Friday, 18 July 2008

Al Fathihah dan Shalawat untuk Galura

Beberapa hari yang lalu saya ngobrol seorang ibu yang berumur kira-kira 50an tahun. Si Ibu singgah ke ruangan di kantor saya untuk ikut memakai internet karena internet di ruangannya sedang macet.

Seperti biasa, si ibu yang ramah memulai membuka pembicaraan antara kamu. Sebuah keramahan yang merupakan gabungan dari sikap dasar ramah dan etika bertamu si Ibu. Tema obrolan pun merambah kesana kemari sampai pada akhirnya si Ibu bertanya tentang anak.

Saya bilang kalo saya baru menjadi bapak 2 minggu yang lalu. Anak saya lelaki, lahir dengan operasi bedah ceasar dan Alhamdulillah Ibu dan anak selamat dan sehat. Bahwasannya silaturahim itu membawa berkah itu ternyata memang benar.

Semula ibu tadi, mungkin karena dia orang Jawa, mengingatkan saya untuk mengingat hari lahirnya anak saya lebih detail. Yang dimaksud hari lahir lebih detail merujuk kepada kebiasaan Jawa apakah dia Selasa wage, pon dll. Saya kurang faham untuk masalah itu. Tetapi menurut Ibu tadi, pengetahuan kita secara detail tentang hari kelahiran menjadi sangat penting karena hal itu akan membimbing kita untuk melakukan amalan-amalan keagamaan supaya anak tadi selamat dunia dan akhirat.

Mungkin karena saya bukan orang Jawa dan tidak begitu faham tentang hari detail tadi, maka tema ini tidak terlalu menarik dan menggugah saya. Meskipun si Ibu tadi menerangkan lebih lanjut amalan apa saja yang mesti dilakukan bila anak kita, misalnya, lahir pada Selasa wage. Semuanya menurut si Ibu tadi supaya anak tadi di dunia mendapat rizki yang halal dan di akhirat nanti semua amalannya diterima oleh Allah. Orang tua waras mana yang tidak ingin anaknya seperti itu?

Yang cukup menarik bagi saya adalah ketika si Ibu tadi menyarankan saya untuk membacakan alFathihah dan Shalawat Nabi sebanyak 17 kali di ubun-ubun anak itu disetiap selesai shalat shubuh. Menurut si Ibu setiap bayi itu mempunyai malaikat penjaga. Shalawat dan Al Fathihah tadi adalah energi bagi sang penjaga anak tadi.

Penjelesan dari ibu ini mengingatkan saya kepada obrolan dengan istri saya beberapa bulan sebelumnya dan salah seorang teman saya waktu mahasiswa dulu. Sebelumnya istri saya sempat mengatakan kalo setiap bayi itu sampai umur dua tahun mempunyai seorang malaikat penjaga. Menurut istri saya bila seorang bayi terlihat sedang senyum ketika dia tidur, saat itu sang bayi sedang diajak bermain oleh malaikat penjaganya.

Adapun Waktu mahasiswa saya sempat berdialog dengan salah seorang teman akrab mahasiswa NU yang mendalami filsafat meskipun kuliahnya di Hubungan Internasional FISIP Unpad. Menurut temen saya tadi kebanyakan orang kampung selalu membakar kemenyan di rumah baru yang akan dihuni atau pojok-pojok ruangan sebuah rumah, biasanya yang kotor dan jarang dipakai, karena kemenyan itu makanan para "penghuni" ruangan tadi. Makanan itu menjadi semacam "bingkisan" bagi para penghuni tadi sehingga dia menjadi lunak dan tidak mengganggu. Detailnya saya lupa, tetapi secara garis besar kira-kira penjelasannya seperti itu

Kembali ke Ibu tadi. Siapa sih yang tidak ingin anaknya hidup dijaga oleh para malaikat?Hidup terhindar dari segala marabahaya, dilimpah rizki yang halal serta terhindar dari perangkap hidup yang akan membawanya kepada kegelapan.

Membaca alfathihah dan shalawat mungkin sesuatu yang tidak rasional. Saya yakin pendapat ini tidak hanya bagi orang barat saja, tetapi bahkan bagi para muslim itu sendiri. Tetapi saya sudah menyatakan diri bahwa kehidupan ini tidak hanya bisa dimaknai secara dzahir. Spiritualitas adalah diantara cara kehidupan yang mesti kita lakukan untuk keselamatan kita di dunia ini. Shalawat, takbir, tahmid, dzikir adalah diantaranya. Terlebih saya pernah diingatkan sebuah hadits, yang saya lupa redaksinya, ketika di pesantren dahulu. Bahwa sebuah hadits yang dhaif bisa menjadi rujukan bila hal itu merujuk kepada ajakan untuk memperbanyak amal.

Selanjutnya saya dihadapkan dengan pertanyaan dengan jarak geographis antara saya dengan anak saya. Istri dan anak saya di Bandung sedangkan saya sedang di Jakarta untuk memenuhi kehidupan kami. Tetapi, sekali lagi, saya tidak terlalu positivistis dalam memaknai hidup saya. Bukankah anak saya itu merupakan bagian dari diri saya sendiri?dia ada dalam diri saya. Maka yang saya lakukan adalah membaca alfathihah dan shalawat itu sebanyak 17 kali sambil membayangkan wajah anak saya dengan maksud sebagai bentuk "kiriman" dari saya

Bagi anda yang sangat mempercayai dunia ini sangat rasional dan linier saya sarankan untuk tidak mengikuti langkah saya. Membaca shalawat dan alfathihah bagi anak saya, yang berjauhan kota, dengan keyakinan akan menyelematkannya di dunia.

Tetapi saya ingin mengingatkan juga bahwa orang barat yang katanya rasional pun sekarang sedang berbondong-bondong mencari kearifan timur yang ternyata dalam banyak hal tidak bisa dimengerti bila memakai penjelasan filsafat barat.

Jakarta, 17 Juli 2008

1 comment:

  1. wahai saudaraku, terlepas dari apa yang kau lakukan untuk kebaikan anak dan istrimu, ketahuilah bahwa syirik itu juga telah banyak berkembang dari setiap sayapnya.
    jangan pernah merasa bahwa syirik itu hanya keluar dari agama islam, tapi ketika kita lebih mendahulukan menonton tv daripada shalat, itupun syirik. karena kita lebih menjadikan tv sebagai sesembahan kita.
    termasuk ketika kita meyakini bahwa dengan memberikan sesuatu (doa, makanan) kepada makhluk gaib. padahal kita tahu bahwa yang akan mengabulkan doa adalah hanya Allah SWT, dan kita juga tahu bahwa mereka (makhluk gaib) tidak membutuhkan makanan. karena malaikat hanya bertugas beribadah kepada Allah, dan setan hanya terus menggoda manusia.
    dikhawatirkan ketika kita berpikiran seperti itu, bisa merusak akidah kita yang telah terpatri pada tauhid Islam yang hakiki.
    wallahu a'lam

    ReplyDelete