Apa itu komunikasi?Jawabannya tergantung kepada siapa pertanyaan ini akan kita ajukan. Bila ditanyakan kepada orang yang minat terhadap dunia politik begitu tinggi, maka jawabannya tidak akan jauh berbeda dari apa yang telah diungkapkan oleh Schramm atau Laswel. Atau kita tanyakan pada para engineer, maka sedikit banyaknya jawaban yang keluar akan mirip dengan apa yang telah diungkapkan oleh Shanon and Weaver’s dengan mathematical theory nya.
Itulah komunikasi. Banyak orang dan banyak pemahaman yang dikeluarkan. Bukan hanya karena komunikasi sebagai sebuah disiplin ilmu sosial saja, tetapi katanya berkaitan juga dengan kebiasaan para ilmuwan untuk sepakat untuk tidak bersepakat J
Bila membicarakan apa itu komunikasi, saya selalu tertarik untuk mengutip John Fiske. Professor komunikasi dari Departement of Communication Arts dari Wisconsin University – Madison sana. Bukunya Introduction to Communication Studies pertama di publikasikan tahun 1982. Tetapi seperti biasa, mahasiswa komunikasi tahun 2000an seperti saya pastinya cuman dapat photocopy aja. Bukan masalah akses semata, tetapi juga kemampuan financial untuk membeli yang asli J
Fiske mengurai studi komunikasi dalam dua school yang masing-masing menurut dia memiliki pola interpretasi tersendiri dalam mengurai komunikasi sebagai sebuah aktivitas sosial.
First school menurut Fiske melihat komunikasi sebagai transmission of message, proses pengiriman pesan. Fokusnya melihat pada usaha setiap komunikan dan komunikator dalam pengiriman dan penerimaan pesan, media yang digunakan serta efek yang terjadi. Fiske menyebut madzhab ini sebagai process school
Diantara ciri perbincangan yang sering terjadi pada school ini adalah tema efiesensi dan akurasi dari setiap tindak komunikasi. Apabila sebuah pesan, atau seorang komunikator, tidak mampu merubah mind set atau perilaku dari lawan bicaranya, maka praktek komunikasi yang dilakukannya dianggap telah gagal. Istilah Fiske adalah adanya “communication failure”.
Contoh studi komunikasi lingkup process school adalah apa yang diungkapkan oleh Shannon and Weaver’s dalam mathematical theory (1949). Teori ini berkembang selama perang dunia kedua terinspirasi tekhnik pengiriman pesan yang ditemukan oleh Alexander Graham bell. Ketika itu mereka memang sedang bekerja di Bell telephone laboratories di Amerika.
Model Shanon and Weaver’s terdiri dari lima elemen dasar komunikasi. Information sources, transmitter, noise, receiver dan destination. Information sources sebagai pengirim pertama pesan dalam kegiatan berkomunikasi. Transmitter sebagai media pengiriman pesan. Noise adalah hal yang mengurangi terhalangnya pesan dari pusat pesan kepada tujuan pesan. Receiver sebagai penerima pesan. Destination adalah tujuan akhir dari pengiriman pesan.
Model lain bisa ditemukan pada apa yang telah diurai oleh Garbner’s model (1956) dari Annenberg School of Communication di Pennsylvania University. Model yang lebih kompleks dari Shannon dan Weaver’s tetapi sama-sama berparadigma linear dalam melihat kegiatan komunikasi.
Selanjutnya adalah Laswell’s model (1948) dengan ungkapan terkenalnya “Who Says what In which channel To whom With what effect?” Newcomb’s model (1953), Westley and Maclean’s model (1957) dan Jakobson’s model (1960)
Sedangkan second school melihat komunikasi sebagai production and exchange of meaning. Madzhab komunikasi ini mengkaji interaksi antara teks dan manusia dalam membentuk makna dan aturan-aturan dalam sebuah system kebudayaan dalam membentuk makna sebuah teks. Menurut Fiske “For this school, the study of communication is the study of text and culture.
Methodologi yang dipakai oleh second school adalah semiotika, ilmu tentang tanda dan makna. Bila pada process school banyak bersandar kepada disiplin ilmu psychology dan sociology sehingga cenderung mendefinisikan dirnya sebagai act of communication. Semiotics school banyak bersandar kepada linguistic dan arts of subjects dan cenderung mendefinisikan dirinya sebagai work of communication.
Kerangka komunikasi semiotics school bisa ditemukan pada studi yang telah dihasilkan oleh C.S Peirce (1931) dengan tiga element mening berupa sign, interpretant dan object. model Ogden dan Richards (1923) yang memiliki model hamper mirip berupa triangle ; referent, reference (thought) dan symbol.
Mekanistis dan social transaction
Bila dilihat lebih jauh, first school menghadirkan pola komunikasi yang mekanistik,linier khas pemikiran positivistik. Komunikasi dalam perspektif procces school adalah aktivitas yang bisa diatur, dimanipulasi sedemikian rupa sehingga berdaya hasil yang maksimal.
Praktek komunikasi seperti ini bisa dilihat pada manajerial keorganisasian di masyarakat yang membutuhkan kalkulasi matang pada setiap penggunaannya. Institusi bisnis, pemerintahan dan organisasi-organisasi kemasyarakat sangat membutuhkan pada pola pemahaman komunikasi seperti ini. Semuanya dipakai untuk menunjang kelancaran sebuah perjalanan program atau kebijakan yang menempatkan komunikasi sebagai pioneer kesuksesannya.
Sementara itu pada madzhab semiotics tidak banyak mendapat perhatian dari aktivitas organisasi kemasyarakatan. Pola komunikasi yang ada cenderung subjektif, abstrak dan dalam beberapa hal dianggap hanya menghasilkan theori dan pemahaman saja. Tidak berdaya guna bagi kehidupan praktis di masyarakat.
Padahal sebetulnya dalam pola pemahaman yang terakhir inilah yang akan mensupport sebuah kesuksesan aktivitas komunikasi. Banyak hal yang dilupakan, terutama konteks masyarakat, oleh banyak orang ketika mengaplikasikan komunikasi sebagai sebuah strategi mencapai kesuksesan.
Contoh yang cukup konkret bisa dilihat pada kekalahan megawati di pemilihan presiden Indonesia tahun 2004 kemarin. Seluruh strategi komunikasi dipakai dengan support biaya yang seolah tanpa batas. Tetapi tim sukses megawati lupa membaca kondisi masyarakat Indonesia yang sesungguhnya seperti apa sehingga bisa kalah oleh pasangan SBY – JK. Bacaan terhadap kondisi masyarakat inilah yang mesti merujuk kepada semiotics school, yang intens dan sangat mahir dalam membaca setiap fenomena budaya di masyarakat.
Sinergitas antara dua madzhab ini menjadi sangat penting sekali untuk bisa merekonstruksi strategi komunikasi dalam mencapai sebuah tujuan. Dalam konteks Indonesia perkembangan komunikasi pada dasarnya sudah memperlihatkan perkembangan yang sangat menarik. Kesinisan pada satu school akan menjadi mula kegagalan sebuah aktivitas komunikasi.
Kiblat kajian komunikasi di Indonesia memang masih merujuk kepada Amerika. Hal ini selain karena kajian komunikasi di Amerika yang cukup intensif, juga memang banyak scholar komunikasi dari Indonesia merupakan lulusan Amerika.
Tetapi perkembangan berikutnya, berkat dinamisnya dunia informasi dan komunikasi, pemerhati komunikasi di Indonesia banyak menemukan pola pemahaman baru dalam memahami aktivitas komunikasi. Komunikasi tidak lagi dipandang sebagai sebuah aktivitas yang mekanistik seperti yang diajarkan Amerika dengan positivistik.
Pada saat sekarang ini di kampus-kampus yang mempunyai program komunikasi sudah menguat paradigma kritis dalam memahami komunikasi. Paradigma kritis menghadirkan pemahaman lain tentang komunikasi. Komunikasi tidak lagi dianggap sebagai sebuah aktivitas mekanistis, tetapi juga merupakan sebuah transactional procces antar manusia. Subjektivitas menjadi sebuah hal yang mungkin setelah sekian lama dipandang tidak ilmiah.
Sebagai contoh bisa dilihat pada analisa-analisa terhadap media. Kajian media tidak hanya fokus memperhatikan intentional sebuah teks yang diukur secara kuantitatif. Tetapi juga dilihat lebih komprehensif melalui interaksi dengan teks dan pembuat teks itu sendiri. Bahkan Kang Jalal, pakar komunikasi lulusan Iowa, setelah populer dengan buku metodologi penelitian komunikasi yang sangat positivistik, dalam sebuah jurnal komunikasi di tahun 2000an menulis urgensinya penelitian post positivistik
Semoga akan menjadi perkembangan yang dinamis dan menyumbangkan banyak hal bagi kehidupan kita semua.
No comments:
Post a Comment