Barusan dalam perjalanan dari kampus Unpad Jatinangor ke tempat teman saya di pasar cikuda terhambat macet, sehingga saya mesti berjalan kaki sejauh 1 km lebih. Hambatannya, pawai peringatan hari kemerdekaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Jatinangor Sumedang.
Ragam atraksi di tunjukan masyarakat sesuai dengan kearifan, kapasitas dan kemampuan financial masyarakat tentunya. Ada yang kreatif ada yang konvensional. Tetapi semuanya mendapatkan apresiasi dari masyarakat.
Saya ingat masa-masa ketika menjadi santri di Perguruan Thawalib Padang Panjang. Dua kali peringatan kemerdekaan berturut-turut di beri tanggung jawab untuk memimpin rombongan karnavaln Perguruan Thawalib Padang Panjang.
Pola atraksi yang disajikan tentunya berbeda, tetapi selalu ada kesamaan dalam menyiapkan atraksi; begadang bermalam-malam menyiapkan konsep karnaval dengan dukungan dana yang minim. Bahkan cenderung tekor. Tetapi semuanya dijalankan dengan suka cita.
Atraksi terakhir yang saya susun dengan teman-teman adalah membuat meriam dari bambu, lengkap dengan ledakannya, dan membuat robot-robotan dari kardus. Teman-teman mendaulat saya untuk masuk dalam kardus itu menjalankan peran robotnya. Persis film komed Warkop Dono Kasino Indro tahun 80an tentang mahasiswa yang membuat robot yang isinya manusia.
Capai dan puas kami nikmati bersama setelah pawai hari kemerdekaan selesai. Capai karena memang kegiatan ini mengurus materi dan emosi. Puas karena masyarakat memberikan apresiasi terhadap atraksi kami. Disetiap jalan yang kami lewati, robot dengan meriam selalu mendapat applaus dari masyarakat setempat.
Tetapi sepertinya saya, dan juga masyarakat lain, baru bisa sebatas merayakan hari kemerdekaan saja. Belum bisa beranjak lebih jauh untuk menikmati kemerdekaan itu sendiri.
Setelah perayaan itu kembali kami disulitkan oleh problem-problem keseharian. SPP yang mesti dibayar tepat waktu dan cukup mahal, harga sembako yang tinggi juga kesulitan untuk mendapatkan buku. Indonesia sudah merdeka dan kami merayakannya, tetapi kami tidak mendapat support untuk menjadi pelajar yang menikmati masa-masa belajar. Itikad untuk memperbaiki kualitas hidup seolah tidak mendapat dukungan sama sekali.
Sepertinya peserta karnaval di Jatinangor pun akan menghadapi hal yang tidak berbeda. Besok, setelah berlelah-lelah menyiapkan dan menggelar karnaval, mereka akan kembali dengan kesulitan hidup yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami orang tua dahulu ketika jaman penjajahan. Seolah kemerdekaan belum kita capai.
Kenaikan harga minyak goreng, kelangkaan minyak tanah, layanan transportasi minus keselamatan dan kenyamanan, ketidakamanan dan ketidaknyamanan sebagai warga Negara, pemerintah yang corrupt, politisi yang tidak lelah-lelahnya menipu, birokrasi yang minta dilayani. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di zaman penjajahan dahulu.
Sepertinya kita memang baru bisa merayakan kemerdekaan Indonesia, belumbisa menikmatinya.
Jatinangor, 18 Agustus 2007
Ragam atraksi di tunjukan masyarakat sesuai dengan kearifan, kapasitas dan kemampuan financial masyarakat tentunya. Ada yang kreatif ada yang konvensional. Tetapi semuanya mendapatkan apresiasi dari masyarakat.
Saya ingat masa-masa ketika menjadi santri di Perguruan Thawalib Padang Panjang. Dua kali peringatan kemerdekaan berturut-turut di beri tanggung jawab untuk memimpin rombongan karnavaln Perguruan Thawalib Padang Panjang.
Pola atraksi yang disajikan tentunya berbeda, tetapi selalu ada kesamaan dalam menyiapkan atraksi; begadang bermalam-malam menyiapkan konsep karnaval dengan dukungan dana yang minim. Bahkan cenderung tekor. Tetapi semuanya dijalankan dengan suka cita.
Atraksi terakhir yang saya susun dengan teman-teman adalah membuat meriam dari bambu, lengkap dengan ledakannya, dan membuat robot-robotan dari kardus. Teman-teman mendaulat saya untuk masuk dalam kardus itu menjalankan peran robotnya. Persis film komed Warkop Dono Kasino Indro tahun 80an tentang mahasiswa yang membuat robot yang isinya manusia.
Capai dan puas kami nikmati bersama setelah pawai hari kemerdekaan selesai. Capai karena memang kegiatan ini mengurus materi dan emosi. Puas karena masyarakat memberikan apresiasi terhadap atraksi kami. Disetiap jalan yang kami lewati, robot dengan meriam selalu mendapat applaus dari masyarakat setempat.
Tetapi sepertinya saya, dan juga masyarakat lain, baru bisa sebatas merayakan hari kemerdekaan saja. Belum bisa beranjak lebih jauh untuk menikmati kemerdekaan itu sendiri.
Setelah perayaan itu kembali kami disulitkan oleh problem-problem keseharian. SPP yang mesti dibayar tepat waktu dan cukup mahal, harga sembako yang tinggi juga kesulitan untuk mendapatkan buku. Indonesia sudah merdeka dan kami merayakannya, tetapi kami tidak mendapat support untuk menjadi pelajar yang menikmati masa-masa belajar. Itikad untuk memperbaiki kualitas hidup seolah tidak mendapat dukungan sama sekali.
Sepertinya peserta karnaval di Jatinangor pun akan menghadapi hal yang tidak berbeda. Besok, setelah berlelah-lelah menyiapkan dan menggelar karnaval, mereka akan kembali dengan kesulitan hidup yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami orang tua dahulu ketika jaman penjajahan. Seolah kemerdekaan belum kita capai.
Kenaikan harga minyak goreng, kelangkaan minyak tanah, layanan transportasi minus keselamatan dan kenyamanan, ketidakamanan dan ketidaknyamanan sebagai warga Negara, pemerintah yang corrupt, politisi yang tidak lelah-lelahnya menipu, birokrasi yang minta dilayani. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di zaman penjajahan dahulu.
Sepertinya kita memang baru bisa merayakan kemerdekaan Indonesia, belumbisa menikmatinya.
Jatinangor, 18 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment