Setelah kematian Erry Rahman (2000) karena kekerasan senior, Keputusan pengadilan Wahyu Hidayat (2003) yang diselewengkan, belum tuntasnya peradilan terhadap Cliff Muntu (2007) disusul dengan Yogi Riyad, seorang Wasana Praja, yang hampir buta karena kornea matanya terkena emblem topi pengasuh yang dipukulkan ke kepalanya, praja IPDN kembali melakukan tindak kekerasan. Korbannya adalah masyarakat Jatinangor tempat mereka kuliah. Wendi, seorang tukang ojeg, dipukuli beramai-ramai sampai tewas hanya gara-gara perselisihan sepele.
Pelaksanaan reformasi birokrasi mencakup tiga hal; perubahan kelembagaan, perubahan sistem kerja, dan perilaku manusianya. Semuanya dilaksanakan secara integral, sinergis dan sistematis. Perubahan kelembagaan bertujuan untuk menciptakan manajemen organisasi pemerintah yang efektif dan efisien. Sistem kerja sebagai sebuah rule pelaksanaan tugas masing-masing individu atau institusi. Perilaku manusia sebagai pelaku dari penyusun dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan publik. Hal terakhir inilah yang berkaitan erat dengan apa yang terjadi di IPDN.
Reformasi birokrasi mensyaratkan individu, sebagai pelaksana birokrasi, yang profesional, mempunyai akuntabilitas tinggi kepada masyarakt sehingga bisa menghasilkan pelayanan publik yang prima.
Terdapat tiga hal yang mesti ada pada pelaksana birokrasi. Pertama, mind set sebagai pengabdi masyarakat, bukan penguasa atau partai politik yang berkuasa. Kedua birokrat yang profesional sehingga melahirkan hasil kerja yang maksimal. Ketiga kemampuan interaksi dan komunikasi dengan masyarakat sehingga birokrasi bisa dekat dan kembali kepada masyarakat.
Perubahan mindset sebagai pengabdi masyarakat sesuatu yang sangat penting. Paradigma sebagai pengabdi masyarakat akan menjelaskan orientasi dan posisi seorang birokrat dalam menjalankan tugas yang diemban. Paradigma ini akan selalu menjadi landasan orientasi kerja yang dilakukan.
Birokrat profesional adalah birokrat yang faham substansi dan pelaksanaan tugas yang diembannya. Kreativitas akan selalu terlihat dalam setiap pengambilan dan pelaksanaan keputusan dari institusi yang dipegangnya. Skill mumpuni menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan melekat pada dirinya.
Kemampuan interaksi dan komunikasi dengan masyarakat adalah kemampuan mutlak. Birokrasi harus dikembalikan kepada masyarakat karena birokrasi ada untuk melayani masyarakat. Berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat akan melahirkan putusan dan pelaksanaan putusan yang berorientasi kepada masyarakat bukan kepada partai yang berkuasa.
Ketiga hal ini lah yang terlihat jelas tidak ada pada praja-praja IPDN yang notebenenya merupakan calon-calon birokrat di kemudian hari.
Mindset sebagai abdi masyarakat tidak terlihat melekat pada diri praja IPDN. Proses pendidikan yang dijalani memposisikan praja IPDN jauh dari kehidupan masyarakat. Praja tidak berbaur dengan masyarakat juga privillege yang didapat dari negara terlalu begitu besar seolah menyatakan praja telah berhutang kepada pemerintah. Pengeroyokan terhadap Wendi menjadi contoh terakhir betapa rendahnya empati praja IPDN kepada masyarakat luas.
Profesionalisme dalam menghadapi setiap permasalahan yang ada jelas berbanding terbalik dengan fakta yang ditunjukan oleh praja IPDN. Kekerasan demi kekerasan, yang seolah tidak pernah berhenti, menjadi solusi dari setiap permasalahan yang mereka hadapi. Lebih dari itu kekerasan juga telah menjadi model pendidikan di lingkungan IPDN. Kekerasan adalah ciri rendahnya kecerdasan seorang dalam merumuskan dan menangani setiap problem yang dihadapi. Menjadi sangat ironis ketika hal ini dilakukan oleh komunitas yang sedang menjalani proses pendidikan tinggi.
Skill tidak jauh berbeda. Karena tidak ada skill semua permasalahan diselesaikan dengan kekerasan. Bila praja IPDN betul-betul menjalani proses pendidikan, kekerasan sebagai sebuah solusi problem yang mereka hadapi tidak akan pernah terjadi. Setiap bentuk konflik akan diselesaikan dengan komunikasi dan negosiasi bukan dengan kekerasan
IPDN dibubarkan saja
Melalui uraian diatas, lebih baik IPDN dibubarkan saja. Sistem pendidikan yang ada tidak akan pernah support terhadap agenda reformasi birokrasi yang telah menjadi kebutuhan bersama. Agenda reformas birokrasi mensyaratkan SDM yang mumpuni secara kognitif, afektif dan psychomotorik. IPDN hanya menghasilkan praja yang dikeragui kemampuan kognisi, afesi dan psychomotoriknya.
Bila argumen ini di perpanjang dengan masalah anggaran keuangan negara, filosofi pendikan, sistem pendidikan nasional yang kita sepakati, manajemen pelaksanaan pendidikan nasional maka pembubaran IPDN menjadi sebuah keharusan. Tanpa IPDN pun institusi pendidikan tinggi di negeri ini tidak akan pernah kekurangan untuk memasok SDM calon pengabdi masyararkat di lingkungan birokrasi.
Waalahu’alam bi shawab
Bandung, 26 Juli 207
Delianur
No comments:
Post a Comment