Friday 7 August 2009

Memilih Karena Menolak

Konon kita ini tidak pernah benar-benar serius memilih seseorang. Kita memilih seseorang karena menolak seseorang, tidak jelas apa sebabnya, apakah karena memang tidak ada orang yang layak dipilih, kemarahan besar terhadap seseorang atau memang karena keputusasaan. Pada akhirnya yang terpilih bukan yang terbaik. Tetapi yang jelas seringkali terjadi kita memilih seseorang karena menolak seseorang. Coba saja lihat faktanya berikut ini.

Pasca Habibie, Gus Dur dipilih DPR menjadi Presiden karena DPR menolak Megawati. Dua tahun berikutnya keadaan berbalik, Megawati dipilih karena DPR menolak Gus Dur. Waktu terus berlanjut dan Gus Dur pun melakukan hal yang sama ; memilih Ali Masykur Musa sebagai Ketua Umum PKB karena menolak Muhaimin Iskandar.

Jauh di Amerika sana John McCain mesti susah payah menyusun strategi komunikasi walau dia satu partai, tetapi dia tidak punya kedekatan khusus dengan George Bush. Takut tidak dipilih karena masyarakat banyak yang benci terhadap Bush. Tadi pagi saya tanya sopir taksi yang saya naiki dari Gambir tentang pilihan presidennya. Dia bilang “saya pilih Lanjutkan saja pak”. Ketika saya tanya alasannya, dia jawab sederhana “Semuanya pembohong, saya pilih yang sudah jelas terasa saja”

Beberapa hari menjelang pilpres, yang ada dikepala saya untuk dipilih antara SBY dan JK. Ini bukan karena penolakan terhadap Megawati, tetapi memang alasan-alasan rasional saya menyatakan untuk tidak memilih Megawati. Mulai dari kapasitas pribadi dan juga kapasitas kelompok Megawati itu sendir. Mungkin kalau orang-orang seperti alm Sophan Sophian, Eros Djarot dkk masih ada disana, kapasitas kelompok mereka masih bisa saya acungi jempol. Masalahnya orang-orang seperti itu sudah minim, untuk tidak mengatakan tidak ada.

Sebagai orang yang terlibat untuk mensukseskan SBY, pastinya SBY menjadi prioritas. Bukan hanya karena tingkat pengetahuan yang relatif lebih, tetapi juga mungkin karena etika juga. Masak tim SBY tidak memilih SBY?

Tetapi tidak dapat dipungkiri, banyak hal menarik bila menyimak gagasan dan performance Jusuf Kalla. Minimalnya kita tertarik dengan spirit fighting dan juga iklan-iklannya yang jauh lebih menarik dibanding kandidat lain. Oleh karena itu kedudukan antara SBY dan JK menjadi berimbang, bahkan mungkin condong ke JK. Ibarat menonton Liga Champion antara AC Milan dan Barcelona, sulit untuk memihak salah satu karena kita suka keduanya sejak SMA dulu

Tetapi pada akhirnya cahaya terang untuk menentukan pilihan itu datang juga. Pemicunya adalah pertemuan antara kubu JK dan Mega yang difasilitasi Pak Din Syamsudin di PP Muhamadiyyah. Sampai sekarang saya belum mendapat penjelasan yang memadai kenapa ormas, dan ketuanya, sekaliber Muhammadiyyah, mesti terlibat langsung dalam urusan politik praktis dukung-mendukung seperti ini. Kenapa tempatnya mesti di Muhamadiyyah?

Meskipun memakain argumentasi amar ma’ruf nahi munkar, nuansa politik praktis dalam kasus ini sangat kental. Apalagi sebelumnya disinyalir Muhammadiyyah mengeluarkan maklumat buat warganya yang mengarah ke pasangan tertentu

Tetapi seperti yang saya bilang, ini hanya pemicu saja karena tampil terlalu vulgar dan dilakukan oleh ormas yang sangat terpandang, kuat dan terhormat. Seorang teman memberitahu kalau MUI dan ormas keislaman lainnya juga melakukan hal yang sama; terlibat politik praktis yang cukup jauh dalam bentuk aksi dukung mendukung. Hanya saja saya tidak melihat sejelas apa yang dilakukan Pak Din. Yang jelas-jelas saya lihat iklannya sih Forum Umat Islam yang mengatasnamakan puluhan ormas-ormas keislaman untuk mendukung salah satu capres dan itu diumumkan secara vulgar dalam bentuk iklan di media.

Sampai saat sekarang ini saya masih berpendapat bahwa organisasi keagamaan mestilah steril dari politik praktis. Mereka adalah penjaga moral bangsa ini. Saya membayangkan bagaimana kalau negeri ini ada dalam keadaan chaos, seperti kasus 98, dan tidak ada orang atau komunitas yang didengar masyarakat karena semuanya sudah terlibat politik praktis. Bila semua organisasi kemasyarakatan beserta tokohnya terlibat, siapa lagi yang akan menjadi panutan masyarakat? Jangankan dalam kondisi chaos, dalam kondisi normal saja organisasi kemasyarakatan, apalagi yang berbasis agama, mesti menjaga dirinya dari politik praktis karena komunitas mereka adalah masyarakat bukan elite politik.

Seorang teman pernah mengatakan kalau tokoh-tokoh, utamanya tokoh agama, memang mesti menyatakan keberpihakannya karena ini bentuk pengabdian terhadap bangsa ini. Netral berarti pengecut dan tidak punya sikap. Masalahnya bagi saya, apakah politik kemudian satu-satunya jalan untuk mengabdi terhadap bangsa ini?Lalu apakah pengabdian seorang tokoh masyarakat dan pemimpin ormas terhadap bangsa ini mesti dinyatakan dalam aksi dukung mendukung?Banyak hal lain yang mesti dibenahi di negeri ini, politik hanya bagian kecil dari kehidupan bangsa ini.

Lagi pula, apakah pilpres kemarin sudah begitu gawat sehingga agama mesti pasang badan?Ini bukan perlawanan melawan Belanda sehingga harus ada fatwa agama jihad sebagai basis perlawanannya. Ini hanya pertaruangan politik biasa antar kontestan yang berbeda pada tataran cara bukan komitmen. Mestinya agama pasang badan terhadap korupsi yang susah diberantas, penyebaran narkoba yang begitu massif dan kejahatan yang sudah tidak terkendali

Jujur saja, saya kemudian berdoa kalau langkah saya memilih, karena menolak keterlibatan komponen civil society dalam politik praktis, sama dilakukan oleh masyarakat lainnya. Saya bilang sama seorang teman; saya puas kalau kebanyakan orang melakukan ini juga. Biar jadi bahan pembelajaran dan pengingatan kalau suara orang-orang yang merasa tokoh itu sebenarnya sudah tidak dihitung masyarakat lagi. Masyarakat sudah tidak mendengar mereka.

Ke depan, selain menyadarkan mereka untuk tidak terlibat lebih jauh dalam urusan politik praktis, tetapi juga mengingatkan mereka untuk kembali ke habitat asalnya ; bergaul bersama masyarakat. Bukankah ketika suara mereka tidak di dengar masyarakat berarti mereka selama ini tidak mengenal masyarakat?yang ujung-ujungnya berarti selama ini mereka jarang berinteraksi dengan masyarakat.

Tetapi sebuah sms pesimis datang dari seorang teman aktivis salah satu ormas keagamaan “mudah-mudahan, biar tahu rasa mereka, mudah-mudahan seperti biasanya tidak pernah merasa malu hehehe…” Ini hanya ungkapan pesimis aja. Tetapi saya yakin kok, kalau pilpres nanti akan ada perubahan. Masing-masing akan berjalan sesuai peran dan posisinya

No comments:

Post a Comment