Tuesday, 7 August 2007

Kumis Versus Orange di Pilkada DKI

Juma’t 3 Agustus 2007 adalah putaran terakhir masa kampanye Pilkada DKI. Sore itu di perempatan Bank Indonesia dan Kebon sirih seorang beratribut PKS memberi saya selebaran tentang Adang Dani sebagai kandidat mereka.

Seperti biasa teks selebaran itu tidak cukup mendapat perhatian. Karena seperti diungkap banyak kalangan, semuanya hanya janji dan daftar keinginan saja. Tidak ada sebuah rumusan strategis bagaimana hal itu hendak dilakukan. Maklum saja, kita masih baru melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Lupa bahwasannya semua rumusan visi dan misi mesti diurai lebih dalam sehingga bisa dinilai feasibilitas dari uraian visi. Tidak hanya menjadi daftar keinginan dan menganggap masyarakat bisa dibodohi begitu saja.

Sesuatu yang menarik dari selebaran itu adalah gambar Adang sang cagub. Saya tidak begitu faham tekhnik manipulasi photo melalui komputer ataupun alat-alat manipulasi photo lainnya. Tetapi melihat photo Adang di selebaran tadi sepertinya team sukses Adang memang cukup detail mengkalkulasi efek photo Adang bagi masyarakat.

Tidak seperti yang terlihat di media, photo Adang di selebaran itu tidak terlalu memperlihatkan adanya muka keras dengan rahang yang menonjol. Muka dengan rahang yang kuat diinterpretasikan sebagai orang yang tegas, keras dalam mencapai tujuan dan teguh dalam pendirian. Tetapi bagi lawan politik tentunya interpretasi ini bisa dirubah sebagai sosok yang kejam dan tidak mempunyai rasa kasihan. Apalagi latar belakang Adang sebagai mantan perwira polisi akan sangat mendukung interpretasi yang terakhir.

Berbeda dengan Adang yang tampil dengan warna orange, Fauzi Bowo - Prijanto tidak terlalu mengedepankan warna sebagai identitas dirinya. Tidak jelas apa sebabnya, mungkin karena terlalu banyaknya parpol yang mendukung sehingga tidak bisa menghadirkan warna sebagai basis identitasnya. Fauzi lebih banyak mengenalkan istilah ”keragaman” dengan kumis yang di eksploitir habis-habisan.

Pada akhirnya hal inilah yang kemudian menjadi faktor penentu kemenangan mereka di Pilkada DKI. Warna orange pada Adang – Dani dan Kumis pada pasangan Fauzi Bowo – Prijanto. Bagaimana hitungannya?berikut ini itung-itungan saya.

Komunikasi Massa

Strategi komunikasi massa mana yang tidak dipakai oleh kedua calon?semuanya dirambah dan semuanya dilakukan oleh kedua calon bahkan sebelum masa kampanye dimulai.

Memposisikan media sebagai sebuah kekuatan vital, sebagaimana tergambar dalam hypodermic theory, telah mereka lakukan. Dengan anggapan bahwasannya massa itu bodoh, pasif dan bisa dimanipulasi, iklan gencar-gencaran di pasang sebagaimana pamplet, spanduk dan baligo di pasang dimana-mana.

Pada jurusan lain strategi two step communication pun dilaksanakan baik dengan cara manipulatif maupun proses negosiasi politik yang elegant. secara manipulatif masing-masing calon memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan beberapa perkumpulan. Bahkan membuat komunitas bikin-bikinan dan menyatakan sebagai pendukungnya. Sehingga tidak aneh bila masa pilkada ini banyak organisasi yang tiba-tiba muncul dan menyatakan dukungan.

Secara elegan sejumlah prominent figure didekati dan diminta partisipasinya untuk mendukung masing-masing kandidat. Keuntungannya dua hal: kesuksesan citra bahwasannya mendapat dukungan dari tokoh masyarakat juga bergeraknya komunitas dibawah bimbingan tokoh tersebut.

Tetapi apapun praktek komunikasi massa yang dilakukan, figure yang tampil tetap menjadi bahan perhatian yang tidak akan pernah terlupakan. Karena elemen komunikasi massa tidak hanya media penyampaian informasi dan khalayak saja, tetapi juga figure alias komunikator sebagai aktor utama. Hal terakhir inilah yang mesti dicek kembali kelayakannya untuk dijadikan pilihan oleh masyarakat banyak.

Disinilah kemudian faktor kredibilitas menjadi rujukan. Kredibilitas yang merujuk langsung kepada kapasitas tekhnis, moral dan kepintaran sang kandidat. Secara teoritik kredibilitas memang bisa di design sedemikian rupa. Apalagi di zaman dimana komputer sudah menjadi kehidupan keseharian masyarakat.

Memakai tekhnik photo mutakhir, gambar yang garang bisa dimanipulasi. Hitam bisa jadi putih, hijau jadi merah,muka garang bisa jadi muka manis, muka dingin bisa jadi sangat friendly. Pada pilpres kemarin Tim sukses Amien Rais berusaha mati-matian untuk menghilangkan kesan muka licik pak Amien. Dan itu sukses setelah beberapa kali photo Amien Rais di bolak-balik oleh sebuah biro photographi di Jakarta.

Problemnya sekarang ini adalah pilkada DKI. Dimana akses informasi tersedia begitu cepat dan transparant di tengah-tengah masyarakat. Silahkan tanya kepada masyarakat Jakarta, siapakah masyarakat Jakarta yang percaya kepada bersihnya kedua kandidat dari praktek korupsi dan kolusi ketika mereka memegang kekuasaan. Yang membedakan keduanya tentunya hanya pada intensitas dan kualitas dalam penyelewengan kekuasaan.

Inilah aspek moralitas, diantara komponen kredibilitas, yang senantiasa menjadi bahan keraguan bagi masyarakat. Banyaknya spanduk, massifnya iklan, maraknya arak-arakan hanya akan mempertebal citra sebagai mantan penguasa yang diragukan kebersihannya dalam tindak korupsi. Tambahan simbol agama pada dasarnya hanya akan memperkuat kompetensi moral bersangkutan bukan mengurangi apalagi menghilangkan.

Krisis kredibilitas inilah yang pada akhirnya menimbulkan kegamangan di tengah masyarakat. Terpaan informasi yang begitu massif ditambah dengan pengalaman pendidikan, yang relatif lebih tinggi dibanding daerah-daerah lain, akan sangat sulit memanipulasi masyarakat Jakarta. Masyarakat yang relatif well inform dan well educatede

Pada sisi inilah dibutuhkan sebuah strategi komunikasi yang lain. Dibutuhkan pendekatan yang rasional sehingga menghasilkan pemilih yang tidak rasional. Bila masa orde baru diwujudkan dalam bentuk serangan fajar, saat sekarang ini praktek seperti itu relatif akan sangat sulit. Rival juga pengawas pilkada tentunya akan sangat awas dengan praktek seperti ini. Solusinya adalah ada pada penciptaan sebuah icon yang mesti merasuk sedemikian rupa dan menjadi pengaruh penentu ketika para pemilih berada dalam bilik suara.

Kumis dan warna orange adalah solusi pemicu bagi para pemilih ketika berada dalam bilik suara. Kebingungan para pemilih ketika berada dalam bilik suara akan terfasilitasi sampai seberapa jauh icon kedua kandidat merasuk ke pemilih. Sekarang tinggal diukur tingkat efektivitas icon tersebut bagi masyarakat pemilih.

Komponennya ada dua. Pertama kuantitas symbol itu disosialisasikan kepada masyarakat. Semakin massif symbol itu disosialisasikan di tengah masyarakat, maka semakin tinggi tingkat kemungkinan symbol itu merasuk kealam bawah sadar masyarakat pemilih dan menjadi pegangan di bilik suara. Kedua tingkat kedekatan symbol itu di tengah masyarakat. Semakin symbol itu menjadi keseharian kehidupan masyarakat Jakarta, maka symbol itu akan sangat mungkin untuk menang.

Bila dua hal ini diukur, maka saya berkesimpulan kalo Adang lah yang akan menjadi pemenang. Warna orange sudah menjadi keseharian kehidupan masyarakat Jakarta. Sudah tersosialisasikan begitu massif sebelum pelaksanaan pilkada itu sendiri. Indikatornya bisa dilihat dari pendukung Persija, yang sudah menjadi maskot warga ibukota, juga warna identitas pemda Ibu kota sendiri.

Sementara kumis tidak bisa merefresentasikan Jakarta. Warga Jakarta tidak begitu familiar dengan kumis. Bila kumis di jadikan symbol pada Pilkada Jawa Barat mungkin bisa ampuh. Karena kumis sudah menjadi identitas bagi lelaki di Sunda.

Benar tidaknya tulisan ini bisa kita lihat besok. Hari pencoblosan Pilkada DKI. Bila salah juga tidak mengapa. Lagian ini kan hanya tulisan iseng yang tidak didukung oleh data lapangan yang akuran hehehe...

Selamat memilih...

No comments:

Post a Comment