Tuesday 11 September 2007

Radio

Ingin pinter?Jangan hanya rajin baca buku!.. tapi rajin-rajin juga mendengarkan siaran Radio!...

Bayi perempuan itu dia beri nama Aisyah. Obsesi Hendra, bapaknya, menginginkan anak perempuannya itu akan cerdas, tangguh sebagaimana sosok istri Nabi Muhammad. Hendra memang anak muda yang idealis, visioner dan energik. Perkawinan baginya bukan hanya sekedar persatuan lelaki dan perempuan karena tuntutan keinginan, psychologis, umur, keluarga atau masyarakat.

Karena pemahaman inilah kemudian Hendra tidak main-main dalam membina relasi biologis dengan istrinya. Mulai dari niatan, pendekatan sampai dengan proses melahirkan, Hendra dan istrinya memperhitungkan secara detail apa yang mesti dilakukan untuk melahirkan anak yang cerdas.

Diantara proses yang dia lakukan supaya bisa melahirkan anak yang cerdas adalah pada masa istrinya mengandung. Pada bulan tertentu usia kehamilan istrinya, Hendra secara rajin memperdengarkan musik klasik Mozart.

Di dunia kedokteran musik klasik Mozart memang dianjurkan untuk diperdengarkan pada ibu-ibu hamil. Jenis musik ini akan menstimulasi perkembangan otak bayi yang ada dalam kandungan. Sebetulnya masalahnya bukan pada musik Mozart, tetapi pada keteraturan yang ada pada musik Mozart. Sehingga pada dasarnya musik mozart pun bisa diganti dengan jenis musik lain yang mempunyai notasi teratur seperti pada perkusi.

Pendengaran dan suara

Pendengaran memang indra manusia yang sangat penting. Menurut dunia kedokteran pendengaran adalah indra yang diciptakan terlebih dahulu kepada manusia semenjak dalam kandungan. Sehingga tidak aneh para ibu hamil bisa berkomunikasi dengan anak yang dikandungnya.

Bila pada masa kandungan seorang bayi dianjurkan untuk di perdengarkan bunyi-bunyi yang baik, maka ketika dia tumbuh dewasa pun, suara tetap menjadi terapi untuk mencerdaskan manusia karena kemampuannya untuk menstimulasi otak.

Audio memang memiliki sifat yang berbeda secara signfikan dibanding visual. Bila pada visual deskripsi sesuatu bisa terepresentasikan secara utuh, maka pada deskripsi melalui audio, representasi tidak akan pernah tampil secara utuh.

Deskripsi melalui audio selalu memberikan ruang imaginasi dan interpretasi pada setiap pendengarnya. Audio memberikan kebebasan pada setiap pendengaran untuk bisa memaknai setiap uraian yang diberikan secara bebas.

Hal ini berbeda dengan deskripsi melalui media visual. Visualiasi tidak memberikan ruang bagi setiap orang untuk berimaginasi. Interpretasi atas deskripsi sudah tersedia sehingga menutup usaha interpretasi yang berbeda. Tidak ada stimuli untuk imaginasi juga kebebasan untuk melakukan interpretasi.

Radio sebagai media komunikasi yang bersifat auditif selalu memberikan stimuli bagi para pendengarnya untuk mengembangkan imaginasi yang mereka miliki. Tidak ada larangan untuk berimaginasi berbeda. Semuanya bebas, selama sesuai dengan deskripsi dari suara yang diberikan.

Sementara televisi yang memadukan unsur audio dan visual, tidak pernah memberikan kebebasan untuk berimaginasi dari setiap deskripsi yang diberikan. Deskripsi yang benar adalah yang telah tercantum secara visual. Bila melanggar ataupun tidak keliru dengan visualisasi yang diberikan, maka imaginasi itu telah salah.

Maka tidak aneh ketika penikmat cerita radio mister gunung berapi dengan tokoh nenek lampir, tidak bisa menikmati ketika nenek lampir di visualisasikan dalam bentuk sinetron televisi. Terasa ada yang hilang, yaitu terhapusnya imaginasi tentang nenek lampir.

Radio di Indonesia

Berbeda dengan perkembangan saudaranya Televisi, perkembangan Radio di Indonesia tumbuh sebagai hobi masyarakat dalam berkomunikasi. Didukung oleh sifatnya yang relatif bisa terjangkau secara ekonomis, maka hobi masyarakat ini pun bisa berkembang secara mandiri.

Radio menjadi media alternatif bagi masyarakat untuk berinteksi dan berbagi informasi. Semuanya betul-betul bisa dijalankan sebagai sebuah usaha dari, oleh dan untuk masyarakat.

Sedangkan televisi yang membutuhkan dana sangat besar dalam menjalankan produksinya, sehingga selalu membutuhkan, dan memberi daya tarik, bagi coorporate berskala besar. Pada akhirnya aktivitas ekonomi menjadi ciri dominan dari siaran televisi.

Usaha masyarakat yang kreatif dan mandiri ini mesti dijaga, diberi stimuli dan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi lebih berkembang dan produktif. Problem pada pengaturan frekuensi serta regulasi tentang dunia penyiaran mesti dituntaskan bersama-sama.

Kedepan mestilah tidak ada lagi tumpang tindih frekuensi seperti pada ketika kita mendengarkan frekuensi 92,8 MHz. Frekuensi 92,8 MHz untuk RRI yang sinyalnya diterima buruk sekali karena tertindih sinyal PAS FM (92,4 MHz).

Begitu juga tumpang-tindih sinyal yang dialami oleh RRI. Radio PAS FM (PT Radio Primaswara Adi Spirit Semesta) juga “melindas” frekuensi PT Radio Merpati Darmawangsa [6] (93,2 MHz) sehingga sinyal perusahaan yang terakhir disebut ini tak bisa ditangkap sama sekali di daerah Monas. PT Radio Ramako Jaya Raya (Ramako FM) juga menghalangi sinyal PT Radio Chakti Bhudi Bhakti (CBB Bandar Dangdut Jakarta di 105,4 MHz)

Problem berikutnya pada kejelasan kewenangan institusi yang mempunyai kewenangan mengatur dunia penyiaran di Indonesia. Eksistensi komisi semi pemerintah sepertinya mesti difahami secara utuh oleh semuanya. Sehingga tidak mengesankan adanya persaingan dan pertentangan antara komisi tersebut dan pemerintah.

Bila hal ini tidak segera dibenahi, maka obsesi dan usaha Hendra yang lain dalam membina generasi cerdas akan terabaikan. Semoga tidak terjadi. (dn)

No comments:

Post a Comment