Wednesday 15 October 2008

Penjajahan Bahasa

Karena sedang merencanakan kuliah ke Eropa, sebulan terakhir ini saya intesifkan lagi belajar Bahasa Inggrisnya. Target minimalnya bisa mencapai score Toefl 550, supaya tembus persyaratan beasiswa. Maksimalnya yah mencapai score 600, supaya bisa langsung mendaftar dan dapat acceptance letter dari Universitas.

Seperti juga waktu pertama kali belajar Toefl, saya pikir ini seperti penjajahan bahasa. Bayangkan saja, saya mesti belajar tata bahasa bangsa lain sampai pada tingkatan yang detail, sementara saya sendiri tidak begitu tahu tata bahasa ibu saya : Indonesia dan Sunda. Sementara itu saya haqqul yakin kalau orang Inggris, Amerika dan Australia itu pengetahuan bahasa Inggris nya tidak sedetail yang saya pelajari di Toefl. Jadi kita ini sedang melestarikan bahasa orang lain dan melupakan bahasa kita sendiri kan?

Yang lebih menjengkelkan ketika saya tadi singgah ke toko buku. Cari buku buat bahan belajar anak saya yang masih 4 bulan. Banyak saya temukan buku untuk mencerdaskan balita dengan iming-iming dwi bahasa, bahasa Inggris - Indonesia. Katanya mendidik anak secara dini berbahasa Inggris.

Buku-buku ini bagi saya tidak hanya melanjutkan penjajahan bangsa sampai pada tingkat anak balita, tetapi juga menceritakan keminderan terhadap bahasa bangsa sendiri saja. Terlebih ketika tidak satupun saya temukan buku ajar buat balita dalam dwi bahasa, Indonesia - Sunda atau Indonesia - Jawa atau Indonesia dah bahasa daerah lainnya. Apakah mereka berfikir bahasa Sunda, Jawa, Minang dll itu tidak bisa mencerdaskan anak-anak kita?

Yang lebih menggemaskan adalah ketika saya sempat sms teman yang sedang bergelut di dunia penerbitan. Saya bertanya apakah ada buku ajar buat balita dengan dwi bahasa Indonesia-Sunda. Singkat jawabannya, tidak ada buku untuk itu

Jakarta, 15 Oktober 2008

2 comments:

  1. :) Kita emang dipaksa berpikir dengan cara berpikir orang lain, Kang. Bahasa memaksa kita mengubah cara berpikir kita sesuai dengan Bahasa itu.

    Di Kampus saya, kebanyakan mahasiswanya adalah karyawan di perusahaan-perusahaan ternama. Jauh dari apa yang kita sebut dari dunia pemikiran dan pencarian makna. Sasaran hanyalah laba, pengurangan biaya atau peningkatan harga. Yang disebut berhasil adalah "mendapatkan uang yang banyak, dengan biaya yang sedikit". Untuk itu maka kita harus mendekati "kemajuan" barat. (penggunaan kata "kemajuan" saja menurutsaya adalah penindasan). Nah, untuk terkait dengan Barat, maka gunakanlah kata-kata barat sebanyak mungkin. Terciptalah Bahasa Indonenglish:)

    Saya mencoba, dalam setiap presentasi mengurangi sebanyak mungkin penggunaan kata serapan. Tapi justru kawan-kawan saya merasa aneh dan senyum-senyum dengan bahasa saya. Nasib :)

    Di rumah, ketika berbincang dengan isteri saya yang berasal dari jurusan bahasa inggeris kita sepakat untuk menggunakan bahasa secara konsisten. Artinya, kalau menggunakan bahasa inggeris, maka pakailah kosa kata inggris sebaliknya jika menggunakan bahasa indonesia, gunakanlah bahasa indonesia, jangan dicampur. Tapi kadang-kadang kita lupa dan tanpa sadar menggunakan bahasa Indonenglish lagi :)

    ReplyDelete
  2. Mungkin bukan "penjajahan" de, tapi menurut saya ini lebih pada sebuah konsekuensi globalisasi. Sama halnya yang menimpa pada perekonomian kita. Memang mau tak mau, kita harus berakrab-akrab ria dengan bahasa ibu globalisasi, karena hare gene ga pake Bahasa Inggris bisa diketawain Cinta Laura..hehe.. O iya, bisa jadi peluang bisnis tuh.. Coba bikin sendiri aja buku ajar buat balita dengan dwi-bahasa Indonesia-Sunda de.. Yah, minimal pasarnya udah ada kan; anak kamu, anaknya Yoga, anaknya Ghifar, anaknya Ebonk, anaknya Asep, dll.. Hehe..pis!! Berkunjung ke www.ikisiarif.wordpress.com yah...

    ReplyDelete