Ditengah perjalanan saya baca sekilas buku-buku yang sudah dibeli. Beralih ke buku “Madinah” saya lihat dicovernya disebut kalau buku itu dilengkapi dengan Piagam Madinah. Penasaran saya langsung buka halaman tentang Piagam Madinah tersebut. Lama saya mendengar ulasan tentang Piagam Madinah, tetapi saya tidak pernah melihat poin-poin Piagam Madinah itu. Pada kesempatan inilah saya baru membaca poin-poin Piagam Madinah.
Kaget saya lihat panjangnya pasal dalam Piagam Madinah itu. Semula saya pikir panjang Piagam Madinah kurang lebih sama dengan Pembukaan UUD 45 atau Pancasila. Tetapi ternyata Piagam Madinah sangat panjang, komprehensif dan sangat detail mengatur sebuah kesepakatan politik untuk hidup bersama. Dalam hitungan saya, kira-kira ada 47 pasal dalam Piagam Madinah itu.
Saya teringat pada pengetahuan selama ini yang menyebut bahwa Nabi Muhamamd itu seorang yang Ummi atau nabi yang tidak bisa membaca. Menurut saya, membuat sebuah perjanjian yang komprehensif, detail, sangat panjang, dan sering disebut terlalu modern untuk zamannya, mustahil bisa dilakukan oleh seorang yang tidak bisa membaca. Tentunya selain Nabi Muhammad perlu untuk waktu untuk merumuskan pasal-pasal perjanjian dalam Piagam Madinah, nabi juga tentunya sangat membutuhkan waktu untuk mempelajari dan mencerna pasal-pasal perjanjian itu. Hal itu sangat mustahil dilakukan oleh seorang yang tidak bisa membaca.
Butuh keahlian membaca dan mencerna untuk membuat dan menyepakati naskah kesepakatan secanggih Piagam Madinah. Apalagi dikemudian hari terbukti bila kesepakatan rancangan Nabi itu kemudian menjadi salah satu tonggak keberhasilan perjuangan nabi dan menjadi kajian akademisi dunia internasional sampai saat sekarang
Karen Armstrong, penulis biografi Muhammad Sang Nabi, sangat sulit menerima bila yang dimaksud Nabi yang Ummi adalah Nabi yang tidak bisa membaca. Sementara pada sisi lain Nabi Muhammad adalah seorang pedagang. Bagi Armstrong kemampuan mengenal huruf dan angka adalah kemampuan dasar seorang pedagang. Agak mustahil seorang pedagang sukses seperti Nabi Muhammad tidak mempunyai keterampilan mengenal huruf dan angka.
Menemukan makna Nabi yang Ummi yang sesungguhnya, menurut Armstrong mestilah dilihat dalam perspektif sosial, budaya dan politik masyarakat Arab waktu itu. Dalam penelitian Armstrong ditemukan bila masyarakat Arab ketika itu adalah bangsa yang inferior dibanding bangsa Yahudi dan Romawi. Hal ini diantarnya dikarenakan karena kedua bangsa terakhir ini dikenal sebagai masyarakat yang masing-masing sudah memiliki Nabi, yaitu Nabi Musa dan Isa. Karena mereka memiliki Nabi, maka mereka mempunyai kitab suci yang menjadi kebanggaan dan simbol bahwa mereka adalah kaum yang telah diberi petunjuk oleh Tuhan.
Berbeda dengan bangsa Arab. Arab adalah bangsa yang tidak mempunyai Nabi. Ketika nubuwat tentang Nabi terakhir akan diutus Allah ke permukaan bumi, orang Yahudi dan Nasrani hakkul yakin kalau nabi yang dimaksud datangnya pasti dari kelompok mereka. Tidak mungkin dilahirkan dari orang Arab karena masyarakat Arab bukan masyarakat elite. Mereka masyarakat yang tidak punya kitab untuk dibaca.
Jadi yang dimaksud Nabi yang Ummi bagi Armstrong adalah, nabi yang diutus kepada kaum yang tidak membaca karena mereka tidak memiliki kitab suci sebagaimana dua kaum lainnya. Nabi yang Ummi bukan berarti Nabi yang tidak bisa membaca. Masyarakat Ummi juga bukan berarti masyarakat yang tidak bisa membaca, terlebih ketika itu orang Arab dikenal punya keahlian bersyair yang sangat canggih
Sayangnya Armstrong kemudian tidak mereview implikasi interpretasinya itu terhadap cerita lain tentang nabi. Dalam satu riwayatnya misalnya disebutkan ketika wahyu pertama turun di gua hira turun, Jibril pembawa wahyu menyuruh nabi membaca. Tetapi kemudian nabi menolak dan mengatakan kepada Jibril “Ma ana biqaari”, saya tidak bisa membaca, dengan berulang-ulang
Bandung, Juni 2011
Note :
Bagi yang membutuhkan file piagam madinah, berikut ini link untuk bisa di download
http://www.ziddu.com/download/15227706/117-piagam-madinah.pdf.html
No comments:
Post a Comment