Friday, 10 August 2007

Kabinet tanpa strategi komunikasi

Berikut ini ada artikel menarik dari Kompas yang ditulis oleh Garin Nugroho. Saya lupa tanggal dan bulannya pemuatan artikel.

Beberapa minggu terakhir dari bahan isyu publik yang mesti saya analisa masalah konversi minyak ke elpiji menuai keributan. Pelaksanaan dilapangan tidak menarik minta masyarakat, bahkan cenderung menjadi sangat kontraproduktif, untuk memakai elpiji. Padahal secara matematis elpiji akan sangat menguntungkan bagi masyarakat juga kas negara. Problemnya mesti terletak pada rumusan strategi komunikasi yang tidak compatible dengan kondisi masyarakat serta miskinnya kreativitas pada pelaksanaan di lapangan.

Garin menurut saya menambah catatan lain dari strategi komunikasi yang selama ini sering dilewatkan oleh pemerintah, yaitu proses transformasi budaya. Merujuk kepada studi komunikasi yang pernah saya tulis sebelumnya dari Fiske, mestinya pola komunikasi yang linier harus match dengan studi komunikasi berperspektif semiotik, dimana yang terakhir tidak pernah melupakan aspek budaya dalam kehidupan masyarakat.

Bila melihat uraian Garin, juga rumusan komunikasi secara teoritik, saya merasa betapa canggihnya strategi komunikasi yang telah dijalankan oleh rezim Soeharto. Integral,sistematis dan berjangka sangat panjang. Hasilnya bisa kita lihat dan rasakan sekarang. Pola pikir,sikap dan prilaku pemerintah serta masyarakat Indonesia merupakan buah dari sebuah rancangan stragegi komunikasi regim Soeharto. Problem strategi komunikasi Soeharto tentunya terletak pada keberpihakan nilai nya.

Dalam konteks yang lebih makro sepertinya hal inilah yang dilupakan oleh pemerintah kita. Perlunya rekayasa atau strategi budaya dalam rencana pembangunan kita.

Berikut artikel dari Garin tentang kabinet tanpa strategi komunikasi

Kabinet Tanpa Strategi Komunikasi

Oleh: GARIN NUGROHO

Dalam beberapa waktu ini harian Kompas memuat aneka opini tentang dua aspek penting berbangsa, menyangkut program kerja pemerintah, khususnya revitalisasi pertanian dan kinerja pemerintah menghadapi berbagai krisis, seperti BBM hingga busung lapar.

Dua aspek ini mengingatkan kita pada artikel Menunggu SBY di Bis Kota, mengulas tantangan SBY dan kabinetnya, yaitu kemampuan mewujudkan strategi komunikasi sebagai panduan program kerja masing-masing kabinet kepada masyarakat. Strategi komunikasi menjadi medium sosialisasi yang mampu mendeskripsikan kerja kabinet jangka pendek, menengah, dan panjang.

Masalahnya, lebih setahun pemerintahan, SBY masih figur tunggal strategi komunikasi berbangsa. Kabinet SBY belum mampu mengembangkan strategi komunikasi dan ruang komunikasi publik. Tanyakan kepada masyarakat nama menteri, program, dan kegiatan yang sedang dilakukan. Bisa diduga, masyarakat tidak mengenal program—jangka pendek dan terpanjang—bahkan sosok dan nama menteri.

Karena itu, memberi catatan tersendiri terhadap kinerja strategi komunikasi kabinet menjadi amat penting, mengingat di luar program kerja muncul berbagai bencana dan krisis.

Tidak piawai

Simak pandangan masyarakat terhadap kelangkaan BBM. Muncul berita simpang siur, dari isu penguasaan oleh kelompok tertentu hingga harga minyak akan membubung tinggi. Sementara, para menteri yang bertanggung jawab tidak piawai dan tepat waktu mendeskripsikan masalah secara sederhana dan memberi rasa aman. Yang sering terjadi, debat di televisi yang hanya dikonsumsi para ahli ekonomi dengan istilah rumit, dan hanya muncul ketika masalah sudah meluas luas di masyarakat.

Penghematan BBM dengan kampanye pemanfaatan bahan bakar di luar minyak terasa sebagai strategi yang reaksioner, tidak mencerminkan strategi komunikasi jangka panjang.

Padahal, di berbagai negara, strategi komunikasi yang mentransformasi budaya masyarakat untuk menggunakan energi alternatif membutuhkan waktu minimal lima tahun, tidak mungkin selesai hanya dengan bincang–bincang di televisi dan pernyataan bersama. Strategi komunikasi cara mengonsumsi adalah sebuah transformasi budaya. Sebuah kerja transformasi yang komunikasinya harus masuk ke ruang sekolah sejak dini, sebutlah di buku, yang menceritakan masa depan persediaan minyak hingga aspek bahan pengganti.

Persoalan serupa terlihat pada program revitalisasi pertanian, primadona program kerja Presiden. Perlu dicatat, program kerja itu akan sukses jika dikembangkan strategi komunikasi yang memuat strategi transformasi budaya menuju masyarakat pertanian modern. Proses transformasi ini amat dibutuhkan, mengingat ruang keluarga maupun publik masyarakat Indonesia saat ini—khususnya di ruang-ruang komunikasi seperti cetak dan televisi—kehilangan medium komunikasi terhadap budaya pertanian. Simak ikon-ikon pertanian nyaris tak tampak di sinetron, berita, dan lainnya.

Karena itu, bagaimana mungkin masyarakat mampu mentransformasi diri dalam budaya pertanian modern jika apresiasi terhadap perspektif tani telah surut di ruang keluarga, komunikasi publik, maupun sekolah?

Kelemahan strategi komunikasi kabinet SBY juga tampak dari cara sebagian menteri melihat persoalan. Simak tanggapan Menteri Kesehatan bahwa surat kabar terlalu membesar-besarkan masalah busung lapar. Ucapan itu mencerminkan rendahnya peka krisis terhadap strategi komunikasi. Padahal, sekecil apa pun busung lapar adalah sebuah kemunduran besar suatu bangsa.

Peka krisis

Catatan-catatan itu mencerminkan Kabinet SBY belum semua mampu mengembangkan strategi komunikasi berbangsa yang genial, termasuk mengelola terwujudnya medium komunikasi publik, seperti televisi publik yang berkualitas. Suatu medium komunikasi yang berpihak pada komunikasi untuk bertumbuhnya kualitas masyarakat sipil.

Medium publik semacam ini wajib mewujudkan peliputan terhadap program pemerintahan secara kritis sehingga masyarakat mendapat ruang sosialisasi, konsultasi, dan partisipasi kritis terhadap program setiap kabinet.

Uraian itu juga mencerminkan kecenderungan Kabinet SBY tidak memiliki peka krisis yang cukup tinggi terhadap nilai penting strategi komunikasi, lebih mementingkan kerja langsung, yang dalam realitasnya amat terbatas diapresiasi masyarakat. Akhirnya, para menteri berbicara di publik hanya ketika krisis terjadi.

Jangan heran, dengan kultur kerja semacam itu, menteri yang bekerja bagus belum tentu dikenal masyarakat, sosok maupun programnya. Sementara, menteri yang banyak menuai masalah justru populer lewat televisi. Ini mencerminkan para menteri tidak cukup piawai membuat berita menarik untuk ditayangkan di televisi.

Di sisi lain, hal ini mencerminkan strategi komunikasi pemerintahan tertelan pasar komunikasi yang serba massa, dangkal, penuh kekerasan hasil perilaku konsumerisme tanpa etika dan tidak tegasnya pemerintah menegakkan kode etik komunikasi.

Harus dicatat, para ahli komunikasi politik di abad kuantum informasi-komunikasi berseloroh, ”amatlah beruntung nasib pemerintahan yang sedikit kerja namun hasil kerjanya dikomunikasikan dengan baik. Dan amatlah celaka pemerintahan yang banyak kerja namun hasilnya tidak dikomunikasikan dengan baik sehingga masyarakat tidak pernah merasakannya”.

Garin Nugroho Direktur Yayasan SET (Sain Estetika Teknologi)

No comments:

Post a Comment