Diantara rumusan menarik yang saya temukan semasa kuliah di Fikom Unpad dulu adalah; kecerdasan orang bisa dilihat dari pertanyaan yang diajukannya. Pada masa itu bagi saya rumusan ini begitu cukup menghentak. Maklum saja, ketika itu saya sering terpukau oleh tulisan-tulisan atau pembicaraan public figure yang runtut, argumentasi nya jelas, kesimpulan yang genial serta up to date.
Seluruh Isi Blog ini sudah dipindahkan ke www.tongkrongan.com dan selanjutnya updating ada di situs yang baru ini. Salam dan sukses untuk semua
Tuesday, 28 August 2007
Komunikasi Yang Mencerdaskan
Wednesday, 22 August 2007
PERANG DI JERO TEMPO
Tulisan di bawah ini saya dapatkan dari mailing list Alumni muda Pelajar Islam Indonesia. Tentang pergulatan internal di Tempo. Sedikit banyaknya tulisan di bawah ini bisa mengurai relasi-relasi politik yang terjadi di sebuah institusi media.
Skripsi saya tahun 2003, tentunya membutuhkan pembenahan disana-sini, mencoba meneliti media Islam yang sedang booming ketika itu; majalah Sabili. Theoritical framework nya memakai madzhab kritis. Kesimpulannya; intervensi ekonomi, baik itu captive market maupun pemilik modal, begitu kuat mempengaruhi aktivitas dan pola pemberitaan majalah Sabili.
Selamat membaca aja!...
WARS WITHIN
Penulis: Janet Steele, @2005
Penerbit: EQUINOX dan ISEAS
xxxiv, 328 halaman
Oleh Martin Aleida
Jarang ada penulis Barat yang berhati sarat dengan empati ketika menyentuh Indonesia. Kecuali manakala terjadi pelanggaran terang-terangan terhadap hak asasi manusia, yang buat mereka merupakan kejahatan tiada berampun. Apa misalnya? Pembungkaman pers. Kalau sudah begini, buat mereka masalahnya jadi hitam-putih. Karena itulah, dalam menghadapi keadaan semacam itu, tak aneh, kalau mereka malahan datang dengan sikap yang kental memihak, partisan.
Inilah kesan terpenting setelah membaca WARS WITHIN, sebuah babad tentang peperangan intern yang terjadi di dalam salah satu penerbitan yang penting dan berpengaruh di negeri ini: majalah berita mingguan TEMPO, ditulis oleh Janet Steele dari George Washington University, Amerikat Serikat. Sarjana wanita yang bertubuh langsing dan murah senyum ini terpesona dengan majalah tersebut setelah terjadinya pembreidelan terhadap trio-media non-harian, TEMPO, Detik, dan Editor Juni 1994. Tak dia jelaskan mengapa dia hanya jatuh hati pada TEMPO dan tidak pada yang lain. Barangkali karena sejarah TEMPO yang jauh lebih panjang, lebih terkemuka. Lagipula, majalah inilah yang pertama kali memperkenalkan jenis pelaporan berita secara mendalam, in-depth news reporting, di negeri ini dengan bahasa Indonesia yang terjaga.
Dari Amerika, wanita yang semampai, berambut pirang, itu lantas terbang ke sini dengan keyakinan bahwa dia telah menemukan "satu cerita yang hebat" tentang satu "majalah independen" yang jatuh-bangun di zaman rezim militeristis Soeharto. Untuk menggali bahan, dia tidak hanya berkenalan dengan pemimpin redaksi, tetapi juga dengan para petugas cleaning service. Selama enam tahun dia menelusuk di dalam dapur majalah tersebut, seperti ayam yang mau mengeram dengan tekun dia meneliti di perpustakaan, ikut rapat perencanaan, juga turut mengerubungi gorengan di sore hari, ketika para waratwan sedang menikmati saat-saat mengendurkan ketegangan. Begitu rapatnya dia bergaul, sampai-sampai dia pun bisa berbahasa Indonesia dengan cukup lancar.
Tak pelak lagi, Janet telah menemukan dan menuliskan cerita yang menarik. Namun, sayang, kalau ditilik dari mata pers zaman sekarang, dia telah membuat kealpaan yang mendasar. Janet (demikian dia sering disapa oleh para narasumbernya) , baik di dalam Prologue maupun Epilogue, tidak mengisyaratkan kepada para pembaca untuk tidak mencerna WARS WITHIN dengan perspektif masa kini. Tanpa isyarat seperti itu, akan muncul kesimpulan yang gelap, bahwa TEMPO telah menjual harga diri kebebasan pers kepada penguasa, dan mendurhakai kepentingan publik akan informasi, hanya untuk mempertahankan kemakmuran hidupnya.
Kalau ditelisik seluruh halaman buku ini, maka kelihatanlah bahwa batang tubuh majalah tersebut pekat berbalur kompromi, untuk tidak mengatakan berserah diri kepada kekuasaan. Ketika akan menurunkan laporan mengenai peristiwa berdarah Tanjung Priok, awal September 1984, misalnya, penulis masalah nasional, Susanto Pudjomartono (kini Duta Besar untuk Rusia), yang punya hubungan erat dengan L.B. Moerdani, sebelum duduk dan memulai tulisannya, ternyata lebih dulu meminta izin kepada Panglima Angkatan Bersenjata itu, apakah TEMPO boleh "melaporkan investigasi kami sendiri?" Penyerahan diri kepada kanjeng pangeran itu tentu disambut dengan senyuman oleh Benny Moerdani, seraya berucap: "Tentu! Anda punya kebebasan untuk menulis apa saja yang Anda pikirkan!" (h.135).
Kedekatan seseorang wartawan dengan penguasa bisa menimbulkan polarisasi sikap politik di kandang wartawan sendiri, sebagai akibat dari beragamnya latar belakang kecenderungan politik mereka masing-masing. Tak heran, semacam "perang" kepentingan juga muncul dalam episode "Tanjung Priok." Wartawan Bambang Harymurti, yang ketika itu memiliki rekaman pidato Amir Biki, yang menjadi tenaga pemicu demonstrasi yang berbuntut pertumpahan darah selepas salat subuh itu, tidak serta-merta menyerahkan tape kepada Susanto, melainkan kepada redaktur agama, Syu'bah Asa. Sebab ada kecemasan kalau rekaman itu diberikan kepada Susanto, "kemungkinan (dia) akan menunjukkannya kepada Benny Moerdani." (h.126).
Susanto begitu intimnya dengan Benny, sehingga setelah membina hubungan selama beberapa tahun, dia pun bisa berbicara secara akrab dengan Sang Jenderal dalam Bahasa Jawa biasa.
Sikap kompromistis, penuh pertimbangan, supaya bisa bertahan hidup, yang dipaparkam dalam kisah panjang majalah ini, pada akhirnya menjadikan klaim Janet bahwa TEMPO adalah "an independent magazine in Soeharto's Indonesia," sebagaimana yang tersurat dalam subjudul buku yang dia tulis, ternyata tak lebih dari sekedar sinisme yang tidak disengaja.
Seruan "Tiarap …!"
Tanpa mengetahui gejolak politik di dalam kancah kekuasaan, media massa pemberitaan semasa Orde Baru seperti berlayar dalam gelap, tanpa kompas tiada peta, dengan lambung perahu bisa menabrak karang kematian setiap saat. Setelah menikmati suasana kehidupan pers yang relatif bebas sejak terbit awal Maret 1971 sampai tahun 1982, ketika pertama kali TEMPO dibreidel, maka untuk menjaga agar perahu jangan sampai tenggelam lagi di bawah tekanan gelombang kekuasaan politik yang zalim ketika itu, majalah berita tersebut memasang kemudi strategi yang bernama lobby untuk menakar ke mana arus politik bergerak, supaya bisa mengelak.
Segera setelah perintah pembreidelan dikeluarkan Pemerintah tahun 1982, Pemimpin Redaksi Goenawan Mohamad, dalam rapat yang diliputi suasana resah, dengan raut muka yang tegang, menyerukan "Tiarap…!"
Strategi kelangsungan hidup mulai dirancang dan dioperasikan. Sejak saat itu majalah tersebut tampil dengan hati-hati. Lobi sebagai piranti politik dalam mejajagi posisi lawan, mulai masuk ke dalam gaya kerja TEMPO. Para wartawan dianjurkan untuk melobi para pejabat Pemerintah. Ditariklah garis siapa melobi siapa. Goenawan Mohamad sendiri, bagaikan seorang penyair-pertapa yang harus turun dari gunung, mulai mendekati Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Mereka acapkali terlihat bermain tenis bersama.
Tak bisa lain, di balik strategi itu adalah kepentingan umum yang diterlantarkan. Dengan kedekatan pada penguasa, menjaga jangan sampai kepentingan kekuasaan politik terganggu, yang bisa mengancam kelangsungan hidup TEMPO, maka majalah tersebut dengan sengaja telah menutup muka pada kenyataan bahwa pembacalah yang selama ini telah membesarkannya. Apa boleh buat, setengah-pendurhaka an terhadap pers yang bebas, yang dianut majalah tersebut selama ini, sudah dimulai ketika strategi lobi dipancangkan.
Sikap memilah-milah apa yang kalau diberitakan tidak melukai penguasa, menyebabkan tak terhitung banyaknya berita yang diketahui wartawannya yang harus dibuang demi kelangsungan hidup. Termasuk menyembunyikan nama Benny Moerdani, Panglima Angkatan Bersenjata ketika itu, sebagai orang yang berada di belakang penembakan misterius di berbagai tempat untuk memantapkan keamanan kekuasaan Soeharto. Dengan kampanye kekerasan yang brutal itu, dia coba merebut simpati publik dengan jalan menghabisi nyawa mereka yang diduga sebagai penjahat. Kepentingan publik (pembaca dan pembeli) diabaikan. "Begitu banyak informasi yang masuk yang tak dapat kami laporkan," ucap Susanto Pudjomartono. "Haya lima atau sepuluh persen saja yang bisa kami laporkan. Memantau berita (jadi) lebih penting dibandingkan menulis," katanya menguraikan. (h. 135).
Mengagumkan, sekaligus juga membikin tercengang, bagaimana TEMPO telah membiarkan para wartawannya menerima berita-berita yang tak bisa dimuat dari orang di lingkaran dalam kekuasaan, seperti Benny Moerdani, Prabowo Subianto, atau Harmoko. Untuk apa dan dikemanakan berita-berita yang diperoleh Susanto Pudjomartono Cs ketika itu kalau memang tak bisa dimuat? Disimpan di dalam file? Dioper ke wartawan-wartawan asing yang beroperasi di sini? Dijadikan bahan tawar-menawar? Atau mau ditulis kelak di suatu masa? Tak ada jawaban. Karena Janet yang sedang jatuh hati rupanya tidak tergoda untuk bertanya mengenai cacat yang satu ini. Namun, agaknya terlalu salahkah kalau ada yang sampai pada dugaan kuat bahwa para wartawan seperti Amran Nasution, Herry Komar, Karni Ilyas, Susanto Pudjomartono, untuk menyebutkan beberapa nama saja, telah menuai dari lobi-lobi mereka selama ini, terutama ketika mereka akan meniti karier setelah meninggalkan rumah besar mereka yang bernama TEMPO?
Tanpa pesaing yang berarti, TEMPO bergelimang kemakmuran. Namun, tak selamanya biduk berlayar dengan tenang. Guncangnya perimbangan kubu-kubu kepentingan politik di dalam pemerintahan, juga di dalam batang tubuh TEMPO sendiri, membuat penjagalan kedua terhadap majalah tersebut tinggal menunggu waktu. Cuaca tambah memburuk, badai kian bergalau, ketika pada tahun 1993, Goenawan Mohamad mengumumkan niatnya untuk mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi, dan melimpahkan tanggungjawab sehari-harinya kepada orang nomor dua, wartawan flamboyan Fikri Jufri. Dia ingin memusatkan perhatian sebagai penulis saja, dan kalau ada kesempatan, sesekali terbang ke luar negeri memberi kuliah atau ceramah.
Memang, sejak saat-saat awal majalah tersebut berdiri, Goenawan sudah mengisyaratkan wasiat bahwa dia takkan selamanya akan berada di atas, dan bahwa dia tidak ingin bercokol terus di kursinya. Dia bagai dewa yang menggeliat ingin mendobrak kekuasaan mutlak yang berada di genggamannya sendiri. Berbeda dengan sikap tokoh pers lain, yang terus berupaya mengelus-ngelus kursi jabatan dengan harga berapa pun, maka sikap sang penyair memang tiada duanya dalam sejarah pers nasional.
Buat wartawan-wartawan muda yang bergabung dengan TEMPO pada awal 1971, (bahkan sebelumnya, ketika Goenawan Mohamad masih memimpin majalah berita Ekspres) seperti Harun Musawa, Yusril Djalinus, Herry Komar, sosok Goenawan dipuja seperti "setengah Nabi" dalam pembicaraan santai mereka di belakang sang tokoh. Apa yang dikatakannya – dan dia memang selalu berkata jujur dan benar – amatlah sulit untuk ditampik. Dia adalah personifikasi jurnalisme yang netral. Dengan kepribadian yang terkadang mengesankan angkuh, sulit ditebak. Dan jelas tak mudah untuk dibujuk.
Karena itulah niat Mas Goen (demikian dia selalu dipanggil dengan akrab) untuk "lengser" telah menimbulkan guncangan terhadap biduk yang sedang berlayar laju. Keseimbangan mulai terbuai. Di kalangan para wartawan timbul semacam suasana keputusasaan, karena orang yang begitu mengilhami akan pergi meninggalkan kemudi. "Kalau ini adalah bagian dari strategi, maka orang yang berada di atas seharusnya tidak berdiri di pihak siapa pun. Goenawan adalah orang yang semacam itu. Tetapi, Fikri tidak. Jadi, inilah yang telah menggoyang keseimbangan, " kata Bambang Harymurti. (h. 236).
Bambang, yang sekarang menjadi Pemimpin Redaksi, bergabung dengan majalah tersebut awal 1980-an, sebagai koresponden di Bandung. Dia dikenang bukanlah sebagai wartawan dan penulis yang handal, sekalipun dia selalu punya gagasan berita yang baik. Cerdas, pandai bergaul, dan punya kemampuan manajerial yang memadai, barangkali. Mungkin juga dia dianggap sebagai wartawan muda yang loyal. Walaupun dia sempat bersikap "mendua" ketika 32 wartawan bergabung dalam eksodus besar-besaran untuk mendirikan Editor tahun 1987, dengan tujuan terang-terangan untuk "membunuh" tuannya sendiri: TEMPO. Sikap pemodal yang memang tak pernah adil, ditambah polarisasi kecenderungan politik para wartawannya, telah memicu begitu banyaknya staf majalah tersebut yang mengundurkan diri. Tigapuluh-dua wartawan sekaligus! Belum termasuk staf perusahaan. Mungkin, inilah pengunduran diri paling besar dalam dunia pers nasional, barangkali juga internasional.
Fikri Jufri, seorang penulis masalah ekonomi dan bisnis yang tajam dan memikat, dengan penciuman politik yang peka, adalah kutub yang lain. Dia tak punya pengikut, apalagi pengagum sebagaimana Goenawan Mohamad. Kata-kata bersayap Mas Goen tentang "cita-cita kita yang sama mengenai jurnalistik, " yang dia ucapkan dalam rapat persiapan 15 Januari 1971, kurang dari dua bulan sebelum TEMPO terbit (6 Maret 1971), telah terbang disapu angin lalu. Para wartawan yang dianjurkan melobi kanan-kiri, ternyata telah lupa pulang ke rumah mereka sendiri. Yang menuntun mereka bukan lagi "cita-cita kita yang sama mengenai jurnalistik, " tetapi Paduka Tuan yang menjadi teman dekat sekaligus sumber berita dan gantungan hidup di masa depan yang tidak pasti. Para wartawan terperangkap dalam kutub-kutub lobi mereka sendiri. Keputusasaan berbaur dengan bau ketidakpercayaan antara klik yang satu dengan klik yang lain. Masing-masing wartawan tambah merapat dengan lobi dan tambah mendurhakai tuan mereka sendiri. Fikri Jufri tinggal sendirian di kemudi.
Kapal perang rongsokan
Adapun di luar, laut gonjang-ganjing. Tahun 1988, Soeharto mengganti Jenderal Benny Moerdani sebagai Panglima Angkatan Bersenjata, dan memberinya kedudukan yang kurang berkuasa, sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Tahun 1993 jabatan yang kurang penting itu pun malahan dicopot pula dari pundaknya. Walaupun tak terbuka, Benny dikabarkan telah memihak pada suara publik yang berada "di bawah tanah" dan bersikap kritis terhadap Soeharto, dalam kaitannya dengan tingkah-laku semua anak-anak "Bapak Pembangunan" itu dalam praktik bisnis yang kotor.
"Pembangkangan" tokoh militer itu mendorong Soeharto mencari dukungan dari kalangan Muslim, dengan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), B.J. Habibie, sebagai perlambang. Karena kedekatan TEMPO dengan Benny Moerdani, maka bagi banyak pendukung ICMI, majalah berita tersebut dimasukkan ke dalam kelompok yang anti terhadap organisasi besar dari kaum terpelajar yang membawa bendera Islam tersebut. Dan buat mereka, membela majalah itu merupakan sikap yang tak terpuji, naif. (h. 238).
Pada tanggal 11 Juni 1994, TEMPO menurunkan laporan utama mengenai pertikaian di dalam pemerintahan seputar pembelian 39 kapal parang bekas dulunya milik Jerman Timur. Laporan berkisar pada harga beli yang dianggap tidak pantas serta konflik antara Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie dengan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad. Beberapa perwira tinggi, terutama dari Angkatan Laut, tidak menyetujui pembelian armada kapal bekas itu, dan mereka menganggap B.J. Habibie telah menggerogoti wewenang mereka.
Menurut Fikri Jufri kepada penulis resensi buku ini, TEMPO memutuskan laporan itu karena "uang rakyat yang tidak kecil jumlahnya yang telah disalahgunakan."
Semata-mata itulah, katanya, pertimbangan rapat redaksi dalam memilih topik itu, dan bukan karena kemauannya sendiri. Karena apa yang menjadi berita ditentukan secara kolektif, bukan oleh seseorang, sekalipun dia Pemimpin Redaksi. Tetapi, wartawan TEMPO Agus Basri, yang menulis laporan utama mengenai Habibie dan ICMI, beberapa pekan sebelumnya, kepada Janet Steele, menyebutkan dipilihnya laporan tentang kapal perang rongsokan dari Jerman Timur tersebut "punya maksud tertentu." (h. 240). Agus bahkan menuduh Fikri "bias terhadap Habibie." Menurut Agus lagi, ketika tersiar kabar salah satu dari kapal perang butut dari Jerman Timur itu tenggelam dalam pelayaran menuju Indonesia, saking senangnya, Fikri Jufri mencak-mencak bersyukur dan berteriak dengan sinis, "Alhamdulillah! " Isma Sawitri, yang sedang mengedit laporan itu, terpengaruh oleh Fikri, dan menjadi salah seorang dalam barisan pembenci Habibie.
Agus Basri, sebagaimana yang lebih lanjut dikutip Janet, memoleskan warna yang buruk pada wajah teman sejawatnya sendiri, dengan menceritakan bahwa Max Wangkar, yang menulis laporan utama, "punya masalah dengan Habibie." Karena Max, katanya, seorang pemeluk agama Kristen, lulusan sekolah teologi lagi. Dengan "analisa" pandir seperti yang dilansir Agus Basri itu, menurut Janet, "jelaslah bahwa suasana di dalam majalah tersebut" sungguh telah dipenuhi racun dan bisa. (h. 241).
Sebagaimana yang tercatat dengan tinta merah dalam sejarah pers, TEMPO ditutup untuk kedua kalinya di zaman rezim Soeharto tanggal 21 Juni 1994, dan hanya bisa merangkak kembali setelah banjir reformasi, yang dihumbalangkan para mahasiswa dan rakyat dibarengi tekanan internasional, yang melanda negeri ini.
Sebagai penanggungjawab, Fikri Jufri dengan tegas menampik tuduhan bahwa penyebab pemberangusan adalah sikapnya yang bias terhadap putra mahkota Soeharto, Habibie, dan "ada mainnya" dengan Benny Moerdani, sebagaimana yang dituduhkan oleh Agus Basri. (Jauh sebelum pembreidelan, Susanto Pudjomartono sebagai pelobi Benny sudah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, harian berbahasa Inggris di mana TEMPO punya andil.) Menurut Fikri, ada rencana jahat di belakang itu semua. "Habibie mendatangi Soeharto," katanya, sebagai bagian dari rencana busuk untuk membunuh majalah yang dia pimpin. "Karena TEMPO adalah musuh." (h. 239). Ya, musuh kekuasaan yang harus disingkirkan.
Sebagai seorang profesional, kelihatannya tak ada lagi yang lebih menyakitkan hati Fikri Jufri daripada tuduhan kedekatannya pada Benny Moerdani sebagai penyebab bencana pembreidelan. Menjelang akhir Orde Baru, boleh dikatakan tak ada pejabat pemerintah yang suka pada sosok Fikri, terutama Menteri Penerangan Harmoko, yang terus-menerus menunda pengesahan Fikri Jufri sebagai pemimpin redaksi secara resmi. Di dapur sendiri juga begitu. Teman-teman sejawatnya sudah lupa pada jerih-payah anak Gang Haji Murtado ini ketika mengejar Ali Moertopo sampai ke "ujung dunia" (Bali) untuk mendapatkan nafas TEMPO kembali setelah pemberangusan di tahun 1982.
Penulis yang dia kagumi, kawan seperjuangannya sendiri, Goenawan Mohamad, ikut meningkahi suara gendang yang menggiring Fikri hingga terpojok. Kata Mas Goen, sama seperti Susanto Pudjomartono, Fikri juga tergoda (seduced) oleh Benny, yang digambarkan olehnya sebagai perwira tinggi yang sulit dicari tandingannya. Cerdas. Tangkas. Sangat bersahabat. Tahu segala. Berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih. Apalagi. "Dia (bersikap) sangat bersahabat terhadap saya setiap kali kami bertemu. Dan Anda bisa tergoda,"ucap Goenawan kepada Janet. (h. 137)
Goenawan dengan bertalu-talu dikutip oleh Janet Steele, dan dia kelihatannya hanyut oleh sumber cerita utamanya ini, sehingga agaknya lupa bersikap berimbang ketika menyangkut keterangan yang mungkin bisa memberikan citra buruk tentang seseorang. Terutama ketika uraiannya menyangkut hubungan Fikri dan Benny. "Semua halaman berisi hasil wawancara dengan Goenawan. Sedangkan saya, yang dituduh macam-macam, cuman sekali diwawancarai. Hah…, ini benar-benar bias," kata Fikri kepada penulis artikel ini.
Katanya, ini bukan pertama kali dia diperlakukan secara tidak adil oleh seorang penulis. Majalah PANTAU, yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan justeru punya kedekatan dengan Goenawan Mohamad, juga memperlakukannya seperti itu. Dia dicap sebagai orangnya Benny Moerdani. Tanpa sepatah kata tanggapan pun yang dikutip dari dia.
Episode Pramoedya
Dalam WARS WITHIN Mas Goen keluar tanpa cacat. Dan dia barangkali memang tidak pantas untuk setoreh cacat sekalipun. Seorang pemimpin dikagumi bukan bagaimana dia berpesta-pora dengan pasukannya dalam merayakan kemenangan, tetapi bagaimana dia memberikan martabat kepada musuh yang telah dibikinnya bertekuk lutut. Dan Mas Goenawan punya bakat menerima titisan kebijaksanaan seperti itu.
Begini. Ketika Pramoedya Ananta Toer baru saja dibebaskan dari pulau pembuangan Buru akhir 1970-an, Mas Goen menulis satu artikel yang kritis terhadap pengarang paling terkemuka yang berahang liat itu. Goenawan memanggil saya (penulis artikel ini), yang duduk tak jauh dari meja-tulisnya. Disuruhnya saya membaca ulang rancangan tulisan itu. (Seingat saya, ini untuk ketiga kalinya dia menunjukkan tulisannya kepada saya, sebelum diturunkan, mungkin sekedar untuk menguji data yang terkandung di dalam tulisan itu. Dan saya, sampai kini mengenang dengan rasa hormat yang tinggi pada sikapnya yang rendah hati seperti itu.)
Waktu itu, saya usulkan kepadanya untuk meminta Pram membaca tulisan itu lebih dulu. Agak marah, nada suaranya meninggi: "Mengapa harus dia baca dulu…?" Saya jawab dengan spontan, walau sedikit gugup: "Untuk mencek kebenaran fakta, dan memberikan kesempatan kepadanya untuk menjawab. Kalau ditunggu reaksinya setelah terbit, `kan dia dilarang menulis?!" Mas Goen diam. Kemudian, dia menyelipkan tulisannya itu ke dalam laci, dan di situ tulisan tadi hanya tinggal menjadi milik waktu untuk selama-lamanya. Begitulah rupanya cara Sang Pemimpin menghargai martabat seorang bekas pesakitan yang dia anggap pernah berperangai sewenang-wenang ketika suatu waktu dulu sempat berada di puncak kejayaan.
Episode itu tak muncul dalam WARS WITHIN. Karena Janet kelihatannya hanya terpikat pada penggalan kedua dan terakhir dari sejarah perjalanan TEMPO. Lagipula, sumbernya, selain Goenawan Mohamad, terlalu terpusat pada Bambang Harymurti, yang sebenarnya baru tampil di babak kedua dari penggalan perjalanan hidup majalah tersebut. Memang, sebelum 1980-an benturan dengan kekuasaan tidak begitu sengit, karena suasana kebebasan pers yang relatif longgar. Tetapi, peperangan melawan birokrasi intern majalah itu sendiri, tak kalah sengit. Raksasa-raksasa seperti Christianto Wibisono dan Usamah (karena manipulasi yang berkaitan dengan pemberitaan dan keuangan) sampai terjungkal. Dan di atas segalanya, orang setangguh sastrawan-wartawan Bur Rasuanto pun tak cukup kuat untuk bertahan.
Edisi pertama majalah tersebut dicetak 12.500. Terjual habis. Terbitan kedua dilipat-duakan. Habis! Pada awal 1980-an tiras majalah tersebut sudah berkisar di angka 160.000. Kemajuan pesat. Tetapi, tidak diikuti dengan manajemen yang baik. Jam terbitnya selalu terlambat. Bur Rasuanto, yang berambisi untuk memimpin majalah tersebut ke dalam, sedangkan Goenawan hanya bertanggungjawab keluar, kelimpungan menghadapi batas waktu cetak yang selalu molor. Berbagai kiat dia lakukan untuk mengatasi keadaan. Pernah disediakan "pool" uang sebesar sebulan gaji. Yang paling produktif menggondol uang itu. Tapi, karena protes dari wartawan yang kalah, maka "pool" itu dianggap "tak aci" dan langsung distop.
Singkat cerita, Bur, yang berdarah Komering itu, sudah tak tahan lagi melihat naskah-naskah yang tetap saja menumpuk tidak dikerjakan tepat waktunya oleh para redaktur dan menjadi biang-keladi keterlambatan. Di kantor cikal-bakal TEMPO, yang terletak di Jalan Senen Raya, di seberang kantor pegadaian sekarang, pada suatu hari yang naas, Bur menyambar naskah yang menganggur belum tersentuh juga di meja seorang redaktur. Dia memang penulis yang cepat. Tulisan yang sudah dia rampungkan sendiri itu lantas dia turunkan.
Tak ayal, redaktur yang bersangkutan melapor kepada Mas Goen, bahwa Bur telah menabrak prosedur. Goenawan membenarkan protes itu. Bur jadi naik darah. "Ah, kau juga …," katanya berang, seraya melayangkan secangkir kopi ke muka Goenawan. Luput, dan cangkir itu pecah membentur dinding. Goenawan tak terpercik barang setetes kopi pun. Ketika berjalan melewati ruangan reporter, entah mau pergi ke mana, Goenawan masih bisa senyum bercanda dan berkata, "Kalian lihat tadi tenaga dalam saya…?" Kelakar itu membuat kami, para reporter, tersenyum getir.
Seminggu setelah peristiwa "secangkir kopi" itu, rapat besar digelar di Gedung Pembangunan Jaya, di Jalan Thamrin, Jakarta. Eric Samola, sebagai Pemimpin Umum menegaskan "tak ada harta milik perusahaan, sekecil apa pun, yang boleh dirusak." Esoknya, dan untuk selamanya, Bur Rasuanto sudah tidak bersama kami lagi. Tamatlah riwayat dua-serangkai yang sesungguhnya amat ideal itu. Goenawan yang bijak dan Bur yang pekerja keras.
Bendera yang tumbang
Sebagai orang pertama yang diwawancarai Janet Steele, penulis resensi ini, sebagai mantan wartawan TEMPO, mengatakan kepadanya bahwa saya keluar tahun 1984 (bukan 1985 seperti yang dia tulis) karena majalah itu "telah kehilangan idealisme" dan "telah menyimpang dari misi semula." (h.208).
Ketika itu, Janet datang dengan sikap yang berapi-api memuja Goenawan Mohamad dan timnya. Sekalipun majalah yang dipimpinnya sudah diberangus, katanya, orang tetap mengenangnya, dan malah ikut berjuang untuk mengembalikan hak hidup kepada media berita yang dia kelola. Saya tidak bermaksud mengecilkan peran Goenawan, tetapi kepada Janet, yang datang bersama Melani Budianta ketika itu, saya katakan: "Jangan melupakan faktor lain. Ketika tim Goenawan, yang malahan diperkuat oleh Arief Budiman dan Taufiq Ismail, bekerjasama dengan B.M. Diah, membangun majalah berita Ekspres, namun tim itu tidak berhasil. Jadi Ciputra dan Ali Sadikin, yang kemudian menjadi kawan seperjalanan TEMPO, seharusnya diletakkan juga di meja catur."
"Idealisme" yang saya katakan telah dipertentangkan secara bertolak belakang oleh Janet dengan "kemakmuran" material yang sudah diraih majalah itu. Yang saya maksudkan "meninggalkan idealisme," tak lain adalah bahwa TEMPO sudah meninggalkan "bendera" yang dia kibarkan selama lebih dari satu dasawarsa sebagai majalah berita yang dinanti-nanti publik. Karena laporan-laporannya sering tidak ditemukan di surat-surat kabar atau media lain. Dia malah sering menjadi sumber berita bagi koran-koran terpandang seperti KOMPAS, Sinar Harapan, The Straits Times Singapura dan lain-lain, juga kantor berita AFP dan Reuters. Puncaknya adalah laporan pembongkaran kebobrokan perusahaan minyak negara Pertamina di bawah pimpinan Ibnu Sutowo, dengan Fikri Jufri sebagai ujung tombak penulisnya. Majalah tersebut juga membuat scoop yang membuat iri para pemburu berita, ketika dia memuat wawancara khusus dengan kroni paling top Soeharto, raja semen dan raja segala raja, Liem Swie Liong.
Melalui satu rapat yang menentukan di Wisma TEMPO di Sirnagalih, dekat Puncak Pass, "bendera" kebanggaan itu diturunkan. Tak sebagaimana biasa, Goenawan membuka rapat dengan naskah di tangan. Intinya, perubahan orientasi, dari majalah yang dinanti karena beritanya yang eksklusif, menjadi majalah yang "mengekor" pada kehangatan berita yang dibawakan media harian.
Fikri Jufri, Lukman Setiawan, dan saya, menentang pembalikan haluan itu. Goenawan berargumentasi dengan mengatakan, "eksklusif" tidak hanya berarti media lain tidak memilikinya. "Eksklusif" juga berarti media lain, katanya, bisa saja memilikinya, tapi TEMPO "eksklusif" karena lebih mendalam. Saya langsung angkat tangan, menolak, dengan mengatakan "kedalaman" takkan bisa dicapai, karena wartawan TEMPO dilarang "mangkal" sebagai bagian dari perang sucinya memberantas "wartawan amplop." Bagaimana mungkin mendapatkan kedalaman, atau kutipan-kutipan yang spontan, khas, menarik, kalau narasumber tidak mengenal wartawan yang mewawancarainya.
Saya tak habis pikir, mengapa Goenawan tidak mau berterus-terang saja bahwa majalah yang dipimpinnya tidak bisa lagi mengandalkan diri pada individu-individu wartawannya yang memang tangguh, seperti George Aditjondro dan lain-lain. Tapi, harus tunduk pada satu sistem. Untuk mempertahankan kemakmuran, yang diperlukan adalah kesetiaan pada sistem, dan bukan pada kehebatan orang-perorang. Tiga suara menentang, melawan seluruh floor yang mengamini Goenawan, maka tumbanglah sudah "bendera" TEMPO yang berkibar selama ini. Jadinya dia tinggal hanya sedikit lebih berharga dari kliping-kliping koran. Pelanggan memang tak bergeser. Cuma, dalam satu dasawarsa, sampai dia dibungkam tahun 1994, tirasnya hanya naik sekitar 20.000 eksemplar.
Setelah rapat itu, perubahan besar pun terjadi di dalam dapur. Para wartawan tidak lagi mengejar-ngejar berita, sliweran di jalan-jalan, menggali di sana-sini. Ruangan perpustakaan, tempat koran menumpuk, jadi banjir wartawan. Maka, yang diperlukan tidak lagi ketajaman pena, tetapi berapa panjang dan berapa kasatnya lidah untuk berdebat di dalam rapat untuk menentukan berita hangat yang mana yang harus di-follow-up- i. Episode penting ini juga tak terungkap dalam WARS WITHIN.
Sebagai seorang perantau di negeri orang, Janet Steele terkesan kurang ketat dalam memverifikasi keterangan narasumbernya. Mungkin, memang ada yang sudah lupa pada peristiwa yang terjadi lebih 30 tahun lalu. Seperti Salim Said, yang mengaku ketika majalah tersebut baru berumur sejagung, dialah katanya yang bertanggungjawab dalam program pendidikan dan pelatihan untuk tenaga wartawan baru. Jabatan yang dia pegang itu bukan di TEMPO, tapi barangkali di Angkatan Bersenjata, di mana dia pernah bekerja. Sejawatnya juga kemungkinan bisa ternganga ketika dia mengaku bahwa dialah yang berkeliling dengan mengendarai scooter bersama Syahrir Wahab mencari surat izin terbit untuk TEMPO, dan bukan Fikri Jufri! Mungkin Salim Said tidak lupa. Melainkan Janet yang salah salin dari catatannya. Nama redaktur internasional itu tumpang tindih dengan nama Nadjib Salim, reporter yang kemudian dipindahkan ke bagian pendidikan.
Janet juga kurang awas dengan tabiat sehari-hari narasumbernya. Dia tak tahu bahwa di Deli, misalnya, "membual" bukanlah perbuatan dosa. Dia justeru dicari sebagai hiburan, malah. Karena, tujuannya bukan untuk mencari keuntungan materiil, tetapi untuk mencari efek lucu, yang kalau diceritakan kembali di kedai kopi, siapa-siapa saja yang jadi "korban" penipuan dalam gaya ini, maka orang se-kedai pun akan tertawa, terhibur.
Maka, adalah orang Medan, Amarzan namanya. Nasib yang buruk telah menyebabkannya terbuang ke Buru. Menurut kisah Janet Steele, Amarzan yang baru pulang sebagai "orang rantai" pada tahun 1979, mendatangi Susanto Pudjomartono, dan menawarkan laporan tentang suasana gelombang pembebasan terakhir dari pulau pembuangan itu. Sedapnya pula adalah bahwa Susanto tidak punya kesempatan membantah bualan itu. Karena dia tentu tahu, Amarzan berkenalan dengan TEMPO, karena majalah itu akan menulis satu laporan utama untuk menyambut pembebasan Tapol yang sangat bersejarah tersebut. Di dalam rapat, muncul pertanyaan, bagaimana menceritakan keadaan Buru ketika akan dikosongkan? Seorang peserta rapat perencanaan menjanjikan bahwa bakal ada seorang penulis yang memang berbakat, yang jadi Tapol dan dibuang ke Buru, yang boleh jadi bersedia menuliskan catatan. Maka, Amarzan pun dicarilah. Dan dia bersedia menuliskan satu laporan.
Menurut cerita Janet, "Tak lama kemudian, Amarzan menemukan surat di bawah pintunya. Surat itu berasal dari Susanto yang menyatakan keinginan untuk mengajaknya bergabung dalam proyek `Apa & Siapa' TEMPO." Wah! Menemukan surat di bawah pintu, tak tahu siapa yang membawanya? Amboi makjang…! Ini adalah gaya Medan, bagaimana membuat diri supaya kelihatan "tinggi sebenang." Dan setelah membaca "bual" yang dia letupkan itu, tentulah Amarzan tersipu-sipu, terhibur… Dasar!
Mungkin masih ada saja kesalahan-kesalahan yang kurang berarti dalam satu kisah tentang satu penerbitan pers yang begitu penting dan sudah berusia 30 tahun lebih. Seperti menyebutkan Zulkifly Lubis sebagai salah seorang pendiri TEMPO, mentang-mentang anak Medan yang "luwes" ini sekarang duduk sebagi salah seorang direktur. Bagaimanapun, Janet Steele telah menyelesaikan pekerjaan besar dalam menyusun satu dokumen penting tentang sepenggal sejarah pers dari satu negeri yang jauh, di mana kebebasan pers masih merupakan angan-angan yang musykil. Dan dia telah menulisnya dengan empati dari hati wanitanya yang dalam, sebelum orang lokal, terutama orang TEMPO sendiri, belum sempat berpikir untuk menuliskan riwayatnya sendiri yang begitu kaya. ***
Martin Aleida
Sastrawan, mantan wartawan TEMPO
Monday, 20 August 2007
Sebatas Merayakan, Belum Menikmati
Ragam atraksi di tunjukan masyarakat sesuai dengan kearifan, kapasitas dan kemampuan financial masyarakat tentunya. Ada yang kreatif ada yang konvensional. Tetapi semuanya mendapatkan apresiasi dari masyarakat.
Saya ingat masa-masa ketika menjadi santri di Perguruan Thawalib Padang Panjang. Dua kali peringatan kemerdekaan berturut-turut di beri tanggung jawab untuk memimpin rombongan karnavaln Perguruan Thawalib Padang Panjang.
Pola atraksi yang disajikan tentunya berbeda, tetapi selalu ada kesamaan dalam menyiapkan atraksi; begadang bermalam-malam menyiapkan konsep karnaval dengan dukungan dana yang minim. Bahkan cenderung tekor. Tetapi semuanya dijalankan dengan suka cita.
Atraksi terakhir yang saya susun dengan teman-teman adalah membuat meriam dari bambu, lengkap dengan ledakannya, dan membuat robot-robotan dari kardus. Teman-teman mendaulat saya untuk masuk dalam kardus itu menjalankan peran robotnya. Persis film komed Warkop Dono Kasino Indro tahun 80an tentang mahasiswa yang membuat robot yang isinya manusia.
Capai dan puas kami nikmati bersama setelah pawai hari kemerdekaan selesai. Capai karena memang kegiatan ini mengurus materi dan emosi. Puas karena masyarakat memberikan apresiasi terhadap atraksi kami. Disetiap jalan yang kami lewati, robot dengan meriam selalu mendapat applaus dari masyarakat setempat.
Tetapi sepertinya saya, dan juga masyarakat lain, baru bisa sebatas merayakan hari kemerdekaan saja. Belum bisa beranjak lebih jauh untuk menikmati kemerdekaan itu sendiri.
Setelah perayaan itu kembali kami disulitkan oleh problem-problem keseharian. SPP yang mesti dibayar tepat waktu dan cukup mahal, harga sembako yang tinggi juga kesulitan untuk mendapatkan buku. Indonesia sudah merdeka dan kami merayakannya, tetapi kami tidak mendapat support untuk menjadi pelajar yang menikmati masa-masa belajar. Itikad untuk memperbaiki kualitas hidup seolah tidak mendapat dukungan sama sekali.
Sepertinya peserta karnaval di Jatinangor pun akan menghadapi hal yang tidak berbeda. Besok, setelah berlelah-lelah menyiapkan dan menggelar karnaval, mereka akan kembali dengan kesulitan hidup yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami orang tua dahulu ketika jaman penjajahan. Seolah kemerdekaan belum kita capai.
Kenaikan harga minyak goreng, kelangkaan minyak tanah, layanan transportasi minus keselamatan dan kenyamanan, ketidakamanan dan ketidaknyamanan sebagai warga Negara, pemerintah yang corrupt, politisi yang tidak lelah-lelahnya menipu, birokrasi yang minta dilayani. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di zaman penjajahan dahulu.
Sepertinya kita memang baru bisa merayakan kemerdekaan Indonesia, belumbisa menikmatinya.
Jatinangor, 18 Agustus 2007
Friday, 10 August 2007
Kabinet tanpa strategi komunikasi
Berikut ini ada artikel menarik dari Kompas yang ditulis oleh Garin Nugroho. Saya lupa tanggal dan bulannya pemuatan artikel.
Beberapa minggu terakhir dari bahan isyu publik yang mesti saya analisa masalah konversi minyak ke elpiji menuai keributan. Pelaksanaan dilapangan tidak menarik minta masyarakat, bahkan cenderung menjadi sangat kontraproduktif, untuk memakai elpiji. Padahal secara matematis elpiji akan sangat menguntungkan bagi masyarakat juga kas negara. Problemnya mesti terletak pada rumusan strategi komunikasi yang tidak compatible dengan kondisi masyarakat serta miskinnya kreativitas pada pelaksanaan di lapangan.
Garin menurut saya menambah catatan lain dari strategi komunikasi yang selama ini sering dilewatkan oleh pemerintah, yaitu proses transformasi budaya. Merujuk kepada studi komunikasi yang pernah saya tulis sebelumnya dari Fiske, mestinya pola komunikasi yang linier harus match dengan studi komunikasi berperspektif semiotik, dimana yang terakhir tidak pernah melupakan aspek budaya dalam kehidupan masyarakat.
Bila melihat uraian Garin, juga rumusan komunikasi secara teoritik, saya merasa betapa canggihnya strategi komunikasi yang telah dijalankan oleh rezim Soeharto. Integral,sistematis dan berjangka sangat panjang. Hasilnya bisa kita lihat dan rasakan sekarang. Pola pikir,sikap dan prilaku pemerintah serta masyarakat Indonesia merupakan buah dari sebuah rancangan stragegi komunikasi regim Soeharto. Problem strategi komunikasi Soeharto tentunya terletak pada keberpihakan nilai nya.
Dalam konteks yang lebih makro sepertinya hal inilah yang dilupakan oleh pemerintah kita. Perlunya rekayasa atau strategi budaya dalam rencana pembangunan kita.
Berikut artikel dari Garin tentang kabinet tanpa strategi komunikasi
Kabinet Tanpa Strategi Komunikasi
Oleh: GARIN NUGROHO
Dalam beberapa waktu ini harian Kompas memuat aneka opini tentang dua aspek penting berbangsa, menyangkut program kerja pemerintah, khususnya revitalisasi pertanian dan kinerja pemerintah menghadapi berbagai krisis, seperti BBM hingga busung lapar.
Dua aspek ini mengingatkan kita pada artikel Menunggu SBY di Bis Kota, mengulas tantangan SBY dan kabinetnya, yaitu kemampuan mewujudkan strategi komunikasi sebagai panduan program kerja masing-masing kabinet kepada masyarakat. Strategi komunikasi menjadi medium sosialisasi yang mampu mendeskripsikan kerja kabinet jangka pendek, menengah, dan panjang.
Masalahnya, lebih setahun pemerintahan, SBY masih figur tunggal strategi komunikasi berbangsa. Kabinet SBY belum mampu mengembangkan strategi komunikasi dan ruang komunikasi publik. Tanyakan kepada masyarakat nama menteri, program, dan kegiatan yang sedang dilakukan. Bisa diduga, masyarakat tidak mengenal program—jangka pendek dan terpanjang—bahkan sosok dan nama menteri.
Karena itu, memberi catatan tersendiri terhadap kinerja strategi komunikasi kabinet menjadi amat penting, mengingat di luar program kerja muncul berbagai bencana dan krisis.
Tidak piawai
Simak pandangan masyarakat terhadap kelangkaan BBM. Muncul berita simpang siur, dari isu penguasaan oleh kelompok tertentu hingga harga minyak akan membubung tinggi. Sementara, para menteri yang bertanggung jawab tidak piawai dan tepat waktu mendeskripsikan masalah secara sederhana dan memberi rasa aman. Yang sering terjadi, debat di televisi yang hanya dikonsumsi para ahli ekonomi dengan istilah rumit, dan hanya muncul ketika masalah sudah meluas luas di masyarakat.
Penghematan BBM dengan kampanye pemanfaatan bahan bakar di luar minyak terasa sebagai strategi yang reaksioner, tidak mencerminkan strategi komunikasi jangka panjang.
Padahal, di berbagai negara, strategi komunikasi yang mentransformasi budaya masyarakat untuk menggunakan energi alternatif membutuhkan waktu minimal lima tahun, tidak mungkin selesai hanya dengan bincang–bincang di televisi dan pernyataan bersama. Strategi komunikasi cara mengonsumsi adalah sebuah transformasi budaya. Sebuah kerja transformasi yang komunikasinya harus masuk ke ruang sekolah sejak dini, sebutlah di buku, yang menceritakan masa depan persediaan minyak hingga aspek bahan pengganti.
Persoalan serupa terlihat pada program revitalisasi pertanian, primadona program kerja Presiden. Perlu dicatat, program kerja itu akan sukses jika dikembangkan strategi komunikasi yang memuat strategi transformasi budaya menuju masyarakat pertanian modern. Proses transformasi ini amat dibutuhkan, mengingat ruang keluarga maupun publik masyarakat Indonesia saat ini—khususnya di ruang-ruang komunikasi seperti cetak dan televisi—kehilangan medium komunikasi terhadap budaya pertanian. Simak ikon-ikon pertanian nyaris tak tampak di sinetron, berita, dan lainnya.
Karena itu, bagaimana mungkin masyarakat mampu mentransformasi diri dalam budaya pertanian modern jika apresiasi terhadap perspektif tani telah surut di ruang keluarga, komunikasi publik, maupun sekolah?
Kelemahan strategi komunikasi kabinet SBY juga tampak dari cara sebagian menteri melihat persoalan. Simak tanggapan Menteri Kesehatan bahwa surat kabar terlalu membesar-besarkan masalah busung lapar. Ucapan itu mencerminkan rendahnya peka krisis terhadap strategi komunikasi. Padahal, sekecil apa pun busung lapar adalah sebuah kemunduran besar suatu bangsa.
Peka krisis
Catatan-catatan itu mencerminkan Kabinet SBY belum semua mampu mengembangkan strategi komunikasi berbangsa yang genial, termasuk mengelola terwujudnya medium komunikasi publik, seperti televisi publik yang berkualitas. Suatu medium komunikasi yang berpihak pada komunikasi untuk bertumbuhnya kualitas masyarakat sipil.
Medium publik semacam ini wajib mewujudkan peliputan terhadap program pemerintahan secara kritis sehingga masyarakat mendapat ruang sosialisasi, konsultasi, dan partisipasi kritis terhadap program setiap kabinet.
Uraian itu juga mencerminkan kecenderungan Kabinet SBY tidak memiliki peka krisis yang cukup tinggi terhadap nilai penting strategi komunikasi, lebih mementingkan kerja langsung, yang dalam realitasnya amat terbatas diapresiasi masyarakat. Akhirnya, para menteri berbicara di publik hanya ketika krisis terjadi.
Jangan heran, dengan kultur kerja semacam itu, menteri yang bekerja bagus belum tentu dikenal masyarakat, sosok maupun programnya. Sementara, menteri yang banyak menuai masalah justru populer lewat televisi. Ini mencerminkan para menteri tidak cukup piawai membuat berita menarik untuk ditayangkan di televisi.
Di sisi lain, hal ini mencerminkan strategi komunikasi pemerintahan tertelan pasar komunikasi yang serba
Harus dicatat, para ahli komunikasi politik di abad kuantum informasi-komunikasi berseloroh, ”amatlah beruntung nasib pemerintahan yang sedikit kerja namun hasil kerjanya dikomunikasikan dengan baik. Dan amatlah celaka pemerintahan yang banyak kerja namun hasilnya tidak dikomunikasikan dengan baik sehingga masyarakat tidak pernah merasakannya”.
Garin Nugroho Direktur Yayasan SET (Sain Estetika Teknologi)
Thursday, 9 August 2007
Adang – Dani “Menang”
Tulisan sebelum ini saya menyatakan bahwasannya Adang – Dani akan memenangi pertarungan di Pilkada DKI melawan Fauzi Bowo – Prijanto. Faktanya sampai sekarang, baik itu berdasar Quick Count maupun hasil perhitungan sementara KPUD DKI, dipastikan Foke memenangi Pilkada DKI kali ini. Kisarannya perolehannya berputar-putar sekitar 45 – 55 %. Bukan karena keras kepala, gengsi atau apology bila saya tetap mengatakan bahwasannya pasangan Adang dan Dani telah memenangi pertarungan.
Tuesday, 7 August 2007
Kumis Versus Orange di Pilkada DKI
Komunikasi antar Budaya 1
Semoga bermanfaat bagi teman-teman yang concern pada studi komunikasi
KOMUNIKASI ANTARA BUDAYA KOREA DAN INDONESIA:
Kajian tentang Perilaku Masyarakat Korea dan Jawa
Kim Geung Seob
Pusat Studi Korea UGM
I. Pendahuluan
Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman.
Pentingnya komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial keseharian kita itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam komponen nonverbal (Ray L. Birdwhistell, 1969). Namun demikian, studi sistematis tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup bentuk-bentuk komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing sering mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal.
Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan pengalaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri dengan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal.
Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khususnya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang cenderung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennet, Milton J., 1998).
Tujuan kajian tentang komunikasi antarbudaya antara Indonesia dan Korea ini adalah untuk mengemukakan hal-hal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dan Korea. Makalah ini tidak hanya menekankan bagaimana orang Indonesia dan Korea berbeda dalam berbicara, tetapi bagaimana mereka bertindak antarorang dan bagaimana mereka mengikuti aturan-aturan terselubung yang mengatur perilaku anggota masyarakat.
2. Dimensi Ragam Budaya
Komunikasi Antar Budaya 2
2.1 Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan
Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara simultan mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban misalnya senyuman, sentuhan, kontak mata, jarak yang dekat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan atau spontanitas antarpersonal yang besar dinamakan “budaya kontak” karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan.
Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di negara-negara hangat dan budaya kontak rendah terdapat di negara-negara beriklim sejuk. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa yang termasuk mempunyai budaya kontak adalah negara-negara Arab, Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan Indonesia. Negara-negara dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea (Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani, 1998). Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi hubungan antarpersonalnya ‘dingin’, sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan ‘hangat’. Bahkan, orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik lebih banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin.
2.2 Individualisme dan Kolektivisme
Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semuanya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat individualismenya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Timur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47. Tingkat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau kolektivistik mempunyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif kurang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan kurang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede, Geert, 1980).
Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-norma sebagai nilai utama dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong untuk mengungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif.
2.3 Feminin dan Maskulin
Maskulinitas adalah dimensi budaya yang sering terlupakan. Ciri-ciri khas maskulin biasanya disangkutpautkan dengan kekuatan, ketegasan, persaingan, dan ambisi, sedangkan ciri-ciri khas feminin dihubungkan dengan kasih sayang, pengasuhan, dan emosi. Penelitian antarbudaya menunjukkan bahwa anak perempuan diharapkan lebih dapat mengasuh daripada anak laki-laki walaupun ada variasi yang cukup banyak dari negara yang satu dengan yang lain (Hall, Edward T., 1976).
Budaya maskulin menganggap penting kompetisi dan ketegasan, sedangkan budaya feminin lebih mementingkan pengasuhan dan perasaan. Tidak heran, maskulinitas suatu budaya dihubungkan secara negatif dengan persentase wanita dalam pekerjaan teknis dan profesional serta dihubungkan secara positif dengan pemisahan kedua jenis kelamin dalam pendidikan tinggi. Negara dengan maskulinitas tertinggi adalah Jepang, Austria, Venezuela, Itali, dan Swiss. Kecuali Jepang, negara-negara ini semuanya terletak di Eropa Tengah dan Karibia. Negara dengan nilai maskulinitas terendah adalah Swedia, Norwegia, Belanda, Denmark, dan Finlandia yang semuanya negara Skandinavia atau Amerika Selatan kecuali Thailand. Indonesia ditempatkan di urutan ke-30 dan Korea di urutan ke-41.
Dimensi fundamental keempat dalam komunikasi antarbudaya adalah kesenjangan kekuasaan. Kesenjangan kekuasaan telah diukur dalam banyak budaya menggunakan Indeks Kesenjangan Kekuasaan (IKK). Budaya dengan nilai IKK tinggi mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang lebih terpusat dalam tangan sedikit orang daripada terbagi dengan cukup merata di seluruh penduduk. IKK sangat berkaitan dengan otoritarianisme. Negara dengan IKK tertinggi adalah Filipina, Meksiko, Venezuela, India, dan Singapura. Negara-negara tersebut semuanya negara-negara Asia Selatan atau Karibia, kecuali Perancis. Negara dengan IKK terendah (mulai dari yang paling rendah) adalah Austria, Israel, Denmark, Selandia Baru, dan Irlandia. Dalam hal ini, Indonesia terletak di tingkat ke-8 yang sangat tinggi dan Korea berurutan ke-27. Sistem sosial dengan perbedaan kekuasaan juga menghasilkan perilaku kinesik yang berbeda. Dalam keadaan beda kekuasaan, bawahan sering tersenyum dalam usaha untuk tampak sopan dan menenangkan atasan. Hofstede (1980) menyatakan bahwa garis lintang dan iklim merupakan kekuatan utama dalam membentuk budaya. Dia menekankan bahwa kunci yang mempengaruhi variabel yaitu bahwa teknologi diperlukan bagi pertahanan hidup di iklim yang lebih dingin. Kebutuhan ini menimbulkan rangkaian kejadian di mana anak-anak tidak terlalu tergantung pada penguasa dan lebih banyak belajar dari orang lain daripada tokoh-tokoh penguasa.
Kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi kesenjangan kekuatan besar selalu menekankan nilai ketidakseimbangan atas status-status individu (Alo Liliweri, 2001). Senyum yang terus menerus yang dilakukan orang-orang Timur mungkin merupakan usaha untuk menenangkan atasan atau menghasilkan hubungan sosial yang lebih mulus mungkin berhasil dinaikkan jabatannya dalam budaya ber-IKK tinggi.
2.5 Konteks Tinggi dan Rendah
Dimensi penting terakhir dari komunikasi antarbudaya adalah konteks. Hall (1976:91) menggambarkan budaya konteks tinggi dan rendah yang cukup mendetil. Komunikasi atau pesan konteks tinggi (KT) adalah suatu komunikasi di mana sebagian besar informasinya dalam konteks fisik atau ditanamkan dalam seseorang, sedangkan sangat sedikit informasi dalam bagian-bagian pesan yang “diatur, eksplisit, dan disampaikan”. Teman yang sudah lama saling kenal sering menggunakan KT atau pesan-pesan implisit yang hampir tidak mungkin untuk dimengerti oleh orang luar. Situasi, senyuman, atau lirikan memberikan arti implisit yang tidak perlu diucapkan. Dalam situasi atau budaya KT, informasi merupakan gabungan dari lingkungan, konteks, situasi, dan dari petunjuk nonverbal yang memberikan arti pada pesan itu yang tidak bisa didapatkan dalam ucapan verbal eksplisit. Pesan konteks rendah (KR) hanyalah merupakan kebalikan dari pesan KT, sebagian besar informasi disampaikan dalam bentuk kode eksplisit. Pesan-pesan KR harus diatur, dikomunikasikan dengan jelas, dan sangat spesifik. Tidak seperti hubungan pribadi, yang relatif termasuk sistem pesan KT, institusi seperti pengadilan dan sistem formal seperti matematika atau bahasa komputer menuntut sistem KR yang eksplisit karena tidak ada yang bisa diterima begitu saja.
Budaya konteks yang ditemukan di Timur, Cina, Jepang, dan Korea merupakan budaya-budaya berkonteks sangat tinggi. Bahasa merupakan sebagian dari sistem komunikasi yang paling eksplisit, namun bahasa Cina merupakan sistem konteks tinggi yang implisit. Orang-orang dari Amerika sering mengeluh bahwa orang Jepang tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan, mereka gagal dalam memahami bahwa budaya KT harus memberikan konteks dan latar dan membiarkan pokok masalah itu berkembang (Hall, Edward T., 1984).