Tuesday, 28 August 2007

Komunikasi Yang Mencerdaskan

Diantara rumusan menarik yang saya temukan semasa kuliah di Fikom Unpad dulu adalah; kecerdasan orang bisa dilihat dari pertanyaan yang diajukannya. Pada masa itu bagi saya rumusan ini begitu cukup menghentak. Maklum saja, ketika itu saya sering terpukau oleh tulisan-tulisan atau pembicaraan public figure yang runtut, argumentasi nya jelas, kesimpulan yang genial serta up to date.

Lahirnya sebuah rumusan pertanyaan berasal dari pengetahuan teoritik yang mapan, dibenturkan dengan pengalaman lapangan yang intens. Bila kedua hal ini ditambah dengan kondisi jiwa yang bergairan dah senantiasa dan mendambakan proses liberasi dan humanisasi, maka pertanyaan itu akan menjadi penggugah. Tidak hanya bagi objek pertanyaan, tetapi juga masyarakat yang mendengar pertanyaan itu.

Triangle antara nalar intelektual,nalar sosial dan jiwa transformatif inilah yang akan menjadi basis munculnya sebuah pertanyaan yang cerdas dan mencerdaskan. Pertanyaan yang tidak hanya bisa mengidentifikasi kapabilitas sosial dan intelektual, tetapi juga menjelaskan kapabilitas personal.

Dalam konteks dunia komunikasi, profesi yang senantiasa bergulat dengan pertanyaan tentunya adalah wartawan. Kewajiban wartawan yang pertama dan utama adalah senantiasa melakukan pertanyaan baik secara interpersonal maupun intrapersonal. Berdasarkan kepada rumusan-rumusan pertanyaan yang dia miliki itulah akan terlahir karya-karya tulis yang menggugah banyak orang, memberi inspirasi untuk senantiasa melakukan proses transformasi diri dan lingkungan.

Pertanyaan wartawan Infotainment

Beberapa malam yang lalu di Taman Ismail Marzuki Jakarta saya mendapat kesempatan yang menggembirakan; menyaksikan pentas teater. Judulnya Nyai Ontosoroh. Adaptasi dari novel Pramoedya; Bumi Manusia yang bercerita perjuangan seorang nyai di zaman Belanda dalam membela hak-haknya. Sebelum memasuki ruang pertunjukan theatre saya sempat melihat beberapa wartawan berkeliaran. Identitas wartawan itu bisa dilihat dari logo mic yang mereka pegang atau baju yang dipakai.

Gesture ternyata hal yang tidak bisa manipulasi. Keluar begitu saja tanpa bisa di kontrol. Manipulasi bisa terjadi bila memang kejadiaannya bisa diprediksi sebelumnya. Bila kejadian itu datang tiba-tiba tanpa koordinasi dan pemberitahuan sebelumnya, sangat sulit untuk memanipulasi gesture.

Beberapa menit setelah melihat ada wartawan infotainment, saya baru tersadar bila saya telah mengeluarkan gesture dan kesimpulan yang cenderung negatif tentang wartawan infotainment. Untung saja gesture dan kesimpulan saya tidak diketahui oleh wartawan tersebut.

Kekecewaan muncul ketika melihat kehadiran wartawan infotainment. Posisi sebagai pekerja media pada dasarnya sangat memungkinkan untuk ikut terlibat mencerdaskan kehidupan masyarakat juga diri sendiri. Modal yang dimiliki tentunya adalah status sebagai wartawan yang memungkinkan melakukan mobilitas penting yang tidak bisa dilakukan oleh profesi lainnya. Tetapi sepertinya itu tidak terjadi.

Ketika melihat wartawan infotainment menjelang pertunjukan teater Nyai Ontosoroh saya teringat kembali moment ketika press confrence acara teater ini beberapa hari sebelumnya. Semula saya berfikir akan terjadi proses dialog yang menarik antar wartawan dengan para aktor theatre ini. Membicarakan posisi Pram dalam kesusastraan Indonesia, keberpihakan kaum feminim, orientasi dari teater ini dan lain sebagainya.

Tetapi ternyata pertanyaan yang muncul, secara pribadi, cukup mengejutkan dan sangat mengecewakan. Pertanyaan wartawan adalah tentang pengalaman, kesan, pesan, proses pelakonan seorang Happy Salma sebagai aktor utama. Proses dialog seperti itu pada akhirnya bisa terobati ketika melihat jajaran microphone yang ada di depan Happy Salma. Mayoritas berlogo siaran infotainment yang ada statsiun tv.

Infotainment sebagai produk komunikasi

Sejarah praktek komunikasi tidak akan pernah lepas dari cita-citanya untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat. Caranya adalah menyampaikan informasi yang ditata sedemikian rupa pada aspek proses maupun dan eksplorasi pesan pada aspek isi. Pada aspek proses mestilah menginspirasikan bagi banyak orang yang tergambar dari sistematisasi pesan yang cerdas. Sedangkan pada aspek isi mestilah supportif terhadap usaha mencerdaskan kehidupan masyarakat yang terlihat dari isi yang relevan secara sosial maupun intelektual.

Dalam tradisi retorika dikenal nama Cicero sebagai seorang orator ulung dari bangsa Romawi yang hidup antara 106-43 SM. Bukunya yang terkenal adalah “The Orator dan “On Oratory” yang mengurai pentingnya menyiapkan bahan yang akan dibahas dan memformulasikannya persoalan dengan baik sehingga menarik perhatian orang. Artinya Cicero mengungkapkan untuk selalu memperhatikan isi juga proses penyampaian sebuah pesan. Dua hal ini berkaitan sebagai usaha untuk mencerdaskan masyarakat.

Praktek komunikasi Cicero ini dinodai oleh para kaum sophist. Orang-orang yang menipu orang lain dengan menggunakan argumen yang tidak sah. Kemunculan kaum sophist berangkat dari kebutuhan penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Diantara cara yang efektif adalah dengan menyewa agitator. Artinya kaum sophist berangkat dari motif ekonomis semata.

Munculnya jurnalistik, sebagai sebuah praktek komunikasi massa, tidak dapat dilepaskan dari cita-cita untuk mencerahkan masyarakat. Caranya adalah dengan mendistribusi informasi sehingga bisa membantu proses pengambilan keputusan baik itu yang bersifat individu maupun kelompok.

Cita-cita seperti inipun sepertinya memang sedang di ciderai oleh praktek jurnalistik yang semata melihat uang sebagai variable utama. Tumbuhnya yellow pers adalah usaha industri komunikasi dimana uang menjadi variable utama. Tidak jauh berbeda dengan dialami oleh Cicero ketika contoh praktik komunikasi yang dia lakukan di cederai oleh kaum sophist.

Kemunculan infotainment merupakan persenyawaan antara kebebasan berkomunikasi dan motif ekonomis yang tidak terkendali. Amanat gerakan reformasi yang menghendaki adanya kebebasan dalam berkomunikasi, terhalang oleh motif ekonomis yang tidak terkendali. Pelaku ekonomi melihat komunikasi sebagai sebuah industri yang prospektif belaka. Melupakan cita-cita awal praktek komunikasi yang ingin mencerdaskan kehidupan masyarakat.

Sebagai sebuah proses produksi komunikasi disebutkan bila infotainment berkeinginan untuk memberitakan gossip. Menurut Ignatius Harjanto istilah memberikan gossip adalah terminologi yang menyesatkan. Berita adalah sebuah fakta sedangkan gossip adalah ilusi belaka.

Kemunculan infotainment tidak dapat dikaitkan dengan keterbatasan sumber daya manusia di bidang komunikasi. Di kampus saya, Fikom Unpad, setiap tahun berbondong-bondong mahasiswa memilih jurusan jurnalistik. Pilihan ini bukan karena keterbatasan jurusan, karena disana ada 3 jurusan reguler S1, atau keterpaksaan. Pilihan ini murni berdasarkan motif individu bukan berdasarkan ranking atau kualfikasi dari institusi. Mahasiswa-mahasiswa yang memasuki jurusan itupun memiliki kebanggaan sendiri dengan statusnya sebagai mahasiswa jurusan jurnalistik dan memiliki dedikasi tinggi terhadap institusi yang menaunginya.

Kehadiran infotainment berawal dari keterbukaan komunikasi yang ditangkap secara liar oleh para pelaku pasar. Karena ekonomi menjadi motif utama, maka prosedur profit dan loss mesti di terapkan secara ketat. Caranya tentu dengan efisiensi pada aspek produksi dan product yang bisa diterima masyarakat banyak.

Efisiensi pada aspek produksi bisa dilihat dari recruitment pegawai yang siap dibayar murah (baca ; tidak capable) karena keterdesakan ekonomi, simplifikasi pola kerja yang tidak menuntut kedalaman. Sehingga wajar bila ada pola kerja jurnalistik gerombolan yang menghasilkan hasil yang juga ”gerombolan”. Apa yang disiarkan oleh TV A sejam kemudian tidak akan jauh berbeda dengan yang disiarkan oleh TV B. Terdapat 37 siaran infotainment, maka sebanyak itu juga seorang artist akan tampil, minimalnya, dalam sehari.

Pada aspek isi tentunya dicari berita-berita yang di kehendaki oleh masyarakat. Tidak perlu mensyaratkan aspek pendidikan, cukup bila berita itu membuat heboh masyarakat, maka isi sebuah siaran akan menjadi tontonan banyak pihak. Pada sisi inilah kemudian kita melihat sisi gelap media. Media tidak berfikir untuk menghadirikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi karena motif ekonomi, berita yang dihadirkan oleh media cenderung mengeksplorasi hasrat rendah masyarakat untuk kepentingan rating.

Posisi triangle; market, government dan soceity pada media saat sekarang ini, pada akhirnya berada dalam posisi yang mengerikan. Bila pada priode Soeharto Media berada dalam kendali pemerintah dengan goverment di posisi puncak triangle, saat sekarang ini media berada pada titik puncak triangle sejajar dengan market untuk menindas society tanpa advokasi dari goverment

Oleh karena itu usaha advokasi masyarakat terhadap praktek komunikasi yang cenderung tidak mencerdaskan ini mesti terus intens di lakukan. Repotnya lagi, institusi masyarakat yang concern terhadap masalah ini sepertinya sudah melempem. Sementara institusi semi pemerintah seperti KPI pun tidak mampu bermain secara cerdas ketika berhadapan dengan pasar dan penguasa.

Harapan lain dari usaha advokasi pola komunikasi ini bisa ditambatkan kepada institusi pendidikan tinggi terkhusus perguruan tinggi yang memiliki studi komunikasi. Ini bisa menjadi bagian dari pengabdian kepada masyarakat sebagai bagian dari tri dharma perguruan tinggi di Indonesia.

Di akhir, semoga para aktor-aktor komunikasi kita memiliki kesadaran untuk bisa menghadirkan pola komunikasi yang bisa supportif membantu masyarakat keluar dari himpitan yang dialaminya sekarang. Tidak menjadi problem baru di tengah krisis sosial yang terjadi di tengah masyarakat kita.

Waalahu’alam bi shawab

No comments:

Post a Comment