1. Aktualisasi Masalah Penelitian
Jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1998, Kementrian Sosial R.I. menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah anak jalanan sekitar 400%. Tahun 1999 diperkirakan jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 50.000 anak.
Di Provinsi Jawa Barat, setiap tahun, jumlah anak jalanan terus bertambah baik untuk kota besar seperti Kota Bandung atau kota-kota lain seperti Cirebon, Indramayu, Tangerang, Bekasi, dan Garut. Tahun 2001, jumlah anak jalanan yang tersebar di Jawa Barat adalah 6267 orang, dan tahun berikutnya meningkat 8352 orang. Sedangkan Kabupaten dengan jumlah yang ekstrim yaitu Bogor 1503 orang, Cirebon 994 orang, dan Bandung 840 orang. Walaupun tahun 2003 menunjukkan sedikit penurunan menjadi 5183 orang dengan kabupaten yang terbanyak adalah Kabupaten Garut 594 orang, Majalengka 558 orang dan Kabupaten Sukabumi 511 orang.
Kabupaten dan Kota Cirebon, memiliki penyandang masalah sosial yang cukup tinggi. Data 2006 menunjukkan populasi penyandang masalah sosial anak mencakup; anak terlantar 490 orang, anak nakal 820 orang, anak terlantar 2568 orang dan anak nakal sendiri sebanyak 983 orang. Dari jumlah penyandang, Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon memiliki jumlah anak jalanan yang tinggi jika dibandingkan dengan kabupaten dan kota lain di Jawa Barat.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap fenomena anak jalanan. Faktor makro yang memunculkan masalah tersebut yaitu; pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, partisipasi sekolah pada anak usia sekolah yang memunculkan drop-out, pembangunan kawasan dan perkotaan yang belum merata, dan masalah kultur. Sedangkan masalah mikro di dalamnya tercakup; ajakan teman, desakan orang tua untuk mencari nafkah, rumah tangga yang tidak harmonis, anak dengan orang tua single parent, dan ketidakpuasan terhadap sekolah atau guru.
Munculnya masalah anak jalanan di Kota dan Kabupaten Cirebon, dari sisi makro tidak bisa dihindari. Pertumbuhan kota di kedua wilayah tersebut, merupakan pendorong anak-anak untuk mencari nafkah dengan mengemis, mengamen, atau “memalak” di jalanan. Di samping itu, areal wisata relijius sebagai salah satu sektor andalan kepariwisataan di Cirebon, seperti Makam Sunan Gunung Jati dan Keraton Kasepuhan Cirebon, menjadi lokasi anak jalanan mengais rejeki dengan cara meminta sedekah kepada para pengunjung.
Jika ditelusuri, perbedaan lokasi anak jalanan menunjukkan adanya perbedaan dalam pola anak mengais rejeki. Anak jalanan di perkotaan Cirebon, mendapatkan uang dengan cara mengamen atau ojek payung, dan parkiran. Sedangkan di lokasi wisata, anak-anak mencari uang dengan cara mengemis, meminta dan mengejar para peziarah.
Keadaan ini tidak terlepas dari kondisi dan situasi yang mendorong anak untuk turun mencari rejeki. Lingkungan mereka secara dominan memberikan pembelajaran tentang cara anak-anak mendapatkan uang. Di tempat ziarah, mengemis, meminta sumbangan merupakan hal yang lumrah, sehingga anak-anak meniru tindakan tersebut. Sedangkan, di kota Cirebon jarang ditemukan anak-anak jalanan mencari uang dengan cara seperti itu. Mereka lebih suka mengamen atau mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan uang.
Terlepas dari adanya perbedaan perilaku dalam mendapatkan uang, riset terhadap anak jalanan menggambarkan bahwa, persepsi tentang mereka berkaitan dengan stigma kekerasan, kriminalitas dan gangguan sosial. Anak jalanan, di samping menimbulkan masalah sosial, seperti keamanan, ketertiban lalulintas, dan kenyamanan, juga memunculkan tindakan kriminal terhadap anak jalanan itu sendiri. Mereka menjadi komunitas yang rentan terhadap kekerasan dan pelecehan orang dewasa, penggarukan petugas ketertiban kota, berkembangnya penyakit, dan konsumsi minuman keras serta zat adiktif atau narkoba.
Anak jalanan didefinisikan sebagai individu yang memiliki batas usia sampai 18 tahun, dan menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan, baik untuk bermain maupun untuk mencari nafkah. Realitas pengalaman yang dihadapi tersebut, akan membangun skema kognitif yang unik dari anak jalanan tentang lingkungan dengan perilakunya. Realitas yang dimaksud adalah bagaimana mereka mendapatkan perlakuan dari lingkungan dan bagaimana peran yang harus dipilih (role taking) ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan.
Anak jalanan telah memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap keluarga. Makna keluarga bagi mereka adalah sekelompok orang di mana dia harus ikut ambil bagian dalam menjaga keberlangsungan hidup mereka. Makna konstribusi terhadap keluarga bagi anak jalanan adalah seberapa besar uang yang harus disetorkan kepada orang tuanya dalam rangka membantu kehidupan keluarganya. Di samping itu, mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, misalnya membayar uang sekolah dengan biaya yang didapatkan dari hasil keringat mereka.
Dalam keadaan seperti itu, tidak berlebihan jika anak jalanan selalu berada dalam situasi rentan dalam segi perkembangan fisik, mental, sosial bahkan nyawa mereka. Melalui sitmulasi tindakan kekerasan terus menerus, terbentuk sebuah nilai-nilai baru dalam perilaku yang cenderung mengedepankan kekerasan sebagai cara untuk mempertahankan hidup. Ketika memasuki usia dewasa, kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan dan eksplotasi terhadap anak-anak jalanan lainnya.
Di samping itu anak jalanan dengan keunikan kerangka budayanya, memiliki tindak komunikasi yang berbeda dengan anak yang normal. Komunikasi intrabudaya anak jalanan dapat menjelaskan tentang proses, pola, perilaku, gaya, dan bahasa yang digunakan oleh mereka. Aspek-aspek tersebut tampak manakala berkomunikasi dengan sesaman, keluarga, petugas keamanan dan ketertiban, pengurus rumah singgah, dan lembaga pemerintah. Anak jalanan yang sudah terbiasa dalam lingkungan rumah singgah dan anak jalanan yang ”liar”, memiliki perilaku dan gaya komunikasi yang berbeda.
2. Disain Studi Fenomenologi
Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Kualitatif dengan tradisi Fenomenologi. Subyek penelitian adalah anak jalanan pengamen di Kota Cirebon dan anak jalanan pengemis di Lingkungan Wisata Makam Gunung Jati Kabupaten Cirebon. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam dan observasi partisipatif.
3. Hasil Penelitian: Peran Diri Anak Jalanan dan Perilaku Komunikasi
Anak jalanan memaknai peran diri dalam keluarga dan masyarakat, sebagai inidividu yang mandiri (tanggung jawab pada diri dan keluarga), otonom (berusaha melepasakan ketergantungan), dan individu yang berusaha memiliki relasi sosial dalam konteks di jalanan. Konstruksi makna peran diri itu sendiri dibangun secara kreatif dan dinamis di dalam interaksi sosial anak dengan orang-orang dalam lingkungan jalanan.
Pada anak pengemis, mereka telah memiliki pemaknaan peran diri sebagai; diri yang memenuhi kebutuhan sendiri dan mengurangi beban orang tua, diri yang belajar memenuhi kebutuhan sekolah dan diri yang disuruh dan didukung mengemis. Sedangkan anak pengamen memiliki pemaknaan peran diri sebagai; diri yang berusaha memenuhi kebutuhan dasar, diri yang melepaskan ketergantungan pada orang tua, diri yang memenuhi kebutuhan sekolah dan diri yang mencari hubungan sosial di jalanan
Selanjutnya, hasil interaksi sosial anak-anak dengan orang-orang dalam lingkungannya membentuk konstruksi makna secara subyektif dan obyektif tentang orang dewasa, aturan dan prinsip-prinsip yang berkembang dalam konteks jalanan. Anak-anak pengemis menganggap orang dewasa di luar sebagai pengatur karena memiliki otoritas, dicurigai karena memiliki kepentingan, setara (sesama pengemis) sehingga mengedepankan persaingan, di samping pula berkembang anggapan sukarela (kepada peziarah) dan berusaha respek terhadap senior. Anak-anak pengemis juga menganggap bahwa aturan mengemis adalah sesuatu yang harus ada dan tidak perlu dipertanyakan (reserve) walaupun sebagai subordinat mereka mencurigai bahwa aturan yang dibuat dipenuhi muatan kepentingan orang dewasa.
Pemaknaan anak pengamen berbeda dengan anak pengemis. Anak pengamen memaknai orang dewasa sebagai tipikal dominan negatif, agresif dan menyerang, senantiasa menggunakan paksaan dan kekerasan dan perlu dilawan jika posisi menguntungkan (konflik). Dilain pihak juga telah berkembang pemaknaan dengan pola-pola spesifik; dominan positif dan skeptis terhadap lawan jenis, solidaritas sesama pengamen dan menghargai wibawa pengamen senior.
Aturan, menurut anak pengamen adalah sebuah konsensus yang berusaha dipatuhi. Penghasilan dianggap memiliki nilai publik (berbagi) dan terbuka, mementingkan kelompok, menghormati senioritas, dan menghargai atau toleran terhadap zona proksemik jalanan.
Disamping itu, mereka memilikia prinsip; menghindari perbuatan jahat, rasionalisasi terhadap kebiasaan konsumsi minuman keras/obat dan merokok dimaknai sebagai media interaksi sosial dengan motif ekonomi dan sosial.
Perilaku komunikasi interpersonal pada anak jalanan berlangsung secara dominan dengan orang-orang disekitar jalanan. Perilaku komunikasi interpersonal sendiri berlangsung dalam situasi; memaksa, otoritatif, konflik, mengganggu (teasing), membiarkan (bebas), sukarela, dan rayuan. Komunikasi interpersonal melalui pesan verbal dan nonverbal, secara spesifik disesuaikan dengan kepentingan dalam menjalankan aktivitas di jalanan. Pesan verbal mayoritas berupa istilah/kata; yang berhubungan dengan kekerasan/konflik, panggilan khas (sebutan) kepada orang atau konteks jalanan, aktivitas jalanan dan pekerjaan. Pesan nonverbal yang disampaikan berbentuk: gestural, intonasi suara, mimik muka (facial), artifaktual, isyarat bunyi, pakaian (fashion), panataan pakaian/asesoris (grooming) dan penampilan (manner).
Diangkat dari Disertasi Program Ilmu Komunikasi, 2009
Atwar Bajari
Dosen Fikom Unpad
Sumber : https://atwarbajari.wordpress.com/2009/06/26/studi-fenomenologi-peran-diri-dan-perilaku-komunikasi-anak-jalanan/
No comments:
Post a Comment