara-gara SKB 5 mentri ini, tidak hanya para mentri saja yang menjadi bulan-bulanan parlemen, media dan dunia usaha, para pengusaha pun ngos ngosan karena mesti menghitung ulang jadwal dan biaya produksi sambil membayangkan kerugian yang akan menimpa dirinya diiringi dengan ancaman kemarahan para pekerja nya.

Hal yang sama juga pastinya juga menimpa para buruh di dunia industri. Mereka terancam kehilangan hari yang sangat berharga bagi mereka. Setelah 5 hari berkutat di ruangan kerja demi menyambung hidup, Sabtu-Minggu adalah waktu mereka menghela nafas dari segala himpitan kehidupan dengan anak dan istri. Sekarang waktu yang sangat menyenangkan itu hilang karena kebijakan penguasa dan logika para kapitalis. Sabtu-Minggu adalah waktu psychologis yang sangat berharga setelah 5 hari berkutat dengan dunia yang sangat materialistik
Hidupnya lampu jalan di Bekasi sampai jam 07.00 bukan hanya persoalan menghambur hamburkan energi disaat kita sedang mengalami krisis energi, melanggar aturan yang sudah dibuat penguasa, tetapi ini juga masalah tindakan yang menyakitkan terhadap banyak orang yang sedang mengalami krisis material dan psychologis akibat krisis listrik. Bila ada hukum yang bisa diatur secara instant dalam hitungan jam, maka mesti ada aturan untuk menindak prilaku tidak bertanggung jawab orang-orang yang tidak mematikan lampu tersebut.

Saya tidak tahu pasti siapa yang bertanggung jawab untuk mematikan lampu jalan tersebut, tetapi pastinya hal ini berada dibawah koordinasi Pemerintah Daerah dengan pelaksananya Dinas tata kota. Minimal ini logika sederhana yang ada di kepala saya. Yang bertanggung jawab adalah birokrasi

Dan inilah birokrasi kita. Birokrasi kita itu seperti cacing pita dalam tubuh. Cacing yang menghabiskan asupan makanan, berapapun banyaknya makanan yang kita masukan, dan melemahkan gerak kita. Tubuh yang mengandung cacing pita akan sangat sulit untuk bergerak gesit

Seberapapun besar RAPBN kita untuk negeri ini, tidak akan pernah bisa dinikmati oleh masyarakat luas karena habis terserap oleh para birokrat yang korup. Birokrat yang menjadi urat nadi menjalankan program-program RAPBN tidak lebih seperti cacing pita, mengkorup anggaran tersebut sedemikian rupa sehingga hanya sedikit yang bisa dinikmati oleh masyarakat para pembayar pajak

Bagaimanapun hebatnya para pemimpin kita, revolusionernya kebijakan yang mereka telorkan, lincahnya pegerakan mereka, ketika birokrasi kita seperti ini, pemimpin dan kebijakan itu tidak akan pernah berarti apa-apa. Pemerintah tidak akan pernah bisa bergerak cepat mengeksekusi semua kebijakan revolusioner itu karena birokrasi kita berisi top manager yang miskin visi dan kreasi dan pelaku tekhnis lapangan yang minim skill

Jadi kalo Slank bilang Birokrasi itu kompleks, aktivis LSM dan para pengusaha bilang birokrasi itu busuk maka menurut saya birokrasi itu Cacing Pita. Memakan banyak energi yang kita kumpulkan dan melemahkan gerakan.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan menyikapi kondisi birokrasi kita sekarang ini.

Pertama Evaluasi sistem yang ada meliputi sistem pengawasan, remunerasi, pola kerja dan pola funishment dan reward PNS kita. Evaluasi yang ada harus sampai pada sebuah rumusan menghasilkan sebuah rumusan sistem yang bisa menempatkan birorasi sebagai tempat nyaman membangun karir, menyemai prestasi dan membangun pride sebagai seorang PNS

Kedua Monitoring ketat terhadap para pimpinan. Penyimpangan yang dilakukan mesti berujung kepada pemecatan. Hal ini selain untuk memperlancar proses regenerasi di tubuh birokrasi dengan orang-orang yang lebih segar, juga untuk menempatkan kembali aturan sebagai patokan dasar bagi setiap orang

Ketiga pensiun dini kepada para pekerja kelas middle ke bawah yang underperform. Semuanya diganti oleh generasi PNS baru tahun 2000an yang banyak masuk birokrasi tetapi tidak teroptimalkan secara maksimal. PNS yang dipensiunkan, dengan dana pensiun yang besar, diarahkan untuk lebih mengoptimalkan aktivitas ekonomi sektor informal sehingga bisa produktif
Problem dari pelaksanaannya pasti terbentur masalah dana. Dana APBN kita tidak cukup memberi perhatian kepada program reformasi birokrasi karena banyaknya sektor lain yang juga sama pentingnya. Tetapi pada dasarnya, dengan asumsi leadership yang mempunyai komitmen dan pemerintahan yang kuat, mengusahakan dana trilyunan rupiah untuk hal ini bisa diusahakan.
Contoh terdekat adalah kemauan politik untuk mengevaluasi kembali kebijakan SKL (Surat Keterangan Lunas) bagi para obligor BLBI. Dibutuhkan kebijakan tangan besi untuk mengambil dana para obligor BLBI yang terbukti sudah mengambil begitu banyak dana masyarakat. Hal ini dilanjutkan dengan usaha pemberantasan korupsi yang intensif dan massif yang akan bisa mengembalikan trilyunan uang negara. Tidak terlupa adalah re-evaluasi terhadap kontrak karya dengan para kapitalis pengelola sumberdaya alam kita. Porsi terbesar mesti lah untuk masyarakat Indonesia. Bila hal ini tidak bisa terpenuhi oleh mereka, maka membiarkan lebih baik daripada mengelola tetapi tanpa hasil
Tentunya usaha ini hanya bisa berhasil melalui strong leadership yang mempunyai komitmen moral, kebangsaan dan visi jauh kedepan dalam membangun negeri ini

Jakarta, 23 Juli 2008

READ MORE - Birokrasi Kita Kayak Cacing Pita dalam Tubuh

Friday, 18 July 2008

The Next Leaders

Beberapa hari yang lalu saya menghadiri acara launching produk TV kerjasama antara Universitas Paramadina Mulya dan Metro TV. Namanya acaranya The Next Leaders. Informasi lengkapnya bisa dilihat di www.metrotvnews.com/leaders atau di www.thenextleaders.org

Sebuah usaha acara mencari bibit baru pemimpin masa depan yang dipadukan dengan pola acara reality show sebagaimana yang sedang marak di TV. Lahir dari sebuah keresahan melihat perkembangan Indonesia yang dikuasai kaum tua yang lamban, korup dan tidak mempunyai visi tentang Indonesia masa depan.

Bahwasannya acara ini tidak akan berpola seperti Indoensian Idol atau reality show lainnya saya percaya itu. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari komitmen yang dibangun dan para pemberi komitmennya. Hanya saja saya khawatir bila acara ini mereduksi makna Leaders sebagai komunitas orang-orang unggul yang memimpin di dunia politik. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari komposisi orang yang diundang dan thema pembicaraan di acara launching

Pembicara pada launching itu terdiri dari enam orang laki-laki yang masih muda. Arya Bima sebagai direktur The Lead Institute Universitas Paramadina Mulya, yang menjadi prakarsa acara ini, Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina Mulya, Ray Rangkuti, Aktivis Politik yang sedang melejit, Ketua Gema Keadilan dan Anggota DPR RI, Rama Pramatama, Ketua Barisan Muda PAN, Rizki Shadig, Ketua Taruna Merah Putih DPP PDIP dan Anggota DPR RI, Maruarar Sirait.

Sebetulnya bila dilihat lebih detail, praktis yang menjadi pembicara itu hanya empat orang saja dan itu datangnya dari ranah politik. Anies Baswedan meskipun seorang akademisi dalam konteks ini dengan Arya Bima saya pikir hanya sebagai tuan rumah saja. Yang lainnya itulah yang kemudian menimbulkan kesan kemana arah dari program ini mau dibuat

Thema pembicaraan pun berputar masalah politik. Dari mulai isu hak angket BBM, sistem politik Indonesia yang carut marut, kesempatan kaum muda di ranah politik yang tidak terfasilitasi, kaum tua yang tidak bervisi dsb.

Tidak ada yang salah dengan itu, tetapi bila makna leaders terletak pada ranah politik saya pikir ini menjadi sebuah persoalan serius. Apalagi bila dirunut lebih jauh, bila produk dari acara ini mesti duduk di parlemen atau di eksekutif.

Permasalahan Indonesia begitu kompleks. Bahwasannya Indonesia sedang dipenuhi oleh para politisi busuk dan birokrat yang korup itu benar. Tetapi jangan lupakan bahwa pada Indonesia juga disesaki oleh orang-orang yang mengaku dirinya sebagai pengusaha tetapi tidak pernah bekerja keras. Orang-orang yang mengumpulkan kekayaan berbekal lobby kasak-kusuk bukan kerja keras dan kerja cerdas. Indonesia miskin leaders di bidang enterpreneurship dimana setidaknya kita membutuhkan 20 persen enterpreneur baru. Data terakhir itu saya dengar di sebuah talkshow TV.

Bila dirunut lebih lanjut, Indonesia tidak hanya membutuhkan leaders pada ranah politik dan ekonomi, tetapi juga ranah sosial budaya. Kita membutuhkan pemimpin muda nan progresif untuk menggeser orang tua seperti Nurdin Khalid yang tidak tahu diri untuk memimpin PSSI. Kita juga membutuhkan anak-anak muda yang mewarisi bakat dan idealisme seorang Dedy Mizwar dan Garin Nugroho yang mengeksplorasi seni sebagai sebuah sarana mencerdaskan dan memanusiakan manusia. Tidak terlupa kita membutuhkan anak muda yang bisa mewarisi bakat seorang wimar yang bisa menghadirkan tontotan alternatif ditengah gemuruh talkshow yang tidak jelas juntrungannya selain rating

Semoga saja ikhtiar Paramadina tidak akan mereduksi makna sebuah leaders.

Jakarta, 18 Juli 2008

READ MORE - The Next Leaders

Al Fathihah dan Shalawat untuk Galura

Beberapa hari yang lalu saya ngobrol seorang ibu yang berumur kira-kira 50an tahun. Si Ibu singgah ke ruangan di kantor saya untuk ikut memakai internet karena internet di ruangannya sedang macet.

Seperti biasa, si ibu yang ramah memulai membuka pembicaraan antara kamu. Sebuah keramahan yang merupakan gabungan dari sikap dasar ramah dan etika bertamu si Ibu. Tema obrolan pun merambah kesana kemari sampai pada akhirnya si Ibu bertanya tentang anak.

Saya bilang kalo saya baru menjadi bapak 2 minggu yang lalu. Anak saya lelaki, lahir dengan operasi bedah ceasar dan Alhamdulillah Ibu dan anak selamat dan sehat. Bahwasannya silaturahim itu membawa berkah itu ternyata memang benar.

Semula ibu tadi, mungkin karena dia orang Jawa, mengingatkan saya untuk mengingat hari lahirnya anak saya lebih detail. Yang dimaksud hari lahir lebih detail merujuk kepada kebiasaan Jawa apakah dia Selasa wage, pon dll. Saya kurang faham untuk masalah itu. Tetapi menurut Ibu tadi, pengetahuan kita secara detail tentang hari kelahiran menjadi sangat penting karena hal itu akan membimbing kita untuk melakukan amalan-amalan keagamaan supaya anak tadi selamat dunia dan akhirat.

Mungkin karena saya bukan orang Jawa dan tidak begitu faham tentang hari detail tadi, maka tema ini tidak terlalu menarik dan menggugah saya. Meskipun si Ibu tadi menerangkan lebih lanjut amalan apa saja yang mesti dilakukan bila anak kita, misalnya, lahir pada Selasa wage. Semuanya menurut si Ibu tadi supaya anak tadi di dunia mendapat rizki yang halal dan di akhirat nanti semua amalannya diterima oleh Allah. Orang tua waras mana yang tidak ingin anaknya seperti itu?

Yang cukup menarik bagi saya adalah ketika si Ibu tadi menyarankan saya untuk membacakan alFathihah dan Shalawat Nabi sebanyak 17 kali di ubun-ubun anak itu disetiap selesai shalat shubuh. Menurut si Ibu setiap bayi itu mempunyai malaikat penjaga. Shalawat dan Al Fathihah tadi adalah energi bagi sang penjaga anak tadi.

Penjelesan dari ibu ini mengingatkan saya kepada obrolan dengan istri saya beberapa bulan sebelumnya dan salah seorang teman saya waktu mahasiswa dulu. Sebelumnya istri saya sempat mengatakan kalo setiap bayi itu sampai umur dua tahun mempunyai seorang malaikat penjaga. Menurut istri saya bila seorang bayi terlihat sedang senyum ketika dia tidur, saat itu sang bayi sedang diajak bermain oleh malaikat penjaganya.

Adapun Waktu mahasiswa saya sempat berdialog dengan salah seorang teman akrab mahasiswa NU yang mendalami filsafat meskipun kuliahnya di Hubungan Internasional FISIP Unpad. Menurut temen saya tadi kebanyakan orang kampung selalu membakar kemenyan di rumah baru yang akan dihuni atau pojok-pojok ruangan sebuah rumah, biasanya yang kotor dan jarang dipakai, karena kemenyan itu makanan para "penghuni" ruangan tadi. Makanan itu menjadi semacam "bingkisan" bagi para penghuni tadi sehingga dia menjadi lunak dan tidak mengganggu. Detailnya saya lupa, tetapi secara garis besar kira-kira penjelasannya seperti itu

Kembali ke Ibu tadi. Siapa sih yang tidak ingin anaknya hidup dijaga oleh para malaikat?Hidup terhindar dari segala marabahaya, dilimpah rizki yang halal serta terhindar dari perangkap hidup yang akan membawanya kepada kegelapan.

Membaca alfathihah dan shalawat mungkin sesuatu yang tidak rasional. Saya yakin pendapat ini tidak hanya bagi orang barat saja, tetapi bahkan bagi para muslim itu sendiri. Tetapi saya sudah menyatakan diri bahwa kehidupan ini tidak hanya bisa dimaknai secara dzahir. Spiritualitas adalah diantara cara kehidupan yang mesti kita lakukan untuk keselamatan kita di dunia ini. Shalawat, takbir, tahmid, dzikir adalah diantaranya. Terlebih saya pernah diingatkan sebuah hadits, yang saya lupa redaksinya, ketika di pesantren dahulu. Bahwa sebuah hadits yang dhaif bisa menjadi rujukan bila hal itu merujuk kepada ajakan untuk memperbanyak amal.

Selanjutnya saya dihadapkan dengan pertanyaan dengan jarak geographis antara saya dengan anak saya. Istri dan anak saya di Bandung sedangkan saya sedang di Jakarta untuk memenuhi kehidupan kami. Tetapi, sekali lagi, saya tidak terlalu positivistis dalam memaknai hidup saya. Bukankah anak saya itu merupakan bagian dari diri saya sendiri?dia ada dalam diri saya. Maka yang saya lakukan adalah membaca alfathihah dan shalawat itu sebanyak 17 kali sambil membayangkan wajah anak saya dengan maksud sebagai bentuk "kiriman" dari saya

Bagi anda yang sangat mempercayai dunia ini sangat rasional dan linier saya sarankan untuk tidak mengikuti langkah saya. Membaca shalawat dan alfathihah bagi anak saya, yang berjauhan kota, dengan keyakinan akan menyelematkannya di dunia.

Tetapi saya ingin mengingatkan juga bahwa orang barat yang katanya rasional pun sekarang sedang berbondong-bondong mencari kearifan timur yang ternyata dalam banyak hal tidak bisa dimengerti bila memakai penjelasan filsafat barat.

Jakarta, 17 Juli 2008
READ MORE - Al Fathihah dan Shalawat untuk Galura

Thursday, 17 July 2008

Politik Santun Mohammad Natsir

MOHAMMAD Natsir seakan ber­asal dari negeri yang jauh. Sebuah negeri tempat politikus berjuang sungguh-sungguh demi rakyat yang diwakilinya. Mereka memegang te­guh ideologi partai masing-masing. Beradu argumen dengan ganas, tapi tetap dengan tutur kata sopan, dan sesudahnya mereka bercakap hangat dengan lawan politiknya sambil meneguk secangkir kopi di saat rihat. Mereka berperang kata, tapi seketika saling berpegangan tangan saat menghadapi penjajah Belanda.

Indonesia di awal kemerdekaan, ketika Mohammad Natsir berkecimpung menjadi politikus dari Partai Masyumi, bukanlah negeri khayalan. Ketika itu beda pendapat dan pandangan sudah biasa. Para politikus tak merasa perlu memamerkan kekayaan kepada publik. Bahkan sebaliknya, mereka cukup bersahaja.

Sebagai Menteri Penerangan, Natsir tak malu mengenakan kemeja kusam dan jas bertambal. Ketika menjadi Ketua Fraksi Masyumi, dia menampik hadiah sebuah mobil Chevrolet Impala yang tergolong mewah dari seorang pengusaha. Ia menolak dengan cara halus agar si pemberi tak merasa kehilangan muka. Padahal di rumahnya yang sederhana hanya ada sebuah mobil DeSoto rom­beng. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” begitu nasihat yang disampaikannya kepada istri dan anak-anak.

Di awal kemerdekaan itu sebuah negara baru sedang bangkit. Para politikus berkhidmat sekuat-kuatnya untuk Tanah Air. Mereka patriot-pejuang, beberapa di antara­nya pernah mendekam di bui atau menjalani pembuangan di tempat terpencil di masa penjajahan Belanda. Mereka meng­hidupkan politik, bukan mencari hidup dari politik. Ten­tu saja di masa itu ada beberapa politikus yang berpe­rilaku miring, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Maka tak salah bila Daniel Lev (almarhum), seorang In­donesianis kenamaan, berkali-kali mengingatkan ge­ne­ra­si muda Indonesia. Bila ingin mempelajari sema­ngat berde­mokrasi serta kehidupan politikus yang bersih dan bersahaja, tak perlu menoleh jauh-jauh ke Eropa atau Ame­rika. “Pelajari saja masa demokrasi pada 1950-an,” katanya suatu kali.

Politik santun itu perlu dikembalikan ke zaman ini, le­bih dari 60 tahun setelah Indonesia merdeka. Terutama ketika dunia politik terasa pengap oleh skandal beruntun. Sejumlah politikus melakukan korupsi berkawanan, meminta imbalan materi atas aturan hukum yang mereka buat, ada yang terlibat kejahatan seksual.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat membuat pelatar­an kantornya bak ruang pamer mobil mewah dengan mengen­darai kendaraan luar biasa mahal­ justru di saat kebanyakan rakyat hidup miskin. Mereka berlomba mengejar popularitas demi mendaki tangga karier politik sendiri, sesuatu yang jauh dari kepentingan rakyat pemilihnya. Santun, bersahaja, dan semangat berkhidmat menjadi barang langka. Begitu jauh jarak yang terbentang antara para politikus dan rakyat yang diwakili­nya.

Sejauh ini minim sekali teguran dari partai politik kepada anggotanya yang berperilaku rendah. Hampir tak ada partai yang menggariskan pedoman jelas kepada anggotanya untuk bertingkah laku sesuai dengan keadaan mayoritas rakyat. Surat teguran dan recalling, dalam sejarah Dewan, hanya akan terbit justru bila terjadi perbedaan pendapat antara anggota dan pemimpin partainya.

Barangkali sistem perwakilan politik perlu diperbaiki total. Perlu sebuah sistem dengan aturan jelas yang membuat para politikus terikat dan sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi rakyat. Mungkin Indonesia tak bisa lagi membayangkan para politikus akan berperilaku santun dan bersahaja seperti Natsir dan kawan-kawan di masa lalu. Tapi dengan perbaikan sistem, mungkin keadaan baik itu bisa ditiru.

Nasib negara seyogianya memang tak diserahkan kepada kebajikan orang per orang, tapi pada sistem yang baik. Saat ini segemas apa pun masyarakat pemilih terhadap perilaku para wakilnya, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak punya kekuatan untuk segera menghukum para politikus lancung itu.

Salah satu usul perbaikan sistem politik itu adalah mempersingkat masa tugas anggota Dewan—seperti dilontarkan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan. Masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya tiga tahun saja, bukan lima tahun seperti sekarang. Dengan masa jabatan yang pendek, konstituen bisa lebih cepat menghukum wakil pilihannya bila menyeleweng. Mereka yang berprestasi bisa dipilih kembali, yang kerang-keroh tak akan dipilih lagi.

Sistem seperti itu akan membuat demokrasi berpihak dan melayani seluruh rakyat. Para aktor politik di dalamnya tetap boleh mengejar kepentingan pribadi, kelompok, atau partainya, tapi dengan cara yang menguntungkan publik.

Dengan sistem yang diperbaiki itu, bukan mustahil perilaku santun, bersih, bersahaja akan kembali mewarnai panggung politik negeri. Siapa tahu kelak kita akan bertemu dengan politikus yang sekaliber atau malah le­bih baik daripada seorang Mohammad Natsir.

Majalah Tempo
Edisi. 21/XXXVII/14 - 20 Juli 2008
READ MORE - Politik Santun Mohammad Natsir

Wednesday, 16 July 2008

Sisi Nasionalis Natsir

Rabu, 16 Juli 2008

Oleh Yudi Latif

Ada saatnya kepentingan dan ideologi sektoral berhenti ketika kepentingan nasional yang lebih besar harus dimulai.

Dalam mosi integralnya di depan parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Natsir berkata, ”Hanya dengan mengambil inisiatif kembali, yang telah dilepaskan oleh pemerintah selama ini, dapat diharapkan bahwa pemerintah terlepas dari posisi defensifnya seperti sekarang. Dengan begitu mungkin timbul satu iklim pikiran yang lebih segar, yang akan dapat melahirkan elan nasional yang baharu, bebas dari bekas persengketaan-persengketaan yang lama, elan dan gembira membanting tenaga yang diperlukan dan selekas mungkin dapat disalurkan untuk pembangunan negara kita ini. Semuanya itu diliputi suasana nasional dengan arti yang tinggi serta terlepas dari soal atau paham unitarisme, federalisme, dan proporsionalisme.”

Dalam ”Mosi Integral Natsir” ini, jalan keluar dari Negara RIS menuju NKRI ditempuh dengan mengajak semua pihak agar tidak menyinggung masalah federalisme atau unitarisme demi kepentingan nasional yang jangkauannya lebih jauh. Natsir menyerukan agar tak memaksa negara-negara bagian membubarkan diri, mengingat kedudukannya yang setara dengan Republik berdasarkan Konstitusi RIS. Solusinya adalah mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam Republik.
Kepentingan bangsa

Dalam menggagas mosi ini, Natsir sebagai pemimpin partai terbesar, Masjumi, terlebih dulu melakukan penjajakan. Di Negara Pasundan, ia menemui Sekarmadji Kartosuwirjo agar tidak memproklamasikan Darul Islam. Di parlemen ia berunding dengan IJ Kasimo dari Partai Katolik, AM Tambunan dari Partai Kristen, dan Mr Hardi dari PNI.

Hal ini membuktikan manusia selalu lebih kaya daripada suatu kategori. Ketika suatu kategori dipaksakan untuk merepresentasikan seseorang, selalu ada luberan yang tak tertampung oleh kategori itu. Terlebih jika seseorang itu manusia besar, yang selalu lebih besar dari diri sendiri. Seorang Natsir, yang dikategorikan sebagai figur ”Islamis”, yang secara stereotip dihadapkan dengan ”nasionalis”, dalam momen-momen kritis yang mengancam kelangsungan bangsa, lebih mengedepankan kepentingan nasional ketimbang kepentingan dan ideologi partainya.

Pengalaman traumatik pencoretan Piagam Jakarta segera dilupakan ketika panggilan revolusi harus diutamakan. Natsir berkata, ”Di Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan, saya adalah salah satu di antara menteri yang memiliki hubungan paling dekat dengan Soekarno.... Polemik-polemik yang tajam di antara kami pada tahun 1930-an mengenai dasar negara Indonesia merdeka telah terlupakan.”

Ditunjuk menjadi perdana menteri pada September 1950, sebagai bentuk penghargaan atas mosinya yang elegan, Natsir tak sungkan membentuk kabinet koalisi, melibatkan unsur-unsur non-Muslim dan nasionalis—Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, PSI, dan PIR.

Selama lima tahun (1950-1955) dominasi Muslim dalam kepemimpinan politik nasional, partai-partai Islam menjunjung tinggi prinsip demokrasi sambil menidurkan obsesinya terhadap politik identitas.

Sebagai perdana menteri, Natsir menentang keras pemberontakan Darul Islam. Dia percaya konsep negara Islam merupakan suatu yang ideal, yang tidak bisa diraih melalui kekerasan. Saat yang sama, dia menegaskan, kaum Muslim harus memperjuangkan tata politik yang demokratis. ”Sejauh terkait (pilihan) kaum Muslim, demokrasilah yang diutamakan karena Islam hanya bisa berkembang dalam sistem yang demokratis.”

Ketika Masjumi berkuasa, Natsir tak ragu mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam pidato di Pakistan Institute of World Affairs, 1952, ia membela Pancasila yang dinilai selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama, lima sila itu dipandang menjadi dasar etika, moral, dan spiritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid.

Hal serupa ia utarakan pada peringatan Nuzulul Quran, 1954: ”Rumusan Pancasila merupakan hasil pertimbangan yang mendalam di kalangan pemimpin nasional selama puncak perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Saya percaya dalam momen yang menentukan semacam itu, para pemimpin nasional yang sebagian besar beragama Islam tidak akan menyetujui setiap rumusan yang dalam pandangan mereka bertentangan dengan prinsip dan doktrin Islam.”

Klaim-klaim keislaman atas politik Indonesia dihidupkan kembali oleh partai Islam selama dan setelah kampanye Pemilu 1955. Dalam menghadapi persaingan politik yang sengit, terutama dengan kebangkitan kembali komunisme, politik identitas diaktifkan kembali dalam rangka memobilisasi dukungan.

Meski persidangan Konstituante berhasil menyepakati semua pasal yang bersifat substantif, ia gagal mencapai kompromi menyangkut dasar negara. Terhadap semua pasal yang telah disepakati itu, ”Kubu Islam” ingin menutupnya dengan mencantumkan Islam sebagai dasar negara. Sedangkan ”Kubu Pancasila” ingin menutupnya dengan dasar Pancasila.

Prawoto Mangkusasmito menyebut kedua kubu itu sebagai ”kubu Pancasila” versus ”kubu non/anti-Pancasila” sebenarnya tidak tepat. Menurut dia, kubu Islam pun sebenarnya setuju dengan seluruh sila Pancasila. Masalahnya cuma ingin mempertahankan ”tujuh kata” Piagam Jakarta setelah frase ”Ketuhanan yang Maha Esa”. Bagi kubu Islam, hal ini penting untuk memberi tanda bahwa Islam yang sepanjang masa kolonial terus dimarjinalkan mendapat tempat yang layak dalam Indonesia merdeka. Hal ini menjadi lebih penting dihadapkan ancaman PKI yang bermaksud mengubah sila pertama menjadi sila kebebasan beragama/tidak beragama.

Alhasil, tuntutan terhadap negara Islam, termasuk Piagam Jakarta, bukan sesuatu yang esensial yang tak bisa dipengaruhi perubahan ”cuaca”, tetapi ditentukan oleh struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang ada. Terbukti, antara tahun 1950 hingga awal 1955—saat politik Islam berkuasa—tuntutan ke arah itu mereda. Sebaliknya, ketika politik Islam goyah selepas Pemilu 1955, isu negara Islam dan Piagam Jakarta kembali hidup.

Kini, saat struktur kesempatan politik memberi keluasan bagi pengembangan Islam, bahkan partai-partai nasionalis pun mengakomodasi aktivis dan sayap Islam, obsesi terhadap politik identitas sebenarnya bersifat anakronistik. Ketika kehidupan nasional dilanda krisis berkepanjangan, saatnya aktivis Islam meniru keteladanan Natsir: mencurahkan perhatian pada hal-hal substantif demi kepentingan nasional yang lebih luas ketimbang kepentingan golongan dan perseorangan.

Dalam peringatan 100 tahun Natsir, semoga kebesaran jiwanya menyirami jiwa para pemimpin yang kerdil.

Yudi Latif
Dewan Ahli Nurcholish Madjid Society;
Direktur Eksekutif Reform Institute
READ MORE - Sisi Nasionalis Natsir

Wednesday, 9 July 2008

Kegelisahan Tamansiswa

Rabu, 9 Juli 2008

Darmaningtyas

Perguruan Tamansiswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara –sebelumnya bernama RM Suwardi Suryaningrat—tanggal 3 Juli 1922 merupakan institusi pendidikan di negeri ini yang berkontribusi besar terhadap perwujudan kemerdekaan RI. Perguruan itu bukan hanya sebagai institusi pendidikan belaka, tetapi juga media perjuangan kemerdekaan.

Ki Hadjar Dewantara adalah anggota tiga serangkai yang bersama Douwes Dekker dan Cipta Mangunkusuma mendirikan Indische Partij, organisasi politik pertama di Indonesia. Karena pendiriannya yang tegas menentang penjajahan Belanda, ia dibuang ke Bangka dan kemudian ke negeri Belanda (1915-1919).

Sekolah pertama yang didirikan adalah taman indria (taman kanak-kanak) dan kursus guru, kemudian diikuti dengan pendirian taman muda (SD), dan taman dewasa (SMP merangkap taman guru). Setelah itu, diikuti dengan pendirian taman madya (SMA), taman guru (SPG), prasarjana, dan sarjana wiyata (YB Suparlan, 1981). Dalam waktu delapan tahun Perguruan Tamansiswa telah berkembang menjadi 52 tempat.

Perkembangannya yang pesat itu menimbulkan kekhawatiran pada Pemerintah Belanda sehingga dikeluarkanlah Undang-Undang Sekolah Liar (Onderiwijs Ondonantie/OO), 1932. Undang-undang itu melarang sekolah partikelir (swasta) beroperasi bila tanpa izin dari pemerintah, harus menggunakan kurikulum dari pemerintah dan gurunya harus tamatan dari sekolah guru pemerintah. Bila OO itu dilaksanakan, Perguruan Tamansiswa akan tutup karena sebagai sekolah swasta kebangsaan, Taman- siswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong dari sekolah guru sendiri.

Menghadapi tekanan itu, Ki Hadjar Dewantara melawan dengan dua cara. Secara internal, ia menyerukan kepada semua pemimpin Tamansiswa dan Wanita Tamansiswa untuk melawan OO 1932 dengan tetap terus menjalankan sekolah. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh mengajar karena tidak berijazah guru pemerintah secepatnya diganti dengan pamong lain dengan semboyan ”ditangkap satu diganti seribu”.

Secara eksternal, ia mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor yang menyatakan akan mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan cara tenaga diam (Lijdelik Verset). Perjuangan yang gigih itu membuahkan hasil karena pada tahun 1934 Onderwijs Ondonantie dicabut. Perguruan Tamansiswa dan sekolah swasta lainnya selamat dari kematiannya. Tahun 1936, Tamansiswa memiliki 161 cabang, 1.037 kelas, 11.235 murid, dan 602 guru.

Dituduh berbau komunis

Pendirian Perguruan Tamansiswa yang berasaskan tujuh, yaitu kemerdekaan, metode among, berperadaban bangsa sendiri, pemerataan pendidikan, mandiri, sederhana dan makarya, serta dengan suci hati dan tidak mengharap sesuatu hak berkehendak berhamba kepada sang anak, menyebabkan Ki Hadjar Dewantara menghadapi kritikan pedas dari pemerintah penjajah yang menuduh berbau komunis karena kerakyatannya. Akan tetapi, ia juga memperoleh dukungan dari kaum nasionalis/republiken (Ki Soenarno Hadiwijoyo, 2007).

Pascakemerdekaan, semangat juang Tamansiswa itu terakomodasi dalam semangat berbangsa dan bernegara. Ki Hadjar Dewantara adalah seorang peletak dasar sistem pendidikan nasional. Beberapa Menteri Pendidikan berasal dari Tamansiswa. Banyak tokoh, baik di pemerintahan maupun seniman, lahir dari lingkungan Tamansiswa. Semangat Tamansiswa tecermin dalam rumusan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Pokok-Pokok Pengajaran di Sekolah yang menjunjung tinggi kebangsaan.

Namun, sesuai dengan perkembangan zaman, Perguruan Tamansiswa makin surut dari panggung sejarah. Sekarang, Perguruan Tamansiswa hanya memiliki: 129 cabang , dengan 85.115 murid, dan 5.500 guru. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang banyak, kondisi Tamansiswa sekarang mengalami kemunduran jauh bila dibandingkan tahun 1936.

Sekolah-sekolah Tamansiswa sekarang menjadi pilihan terakhir bagi masyarakat setelah tidak diterima di sekolah negeri maupun swasta lainnya, dengan gedungnya yang kumal. Tidak ada tokoh baru yang muncul dari Perguruan Tamansiswa. Secara politis, tidak diperhitungkan lagi, terbukti tidak ada presiden pasca- Orde Baru yang datang ke Tamansiswa untuk mencari legitimasi.

Korban politik

Titik awal kemunduran Perguruan Tamansiswa dimulai sejak peristiwa politik 1965–1966 yang menyebabkan sejumlah orang kritis ditangkap, termasuk para pamong Tamansiswa di cabang-cabang. Para pamong yang tersisa atau penggantinya lebih memilih diam, tidak kritis demi menjaga keselamatan perguruan. Namun, sikap diam mereka itu justru merugikan Tamansiswa sendiri karena sejak itu suara Tamansiswa tidak lagi diperhitungkan oleh publik. Kondisi itu berlanjut hingga sekarang.

Kebijakan Orde Baru mendirikan SD Inpres secara masif di semua daerah turut memundurkan peran Perguruan Tamansiswa. Beberapa SD Tamansiswa yang berdekatan dengan SD Inpres tutup. Demikian pula kecenderungan masyarakat untuk memilih sekolah sesuai dengan agama yang dianutnya, berkontribusi pada tidak lakunya sekolah di lingkungan Tamansiswa karena muncul wacana bahwa sekolah di Tamansiswa itu sekuler. Pada masa Ki Hadjar Dewantara dulu, di Tamansiswa memang tidak diajarkan pendidikan agama, melainkan budi pekerti. Bagi insan Tamansiswa, hantaman dari pemerintah kolonial ternyata lebih mudah dihadapi daripada tantangan dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia sendiri.

Reformasi politik (1998) ternyata tidak membawa dampak perbaikan bagi Perguruan Tamansiswa. Sebaliknya, kebijakan pendidikan nasional makin jauh dari ajaran Tamansiswa, seperti tecermin dalam UU Sis- diknas yang tidak memiliki roh kebangsaan. RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (RPP PPP) yang sangat kapitalistik juga ditolak Majelis Luhur Tamansiswa karena keduanya itu bertentangan dengan Dasar Tamansiswa (Panca Dharma), yaitu kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Penolakan itu adalah ekspresi dari kegelisahan Tamansiswa terhadap praksis pendidikan menjadi sangat kapitalistik, sektarian, dan melupakan sejarah bangsa.

Darmaningtyas
Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta
READ MORE - Kegelisahan Tamansiswa

Kepemimpinan Alternatif

Israr Iskandardosen sejarah Universitas Andalas Padang

Puncak dari multikrisis di Indonesia sebenarnya terkait krisis kebangsaan atau nasionalisme. Asumsinya, kalau nasionalisme (dalam pemahamannya yang substantif) dari seluruh komponen bangsa ini masih kuat, beragam persoalan bangsa masih bisa diurai untuk dicarikan solusinya.
Krisis kebangsaan tentu bukan sekadar memudarnya batas-batas negara (terkait globalisasi dan kemajuan teknologi) atau ancaman separatisme, tetapi melelehnya nilai-nilai luhur yang dulu mendasari terbentuknya Indonesia sebagai negara bangsa. Nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan dialog yang kelak berguna menjaga keutuhan bangsa dicampakkan dan disubstitusi dengan kultur dan nilai-nilai egoistis, pragmatis, dan oportunistis. Pada aras sosial, misalnya, kebebasan pasca-Orba telah membuat kohesi antarwarga bangsa meluntur. Potensi titik-titik api konflik sosial tak kunjung hilang. Belum sembuh luka akibat konflik bernuansa SARA di beberapa daerah, potensi pertentangan fisik baru kini muncul lagi ke permukaan menyusul aksi-aksi main hakim sendiri dari sekelompok masyarakat yang memaksakan kehendak. Celakanya, pemerintah dan aparat sendiri tidak tegas. Dalam batas tertentu, pemerintah bahkan terkesan 'mengambangkan' persoalan, seperti kasus Ahmadiyah.

Pada sisi lain, kerapuhan nasional juga tercermin dari relasi elit dan rakyat yang tak lebih sebagai hubungan 'ekonomi politik' belaka. Untuk kepentingannya, elite cenderung memanfaatkan 'kepolosan' massa (rakyat). Bahkan kerap menggunakan berbagai cara, termasuk kata-kata sakti, seperti atas nama rakyat dan kepentingan nasional. Padahal tindakan dan perilaku mereka sendiri kerap merugikan kepentingan nasional, seperti tercermin dari perilaku korupsi, mencabut subsidi dan kegemaran mengonsumsi produk luar negeri.

Krisis saat ini sebenarnya krisis yang lebih banyak dirasakan rakyat, bukan elit atau kelas menengah ke atas. Kelompok elit biasanya memiliki siasat supaya tidak terkena ekses buruk krisis. Mereka bahkan bisa meraup untung dari krisis yang mendera bangsa. Solidaritas kebangsaan dan kerakyatan yang dulu ditasbihkan para patriot pendiri negara dan kini kerap dikumandangkan kelompok elit, akhirnya tak lebih sebagai retorika politik belaka.

Sedangkan pada tingkat massa, nasionalisme sebenarnya masih tetap membatin. Lihatlah patriotisme masyarakat dalam menanggapi perselisihan Indonesia-Malaysia, seperti kasus Sipadan-Ligitan dan kontroversi klaim lagu Rasa Sayange oleh negara jiran itu belum lama ini. Begitu pula sentimen publik yang muncul atas perjuangan atlet-atlet Indonesia membela panji-panji negara. Rakyat pun tetap antusias mengibarkan Merah Putih saat-saat momentum historis, seperti Hari Kemerdekaan, Hari Pahlawan, dan lainnya.

Persoalan lain, yang juga agak mengganjal, nasionalisme lebih diidentikkan dengan kelompok tertentu vis a vis kelompok-kelompok lainnya. Ini juga gambaran potensi keterpecahan bangsa. Ketika muncul persoalan terkait kepentingan nasional, seperti privatisasi BUMN dan modal asing, respons elit menjadi terbelah. Padahal realitas perbedaan pendapat mestilah diletakkan dalam kerangka kepentingan nasional.

'Dwitunggal' Baru?Kompleksitas persoalan bangsa sekarang ini juga sering dikaitkan dengan lemahnya kepemimpinan di level nasional maupun lokal. Pasca-kemerdekaan, sulit menemukan kepemimpinan yang mampu 'menggerakkan' seluruh komponen bangsa, bersatu mewujudkan kepentingan nasional sekaligus memiliki visi kuat menangani aneka persoalan negara bangsa yang kompleks ini.

Dalam batas tertentu, meski bukan suatu altruisme, realitas sosial politik ini bisa dipahami. Jika pemimpin masa lalu lahir dari rahim idealisme perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, pemimpin sekarang umumnya lahir dari rahim zaman pragmatisme. Sebagian dari mereka, bahkan tipikal elit yang tidak satu kata dan perbuatan. Elit politik dalam sejarah kontemporer juga cenderung menonjolkan kepentingan sempit dan jangka pendek.

Tak heran, ketika elit berteriak soal kepentingan rakyat dan negara, publik tak serta merta percaya. Masalahnya tentu bukan pada persepsi publik yang cenderung apatis, tetapi justru pada kualifikasi dan kapabilitas pemimpin yang muncul. Belum terlihat indikasi kuat bakal tampilnya suatu kepemimpinan nasional yang punya kapasitas, kapabilitas, akseptabilitas, visi dan kredibilitas yang kuat menangani persoalan bangsa yang kompleks. Lapisan pemimpin yang dominan sekarang adalah kelompok elit politik yang tidak memiliki kinerja dan track record yang meyakinkan.

Kepemimpinan muda juga belum begitu kelihatan. Sekarang harapan kepada mereka tinggi, tetapi sumber-sumber rekrutmen kepemimpinan politik masih mewarisi kultur feodal dan tipikal elite lama. Beberapa partai memang berhasil menampilkan kader-kader mudanya di eksekutif dan legislatif lokal, bahkan tampil dominan, tetapi kinerjanya belum meyakinkan. Mereka bahkan juga terjebak konservatisme politik. Tentu sulit mengharapkan munculnya perubahan mendasar dari tipikal kepemimpinan konservatif.

Apapun, untuk mempersatukan kembali bangsa yang nyaris terkoyak, membangun perekonomian negara dan rakyat, dan mengangkat kembali martabat bangsa, agar tidak dianggap 'enteng' oleh elemen bangsa sendiri dan negara-negara lain (termasuk negara-negara tetangga yang secara geografis jauh lebih kecil), memang dibutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya kuat visinya tetapi juga luhur integritasnya.

Tetapi di atas itu, dia mesti seorang permimpin nasionalis plus yang tidak hanya bisa menggerakkan seluruh potensi bangsa. Tetapi juga memiliki kecakapan dan kapabilitas kepemimpinan yang relevan dengan kebutuhan bangsa di abad 21, baik menghadapi tantangan internal maupun eksternal yang makin kompleks. Kita jadi teringat kepemimpinan 'dwitunggal' Soekarno-Hatta. Jika Soekarno dianggap sebagai tipikal 'solidarity maker' dan penganjur nasionalisme yang kuat, maka Hatta adalah tipikal administrator yang cakap. Sekalipun pada akhirnya berpisah jalan, tetapi kombinasi kedua tipikal kepemimpinan berdampak luar biasa, seperti saat merebut kemerdekaan (1930-1945) dan Revolusi Fisik (1945-1949).

Kepemimpinan Soekarno-Hatta memang sudah menjadi catatan sejarah, namun menghadapi tantangan kekinian dan ke depan yang makin kompleks, terutama di tengah melunturnya kesadaran nasional. Dalam batas tertentu, menggali kembali khazanah kepemimpinan 'dwitunggal' tetap relevan, tentu dengan penyesuaian-penyesuaian dengan tantangan kekinian dan ke depan.

Nilai-nilai unggul dari model kepemimpinan Bung Karno, seperti kemampuannya menjadi katalisator, penggugah dan perekat persatuan nasional serta aksebtabilitasnya yang luas di kalangan masyarakat saja tentu tidak cukup. Model kepemimpinan integratif (bukan sekadar 'solidarity maker') itu harus dilengkapi dengan tipikal 'administrator' ala Bung Hatta, dengan visi yang kuat atas persoalan dan dinamika yang dihadapi bangsa sejalan dengan tantangan abad 21. Selanjutnya, tinggal bagaimana demokrasi dan demokratisasi yang kini berjalan mampu menyediakan ruang bagi lahirnya tipikal kepemimpinan alternatif tersebut.
READ MORE - Kepemimpinan Alternatif

"E-mail"dan Manusia Super

Rabu, 9 Juli 2008 03:00 WIB
NINOK LEKSONO

”Cara hidup kita sekarang ini mengerosi kemampuan untuk konsentrasi yang dalam, lama, dan perseptif, yang merupakan blok pembangun keintiman, kearifan, dan kemajuan kultural.”
(Maggie Jackson, pengarang buku ”Distracted: The Erosion of Attention and the Coming Dark Age”, WST, 8/7)

Manusia modern dilanda dilema: di satu sisi harus menjadi kompetitif dan dengan itu harus punya banyak keunggulan; tetapi di sisi lain ia juga ingin menjalani hidup secara wajar saja, tanpa harus merasa dikejar-kejar untuk menjadi pintar dan serba tahu.

Kini, mengecek pos elektronik (e-mail) merupakan menu harian yang sulit dilewatkan bagi banyak orang. Ketika jumlah e-mail di kotak surat (inbox) semakin banyak, muncul pertanyaan, harus dimaknai apa aktivitas menyimak dan menjawab e-mail itu? Apakah itu aktivitas yang bermanfaat atau tidak?

E-mail, yang merupakan sampel kecil dari informasi digital yang membanjir setiap hari dalam jumlah yang sangat besar, seolah menjadi salah satu sarana pembentukan kecerdasan manusia super pada masa depan. Inilah hal yang diyakini oleh futuris Vernor Vinge yang juga pengarang fiksi ilmiah laris.

Menurut keyakinan Vinge, yang juga pensiunan profesor sains komputer, mesin (komputer) kini telah menjadi lebih dari sekadar alat. Mesin-mesin tersebut secara fisik akan menyatu dengan kita dan secara tak terasa (seamless) mewariskan kekuatan yang sekarang ini di luar imajinasi kita. Hal itu, oleh Vinge, diyakini akan terjadi pada zaman kita ini. Pikiran manusia akan menjadi sangat kuat dalam mengolah informasi (Discover, 8/08).

”Information overload”

Istilah di atas muncul karena manusia tampaknya semakin kebanjiran informasi, lepas dari soal apakah informasi yang datang itu sepenuhnya berguna atau tidak.

Pada sisi lain, menurut catatan Gordon Crovitz, rata-rata setiap 3 menit pekerja pikiran (knowledge worker) menghentikan aktivitasnya umumnya karena terganggu oleh e-mail atau dering telepon. Lazimnya, diperlukan 30 menit sebelum ia bisa kembali ke pekerjaan semula.

Mengingat urusan kebanjiran informasi ini dilihat semakin menjadi masalah dalam kehidupan modern, kini ada organisasi Information Overload Research Group yang pendirinya antara lain eksekutif dari Microsoft, Google, IBM, dan Intel. Hal ini menarik karena mereka adalah perusahaan yang paling besar peranannya dalam menciptakan alat-alat informasi yang menggerogoti kemampu_an kita untuk memfokuskan pikiran (Wall Street Journal, 8/7).

Crovitz menambahkan, Microsoft mempunyai laboratorium Visualization and Interaction Research Group yang selama bertahun-tahun mencoba mengembangkan perangkat lunak yang bisa membuat prioritas untuk e-mail dan komunikasi lain.

Semua itu dikembangkan karena semakin disadari bahwa teknologi memang bermata dua. Di satu sisi menjadi alat pemacu produktivitas (productivity enhancer), tetapi di lain sisi juga sumber inefisiensi. Yang terakhir ini dikuatkan oleh lembaga penelitian Basex yang menyebutkan bahwa sekitar seperempat hari pekerja informasi disita oleh interupsi, seperti e-mail, instant messaging, Twitter, RSS, dan aliran informasi lain yang tak bisa dikendalikan. Di bawah itu, waktu digunakan untuk menulis e-mail, menghadiri rapat, atau mencari informasi.

Para peneliti di lembaga ini menyimpulkan bahwa hanya sepersepuluh hari yang digunakan untuk berpikir dan merenung (berefleksi).

Sampai teknologi bisa menyembuhkan situasi ini, muncul berbagai eksperimen. Intel telah mencoba apa yang dinamai ”Zero-e-mail Fridays” atau Jumat Tanpa Email. IBM punya ”Think Fridays” yang ditujukan untuk membatasi e-mail dan aneka gangguan lain. Ada juga CEO yang setiap kali memulai rapat meminta para direktur menyerahkan peralatan BlackBerry dan mengumpulkannya di tengah meja rapat.

”Dengan semakin banyak orang masuk ke dalam dunia baru informasi yang tersambung dan terakses tanpa batas, kita berisiko kehilangan sarana dan kemampuan terjun ke bawah permukaan, untuk berpikir mendalam,” tambah Jackson.

Memilih santai

Awas dengan potensi buruk kebanjiran informasi ini, kini orang mulai melihat kemungkinan untuk hidup dengan lebih longgar, misalnya saja dengan kepungan e-mail lebih sedikit. Salah satunya adalah Luis Suarez, karyawan IBM yang tinggal di Kepulauan Canary.

Seperti dikisahkan di harian New York Times (29/6), ia lelah dengan ritual pada pagi hari menghabiskan berjam-jam mengurus e-mail, dan kini ia ingin melakukan sesuatu yang drastis untuk mengambil alih kendali produktivitasnya. Untuk itu ia sudah memutuskan tidak lagi menggunakan e-mail di sebagian besar waktunya. Ia menyadari, semakin rajin ia membalas e-mail, semakin banyak balasan dan kiriman yang akan ia dapat. Hal itu lalu menjadi lingkaran setan.

Akhirnya ia berhenti menjawab secara individual dan mulai menggunakan sarana jaringan sosial, seperti blog dan wiki.

Tampaknya, di sini ada dua pendekatan yang sama-sama menjadi pilihan. Pertama adalah kebiasaan mengeksploitasi habis kemajuan teknologi. Bahkan, kalaupun e-mail di inbox semakin banyak, itu dilihat sebagai kemajuan tak terelakkan dan dalam jangka panjang, ia akan menjadi faktor evolusi yang akan menciptakan manusia baru yang tangguh hidup dalam cyberswamp—rawa informasi—yang dalam konteks sekarang mungkin akan membuat orang lumpuh bengong tak tahu apa yang harus dikerjakan karena kebanjiran informasi.

Yang kedua, orang tak memilih jalur ini. Sosok seperti Luis Suarez lebih memilih menyederhanakan hidup, mengurangi informasi yang harus ditangani setiap hari. Pilihan tentu terpulang kepada setiap individu meski arus besar memperlihatkan bahwa manusia suka memilih hidup yang lebih menantang. Kalau ini pilihannya, boleh jadi kelak akan muncul manusia super gemblengan dengan pikiran yang tahan dibanjiri informasi gigabita setiap hari.
READ MORE - "E-mail"dan Manusia Super

Tuesday, 8 July 2008

Komunikasi Kesehatan

Oleh Prof. DEDDY MULYANA, M.A., Ph.D

SEORANG dokter Manchester di rumah sakit, mengambil sampel urin diabetes dan mencelupkan jarinya ke dalamnya untuk mencicipnya. Ia meminta semua mahasiswanya untuk mengulangi tindakannya. Mereka enggan melakukannya dan dengan wajah meringis sepakat bahwa rasanya manis. "Saya melakukan hal ini," kata dokter itu, "untuk mengajari kalian pentingnya mengamati rincian. Jika kalian mengamati saya secara hati-hati, kalian akan memerhatikan bahwa saya meletakkan jari pertama saya dalam urin, tetapi saya menjilat jari kedua" (Jones, 1996).

Cerita di atas menunjukkan bahwa persepsi manusia terbatas. Persepsi adalah inti komunikasi. Tanpa persepsi yang cermat, kita tak mungkin berkomunikasi efektif. Karena diagnosis yang tidak cermat, dokter dapat memberikan obat yang keliru kepada pasien, membuat penyakitnya lebih parah, cacat seumur hidup, atau meninggal dunia. Babrow dan Dinn (2005), mengatakan, seorang dokter yang cakap harus juga seorang komunikator cakap, yang memahami ketidakpastian dialami pasien dan keluarganya. Profesional medis yang mengandalkan keahlian medis dengan mengabaikan pentingnya komunikasi dengan pasien dianggap arogan namun juga membahayakan kehidupan pasien dan karier mereka sendiri.

Empat ratus tahun Sebelum Masehi, Hipokrates menyadari hubungan antara komunikasi efektif dokter dan kemungkinan yang lebih besar bagi pasien untuk sembuh. Ia menulis, "Pasien, meskipun sadar bahwa kondisinya membahayakan, mungkin pulih kembali hanya karena puas dengan kebaikan dokter." Komunikasi efektif yang selama ini dianggap seni oleh dokter, justru merupakan obat paling mujarab bagi pasien. Bensing dan Verhaak (2004) mengkaji ulang bukti ilmiah yang awalnya dianggap efek placebo. Efek placebo ternyata ilmiah. Makin besar harapan dokter bahwa pasien akan sembuh, makin besar kemungkinan pasien untuk sembuh.

Kepedulian dokter terhadap pasien ternyata mengurangi kecemasan, rasa sakit, dan tekanan darah serta meningkatkan kesehatan mereka secara umum.
Salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan dokter kepada masyarakat adalah dengan meningkatkan keterampilan komunikasi mereka. Salah satu kebiasaan dokter yang merusak adalah keengganan mereka untuk mendengarkan pasien. Dalam suatu penelitian di Barat ditemukan bahwa hanya dalam 23% kasus pasien punya kesempatan menuntaskan penjelasannya. Dalam 69% kunjungan pasien, dokter melakukan interupsi, mengarahkan pasien kepada penyakit tertentu. Lebih dari itu, secara rata-rata dokter memotong pembicaraan, setelah pasien mereka berbicara hanya 18 detik (Taylor, 1999). Di Indonesia, kemungkinan besar dokter lebih mendominasi lagi pembicaraan dengan pasien, karena masyarakat Indonesia paternalistik.

Berbeda dengan Perspektif Biomedis yang dianut kebanyakan dokter, suatu paradigma alternatif menyarankan bahwa keadaan sakit (illness) dikonstruksi secara sosial. Pendekatan ini merupakan reaksi terhadap pendekatan biomedis yang dominan dalam kedokteran. Menurut pendekatan alternatif ini, individu-individu aktif menentukan nasib mereka sendiri. Semua aturan, norma, prinsip, dan nilai yang digunakan suatu kelompok, termasuk dokter, menggunakan metafora Wittgenstein, adalah permainan berbeda yang dimainkan lewat bahasa berbeda (Philips, 1987).

Berger dan Luckmann (1966) mendefinisikan konstruksi sosial sebagai hubungan timbal balik, simbolik antara kesadaran diri sendiri dan kesadaran orang lain. Pengetahuan tentang dunia dianggap milik bersama dan intersubjektif. Realitas bersifat ganda, cair dan mencuat. Paradigma ini mengasumsikan bahwa melalui bahasa keadaan sakit diinterpretasikan dan dinegosiasikan oleh individu-individu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Para aktor secara sinambung memproduksi dan mereproduksi makna dari keadaan sakit mereka, yang dikomunikasikan secara verbal dan nonverbal kepada orang lain. Makna keadaan sakit boleh jadi berkaitan dengan keadaan keluarga si pasien, kehidupan sosial, profesional, kultural, politik, dan keagamaannya.

Pendekatan Biomedis sering dikritik, karena didasarkan atas tubuh kaum pria kelas menengah berkulit putih, tanpa mempertimbangkan tubuh kaum perempuan berkulit putih dan orang-orang non putih dan aktivitas mereka sehari-hari yang mungkin berkaitan dengan penderitaan mereka. Perspektif Konstruksi Sosial dianggap lebih holistik, untuk memahami perawatan kesehatan. Karena, keadaan sakit dikonseptualisasikan sebagai realitas intersubjektif yang sarat makna, sulit untuk memverifikasi problem demikian lewat metode positivistik-kuantitatif.

**

Komunikasi kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai, dan bahasa (verbal dan nonverbal). Penduduk di Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, yang terbiasa meminum air mentah memercayai bahwa air matang sebagai tak enak. Penyuluh kesehatan di sana menganggap, kepercayaan tersebut sebagai kendala yang harus diatasi, karena kebiasaan itu dapat menimbulkan penyakit diare yang mematikan (Suartika, 2000). Dalam masyarakat Timur yang kolektivis komunikasi lebih rumit daripada dalam masyarakat Barat yang individualis.Untuk menjaga hubungan serasi dengan orang lain, orang kolektivis cenderung berbasa-basi, kalau perlu berbohong, untuk menyenangkan orang lain. Suatu kasus klasik adalah seorang perawat Filipina di AS yang diminta dokter Amerika untuk memberi obat kepada pasien. Meski perawat sadar bahwa dokter telah memberi resep yang salah dan akan merugikan pasien, ia terpaksa mengikuti pesan dokter tanpa membantahnya (Brislin dan Yoshida, 1994).

Oleh karena bahasa bersifat relatif, kata-kata tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan kecermatan yang sama. Perbedaan pemahaman atas kata-kata akan lebih rumit lagi, jika orang-orang menggunakan bahasa ibu berbeda. Misalnya, penyakit masuk angin yang dikenal di Indonesia tidak dikenal di Barat, begitu juga cara pengobatannya dengan mengerok badan dengan uang logam. Suatu anekdot melukiskan, seorang eksekutif Indonesia yang terbang ke luar negeri yang badannya merah-merah karena baru dikerok, dilepaskan oleh kelompok teroris bule yang menyangka bahwa ia menderita penyakit menular.

Ginjal adalah pusat kekuatan seksual bagi orang Indochina dan Vietnam. Oleh karena itu, "gangguan ginjal" kemungkinan besar berarti libido yang menurun atau gangguan seksual lainnya. Sementara itu, istilah kanker dimaknai orang-orang desa Meksiko sebagai infeksi hebat pada kulit, terutama luka yang terinfeksi berat, meski dalam bahasa medis modern, kanker adalah gumpalan abnormal dalam bagian tubuh. Orang-orang Iran, terutama kaum wanitanya, memaknai "penyakit jantung" sebagai gejala fisik dan mental yang tidak selalu berarti penyakit jantung seperti yang kita pahami. Koro dipercayai sebagai kondisi di mana pria menderita pengecilan organ seksual. Sindrom ini lazim di tempat terisolasi, terutama di Cina Selatan dan Asia Tenggara. Dari perspektif Barat, koro dianggap suatu tipe kekacauan disosiatif, kekacauan panik, dan bahkan psikosis (MacLachlan, 1997).

Diketahui bahwa stressor psikososial cenderung bervariasi secara lintas budaya yang memicu derajat penyakit fisik berbeda. Riset menunjukkan bahwa beberapa kelompok budaya lebih sehat dan berusia lebih panjang daripada kelompok budaya lainnya, karena ikatan komunitas mereka lebih kuat atau karena diet kesehatan mereka yang khas, seperti dalam kasus para penganut agama Advent Hari Ketujuh. Berdasarkan riset the International Group of Infection Experts di San Francisco yang multikultural, virus TBC lebih cenderung menular kepada anggota dari kelompok rasial yang sama. Artinya adaptasi bakteri tersebut ternyata terikat oleh ras. Lebih spesifik lagi, terdapat enam variasi bakteri TBC yang menular di antara enam kelompok orang, termasuk Indo-Oceania, Asia Timur, Afrika Timur dan India, Eropa dan Amerika, dan dua kelompok Afrika Barat (NRC Handelsblad, 14 Februari 2006).

Di Prancis kebanyakan keluhan medis adalah krisis hati, sedangkan di Jerman adalah kelemahan jantung. Resep untuk mengobati sistem pencernaan lebih tinggi di Prancis, sedangkan di Jerman digitalis dianjurkan enam kali lebih sering untuk menstimulasi jantung. Perbedaan ini terkait dengan fakta bahwa secara kultural orang Prancis terobsesi dengan makanan dan orang-orang Jerman terobsesi dengan pencarian kultural akan romantisisme. Membandingkan Prancis dengan Amerika, dokter Prancis lebih menyukai radiasi untuk memerangi berbagai macam kanker berdasarkan apresiasi mereka terhadap estetika tubuh, sedangkan dokter Amerika lebih sering menggunakan pembedahan (Samovar dan Porter, 1991).

Komunikasi di antara dokter dan pasien juga mencakup komunikasi nonverbal. Di Indonesia, menganggukkan kepala tidak selalu berarti ya, dan menggelengkan kepala tidak selalu berarti tidak. Dokter Indonesia harus kritis menafsirkan pesan pasien yang samar ini. Misalnya, jika dokter mengharapkan pasien untuk kembali menemuinya minggu depan, setelah dokter memberi obat, anggukan kepala pasien tidak otomatis berarti persetujuan. Pasien mengangguk, namun boleh jadi ia tidak berniat untuk kembali menemuinya. Padahal, konsultasi selanjutnya penting bagi kesehatan pasien.

Salah satu aspek komunikasi nonverbal yang penting adalah sentuhan. Riset dalam komunikasi kesehatan menunjukkan bahwa kebutuhan pasien akan sentuhan tidak dipenuhi oleh profesional medis (Kreps dan Thornton, 1992). Pijitan dan sentuhan oleh dokter dan perawat menghasilkan efek positif pada pasien yang dirawat di rumah sakit (Knapp dan Hall, 2002).

Namun profesional medis perlu memerhatikan bentuk, frekuensi, lokasi sentuhan, jenis kelamin, budaya, dan agama pasien agar pasien merasa nyaman dengan sentuhan tersebut. Dalam film "Life as A House" dilukiskan George Monroe (Kevin Kline) adalah orang yang gagal. Sementara, ia punya hubungan yang buruk dengan putranya, ia juga penganggur. Lebih parah lagi, ia menderita kanker terminal. Saat dirawat di rumah sakit ia sering disentuh perawatnya.

Sentuhan itu begitu bermakna baginya, karena ia telah bertahun-tahun tidak pernah disentuh. Sentuhan perawatnya menyadarkannya bahwa ia telah kehilangan hubungan intim dengan orang-orang di sekitarnya, khususnya putranya. Putranya, Sam, juga jarang sekali mendapat sentuhan, seperti dirinya. Ia dan putranya belajar lagi melakukan kontak fisik satu sama lain. Film tersebut berakhir bahagia. Hubungan antara George dan Sam, juga dengan anak-anaknya yang lain, mantan istrinya, dan juga para tetangganya, membaik kembali.

Isyarat tangan pun dapat menjadi sumber masalah. Seorang profesional medis yang memanggil pasien dewasa di Ethiopia atau di Afrika Timur dengan telunjuk adalah kesalahan besar, karena di sana isyarat itu hanya digunakan untuk memanggil anak-anak atau anjing. Suatu anekdot menyebutkan, dalam suatu pertemuan profesional di sebuah hotel di Mexico City, seorang dokter perempuan Meksiko meminta waktu untuk pergi ke kamarnya untuk mengambil makalah. Dokter Amerika menjawab dengan memberi isyarat tangan "OK" ala Amerika (dengan membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk sementara ketiga jari lainnya berdiri). Dokter Meksiko tersinggung dan marah, karena di Meksiko isyarat tersebut sangat jorok dan menghina (berarti-maaf - lubang pantat).

Tidak banyak dokter yang menyadari bahwa penataan ruang pun bersifat simbolik dan memengaruhi hubungan dokter-pasien. Dokter Abraham White melakukan eksperimen informal, untuk mengetahui apakah meja yang membatasi dokter dan pasiennya memengaruhi konsultasi mereka. Ia menemukan, bila meja pembatas itu ditiadakan, 55,4% dari pasiennya duduk santai. Bila meja itu di tempatnya, hanya 10,8 % dari jumlah pasiennya yang duduk santai (Rich, 1974). Maka dokter di Indonesia sebaiknya menyingkirkan meja yang membatasi mereka dengan pasien untuk membuat pasien lebih nyaman.

**

Dengan jumlah penduduk yang melebihi 200 juta jiwa dan mengingat banyaknya penduduk yang menderita sakit serta kemungkinan banyaknya malapraktik yang dilakukan profesional medis, saya kira Program Studi Komunikasi Kesehatan, Konsentrasi Studi Komunikasi Kesehatan, atau setidaknya mata kuliah Komunikasi Kesehatan saat ini perlu dikembangkan di negara kita.

Mata kuliah Komunikasi Kesehatan penting buat para calon dokter, calon sarjana kesehatan, calon bidan dan calon perawat, calon apoteker, dan calon manajer rumah sakit. Sudah saatnya bagi fakultas-fakultas kedokteran di Indonesia untuk memasukkan mata kuliah "Komunikasi Kesehatan" sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulum mereka untuk mendidik para mahasiswa kedokteran, setidaknya 2 atau 3 SKS dalam semester awal. Disiplin ini juga seyogianya diberikan di lembaga pendidikan tinggi lainnya, yang menawarkan program ilmu kesehatan masyarakat, ilmu keperawatan, ilmu farmasi, dan manajemen rumah sakit. Selain itu, penting bagi para dokter untuk meningkatkan keterampilan komunikasi mereka lewat pelatihan dan lokakarya.

Penulis, Guru Besar Fikom dan Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Artikel ini disarikan dari Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar di Universitas Padjadjaran, 4 Juli 2008.
READ MORE - Komunikasi Kesehatan

Thursday, 3 July 2008

Galura Philia Delianur

Galura Philia Delianur. Bandung 24-06-2008 Pukul 08.13

Ada tiga hal yang menjadi motivasi pemberian nama pada seseorang yaitu sebagai pembeda, dokumentasi historis dan doa atau obsesi pemberi nama

Nama sebagai pembeda diberikan oleh orang supaya tidak terjadi kekeliruan dalam pemanggilan karena komunikasi menjadi hal yang dominan di kehidupan manusia. Nama menjadi pembeda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Bila terjadi kesamaan nama, orang akan selalu berusaha untuk mencari pembedanya. Ada yang memakai julukan seperti si Asep yang hitam dan si Asep yang putih, atau dengan merujuk kepada nama ibu bapaknya.

Dalam beberapa hal, pemberian nama sebagai pembeda bisa jadi merupakan usaha mengikuti pakem yang berlaku di tengah masyarakat bahwasannya setiap bayi yang lahir mesti diberi nama, tidak lebih

Nama sebagai dokumentasi historis diberikan oleh orang-orang untuk mengenang momen-momen yang dianggapnya sangat luar biasa. Saat sekarang ini orang-orang China banyak yang memberi nama anaknya dengan Olympiade karena Beijing akan menjadi tuan rumah Olympiade di tahun 2008 ini.

Dulu ada teman namanya sangat unik ; Ismail Adhari. Setelah ditanya kepada orangnya, ternyata nama itu diberikan orang tuanya sebagai sebuah dokumentasi historis ketika anak itu lahir. Nama "Ismail" merujuk kepada nabi Ismail putra Nabi Ibrahim sebagai aktor yang sangat penting dalam kisah Iedul Adha. Sedangkan "Adhari" merupakan gabungan dari kata "Adha" dan "RI". Adha adalah potongan dari kata Iedul Adha sedangkan "RI" adalah kepanjangan Republik Indonesia. Ismail Adhari adalah nama yang diberikan karena teman saya itu lahir di Indonesia ketika sedang berlangsung ibadah Iedul Adha di Arab sana

Terakhir adalah nama sebagai sebuah obsesi. Dalam konteks yang lain nama ini mungkin bisa dikaitkan sebagai sebuah do'a karena ada harapan dan obsesi yang terkandung dalam nama itu. Muhammad adalah sebuah nama yang sangat obsesif. Orang tuanya berharap dan berdoa kalo kelak anaknya menjadi orang yang sangat terpuji di kehidupan masyarakat nanti.

Nama Delianur, selain sebuah dokumentasi historis, bisa dianggap sebagai sebuah dokumentasi historis juga. Lahir ketika orang tuanya mengagumi seorang tokoh muda yang memimpin organisasi pemuda muslim yang cerdas dan konsisten.

Galura Philia Delianur adalah nama yang masuk dalam kategori ketiga; sebuah nama yang obsesif. Orang tuanya meyakini bahwa nama itu merupakan do'a bagi anak nya di kemudian hari.

Galura itu berasal dari bahasa Sunda yang berarti ombak. Ibumu mengambil nama ini bukan karena suka ombak, tetapi lebih daripada sifat ombak itu sendiri yang menurut ibumu sangat dinamis. Ibumu membayangkan bila kamu besar nanti kamu menjadi orang yang dinamis, siap menghadapi dan beradaptasi dengan perubahan

Sementara itu bapak mu membayangkan kalo ombak itu sebagai gerakan yang angin yang membawa air lautan ke daratan dan menjadikan pantai sebagai tempat yang sangat nyaman untuk dinikmati dan dikunjungi. Bayangannya bapak mu membayangkan kalo kamu senantiasa menjadi orang yang terus bergerak membawa sesuatu yang sangat bermanfaat dan memberi maslahat bagi orang.

Teman-teman Bapak mu sering berseloroh kalo adik kamu nantinya akan diberi nama harian surat kabar nasional maupun lokal Jawa Barat seperti Kompas, Pikiran Rakyat atau Galamedia. Ini karena nama kamu akan mengingatkan orang kepada nama Surat Kabar Harian lokal Jawa Barat bernama Galura dan kebetulan teman-teman bapak kamu banyak yang meniti karir di dunia komunikasi

Selain itu bapak dan ibu mu sepakat kalo dari segi estetika Galura merupakan kata yang sangat unik untuk di dengar dan diucapkan.

Adapun Philia berarti cinta. Diambil dari akar kata orang Yunani sana. Mahasiswa semester awal yang mendapat mata kuliah Filsafat biasanya akan teringat pada makna Filsafat secara etimologis, Philo dan Sophia, yang berarti cinta kebijakan.

Sedangkan pemberian nama Delianur di belakang adalah spontanitas dari ibunya yang pastinya akan diberikan kepada nama-nama adik kamu yang lainnya. Berbeda dengan orang barat dan orang Arab, orang Indonesia tidak selalu menyantumkan nama orang tua di belakang nama anak-anak mereka

Bagi orang barat penyantuman nama orang tua menjadi sangat penting sebagai sebuah penghormatan. Sehingga dalam penulisan daftar pustaka buku-buku, selalu yang ditulis pertama adala nama akhir yang otomatis menyebut nama orang tua. Begitu juga bagi orang arab. Orang arab selalu menyebut nama bin, bagi laki-laki, dan binti, bagi perempuan, yang dilanjutkan dengan nama orang tua mereka untuk menunjukan kelanjutan nasab anaknya.

Orang-orang Melayu di Malaysia mengikuti pola yang sama dengan apa yang dipraktekan oleh orang Arab. Menurut teman dari Malaysia, nama bin atau binti menjadi sangat penting, selain untuk menunjukan kejelasan nasab, juga menjelaskan bahwa orang tersebut mempunya orang tua yang jelas, bukan anak haram.

Galura Philia Delianur adalah sebuah nama obsesif. Sebuah doa bila kelak penyandang nama ini menjadi orang yang open minded, dinamis, pembawa ajaran cinta ke tengah masyarakat. Ketika seseorang bertanya arti nama ini, bapak jawab kalo terjemah bebasnya adalah "Cinta Damai"

Pada titik lain Galura Philia bisa disebut sebagai sebuah dokumentasi historis juga. Lahir ketika Indonesia dipenuhi oleh para politisi yang tidak mempunya prinsip, birokrasi yang dipimpin oleh orang yang tidak bervisi dan minus komitmen, banyaknya orang kaya yang lahir bukan karena mereka bekerja keras, politisasi institusi-institusi keagamaan dan kehadiran para aktivitas yang mengumbar nilai-nilai keutamaan untuk menutupi hasrat kuasa dalam dirinya. Akibat lanjutnya sudah bisa diprediksi ; masyarakat yang resah dan tidak percaya pada aturan.

Sebetulnya ada ketidakkonsistenan nama Philia sebagai sebuah kelanjutan nama Galura. Galura berakar bahasa sunda sedangkan Philia berakar bahasa Yunani sana. Apalagi sejak semula ibu dan bapak kamu selalu ingin menonjolkan identitas lokal kesundaan dalam nama kamu.

Langkah ini diambil pada dasarnya mempertimbangkan unsur estetika saja. Bila tetap memakai bahasa Sunda maka kata yang muncul, setelah melihat-lihat kamus bahasa Sunda, adalah kinasihan. Ibu kamu tidak sepakat karena lebih berkonotasi perempuan, sedangkan hasil USG kamu secara konsisten menyatakan kelamin kamu laki-laki. Mungkin karena ibu kamu relatif bagus dalam berkomunikasi dengan masyarakat sehingga masih mempertimbangkan konstruksi sosial dalam pemberian nama kamu.

Tetapi yang lebih pentinga adalah doa kami buat kamu. Galura Philia
READ MORE - Galura Philia Delianur

Tuesday, 1 July 2008

Do'a Buat Galura Philia

Tanggal 24-06-2008 pukul 18.13 anak saya, Galura Philia Delianur, lahir di Rumah Sakit Santosa Bandung melalui persalinan caesar. Beberapa saat setelah kelahiran, sambil menunggu istri diruang pemulihan pasca operasi, saya kirim kabar dan mohon doa via sms ke beberapa teman dan beberapa kenalan atas kelahiran anak saya ini.

Diantara doa yang menyentuh disampaikan oleh dua orang kenalan saya yaitu Bapak Utomo Dananjaya dan saudara saya Aa Ramdhani. Bukan karena keduanya sama2 PII yang kemudian membuat saya sering membaca ulang sms doa dari mereka, tetapi kedua doa inilah yang kemudian sering menjadi bahan kekhwatiran dan keinginan kami berdua

Utomo Dananjaya, dikalangan aktivis muslim biasa dipangil mas Tom, adalah diantara pendiri Yayasan Wakaf Paramadina yang bersama-sama Cendikiawan Muslim Indonesia, Nurcholish Madjid, mendirikan Universitas Paramadina. Persamaannya dengan saya adalah pernah sama-sama menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia dalam rentang waktu yang cukup berbeda

Kebetulan beberapa hari sebelumnya salah seorang cendikiawan muslim, yang namanya diabadikan oleh orang tua saya menjadi nama bagi diri saya, Prof Dr Deliar Noer meninggal dunia. Sms mas Tom pun menyinggung sedikit tentang hal itu

Sementara saudara Aa Ramdhani adalah teman saya yang saat sekarang ini sedang menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia Provinsi Jawa Barat.

Berikut ini adalah doa yang mereka untuk anak dan keluarga saya yang dikirim via sms

Dari Utomo Danandjaya :

Selamat datang bayi Galura. Semoga kau menjadi anak yang saleh, terang pikiran dan perasaan, beprestasi dan bertabur rizki. Semoga cerdas otakmu, jernih pikiran, indah akhlak dan sehat jasmani. Negeri ini dilanda wabah korupsi semoga kau dibesarkan dgn rizki yang halal, terhindar dari korupsi. Semoga allah mengabulkan do'a kami ini. Utomo dan Keluarga. Turut berduka cita atas wafatnya Pak DelliarNoer.

Dari Aa Ramdhani

Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a'yun waj'alna lilmuttaqiina imaaman... Rabbi auzi'ni an asykura ni'matakallati an'amta a'layya wa'ala waalidayya waana'mala shalihan tardhohu waashlih lii fi dzurriyatii inni tubtu ilaika wainni minal muslimin..

Terima kasih kami buat mereka berdua atas do'a ini.
READ MORE - Do'a Buat Galura Philia