Rabu, 9 Juli 2008 03:00 WIB
NINOK LEKSONO
”Cara hidup kita sekarang ini mengerosi kemampuan untuk konsentrasi yang dalam, lama, dan perseptif, yang merupakan blok pembangun keintiman, kearifan, dan kemajuan kultural.”
(Maggie Jackson, pengarang buku ”Distracted: The Erosion of Attention and the Coming Dark Age”, WST, 8/7)
Manusia modern dilanda dilema: di satu sisi harus menjadi kompetitif dan dengan itu harus punya banyak keunggulan; tetapi di sisi lain ia juga ingin menjalani hidup secara wajar saja, tanpa harus merasa dikejar-kejar untuk menjadi pintar dan serba tahu.
Kini, mengecek pos elektronik (e-mail) merupakan menu harian yang sulit dilewatkan bagi banyak orang. Ketika jumlah e-mail di kotak surat (inbox) semakin banyak, muncul pertanyaan, harus dimaknai apa aktivitas menyimak dan menjawab e-mail itu? Apakah itu aktivitas yang bermanfaat atau tidak?
E-mail, yang merupakan sampel kecil dari informasi digital yang membanjir setiap hari dalam jumlah yang sangat besar, seolah menjadi salah satu sarana pembentukan kecerdasan manusia super pada masa depan. Inilah hal yang diyakini oleh futuris Vernor Vinge yang juga pengarang fiksi ilmiah laris.
Menurut keyakinan Vinge, yang juga pensiunan profesor sains komputer, mesin (komputer) kini telah menjadi lebih dari sekadar alat. Mesin-mesin tersebut secara fisik akan menyatu dengan kita dan secara tak terasa (seamless) mewariskan kekuatan yang sekarang ini di luar imajinasi kita. Hal itu, oleh Vinge, diyakini akan terjadi pada zaman kita ini. Pikiran manusia akan menjadi sangat kuat dalam mengolah informasi (Discover, 8/08).
”Information overload”
Istilah di atas muncul karena manusia tampaknya semakin kebanjiran informasi, lepas dari soal apakah informasi yang datang itu sepenuhnya berguna atau tidak.
Pada sisi lain, menurut catatan Gordon Crovitz, rata-rata setiap 3 menit pekerja pikiran (knowledge worker) menghentikan aktivitasnya umumnya karena terganggu oleh e-mail atau dering telepon. Lazimnya, diperlukan 30 menit sebelum ia bisa kembali ke pekerjaan semula.
Mengingat urusan kebanjiran informasi ini dilihat semakin menjadi masalah dalam kehidupan modern, kini ada organisasi Information Overload Research Group yang pendirinya antara lain eksekutif dari Microsoft, Google, IBM, dan Intel. Hal ini menarik karena mereka adalah perusahaan yang paling besar peranannya dalam menciptakan alat-alat informasi yang menggerogoti kemampu_an kita untuk memfokuskan pikiran (Wall Street Journal, 8/7).
Crovitz menambahkan, Microsoft mempunyai laboratorium Visualization and Interaction Research Group yang selama bertahun-tahun mencoba mengembangkan perangkat lunak yang bisa membuat prioritas untuk e-mail dan komunikasi lain.
Semua itu dikembangkan karena semakin disadari bahwa teknologi memang bermata dua. Di satu sisi menjadi alat pemacu produktivitas (productivity enhancer), tetapi di lain sisi juga sumber inefisiensi. Yang terakhir ini dikuatkan oleh lembaga penelitian Basex yang menyebutkan bahwa sekitar seperempat hari pekerja informasi disita oleh interupsi, seperti e-mail, instant messaging, Twitter, RSS, dan aliran informasi lain yang tak bisa dikendalikan. Di bawah itu, waktu digunakan untuk menulis e-mail, menghadiri rapat, atau mencari informasi.
Para peneliti di lembaga ini menyimpulkan bahwa hanya sepersepuluh hari yang digunakan untuk berpikir dan merenung (berefleksi).
Sampai teknologi bisa menyembuhkan situasi ini, muncul berbagai eksperimen. Intel telah mencoba apa yang dinamai ”Zero-e-mail Fridays” atau Jumat Tanpa Email. IBM punya ”Think Fridays” yang ditujukan untuk membatasi e-mail dan aneka gangguan lain. Ada juga CEO yang setiap kali memulai rapat meminta para direktur menyerahkan peralatan BlackBerry dan mengumpulkannya di tengah meja rapat.
”Dengan semakin banyak orang masuk ke dalam dunia baru informasi yang tersambung dan terakses tanpa batas, kita berisiko kehilangan sarana dan kemampuan terjun ke bawah permukaan, untuk berpikir mendalam,” tambah Jackson.
Memilih santai
Awas dengan potensi buruk kebanjiran informasi ini, kini orang mulai melihat kemungkinan untuk hidup dengan lebih longgar, misalnya saja dengan kepungan e-mail lebih sedikit. Salah satunya adalah Luis Suarez, karyawan IBM yang tinggal di Kepulauan Canary.
Seperti dikisahkan di harian New York Times (29/6), ia lelah dengan ritual pada pagi hari menghabiskan berjam-jam mengurus e-mail, dan kini ia ingin melakukan sesuatu yang drastis untuk mengambil alih kendali produktivitasnya. Untuk itu ia sudah memutuskan tidak lagi menggunakan e-mail di sebagian besar waktunya. Ia menyadari, semakin rajin ia membalas e-mail, semakin banyak balasan dan kiriman yang akan ia dapat. Hal itu lalu menjadi lingkaran setan.
Akhirnya ia berhenti menjawab secara individual dan mulai menggunakan sarana jaringan sosial, seperti blog dan wiki.
Tampaknya, di sini ada dua pendekatan yang sama-sama menjadi pilihan. Pertama adalah kebiasaan mengeksploitasi habis kemajuan teknologi. Bahkan, kalaupun e-mail di inbox semakin banyak, itu dilihat sebagai kemajuan tak terelakkan dan dalam jangka panjang, ia akan menjadi faktor evolusi yang akan menciptakan manusia baru yang tangguh hidup dalam cyberswamp—rawa informasi—yang dalam konteks sekarang mungkin akan membuat orang lumpuh bengong tak tahu apa yang harus dikerjakan karena kebanjiran informasi.
Yang kedua, orang tak memilih jalur ini. Sosok seperti Luis Suarez lebih memilih menyederhanakan hidup, mengurangi informasi yang harus ditangani setiap hari. Pilihan tentu terpulang kepada setiap individu meski arus besar memperlihatkan bahwa manusia suka memilih hidup yang lebih menantang. Kalau ini pilihannya, boleh jadi kelak akan muncul manusia super gemblengan dengan pikiran yang tahan dibanjiri informasi gigabita setiap hari.
No comments:
Post a Comment