Tuesday, 8 July 2008

Komunikasi Kesehatan

Oleh Prof. DEDDY MULYANA, M.A., Ph.D

SEORANG dokter Manchester di rumah sakit, mengambil sampel urin diabetes dan mencelupkan jarinya ke dalamnya untuk mencicipnya. Ia meminta semua mahasiswanya untuk mengulangi tindakannya. Mereka enggan melakukannya dan dengan wajah meringis sepakat bahwa rasanya manis. "Saya melakukan hal ini," kata dokter itu, "untuk mengajari kalian pentingnya mengamati rincian. Jika kalian mengamati saya secara hati-hati, kalian akan memerhatikan bahwa saya meletakkan jari pertama saya dalam urin, tetapi saya menjilat jari kedua" (Jones, 1996).

Cerita di atas menunjukkan bahwa persepsi manusia terbatas. Persepsi adalah inti komunikasi. Tanpa persepsi yang cermat, kita tak mungkin berkomunikasi efektif. Karena diagnosis yang tidak cermat, dokter dapat memberikan obat yang keliru kepada pasien, membuat penyakitnya lebih parah, cacat seumur hidup, atau meninggal dunia. Babrow dan Dinn (2005), mengatakan, seorang dokter yang cakap harus juga seorang komunikator cakap, yang memahami ketidakpastian dialami pasien dan keluarganya. Profesional medis yang mengandalkan keahlian medis dengan mengabaikan pentingnya komunikasi dengan pasien dianggap arogan namun juga membahayakan kehidupan pasien dan karier mereka sendiri.

Empat ratus tahun Sebelum Masehi, Hipokrates menyadari hubungan antara komunikasi efektif dokter dan kemungkinan yang lebih besar bagi pasien untuk sembuh. Ia menulis, "Pasien, meskipun sadar bahwa kondisinya membahayakan, mungkin pulih kembali hanya karena puas dengan kebaikan dokter." Komunikasi efektif yang selama ini dianggap seni oleh dokter, justru merupakan obat paling mujarab bagi pasien. Bensing dan Verhaak (2004) mengkaji ulang bukti ilmiah yang awalnya dianggap efek placebo. Efek placebo ternyata ilmiah. Makin besar harapan dokter bahwa pasien akan sembuh, makin besar kemungkinan pasien untuk sembuh.

Kepedulian dokter terhadap pasien ternyata mengurangi kecemasan, rasa sakit, dan tekanan darah serta meningkatkan kesehatan mereka secara umum.
Salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan dokter kepada masyarakat adalah dengan meningkatkan keterampilan komunikasi mereka. Salah satu kebiasaan dokter yang merusak adalah keengganan mereka untuk mendengarkan pasien. Dalam suatu penelitian di Barat ditemukan bahwa hanya dalam 23% kasus pasien punya kesempatan menuntaskan penjelasannya. Dalam 69% kunjungan pasien, dokter melakukan interupsi, mengarahkan pasien kepada penyakit tertentu. Lebih dari itu, secara rata-rata dokter memotong pembicaraan, setelah pasien mereka berbicara hanya 18 detik (Taylor, 1999). Di Indonesia, kemungkinan besar dokter lebih mendominasi lagi pembicaraan dengan pasien, karena masyarakat Indonesia paternalistik.

Berbeda dengan Perspektif Biomedis yang dianut kebanyakan dokter, suatu paradigma alternatif menyarankan bahwa keadaan sakit (illness) dikonstruksi secara sosial. Pendekatan ini merupakan reaksi terhadap pendekatan biomedis yang dominan dalam kedokteran. Menurut pendekatan alternatif ini, individu-individu aktif menentukan nasib mereka sendiri. Semua aturan, norma, prinsip, dan nilai yang digunakan suatu kelompok, termasuk dokter, menggunakan metafora Wittgenstein, adalah permainan berbeda yang dimainkan lewat bahasa berbeda (Philips, 1987).

Berger dan Luckmann (1966) mendefinisikan konstruksi sosial sebagai hubungan timbal balik, simbolik antara kesadaran diri sendiri dan kesadaran orang lain. Pengetahuan tentang dunia dianggap milik bersama dan intersubjektif. Realitas bersifat ganda, cair dan mencuat. Paradigma ini mengasumsikan bahwa melalui bahasa keadaan sakit diinterpretasikan dan dinegosiasikan oleh individu-individu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Para aktor secara sinambung memproduksi dan mereproduksi makna dari keadaan sakit mereka, yang dikomunikasikan secara verbal dan nonverbal kepada orang lain. Makna keadaan sakit boleh jadi berkaitan dengan keadaan keluarga si pasien, kehidupan sosial, profesional, kultural, politik, dan keagamaannya.

Pendekatan Biomedis sering dikritik, karena didasarkan atas tubuh kaum pria kelas menengah berkulit putih, tanpa mempertimbangkan tubuh kaum perempuan berkulit putih dan orang-orang non putih dan aktivitas mereka sehari-hari yang mungkin berkaitan dengan penderitaan mereka. Perspektif Konstruksi Sosial dianggap lebih holistik, untuk memahami perawatan kesehatan. Karena, keadaan sakit dikonseptualisasikan sebagai realitas intersubjektif yang sarat makna, sulit untuk memverifikasi problem demikian lewat metode positivistik-kuantitatif.

**

Komunikasi kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai, dan bahasa (verbal dan nonverbal). Penduduk di Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, yang terbiasa meminum air mentah memercayai bahwa air matang sebagai tak enak. Penyuluh kesehatan di sana menganggap, kepercayaan tersebut sebagai kendala yang harus diatasi, karena kebiasaan itu dapat menimbulkan penyakit diare yang mematikan (Suartika, 2000). Dalam masyarakat Timur yang kolektivis komunikasi lebih rumit daripada dalam masyarakat Barat yang individualis.Untuk menjaga hubungan serasi dengan orang lain, orang kolektivis cenderung berbasa-basi, kalau perlu berbohong, untuk menyenangkan orang lain. Suatu kasus klasik adalah seorang perawat Filipina di AS yang diminta dokter Amerika untuk memberi obat kepada pasien. Meski perawat sadar bahwa dokter telah memberi resep yang salah dan akan merugikan pasien, ia terpaksa mengikuti pesan dokter tanpa membantahnya (Brislin dan Yoshida, 1994).

Oleh karena bahasa bersifat relatif, kata-kata tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan kecermatan yang sama. Perbedaan pemahaman atas kata-kata akan lebih rumit lagi, jika orang-orang menggunakan bahasa ibu berbeda. Misalnya, penyakit masuk angin yang dikenal di Indonesia tidak dikenal di Barat, begitu juga cara pengobatannya dengan mengerok badan dengan uang logam. Suatu anekdot melukiskan, seorang eksekutif Indonesia yang terbang ke luar negeri yang badannya merah-merah karena baru dikerok, dilepaskan oleh kelompok teroris bule yang menyangka bahwa ia menderita penyakit menular.

Ginjal adalah pusat kekuatan seksual bagi orang Indochina dan Vietnam. Oleh karena itu, "gangguan ginjal" kemungkinan besar berarti libido yang menurun atau gangguan seksual lainnya. Sementara itu, istilah kanker dimaknai orang-orang desa Meksiko sebagai infeksi hebat pada kulit, terutama luka yang terinfeksi berat, meski dalam bahasa medis modern, kanker adalah gumpalan abnormal dalam bagian tubuh. Orang-orang Iran, terutama kaum wanitanya, memaknai "penyakit jantung" sebagai gejala fisik dan mental yang tidak selalu berarti penyakit jantung seperti yang kita pahami. Koro dipercayai sebagai kondisi di mana pria menderita pengecilan organ seksual. Sindrom ini lazim di tempat terisolasi, terutama di Cina Selatan dan Asia Tenggara. Dari perspektif Barat, koro dianggap suatu tipe kekacauan disosiatif, kekacauan panik, dan bahkan psikosis (MacLachlan, 1997).

Diketahui bahwa stressor psikososial cenderung bervariasi secara lintas budaya yang memicu derajat penyakit fisik berbeda. Riset menunjukkan bahwa beberapa kelompok budaya lebih sehat dan berusia lebih panjang daripada kelompok budaya lainnya, karena ikatan komunitas mereka lebih kuat atau karena diet kesehatan mereka yang khas, seperti dalam kasus para penganut agama Advent Hari Ketujuh. Berdasarkan riset the International Group of Infection Experts di San Francisco yang multikultural, virus TBC lebih cenderung menular kepada anggota dari kelompok rasial yang sama. Artinya adaptasi bakteri tersebut ternyata terikat oleh ras. Lebih spesifik lagi, terdapat enam variasi bakteri TBC yang menular di antara enam kelompok orang, termasuk Indo-Oceania, Asia Timur, Afrika Timur dan India, Eropa dan Amerika, dan dua kelompok Afrika Barat (NRC Handelsblad, 14 Februari 2006).

Di Prancis kebanyakan keluhan medis adalah krisis hati, sedangkan di Jerman adalah kelemahan jantung. Resep untuk mengobati sistem pencernaan lebih tinggi di Prancis, sedangkan di Jerman digitalis dianjurkan enam kali lebih sering untuk menstimulasi jantung. Perbedaan ini terkait dengan fakta bahwa secara kultural orang Prancis terobsesi dengan makanan dan orang-orang Jerman terobsesi dengan pencarian kultural akan romantisisme. Membandingkan Prancis dengan Amerika, dokter Prancis lebih menyukai radiasi untuk memerangi berbagai macam kanker berdasarkan apresiasi mereka terhadap estetika tubuh, sedangkan dokter Amerika lebih sering menggunakan pembedahan (Samovar dan Porter, 1991).

Komunikasi di antara dokter dan pasien juga mencakup komunikasi nonverbal. Di Indonesia, menganggukkan kepala tidak selalu berarti ya, dan menggelengkan kepala tidak selalu berarti tidak. Dokter Indonesia harus kritis menafsirkan pesan pasien yang samar ini. Misalnya, jika dokter mengharapkan pasien untuk kembali menemuinya minggu depan, setelah dokter memberi obat, anggukan kepala pasien tidak otomatis berarti persetujuan. Pasien mengangguk, namun boleh jadi ia tidak berniat untuk kembali menemuinya. Padahal, konsultasi selanjutnya penting bagi kesehatan pasien.

Salah satu aspek komunikasi nonverbal yang penting adalah sentuhan. Riset dalam komunikasi kesehatan menunjukkan bahwa kebutuhan pasien akan sentuhan tidak dipenuhi oleh profesional medis (Kreps dan Thornton, 1992). Pijitan dan sentuhan oleh dokter dan perawat menghasilkan efek positif pada pasien yang dirawat di rumah sakit (Knapp dan Hall, 2002).

Namun profesional medis perlu memerhatikan bentuk, frekuensi, lokasi sentuhan, jenis kelamin, budaya, dan agama pasien agar pasien merasa nyaman dengan sentuhan tersebut. Dalam film "Life as A House" dilukiskan George Monroe (Kevin Kline) adalah orang yang gagal. Sementara, ia punya hubungan yang buruk dengan putranya, ia juga penganggur. Lebih parah lagi, ia menderita kanker terminal. Saat dirawat di rumah sakit ia sering disentuh perawatnya.

Sentuhan itu begitu bermakna baginya, karena ia telah bertahun-tahun tidak pernah disentuh. Sentuhan perawatnya menyadarkannya bahwa ia telah kehilangan hubungan intim dengan orang-orang di sekitarnya, khususnya putranya. Putranya, Sam, juga jarang sekali mendapat sentuhan, seperti dirinya. Ia dan putranya belajar lagi melakukan kontak fisik satu sama lain. Film tersebut berakhir bahagia. Hubungan antara George dan Sam, juga dengan anak-anaknya yang lain, mantan istrinya, dan juga para tetangganya, membaik kembali.

Isyarat tangan pun dapat menjadi sumber masalah. Seorang profesional medis yang memanggil pasien dewasa di Ethiopia atau di Afrika Timur dengan telunjuk adalah kesalahan besar, karena di sana isyarat itu hanya digunakan untuk memanggil anak-anak atau anjing. Suatu anekdot menyebutkan, dalam suatu pertemuan profesional di sebuah hotel di Mexico City, seorang dokter perempuan Meksiko meminta waktu untuk pergi ke kamarnya untuk mengambil makalah. Dokter Amerika menjawab dengan memberi isyarat tangan "OK" ala Amerika (dengan membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk sementara ketiga jari lainnya berdiri). Dokter Meksiko tersinggung dan marah, karena di Meksiko isyarat tersebut sangat jorok dan menghina (berarti-maaf - lubang pantat).

Tidak banyak dokter yang menyadari bahwa penataan ruang pun bersifat simbolik dan memengaruhi hubungan dokter-pasien. Dokter Abraham White melakukan eksperimen informal, untuk mengetahui apakah meja yang membatasi dokter dan pasiennya memengaruhi konsultasi mereka. Ia menemukan, bila meja pembatas itu ditiadakan, 55,4% dari pasiennya duduk santai. Bila meja itu di tempatnya, hanya 10,8 % dari jumlah pasiennya yang duduk santai (Rich, 1974). Maka dokter di Indonesia sebaiknya menyingkirkan meja yang membatasi mereka dengan pasien untuk membuat pasien lebih nyaman.

**

Dengan jumlah penduduk yang melebihi 200 juta jiwa dan mengingat banyaknya penduduk yang menderita sakit serta kemungkinan banyaknya malapraktik yang dilakukan profesional medis, saya kira Program Studi Komunikasi Kesehatan, Konsentrasi Studi Komunikasi Kesehatan, atau setidaknya mata kuliah Komunikasi Kesehatan saat ini perlu dikembangkan di negara kita.

Mata kuliah Komunikasi Kesehatan penting buat para calon dokter, calon sarjana kesehatan, calon bidan dan calon perawat, calon apoteker, dan calon manajer rumah sakit. Sudah saatnya bagi fakultas-fakultas kedokteran di Indonesia untuk memasukkan mata kuliah "Komunikasi Kesehatan" sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulum mereka untuk mendidik para mahasiswa kedokteran, setidaknya 2 atau 3 SKS dalam semester awal. Disiplin ini juga seyogianya diberikan di lembaga pendidikan tinggi lainnya, yang menawarkan program ilmu kesehatan masyarakat, ilmu keperawatan, ilmu farmasi, dan manajemen rumah sakit. Selain itu, penting bagi para dokter untuk meningkatkan keterampilan komunikasi mereka lewat pelatihan dan lokakarya.

Penulis, Guru Besar Fikom dan Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Artikel ini disarikan dari Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar di Universitas Padjadjaran, 4 Juli 2008.

No comments:

Post a Comment