Thursday, 9 August 2007

Adang – Dani “Menang”

Tulisan sebelum ini saya menyatakan bahwasannya Adang – Dani akan memenangi pertarungan di Pilkada DKI melawan Fauzi Bowo – Prijanto. Faktanya sampai sekarang, baik itu berdasar Quick Count maupun hasil perhitungan sementara KPUD DKI, dipastikan Foke memenangi Pilkada DKI kali ini. Kisarannya perolehannya berputar-putar sekitar 45 – 55 %. Bukan karena keras kepala, gengsi atau apology bila saya tetap mengatakan bahwasannya pasangan Adang dan Dani telah memenangi pertarungan.

Hitungannya berdasarkan kepada capital yang dimiliki dan posisi politik yang sedang dijalani Adang - Dani. Capital yang dimiliki oleh PKS, sebagai penyokong Adang – Dani, tidak lebih dari 23% masa loyal mereka. Sementara itu posisi politik mereka cukup menyulitkan dengan keroyokan 20 partai yang mendukung pasangan Fauzi – Prijanto. Jelas sebuah prestasi ketika perolehannya bisa menembus angka 45%. Artinya Adang-Dani dengan PKS nya sanggup menggeliat untuk menjaga konstituen dan menambah konstituen yang ada di tengah himpitan keroyokan partai-partai pendukung Foke.

Hanya saja mesti diteliti lebih lanjut posisi kumis dan warna orange itu sendiri terhadap kesuksesan Adang mendulang angka yang begitu besar. Adakah relasi signifikan antara pemilih dengan kumisnya Fauzi atau orangenya Adang?Adakah kedua hal ini menimbulkan aha effect seperti yang terjadi dalam proses komunikasi interpersonal?hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut disamping fenomena-fenomena komunikasi lainnya.

Selain hal diatas ada catatan menarik dari pelaksanaan Pilkada DKI kali ini. Kaitannya dengan massa, praktek komunikasi dan perilaku politik yang dipraktekan oleh para tim sukses kedua kubu. Ada hal yang menggembirakan juga ada hal yang mengkhawatirkan.

Menggembirakan. Bila memakai alur berpikir hypodermic theory,ataupun paradigma positivistik lainnya, mestinya terjadi peningkatan jumlah pemilih ke pasangan Fauzi – Prijanto. Melalui dukungan 20 parpol mestinya Fauzi memperoleh minimalnya 70% suara atau lebih. Patokannya berdasar pada kuantitas iklan televisi, baligho, spanduk, pamflet, stiker dari kubu Fauzi yang jauh lebih banyak dibanding pasangan Adang.

Yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih memelihara massa yang sudah ada tetapi malah banyak konstituen yang menyebrang ke Adang. Artinya masyarakat pada saat sekarang ini memang sudah tidak bisa begitu saja di pengaruhi oleh praktek propaganda komunikasi massa. Telah tercipta resistensi pada diri masyarakat untuk tidak terpengaruh begitu saja terhadap segala bentuk publikasi melalui media. Masyarakat tidak saja melakukan proses negosiasi makna dengan media tetapi juga memiliki paradigma sendiri terhadap setiap apa yang disampaikan sehingga bisa melakukan antitesa.

Sisi lainnya yang menarik adalah betapa solidnya para aktivis partai politik di level mediumnya. Kenaikan jumlah pemilih Adang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari solidnya mesin politik PKS, yang dijalankan oleh para aktivis partai di level medium, dalam menjalankan keputusan partai. Ketertiban, kesolidan dan militansi kader PKS menjadi instrumen utama sehingga perolehan suara PKS meningkat tajam

Bila kedua hal ini digabungkan, kondisi masyarakat dan aktivis partai di level medium, maka sebetulnya kita menyaksikan sebuah prospek masyarakat dan perjalanan kehidupan politik yang cukup cerah di masa yang akan datang. Aktivis partai begitu solid, tertib dan militan sementara masyarakat begitu rasional dalam menentukan setiap pilihannya.

Mengkhawatirkan. Ada dua hal yang menjadi catatan dari apa yang telah terjadi di Pilkada DKI kali ini. Pertama adalah tentang Golput sedangkan yang kedua perilaku elite partai itu sendiri.

Kekhawatiran tingkat golput yang tinggi ternyata tidak terbukti. Angka 65% golput seperti yang dilansir oleh LSI sebelum pelaksanaan Pilkada, benar-benar hanya menjadi angka potensial Golput saja.

Berita dari Rakyat Merdeka online hari Khamis 09 Agustus disebutkan; menurut JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat) warga yang ikut menyoblos sampai pada angka 70%. Sementara Puskapol UI mencatat 63% warga DKI telah memberikan suaranya. Kompas hari ini sebetulnya memberikan kesimpulan lain tentang fenomena Golput ini. Menurut Kompas jumlah golput justru hampir menyamai dari jumlah pemenang.

Diluar kontroversi kedua hal diatas, problemnya sampai sekarang adalah belum bisa diketahui secara pasti motif dari adanya Golput. Apakah golput yang terjadi karena masalah tekhnis, politis, tekhnis politis atau karena Idiologis. Hal inilah yang mesti menjadi perhatian dan kajian bagi semua pihak.

Bila terjadi secara tekhnis, politis atau tekhnis politis berarti ini masalah manajemen belaka. Penyelesaiannya bisa berupa regulasi-regulasi yang lebih meringankan untuk menjaring partisipasi pemilih supaya lebih besar atau perbaikan manajerial pelaksanaan Pilkada di massa berikutnya.

Repotnya bila golput terjadi karena masalah idiologis. Akan sangat mengkhawatirkan bila golput terjadi karena masyarakat begitu hopeless terhadap situasi dan kondisi yang ada. Bila ini terjadi maka masyarakat kita dalam keadaan yang mesti dibenahi karena hidup tanpa harapan. Masyarakat tidak mempunyai harapan terhadap kehidupan sekitarnya, perubahan yang dijanjikan juga kepada perilaku politik elite.

Selain itu berarti perilaku dan sistem politik yang terjadi berarti harus diakui tidak cukup supportif dalam membangun mentalitas masyarakat. Padahal yang terakhir inilah yang menjadi amanat besar pendiri bangsa ini.

Sisi mengkhawatirkan lainnya adalah melihat perilaku elite politisi kita. Tidak ada kejelasan orientasi idiologis dalam berpolitik, tidak adanya pijakan etis dalam berpolitik, masih menempatkan kekuasaan sebagai tujuan akhir dan penghalalan segala cara dalam mencapai tujuan.

Bila perilaku elitenya seperti ini, maka modal sosial berupa aktivis politik di level medium dan masyarakat umum yang mempunyai potensi cerah, akan terbuang sia-sia. Terhalang oleh perilaku elite yang masih maruk terhadap kekuasaan dan melupakan masyarakat dalam pengelolaan kekuasaan.

Semoga kesimpulan yang salah

1 comment:

  1. ternyata kesimpulannya memang salah de, fauzi bowo-prijanto menang telak 54% dan adang-dani 46%. mungkin rakyat percaya sama orang yg sudah pengalaman daripada menaruh harapan dengan orang yg mereka tidak kenal (baru), atau memang modal fauzi lebih besar dalam kampanye (lantaran dia lebih kaya) terbukti lewat iklan2nya yg wah baik dijalan atau di televisi. sementara angka golput hanya mencapai 30% (selain tidak memilih meskipun punya hak pilih, mungkin ada juga suara fauzi atau adang yg terfasilitasi krn tdk mendapatkan kartu suara). itulah bola politik, terkadang kita tidak tahu kepada siapa bola berpihak, yg jelas keliatannya sama orang2 yang rakus uang dan kuasa saja, fiuh!

    -guns-

    ReplyDelete