Friday 24 October 2008

Kyai menikahi anak umur 12 tahun

Seorang pengusaha kaya di Semarang Jawa Tengah, Pujiono Cahyo Widioanto, menikahi Lutfiana Alfa bocah umur 12 tahun. Katanya Pujiono itu seorang Kyai. Tapi menurut MUI, Pujiono itu bukan Kyai. Puji tidak pernah masuk pesantren, ujar anggota MUI. MUI Jateng pun memvonis itu sebagai pernikahan yang haram.

Saya sendiri bingung untuk menyebutnya sebagai seorang kyai. Apa kriterianya sehingga media menyebutnya sebagai seorang kyai. Apakah karena dia sudah naik haji lalu pakai surban, jubah putih dan kemana-mana membawa tasbih?atau karena dia sudah zakat sebanyak 1,3 Miliar?Tapi kalau melihat apa yang dia lakukan, menurut saya dia bukanlah seorang Kyai.

Kembali kepada pernikahan yang dilakukan oleh Puji. Ketika membaca berita ini di internet, langsung saja saya posting ke beberapa teman via YM. Ada yang sinis, miris, tertawa dan ada yang tanpa ba bi bu langsung mengatakan ini halal, syah menurut hukum Islam. Karena semua prosedurnya sudah terpenuhi. Nah lho?

Jujur saja, ketika saya membaca berita itu, saya cukup miris bercampur geli ketika membaca argumen yang disampaikan Pak "Kyai". Tetapi saya bertambah miris ketika teman tadi langsung mengatakan bahwasannya ini adalah halal dan syah.

Kemirisan pertama, kenapa sebuah fenomena mesti ditempatkan begitu sempat dalam koridor halal dan haram. Kemirisan kedua, kenapa begitu mudahnya menetapkan sesuatu itu halal dan haram karena melihat kepada prosedurnya?

Saya pikir dalam meneropong sesuatu dalam perspektif Fiqh urusannya tidak bisa dilihat secara hitam putih dalam kalimat halal atau haram. Cara pandang seperti ini selain menunjukan kesempitan cara pandang, juga menunjukan kenaifan. Bila hendak di elaborasi lebih lanjut, bukankah hukum Islam itu berhenti di halal dan haram saja?bagaimana dengan mubah, makruh dan sunnah?

Saya tidak ingin mengatakan orang-orang seperti ini sebagai bodoh dan tidak tahu hukum agama, tapi lebih suka mengatakannya sebagai naif. Karena kadang-kadang hal seperti ini sering datang dari seseorang yang berlabelkan sarjana agama. Saya melihat ini sebagai sebuah kebiasaan kita yang selalu berpikir hitam putih, tidak mempunyai alternatif meskipun hal itu sudah disediakan.

Lalu berkaitan dengan penetapan hukum halal, ini berkaitan dengan kemirisan saya yang kedua, apakah memang benar pernikahan ini halal karena sudah melewati prosedur yang sudah ditetapkan oleh Fiqh?

Kalau pertanyaan ini disampaikan kepada para pengkaji ilmu agama, saya pikir akan menjadi kajian yang sangat panjang. Banyak hal dan perspektif yang perlu di tinjau dan menjadi bahan pertimbangan. Bila menggunakan hadits, maka harus ditinjau bagaimana asbabul wurud hadits tersebut. Bila melandaskan ayat al quran, maka harus dilihat asbabun nuzul. Bila merujuk kepada sirrah nabawiyah, maka harus dicek kembali aspek sosiologis dan psychologis dari sirah tersebut.

Tetapi saya tidak ingin membicarakan hal itu. Pasalnya sederhana saja, saya tidak terlalu expert untuk membicarakan hal sedalam itu. Bila saya menolak pernikahan "Kyai" Puji dan mempertanyakan penetapan hukum halal dari teman tadi, itu karena banyak hal yang tidak terpenuhi, diantaranya metodologi pengambilan hukumnya, dari penjelasan yang diberikan.

Saya hanya ingat kepada ayat yang berbunyi kullu mimma fil ardhi halalan thoyiban. Makanlah apa yang ada di bumi itu dalam keadaan halal dan baik. Jadi yang mesti kita makan itu ternyata tidak hanya cukup halal, tetapi juga mesti baik. Penjelasan sederhana dari guru saya, daging ayam itu baik, tapi kalau daging itu sudah dua hari dan tidak di hangatkan, maka menjdi tidak baik. lebih baik saya tidak memakannya. Kira-kira begitu.

Jadi kira-kira pertanyaan saya adalah, bila apa yang dilakukan pak "Kyai" Puji itu, katakanlah di beri hukum halal, apakah hal itu layak untuk dilakukan?Bagian terakhir ini menjadi sangat penting karena selanjutnya hal ini akan berkaitan dengan hak anak, pendidikan anak, psikologi anak, psikologi orang menikah, psikologi orang hamil dsb.

Tapi sebelum membahas itu pernikahan yang baik atau bukan, secara pribadi saya melihat itu pernikahan yang haram. Masalahnya sederhana saja ; motif sang "kyai" dan mudharat yang akan ditimbulkan. Kalau tidak percaya coba saja lihat profil sang "kyai" tersebut dan baca tentang psikologi pertumbuhan anak. Perkawinan seperti itu hanya akan mendatangkan mudharat. Kasihan terhadap bocah kecil itu.

1 comment:

  1. ga ada pa ya, wanita dewasa baik-baik. Si "kyai' tu kok bisa ngomong, " kalo aku nikahi anak kuliahan, sudah bejat semua mereka." gitu katanya di TV.
    Kayaknya dia gak tahu kampus, gak bisa milih wanita baik baik. Jangan2 dia makan ayamhidup2 takut dimasak ga khalal. belajar di mana sih dia tu, tega amat. apa sering baca kasus phedolopia

    ReplyDelete