Ketika istri menyebut angka 4 juta sebagai biaya pendaftaran Play Group, bukan karena saya punya duit atau gagahan kalau saya tidak mengeluarkan complain, berkeluh kesah atau protes. Dibanding dengan biaya pendaftaran untuk level SD, SLPT dan SLTA, angka ini tentunya sangat lah tinggi.
Tetapi istilah mahal dan biaya pendidikan mahal, sudah lama berubah dalam pandangan saya. Mahal menurut saya bukan pada tingginya nominal uang yang mesti kita bayar, tetapi adanya ketidaksesuaian antara nominal uang yang mesti dikeluarkan dengan kualitas barang atau jasa yang didapat. Kita sering tidak merasa masalah bila harus mengeluarkan uang cukup banyak, tetapi mendapat barang/jasa yang memang layak mendapat harga segitu.
Beberapa waktu misalnya, seorang kenalan dengan enteng bercerita kalau dia sudah mengeluarkan uang sampai 30 juta rupiah supaya lolos ikut tes CPNS. Meskipun kenalan saya tersebut bukanlah orang kaya raya, tetapi menurut dia angka segitu murah. Karena toh tidak sampai 2 tahun pun uang sejumlah itu akan kembali lagi sedangkan dia akan menjadi CPNS lebih dari 20 tahun. Di kemudian hari saya mendapat kabar kalau tetangga saya itu tidak lolos tes CPNS nya. Maka menurut saya angka itu menjadi sangat mahal karena dari 30 juta dia tidak mendapat apa-apa.
Atau penjelasan dari kakak ipar saya tentang BBM kendaraannya yang diisi dengan Pertamax. Premium memang jauh lebih murah dari Pertamax. Tetapi menurut dia pada dasarnya Pertamax itu lebih murah dibanding Premium. Pertamax membuat pembakaran di mesin lebih sempurna, mesin lebih bersih dan putarannya lebih halus. Terlebih ketika dia mengkalkulasi ternyata, dalam satu minggu dia menghabiskan uang 20 ribu untuk BBM motornya baik dengan Pertamax ataupun dengan Premium. Jadi lebih Pertamax lebih murah kan?
Tetapi hal yang berbeda bila kata mahal ditautkan dengan biaya pendidikan. Menurut saya biaya pendidikan itu bukanlah mahal. Biaya pendidikan tinggi karena memang butuh banyak hal yang mesti dibiayai. Mulai dari operasional sekolah sampai dengan gaji guru yang harus dibayar secara layak. Mungkin karena tingginya biaya pendidikan dan rendahnya gaji guru, kita pun merasa sangat perlu untuk “menambah gaji guru” dengan pujian pahlawan tanpa tanda jasa
Saya coba gambarkan dengan biaya pendidikan anak saya yang masuk PAUD, Pendidikan Anak Usia Dini, di sebuah taman penitipan anak di kota kecil Sukabumi.
Daya tampung PAUD anak saya hanya 10 orang dengan 3 orang pendamping. Biayanya; untuk orang tua yang hanya mengirimkan di hari-hari tertentu saja Rp 35.000/bulan sedangkan bila ingin bulanan Rp 450.000/ bulan. Biaya SPP yang sangat tinggi dibanding SPP sebuah PTN di Bandung saat ini yang berkisar Rp 2.000.000/semester
Sekarang kita anggap saja semua anak itu bayar nya perbulan. Jadi kira-kira dari sepuluh anak itu terkumpul uang Rp 4,5 juta. Uang sejumlah itu tentunya harus dialokasikan juga untuk biaya maitenancing sekolah, kebersihan, keamanan, keindahan dan yang tidak boleh dilupakan gaji guru. Kalau saja 50% dari uang itu, 2,25 Juta. dipakai untuk gaji guru nya, berarti masing-masing guru hanya mendapat gaji Rp 750.000/bulan. Atau maksimal nya anggap saja semua uang itu dipakai buat gaji guru (karena komponen lainnya dibayarin donatur yang baik hati) maka perbulan para guru mendapat gaji Rp1,5 Juta/bulan.
Angka yang cukup, tapi apa layak kita berikan pada sebuah profesi yang kita beri tanggung jawab mengawasi dan mengarahkan tumbuh kembang anak kita?Angka ini hanya sedikit perbedaannya dengan UMR yang diterapkan buat para buruh pabrik yang dibayar karena keringat dan tenaganya. Sementara mereka bukan hanya keringat, tetapi juga inisitif dan kreativitas. Di dunia kerja manapun, orang yang dibayar karena inisiatif dan kreativitas mesti lebih tinggi daripada orang yang dibayar karena tenaga dan keringatnya.
Jadi biaya pendidikan itu memang tinggi. Masalahnya menjadi berat karena kita miskin. Dan masalahnya menjadi bertambah berat ketika negara absen membantu warganya yang miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Meskipun pendidikan sudah disebutkan dalam konstitusi di negeri ini sebagai hak warga dan kewajiban negara
Oleh karena itu, saya bilang kepada istri saya untuk memberikan bingkisan, kado, atau apapun namanya, untuk para pendamping anak saya itu. Bukan karena ingin menutupi gaji mereka yang saya anggap kecil, tetapi lebih dari itu merupakan apresiasi saya terhadap mereka yang sudah jagain anak saya. Terlebih saya melihat respon anak saya juga sangat positif. Tidak seperti bapaknya dulu yang cemberut ketika berangkat sekolah dan gembira ketika keluar sekolah, saya lihat anak saya sama cerianya ketika berangkat dan pulang sekolah.
Tetapi meskipun begitu, tetap saja kita ingin tahu bagaimana calon sekolah anak kami secara lebih detail. Kami ingin tahu lingkungannya seperti apa, gurunya bagaimana, fasilitasnya apa saja, kurikulum nya dibawa kemana. Ceritanya kita tidak ingin lah beli kucing dalam karung.
Singkat kata siang itu pun kami punya kesempatan untuk mengunjungi sekolah tersebut. Karena istri saya guru lulusan universitas pendidikan, maka tidak aneh kalau istri saya yang banyak bertanya. Mulai dari pertanyaan jumlah jam belajar, kurikulum, metode pembelajaran, rasio murid dan guru sampai dengan konsultan pendidikan. Sementara saya hanya mengkonfirmasi beberapa hal tentang fasilitas dan metode pembelajaran. Sedikit banyaknya dari beberapa artikel dan jurnal yang saya baca tentang pendidikan, ada beberapa prinsip dasar pendidikan yang ada di benak saya.
Selesai mencari informasi, di perjalanan istri saya berujar “too much” katanya. “Harga segitu too much” tegas istri saya. Sempat aneh juga istri punya pandangan seperti itu, karena awalnya yang menyarankan sekolah itu ya istri saya. “Kok too much?” tanya saya.
“Standar jam belajar Play Group itu 15 Jam/minggu, mereka hanya 3 hari dalam seminggu dimulai dari jam 07.30-10.00, tidak sampai 15 Jam/minggu. Tadi saya tanya siapa konsultan pendidikannya, mereka tidak punya, hanya nginduk ke sekolah lain” papar istri saya. “15 jam/minggu itu standar siapa?” tanya saya balik. “Itu standar Amerika dan Australia, untuk Indonesia sepertinya belum ada”. Sempat berniat debat untuk masalah standar ini, tetapi lebih baik menurut saya menunggu nanti di rumah saja. Minta dia tunjukan sumber informasinya lalu saya baca.
Sore hari di rumah sambil nonton tv bersama, iseng-iseng saya buka kembali brosur sekolah tadi. Di rincian biaya pendaftaran ternyata biayanya 4,5 juga bukan 4 juta seperti yang disebutkan istri. Tiba-tiba saja ada beberapa item pembayaran yang mengusik saya.
“Biaya formulir 100.000?Itu kan paling kertas beberapa lembar aja kan?Lebih tepat kalau dia bilang biaya pendaftaran bukan biaya formulir. Terus apa lagi nih, biaya Photo. Kenapa mesti ada biaya photo,bukannya photo itu bisa kita sendiri aja?Yang lainnya kan begitu, urusan photo minta aja sama kita. Ini kok kayak cubit sana cubit sini aja” Ujar saya nyerocos panjang lebar. “Itulah makanya bunda bilang too much” Jawab istri saya seolah mendapat angin untuk mengulang ketidaksepakatannya.
“Ini coba lihat, ada biaya seragam sekolah 500 ribuan dan katanya tersedia di koperasi. Wah, ini mah cubit sana cubit sini buat cari keuntungan. Emangnya bajunya bagus?” Tanya saya. Istri saya pun menjelaskan tentang anak temannya yang bersekolah disana “Bajunya biasa aja” Jawab istri saya.
“Biaya pendidikan itu memang mahal, tetapi kita juga kan gak mau di mahal-mahalin. Ini kayaknya komersil banget yah. ambil keuntungan sana sini. Komersilnya kebangetan nih” ujar saya nyerocos tanpa rem dihadapan istri. Akhirnya kita sepakati untuk tidak memasukan anak ke sekolah tadi. Cari sekolah lain yang kita anggap lebih baik.
Akhirnya kita pindah ke sekolah lain yang pada dasarnya memiliki biaya yang tidak jauh berbeda dengan sekolah tadi. Tetapi yang menarik adalah ketika mereka mempunyai penjelasan rasional dari seluruh biaya yang diminta dan tidak terlihat watak eksploitatif nya.
Sepertinya kita ini memang sudah pasrah dan siap sedia untuk di eksploitasi, tetapi kita sering berontak dan tidak bisa menahan kemarahan kalau di eksploitasi secara keterlaluan. Kata orang sunda “tong kitu-kitu teuing atuh” atau kata orang Jawa (ungkapan ini saya dapat pertama kali dari Pak Amin Rais), “ngono yo ngono, tapi ojo ngono”.
I like it :)
ReplyDeletehatur nuhun alias thank Rita..
ReplyDeletesekali lagi saya mendapat pencerahan tentang dunia pendidikan dari ilustrasi di atas
ReplyDeleteterimakasih kang Delianur atas sharingnya
PS : posting " padjajaran university" membuat saya senyum simpul sambil sdikit sedih juga