Tuesday 12 July 2011

Mungkin Hakim Agung Lagi Ngantuk

"Siapa bilang yg menang.. Demokrasi? yg menang adalah duit". Begitu kata Nazarudin pada Majalah Tempo kemarin (11-17/7/11)`menjelaskan proses kemenangan Anas Urbaningrum yang sesungguhnya di Kongres Demokrat. Nazarudin mengeluarkan uang mencapai $ 20 juta untuk membayar peserta kongres supaya mereka memilih Anas.

Tetapi kalau kita ingat dan review masa-masa kemenangan Anas itu, para pengamat politik, media, dan aktivis politik banyak yang mengkaitkan kemenangan Anas dengan tema-tema yang gagah, keren dan melangit seperti tentang bangkitnya kaum muda, hancurnya politik pencitraan, gagalnya patron client, kemenangan demokrasi dan istilah-istilah bombastis lainnya yang hanya difahami segelintir masyarakat Indonesia.

Tetapi seperti yang dikatakan Nazaruddin faktanya bukanlah itu. Semuanya berkaitan dengan duit, uang, money, dan fulus. Setiap DPC diberi $ 10-40 ribu dan bersedia dipecat jika dianggap tidak memenuhi instruksi ketua Dewan Pembina karena sudah dapat duit banyak. Jadi tidak ada hubungan dengan kebangkitan kaum muda, kemenangan demokrasi, dan istilah yang mirip-mirip dengan itu. Semuanya berkaitan dengan lembaran uang saja, tidak lebih.

Waktu membaca tulisan Tempo ini saya jadi ingat masa ramainya pemilu presiden. Waktu itu di tv ada siaran langsung debat capres yang disertai polling sms masyarakat. Di depan saya siaran TV menghadirkan seorang profesor politik yang menganalisa fenomena partisipasi dalam polling sms, beserta kemenangan salah satu kandidat, dalam berbagai sudut pandang teori politik, komunikasi dan disiplin ilmu sosial lainnya. Bahasa dan istilah para pakar pun cukup berat; ada yang bilang tentang demokrasi, mekarnya partisipasi publik, demokratisasi komunikasi, kejayaan media dan lain sebagainya.

Sementara pada saat bersamaan di ruangan sebelah tempat saya nonton tv, teman-teman sudah membeli puluhan, bahkan ratusan, no perdana kartu GSM untuk mengikuti polling sms tadi. Selain itu saya juga tahu bila di sebuah rumah besar beberapa blok dari tempat saya sedang menonton, ada tim sukses dengan mesin IT yang lebih canggih dan sangat mahal “membom” polling sms itu sehingga kandidatnya unggul dalam polling sms itu. Di kemudian hari, seorang teman dari kandidat yang berbeda dan expert bidang IT bercerita bila dia ikut otak-atik polling sms ini. Angka polling jagoannya pun naik tapi tidak sampai menang karena tidak didukung dana besar.

Orang-orang pinter di TV itu sepertinya memang suka membicarakan hal-hal yang abstrak, bombastis, gagah tetapi tidak terkait dengan kondisi yang terjadi sesungguhnya. Sementara pada sisi lain kita pun sepertinya sangat menikmati bahasa-bahasa dan tema-tema besar itu. Seolah kita sudah menjadi makhluk berbeda bila mendengar dan mengerti tema-tema bombastis itu.

Jadi sesungguhnya kehidupan kita itu bukan diatur oleh tema-tema besar seperti diungkap para pengamat di TV, tetapi hidup kita ditentukan oleh hal-hal yang sangat kecil dan tidak pernah kita sangka-sangka. Bila masih tidak percaya dengan kesimpulan berdasar dua kejadian diatas, maka mari saya ingatkan kembali kejadian yang belum lama lewat.

Beberapa waktu lalu media ramai memberitakan perseteruan Yusril dengan Menkumham dan Jaksa Agung. Tidak tanggung-tanggung Yusril menyebut kedua pejabat negara itu “goblok” karena mencekal orang berdasar undang-undang yang sudah tidak berlaku. Menyadari telah melakukan kesalahan fatal, surat cekal buat Yusril pun ditarik kembali. Usut punya usut, ternyata surat cekal Yusril itu dibuatnya dengan copy paste saja. Bayangkan bagaimana status dan nasib hidup kita ternyata diatur oleh surat yang di copy paste?Karena surat ini copy paste, pasti sudah ada kejadian yang menimpa pada orang sebelumnya

Lalu sekarang kita kembali diramaikan dengan keputusan Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa Prita Mulyasari terbukti bersalah melakukan pencemaran nama baik terhadap RS Omni Internasional. Lalu para komentar pun banyak bermunculan mengaitkan hal ini dengan tema-tema besar seperti kebebasan berekspresi, hak asasi manusia, UU perlindungan konsumen, UU ITE, keadilan hukum, dan lain sebagainya. Dan seperti yang sudah-sudah, saya jadi ragu kalau masalahnya adalah tema-tema diatas tadi. Saya haqqul yakin kalau tema-tema besar dan keren seperti itu sudah hinggap lama di kepala para hakim agung. Bukankah gelar mereka saja Doktor-doktor bidang hukum?

Mungkin ada baiknya kita coba-coba hubungkan keputusan hakim ini dengan jajaran hakim agung kita yang mungkin keluarganya tidak harmonis sehingga tidak merasakan bagaimana posisi anak dalam sebuah keluarga. Atau mungkin reaksi-reaksi kimia di otak para hakim agung sudah tidak berjalan menurut standar keumuman sehingga tidak bisa melihat perkara dengan akal sehat atau standar keumuman. Atau mungkin Hakim Agung kita sedang kecapaian karena menumpuknya banyak berkas perkara di mejanya sehingga fisiknya terkuras habis dan matanya ngantuk waktu memutus perkara Prita.

Bukan tanpa alasan bila saya mengatakan ini. Coba kita ingat beberapa waktu lalu di akhir tahun 2008 ketika Harifin Tumpa, Ketua Mahkamah Agung, jatuh terduduk ketika membacakan sumpah jabatan para hakim agung baru. Haripin Tumpa terpaksa melanjutkan pelantikan dalam posisi duduk. Selidik punya selidik ternyata Haripin Tumpa jatuh karena kecapaian. Padahal tumpukan berkas perkara sudah menanti untuk diselesaikan Haripin Tumpa. Perkara yang tidak bisa diselesaikan hanya berdasar dengan pengetahuan, tapi juga stamina yang fit

Jakarta, 12 Juli 2011

No comments:

Post a Comment