Wednesday 18 June 2008

Bukan Militan Tapi Konyol

Pagi tadi, mungkin sampai sekarang, di depan Istana ada demonstrasi menuntut pembubaran Ahmadiyyah yang digalang oleh Forum Umat Islam (FUI). Sekilas waktu saya lihat di berita pagi, koordinatornya pentolan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Massa yang saya lihat terdiri dari bapak-bapak berjenggot yang gendong anak-anaknya sambil membawa bendera putih bertuliskan lafadz syahadat.

Tidak ketinggalan, dan ini yang membuat saya miris, adalah para muslimah yang membawa bayi untuk ikut demonstrasi. Saya melihat itu bener-bener bayi dibawah umur satu tahun. Untuk melindungi dari panasnya Jakarta, saya lihat si Ibu menutup bayi itu dengan kain. Hebatnya ternyata tidak hanya ibu itu saja yang membawa bayi. Ada ibu-ibu muslimah lainnya yang membawa bayi dan anak-anak balita mereka.

Karena demonstrasi itu, Route perjalanan saya dari statsiun Juanda ke Medan Merdeka Barat yang bisa saya lalui via Istana Negara jadi terhalang. Perjalanan menjadi lebih panjang dan otomatis, walaupun tukang ojeg tidak meminta, saya mesti faham kalo dia sudah mengeluarkan energi lebih dari biasanya. Jadinya saya ikhlaskan ongkos lebih dari biasanya juga.

Selain itu, jujur saja, saya tidak begitu satu hati dengan tema demonstrasi dan aktor-aktor utamanya. Tema demonstrasi hanya menunjukan kearoganan umar beragama sedangkan aktor-aktornya, sebagaimana saya pernah interaksi dengan beberapa diantara mereka, jauh dari ajaran Islam hanif yang diajarkan nabi. Kemarahan yang dilanjutkan dengan kekerasan selalu menjadi solusi dari setiap problem keummatan yang ada.

Tetapi kekesalan saya bukan karena terganggunya perjalanan ke kantor, bertambahnya biaya transportasi ke kantor, tema demonstrasi yang diusung serta aktor-aktor penggalang demonstrasi yang picik. Semua kerugian itu mesti saya terima dengan lapang dada karena saya merupakan bagian dari masyarakat yang mengingatkan perlunya kebebasan berekspresi dan melihat demokrasi sebagai jalur kehidupan kita.

Saya marah dan kesel karena melihat bayi-bayi yang mesti ikut dibawa turun ke lapangan untuk berdemonstrasi. Saya bingung, apakah mereka tidak pernah merasa kalo panas dan polusinya Jakarta tidak baik bagi bayi-bayi yang masih berada di bawah umur.

Bila bayi saya lahir nanti, saya tidak akan pernah mengikuti apa yang mereka lakukan. Ini bukan masalah komitmen dan militansi membela Islam. Tapi hanya kekonyolan dan kebodohan saja yang membuat orang membawa bayi dibawah umur satu tahun ikut demonstrasi di tengah Jakarta yang panas dan penuh dengan polusi.

Menurutku apa yang mereka perbuat tidak berbeda jauh dengan para wanita muda pengemis yang memajang bayi di emperan trotoar Jakarta di siang hari yang panas terik dan penuh polusi untuk mengemis. Bahkan mungkin mereka lebih parah lagi, karena yang mereka gendong itu anak sendiri. Bukan seperti wanita muda pengemis yang menggendong anak orang lain.

Jakarta 18 Juni 2008

No comments:

Post a Comment