Akhirnya, setelah lama dipendam dan nature setiap manusia yang membutuhkan tempat untuk mencurahkan kegelisahan hatinya, cerita itu diungkapkan kepada saya. Cerita kegundahan hati tentang saudaranya yang menikah lagi, poligami dengan diam-diam. Secara prinsip sebagai seorang muslim poligami sudah dia terima sebagai doktrin agama yang absah. Tetapi karena proses poligami yang diam-diam tanpa sepengatahuan istri, anak apalagi keluarga besar, poligami nya itu menjadi masalah bagi dirinya. Bagi dia, pertanyaannya bukan baik tidak nya poligami itu, tetapi kenapa mesti diam-diam?Kalau itu sebuah kebaikan atau solusi pastinya tidak ada alasan untuk dilaksanakan secara diam-diam. Mesti ada proses dan tujuan yang keliru dalam poligaminya itu.
Karena orang sedang mengungkapkan kegundahan hati, saya biarkan cerita itu mengalir dan menahan hasrat untuk interupsi. Akhirnya seperti yang saya duga sebelumnya, memang ada yang salah dalam interaksi antar kedua suami istri tersebut. Mulai dari problem klasik tentang posisi yang dominan, tidak saling memahami sampai tidak saling menghargai posisi masing-masing. Satu hal yang sangat menarik, yang sudah saya duga sebelumnya, adalah cerita tentang bahasa-bahasa yang selama ini keluar dari pasangan suami istri itu.
Konon diantara yang memicu terjadinya Poligami itu sendiri adalah seringnya keluar lontaran-lontaran canda si suami tentang kemungkinan dia berpoligami atau ketika dia menyatakan tertarik kepada seorang perempuan. Gayung bersambut, lontaran canda si suami itu pun disambut positif oleh si istri kadang dengan canda, kadang dengan mempersilahkan sambil memberi ancaman. Mungkin lontaran si suami dan jawaban si istri tentang menikah lagi adalah lontaran canda, heureuy kata orang sunda mah. Tetapi saya jadi berpikir mungkin inilah diantara variable sangat penting terjadinya prahara itu. Ada bahasa yang terungkap, dan dibalas dengan bahasa yang sama.
Saya jadi teringat masa awal pernikahan. Ketika sedang ngobrol sambil ngobrol dan bercanda ngalor ngidul, tiba-tiba istri saya memasukan tema thalaq dan perceraian sebagai tema canda. Kontan saya diam dan saya tegur istri saya supaya tidak pernah menjadikan dua kata itu sebagai tema pembicaraan atau tertawaan. Waktu itu dalil saya adalah Fiqh yang menyatakan bahwa thalaq meskipun diucapkan sambil bermain-main atau tidak serius, tetaplah berlaku. Saya membayangkan bagaimana kalau saya dan istri terbiasa mempermainkan kedua kata itu, lalu secara tidak sengaja saya melontarkan kata thalaq, maka menurut Fiqih ketika itu saya sudah bercerai dengan istri.
Di kemudian hari setelah mereview lagi beberapa bacaan ilmu komunikasi, saya menemukan keterpautan apa yang menjadi dalil Fiqh diatas dengan teori-teori tentang bahasa yang sering dipakai dalam menganalisa fenomena komunikasi.
Kesempatan lainnya saya masih ingat ketika saya dengan sangat arogan mengatakan kepada istri saya untuk berhenti saja bekerja jadi guru PNS karena saya sanggup membiayai kebutuhan keluarga. Di kemudian hari, waktu membuktikan bila saya pernah mengalami masa bersandar kepada penghasilan istri. Kata orang ini yang dinamakan karma.
Mungkin ini yang sering tidak disadari dan diremehkan orang, termasuk saya yang berkesempatan kuliah di Ilmu Komunikasi, ; bahasa. Ironinya justru pengalaman, kenyataan dan ajaran-ajaran orang tua sering mengajarkan kepada kita tentang hal yang satu ini. Hal yang sering diajarkan oleh petuah-petuah karuhun ini kemudian, entah sengaja atau tidak, sering hilang dalam diri kita. Kadang karena takabur, seperti ketika saya menyuruh istri saya keluar dari pekerjaannya, atau kadang memang karena lingkungan yang membentuk kita untuk tidak berhati-hati dalam berbahasa.
Menurut Ariel Heryanto dalam bukunya; Perlawanan Dalam Kepatuhan; Sebuah esai-esai budaya, bahasa itu adalah interaksi atau pergaulan. Tidak mungkin orang bisa berbahasa kalau dia tidak bergaul. Jadi bahasa menentukan pergaulan. Bahasa yang baik adalah hasil dari pergaulan yang baik dan bahasa yang buruk hasil pergaulan yang buruk. Bila tidak percaya coba saja melihat pada komunitas-komunitas yang memiliki bahasa yang baik dan bahasa yang buruk. Jadi bahasa kita dalam kesempatan lain sering dibentuk karena lingkungan
Permasalahannya kemudian bukan hanya sebatas bahasa baik, bahasa buruk, pergaulan baik dan pergaulan buruk. Tetapi hal yang sangat serius dan menjadi bahan perhatian adalah ketika bahasa pada dasarnya bukan sekedar ungkapan semata tetapi bahasa sebagai constitute the reality, bahasa sebagai instrumen yang mempunyai kekuatan untuk menciptakan realitas.
Little John dalam bukunya Theories of Human Communication, mengurai bahwa setidaknya ada tiga pandangan dalam melihat bahasa. Pertama adalah classical foundation yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure. Menurut Little John pandangan ini melihat bahwa ; “Not only does this assumption support the idea that language is a structure, but it also reinforces the general idea that langauge and reality are separate. Bahasa bagi Saussure hanyalah alat untuk representing reality bukan reality itu sendiri.
Pandangan ini dielaborasi lebih mendalam oleh madzhab Strucutral Linguistics yang mengkaji bahasa dalam perspektif yang sangat struktural. Dipengaruhi pandangan Saussure, pandangan ini membreak down lebih jauh sturktur bahasa dalam komponen-komponen yang sangat detail. Structural Linguistics melihat bahasa dalam sebuah struktural yang sangat detail seperti memperhatikan Noun Phrase, Verb Phrase. Jadi bahasa menurut pandangan madzhab ini tidak lebih dari tata bahasa.
Pendekatan terakhir disebut dengan Generative Grammar. Pandangan ini tidak hanya membahas tentang struktur sebuah bahasa semata tetapi menggali lebih jauh tentang bagaimana bahasa itu sampai bisa muncul ke permukaan. Ada deep structure dalam setiap tindak berbahasa kita.
Tentang generative ini Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Tafsir Kebahagian; Pesan Al Quran Menyikapi Kesulitan Hidup, dalam Bab; Mengontrol bahasa mengungkapkan bila bahasa sekarang ini bukan lagi deskriptif melainkan generative dan kreatif. Maksudnya bahasa itu juga bisa menciptakan peristiwa-peristiwa oleh karenanya kita harus berhati-hati dalam menggunakan bahasa.
Mengutip John Osteen tentang ritual pernikahan di gereja, ketika si Pendeta mengatakan “ I know you are a husband and a wife” lalu kedua mempelai mengatakan “I do” dan dilanjutkan dengan si Pendeta “You May Kiss?”. Kiss tidak akan pernah terjadi bila salah satu mempelai ada yang mengatakan “No”, sebaliknya bila yang dikatakan “Yes” maka Kiss pun akan terjadi. Seperti juga dalam agama Islam, hubungan suami istri akan menjadi halal karena diputuskan oleh sebuah bahasa yaitu akad nikah.
Lebih jauh lagi Kang Jalal menyinggung sebuah buku berjudul “Language and the Pursuit of Happiness” karangan Charlmers Brothers. Menurut buku ini bahasa dapat membuat hati bahagia dan berduka. Jadi, jika kita ingin bahagia dalam hidup, ciptakanlah bahasa-bahasa atau cerita-cerita baik dan selalu membangun prasangka positif.
Jadi bahasa pada hakekatnya bukan lagi sebuah struktur kata-kata yang tanpa makna, tetapi bahasa adalah pencipta makna bahkan lebih dari itu bahasa adalah pencipta realitas. Kalau memang bahasa tidak memiliki makna apa-apa, sebagai muslim saya bertanya untuk apa dinamakan Muhammad (yang terpuji) bukan yang lainnya. Atau kenapa juga Nabi mengubah nama kota Yatstrib menjadi Madinah. Tentunya ada sebuah realitas yang ingin dituju Nabi dan hal itu terwujud.
Kembali ke cerita diatas, karena yang poligami itu dikenal seorang guru dan ustadz, biasanya saya akan mencerca nya sebagai ustadz dan guru penghancur agama. Tetapi kebiasaan cercaan itu saya buang jauh-jauh sambil berdoa untuk tidak melakukan hal serupa di kemudian hari. Setidaknya dua hal yang membuat saya melakukan itu; empati dan the power of language.
Saya berempati, karena menurut saya si Ustadz tadi sedang gelap mata dan khilaf. Ustadz tadi saya kenal dengan baik. Secara personal dan sosial si Ustadz layak menjadi panutan. Tetapi siapapun pasti pernah mengalami masa-masa khilaf, gelap dan keliru dalam mengambil keputusan. Pastinya banyak faktor yang membuat dia melakukan kekeliruan itu. Mestinya dia memang tidak menimbulkan masalah baru dengan poligami diam-diamnya itu.
Selain karena empati, saya menghindar untuk mencerca karena kekuatan bahasa tadi. Kekhawatiran saya adalah cercaan atau umpatan yang saya keluarkan pada akhirny kembali pada diri saya. Karena kegelapan dan kehilapan pasti dialami setiap orang. Selain dari itu, entah berapa kali saya diperlihatkan alam, dan mengalami sendiri, betapa orang-orang yang mencerca seseorang di kemudian hari melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan orang yang sudah dicercanya. Setelah mencerca ternyata dia lebih layak untuk dicerca
Laa haula walaa quwwata illa billah
Sukabumi, 08 Juni 2011
Maaf pak, saya mau memberi sedikit info
ReplyDeleteBukan: "I KNOW you are husband and wife"
Yang benar: "I NOW pronounce you husband and wife"
Terima kasih
terima kasih atas koreksnya pak...
ReplyDeletemas boleh sy share di fb gk?? mohon bls di email sy saja s_leverty911@yahoo.com
ReplyDeleteSilahkan bila mau di share.. terimakasih atas perhatiannya
ReplyDeleteTulisan saudara nge-jelimet. Saudara terlalu memaksakan diri memasukkan banyak literatur yang tidak menjawab pertanyaan utama dari kasus yang saudara angkat. Mengapa suami yang merupakan saudara dari teman anda itu, kawin lagi diam-diam?
ReplyDeleteSaya tidak menemukan jawabannya dari tulisan saudara yang panjang lebar itu, kecuali saudara sepakat dengan kesimpulan saya, bahwa saudara menyetujui tindakan sang suami yang tidak menyampaikan rencananya untuk kawin lagi kepada istri dan keluarga besarnya, karena dia mengikuti pesan Al Qur'an untuk berhati-hati dalam menggunakan bahasa, karena bahasa adalah instrumen yang bisa menciptakan realitas.
Oleh karenanya sang suami dengan kreatif kawin lagi secara diam-diam, karena jika dia menyampaikan rencananya untuk kawin lagi pada istrinya, pasti akan terjadi pertengkaran, yang sudah barang tentu dengan segala sumpah serapah dalam tata bahasa yang tidak baik. Sang suami yang uztad itu,tahu benar konsekwensi yang akan menimpanya kelak, jika sumpah serapah itu keluar dari mulut istrinya. Bisa fatal.
Sayangnya kesimpulan ini saya dapatkan hanya dengan membaca satu paragraf saja, ketika saudara menuliskan: bahasa bisa menciptakan realitas dan pada bagian akhir tulisan saudara.
Selebihnya tulisan anda bertele-tele, berpanjang lebar tanpa arah, sehingga membingungkan, apakah yang menulis tulisan itu seorang moralis, praktisi komunikasi, atau sekedar pamer literatur?
ok.. terimakasih atas masukannya...
ReplyDelete